| |
|
UKHUWAH (2/2) Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam. 1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah (QS 45: 13). Secara tegas pula seorang Muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca, Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya (QS Al-Zukhruf [43]: 13). 2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran, Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42): 15). Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan. Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi kami) bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]: 64). Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai: Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26). Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim, Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8). Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, Al-Quran menegur mereka dengan firman-Nya: Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah (memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kami sendiri ... (QS Al-Baqarah [2]: 272). 3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim, Al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka. Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim, Al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria) mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mengolok-oLokkan); dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dan mereka (yang memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11). Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12). Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat 11-12 di atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw. antara lain, Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan saling membenci, dan jangan saling membelakangi (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i, melalui Abu Hurairah). Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya." Semua petunjuk Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS 2: 278), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan mengurangi atau melebihkan timbangan (QS 83: 1-3), dan lain-lain. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman Al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk Al-Quran dalam hal ini adalah: Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran) Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59). KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, para ulama mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama. a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah) Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, "Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?" b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran). Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtthad yang diamalkannya keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian. Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman (Al-Quran dan Sunnah). c. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid). Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya --penuh atau setengah-- sesuai dengan selera dan kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah. Memang Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid. Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar. UKHUWAH DALAM praktek Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiah. Ayat yang dimaksud adalah, Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara, karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49: 10). Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya. Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah. Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar: Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian. Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan, Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan. *** Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya. Untuk memantapkan ukhuwah Islamiah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |