| |
|
2. RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA Dalam konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia, "Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukan Tuhan), 'Jelaskanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang hari kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar?' Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Dia menyisihkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)" (QS Al-An'am [6]: 40-41). "Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan (berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]: 22). Demikian Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu sungguh tepat pandangan sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus mengenal dari berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama tabiat kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri mengharap, cemas, dan takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus. 3. DALIL-DALIL LOGIKA Bertebaran (ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliah tentang Keesaan Tuhan- Misalnya, "Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am [6]: 101) "Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22) Maksud ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan kacau ciptaan, karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu." Pengalaman ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitu pengalaman para Nabi dan Rasul. Misalnya pengalaman Nabi Musa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47). Demikian juga pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., serta nabi-nabi yang lain dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid atau Keesaan Tuhan. Di samping mengemukakan dalil-dalil di atas, Al-Quran juga mengajak mereka yang mempersekutukan Tuhan untuk memaparkan hujjah mereka "Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, 'Kemukakan bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24). "Katakanlah, 'Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dan bumi ini, atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah kepadaku kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan pengetahuan (orang-orang dahulu) jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf [46]: 4) MACAM-MACAM KEESAAN Berbicara tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkan kita untuk memahami paling tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama, "Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa." Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis dalam tafsirnya, bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa untuk menunjuk kepada Allah, padahal sebelumnya tidak pernah disebut dalam susunan redaksi ayat ini kata yang menunjuk kepada-Nya. Ini, menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia Yang Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata, sehingga hadir dalam benak setiap orang dan hanya kepada-Nya selalu tertuju segala isyarat. Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil dari akar kata wahdat yang berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid yang berarti "satu." Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama, dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata. Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya. Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan Wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata Ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsi sebagai sifat- tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya. Berbicara tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk dihayati bahwa kata "Ahad" terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85 kali, namun hanya sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam surat Al-Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad." Seakan-akan Allah bermaksud untuk menekankan keyakinan tauhid, bukan saja dalam maknanya, tetapi juga dalam bilangan pengulangan lafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini menggambarkan kemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang berarti "satu," dapat berbilang unsurnya, berbeda dengan kata Ahad yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya? Benar! Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahid seperti antara lain dalam firman-Nya: "Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah [2]: 163) Sementara ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, menunjuk kepada keesaan Zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya, sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperlihatkan keragaman sifat-sifat tersebut. Terlepas dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas bahwa Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan 1. Keesaan Zat 2. Keesaan Sifat 3. Keesaan Perbuatan, dan 4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya. 1. KEESAAN ZAT-NYA Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur atau bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai contoh sebuah jam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri dari beberapa bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada karet, dan lain-lain. Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian itu, ia tidak dapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun jam tangan ini hanya satu, tetapi ia tidak esa, karena ia terdiri dari bagian-bagian tersebut. Jika demikian, Zat Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian betapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan demikian: "Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji" (QS Fathir [35]: 15). Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan bahwa, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11) Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang sama dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang seperti dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak ada yang serupa dengan-Nya. Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri Khaliq. Itulah sebagian makna Keesaan dalam Zat-Nya. 2. KEESAAN SIFAT-NYA Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas sifat tersebut. Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya. Demikian mereka memahami keesaan secara amat murni. Mereka menolak adanya "sifat" bagi Allah, walaupun mereka tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang secara umum dikenal ada sembilan puluh sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya sifat-sifat. Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur itu, maka dengan tauhid sifat dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yang populer menurut sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain Ath-Thabathaba'i, setelah menelusuri ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan Al-Asma', Al-Husna. Rincian sifat/nama-nama itu dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan QS Al-A'raf [7]: 180. 3. KEESAAN PERBUATAN-NYA Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-Nya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya terJadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt., itulah makna: [tulisan Arab] Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt. berlaku sewenang-wenang, atau "bekerJa" tanpa sistem yang ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya. Dalam mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun. "Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah ia" (QS Ya Sin [36]: 82) Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun. "Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakan kepadanya kun (jadilah), maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran [3]: 59). Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa, yang dimulai dengan kehadiran malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang kelahiran, dan akhirnya lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26). Sekali lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses. (bersambung 4/4) |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |