Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

UKHUWAH                                                  (2/2)
 
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud,  Allah  Swt.
memberikan  beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan
yang diperintahkan.  Pada  kesempatan  ini,  akan  dikemukakan
petunjuk-petunjuk  yang  berkaitan  dengan persaudaraan secara
umum dan persaudaraan seagama Islam.
 
1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang  umum,  Islam
memperkenalkan  konsep  khalifah.  Manusia diangkat oleh Allah
sebagai  khalifah.   Kekhalifahan   menuntut   manusia   untuk
memelihara,  membimbing,  dan  mengarahkan segala sesuatu agar
mencapai maksud dan tujuan  penciptaannya.  Karena  itu,  Nabi
Muhammad   Saw.  melarang  memetik  buah  sebelum  siap  untuk
dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau  menyembelih
binatang   yang   terlalu   kecil.  Nabi  Muhammad  Saw.  juga
mengajarkan agar  selalu  bersikap  bersahabat  dengan  segala
sesuatu  sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak
mengenal  istilah  "penaklukan  alam",  karena  secara   tegas
Al-Quran  menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia
adalah Allah (QS 45: 13). Secara  tegas  pula  seorang  Muslim
diajarkan  untuk  mengakui  bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi.  Pada
saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,
 
     Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang
     kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan
     menundukkannya (QS Al-Zukhruf [43]: 13).
 
2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar  pemeluk  agama,  Islam
memperkenalkan ajaran,
 
     Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan
 
     Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
     Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan
     kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah
     kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42):
     15).
 
Al-Quran juga menganjurkan agar  mencari  titik  singgung  dan
titik  temu  antar  pemeluk  agama. Al-Quran menganjurkan agar
dalam  interaksi  sosial,  bila  tidak   ditemukan   persamaan
hendaknya  masing-masing  mengakui  keberadaan pihak lain, dan
tidak perlu saling menyalahkan.
 
     Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu
     kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di
     antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
     Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
     pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
     sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika
     mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada
     mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi kami) bahwa
     kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]:
     64).
 
Bahkan Al-Quran mengajarkan  kepada  Nabi  Muhammad  Saw.  dan
umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah
kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:
 
     Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau
     kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan
     ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami
     perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang
     hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita akan
     menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan
     benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha
     Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26).
 
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama
sekali   tidak   dilarang   oleh   Islam,  selama  pihak  lain
menghormati hak-hak kaum Muslim,
 
     Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat
     adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang
     yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak
     (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
     menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS
     Al-Mumtahanah [60]: 8).
 
Ketika    sebagian    sahabat    Nabi    memutuskan    bantuan
keuangan/material  kepada  sebagian penganut agama lain dengan
alasan bahwa mereka  bukan  Muslim,  Al-Quran  menegur  mereka
dengan firman-Nya:
 
     Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah
     (memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi
     petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta
     yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada
     non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kami sendiri ...
     (QS Al-Baqarah [2]: 272).
 
3.  Untuk  memantapkan  persaudaraan  antar   sesama   Muslim,
Al-Quran  pertama  kali  menggarisbawahi  perlunya menghindari
segala macam sikap lahir  dan  batin  yang  dapat  mengeruhkan
hubungan di antara mereka.
 
Setelah menyatakan bahwa orang-orang  Mukmin  bersaudara,  dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika
seandainya  terjadi  kesalahpahaman  di   antara   dua   orang
(kelompok)  kaum  Muslim,  Al-Quran  memberikan  contoh-contoh
penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang  setiap  Muslim
melakukannya:
 
     Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria)
     mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi
     mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada
     mereka (yang mengolok-oLokkan); dan jangan pula
     wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang
     lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang
     diperolok-olokkan lebih baik dan mereka (yang
     memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu
     sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
     gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan
     adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa
     tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
     zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).
 
Selanjutnya ayat di  atas  memerintahkan  orang  Mukmin  untuk
menghindari  prasangka  buruk,  tidak  mencari-cari  kesalahan
orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh  Al-Quran
seperti  memakan  daging-saudara  sendiri yang telah meninggal
dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12).
 
Menarik untuk diketengahkan, bahwa  Al-Quran  dan  hadis-hadis
Nabi  Saw.  tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah),
tetapi  yang  ditempuhnya  adalah   memberikan   contoh-contoh
praktis.  Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan
sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat
11-12  di  atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw.
antara lain,
 
     Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah
     sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling
     mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan
     saling membenci, dan jangan saling membelakangi
     (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i,
     melalui Abu Hurairah).
     
Semua itu wajar,  karena  sikap  batiniahlah  yang  melahirkan
sikap  lahiriah.  Demikian  pula,  bahwa sebagian dari redaksi
ayat dan hadis yang  berbicara  tentang  hal  ini  dikemukakan
dengan  bentuk  larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena
at-takhliyah  (menyingkirkan  yang  jelek)  harus  didahulukan
daripada   at-tahliyah   (menghiasi   diri  dengan  kebaikan),
melainkan  juga  karena  "melarang  sesuatu  mengandung   arti
memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."
 
Semua  petunjuk  Al-Quran  dan  hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya  bertujuan  untuk
memantapkan  ukhuwah.  Perhatikan  misalnya larangan melakukan
transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan  riba  (QS
2:  278),  anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan
mengurangi  atau  melebihkan  timbangan  (QS  83:  1-3),   dan
lain-lain.
 
Dalam  konteks  pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara
tegas memerintahkan orang-orang  Mukmin  untuk  merujuk  Allah
(Al-Quran)  dan  Rasul  (Sunnah).  Tetapi  seandainya  terjadi
perbedaan   pemahaman   Al-Quran   dan   Sunnah   itu,    baik
mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk
Al-Quran dalam hal ini adalah:
 
     Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena
     tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan
     Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa
     ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran)
     Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada
     Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
     bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59).
 
KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH
 
Setelah   mempelajari   teks-teks   keagamaan,   para    ulama
mengenalkan  tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut
perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
 
a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah)
 
Konsep ini mengakui adanya keragaman  yang  dipraktekkan  Nabi
Saw.  dalam  bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada
pengakuan  akan  kebenaran  semua  praktek  keagamaan,  selama
semuanya  itu  merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu
meragukan   pernyataan   ini,   karena   dalam   konsep   yang
diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa
hasil 5 +  5?",  melainkan  yang  ditanyakan  adalah,  "Jumlah
sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"
 
b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam
berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran).
 
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat  seorang
ulama,  ia  tidak  akan  berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran
oleh Allah Swt.,  walaupun  hasil  ijtthad  yang  diamalkannya
keliru.  Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang
benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah
Swt.  sendiri,  yang  baru  akan diketahui pada hari kemudian.
Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang  mengemukakan
ijtihad   maupun  orang  yang  pendapatnya  diikuti,  haruslah
memiliki  otoritas  keilmuan,  yang   disampaikannya   setelah
melakukan  ijtihad  (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan
hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman
(Al-Quran dan Sunnah).
 
c.  Konsep  la  hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah
belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya  ijtihad  dilakukan
oleh seorang mujtahid).
 
Ini  berarti  bahwa  hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum
Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun  hasil  ijtihadnya
berbeda-beda.  Sama  halnya  dengan  gelas-gelas  kosong, yang
disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman  yang
tersedia.   Tuan  rumah  mempersilakan  masing-masing  tamunya
memilih  minuman  yang  tersedia  di  atas  meja  dan  mengisi
gelasnya  --penuh  atau  setengah--  sesuai  dengan selera dan
kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu  berasal  dari
minuman  yang  tersedia  di  atas  meja). Apa dan seberapa pun
isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi.
Jangan  mempersalahkan  seseorang yang mengisi gelasnya dengan
kopi, dan Anda pun  tidak  wajar  dipersalahkan  jika  memilih
setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
 
Memang   Al-Quran  dan  hadis-hadis  Nabi  Saw.  tidak  selalu
memberikan interpretasi yang pasti  dan  mutlak.  Yang  mutlak
adalah  Tuhan  dan  firman-firman-Nya,  sedangkan interpretasi
firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti  ataupun
mutlak.  Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan
erat   dengan   banyak   faktor,   antara   lain   lingkungan,
kecenderungan  pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja  tingkat  kecerdasan
dan pemahaman masing-masing mujtahid.
 
Dari  sini  terlihat  bahwa  para ulama sering bersikap rendah
hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami  benar,  tetapi  boleh
jadi  keliru,  dan  pendapat  Anda  menurut hemat kami keliru,
tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu,
mereka  selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki
keterbatasan, dan dengan  demikian,  tidak  mungkin  seseorang
akan  mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah
yang paling benar.
 
UKHUWAH DALAM praktek
 
Jika kita mengangkat salah satu  ayat  dalam  bidang  ukhuwah,
agaknya  salah  satu  ayat  surat  Al-Hujurat  dapat dijadikan
landasan  pengamalan  konsep  ukhuwah  Islamiah.   Ayat   yang
dimaksud  adalah,  Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara,
karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49:
10). Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam
Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap  kejiwaan,
melainkan  justru  digunakan  dalam kaitannya dengan perbuatan
nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami  dalam  arti
mendamaikan  antara  dua  orang  (atau lebih) yang berselisih,
melainkan  harus  dipahami  sesuai  makna  semantiknya  dengan
memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
 
Puluhan  ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan
ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata  shalah  diartikan
sebagai  antonim  dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat
diartikan  sebagai  yang  bermanfaat.  Sedangkan  kata   islah
digunakan  oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu  membutuhkan  objek;  dan  kedua  adalah  shalah   yang
digunakan  sebagai  bentuk  kata sifat. Sehingga, shalah dapat
diartikan terhimpunnya sejumlah nilai  tertentu  pada  sesuatu
agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai  yang  tidak
menyertainya  hingga  tujuan  yang dimaksudkan tidak tercapai,
maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai  tersebut,  dan
hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.
 
Jika  kita  menunjuk  hadis,  salah satu hadis yang populer di
dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang  diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
 
     Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia
     tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada
     musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan
     saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya.
     Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu
     kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu
     kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang
     dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup
     aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari
     kemudian.
 
Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan  di  atas
dilengkapi dengan,
 
     Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan
     tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.
 
                              ***
 
Demikian  terlihat,  betapa  ukhuwah   Islamiah   mengantarkan
manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.
 
Untuk  memantapkan  ukhuwah  Islamiah,  yang  dibutuhkan bukan
sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan  agama,  atau
sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang
lebih  penting  lagi  adalah  langkah-langkah   bersama   yang
dilaksanakan   oleh  umat,  sehingga  seluruh  umat  merasakan
nikmatnya.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team