| |
|
WAKTU (2/2) Kembali kepada ayat Adz-Dzariyat di atas, dapat ditegaskan bahwa Al-Quran menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual. Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum'ah [62]: 10). Dari sini ditemukan bahwa Al-Quran mengecam secara tegas orang-orang yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan tertentu seperti kanak-kanak. Atau melengahkan sesuatu yang lebih penting seperti sebagian remaja, sekadar mengisinya dengan bersolek seperti sementara wanita, atau menumpuk harta benda dan memperbanyak anak dengan tujuan berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20 dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) . Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali dikemukakan dalam bentuk indefinitif (nakirah). Bentuk ini oleh pakar-pakar bahasa dipahami sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 195. Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu baik lelaki maupun perempuan. Al-Quran tidak hanya memerintahkan orang-orang Muslim untuk bekerja, tetapi juga kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am ayat 135 dinyatakan, Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh kemampuan (dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia/akhirat. Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran tidak memberi peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan suatu aktivitas kerja sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr dan dua ayat terakhir dari surat Alam Nasyrah menguraikan secara gamblang mengenai tuntunan di atas. Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman optimisme kepada setiap Muslim dengan berpesan, ... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan (QS 94: 5-6). Maksudnya, sesungguhnya bersama satu kesulitan yang sama terdapat dua kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari bentuk redaksi ayat di atas. Terlihat bahwa kata al-ushr terulang dua kali dan keduanya dalam bentuk definitif (ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al), sedangkan kata yusra juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah kebahasaan dikemukakan bahwa apabila dalam suatu susunan terdapat dua kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya bermakna sama sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia berbeda. Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain, dengan menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (QS 94: 7). Kata faraghta terambil dan kata faragha yang ditemukan dalam Al-Quran sebanyak enam kali dengan berbagai bentuk derivasinya. Dari segi bahasa, kata tersebut berarti kosong setelah sebelumnya penuh, baik secara material maupun imaterial. Seperti gelas yang tadinya dipenuhi, oleh air, kemudian diminum atau tumpah sehingga gelas itu menjadi kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh ketakutan dan kesedihan, kemudian plong, semua digambarkan dengan akar kata ini. Perlu digarisbawahi bahwa kata faragh tidak digunakan selain pada kokosongan yang didahului oleh kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan. Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh adanya sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragh. Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang dimaksud dengan fan-shab. Kata fan-shab antara lain berarti berat, atau letih. Kata ini pada mulanya berarti menegakkan sesuatu sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah Swt. berfirman, Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan, dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS 88: 17-19). Kalimat terakhir pada terjemahan di atas dijelaskan oleh Al-Quran dengan kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam kalimat Wa ilal jibali kaifa nushibat. Dari kata ini juga dibentuk kata nashib atau "nasib" yang biasa dipahami sebagai "bagian tertentu yang diperoleh dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas, dan sulit dielakkan". Kini --setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita melihat beberapa kemungkinan terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam Nasyrah di atas. Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga menjadi nyata. Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang kepada Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena begitu Anda selesai dalam satu kesibukan, Anda dituntut melakukan kesibukan 1ain yang meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna mengukir nasib Anda. Nabi Saw. menganjurkan umatnya agar meneladani Allah dalam sifat dan sikap-Nya sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah sikap Allah yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29. Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan. AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU Jika Anda bertanya, "Apakah akibat yang akan terjadi kalau menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr. Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr (Demi masa), untuk membantah anggapan sebagian orang yang mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai masa sial atau masa mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini. Allah bersumpah dengan 'ashr, yang arti harfiahnya adalah "memeras sesuatu sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa, "Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh" (dan seterusnya sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya). Kerugian tersebut baru disadari setelah berlalunya masa yang berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari pada waktu 'ashr kehidupan menjelang hayat terbenam. Bukankah 'ashr adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah mengaitkan kerugian manusia dengan kata 'ashr untuk menunjuk "waktu secara umum", sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian selalu datang kemudian. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr (kerugian). Kata khusr mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah, dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun. Kata khusr pada ayat di atas berbentuk indefinitif (nakirah), karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca khusr(in), dan bunyi in itulah yang disebut tanwin. Bentuk indefinitif, atau bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti "keragaman dan kebesaran", sehingga kata khusr harus dipahami sebagai kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar. Kata fi biasanya diterjemahkan dengan di dalam bahasa indonesia. Jika misalnya Anda berkata, "Baju di lemari atau uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa baju berada di dalam lemari dan uang berada di dalam saku. Yang tercerap dalam benak ketika itu adalah bahwa baju telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di dalam saku sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar. Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada didalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk menemukan jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada ayat pertama, "Demi masa", dan mencari kaitannya dengan ayat kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian". Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu begitu. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda, "Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok." Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi Saw. yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) . BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU? Tidak pelak lagi bahwa waktu harus diisi dengan berbagai aktivitas positif. Dalam surat Al-'Ashr disebutkan empat hal yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan kecelakaan besar dan beraneka ragam. Yaitu, (a) yang beriman, (b) yang beramal saleh, (c) yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan (d) yang saling berwasiat dengan kesabaran. Sebenarnya keempat hal ini telah dicakup oleh kata "amal", namun dirinci sedemikian rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal yang boleh jadi sepintas lalu tidak terjangkau oleh kalimat beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) . Iman --dari segi bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian pakar yang mengartikan iman sebagai pembenaran hati terhadap hal yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup --kata mereka-- karena yang penting adalah pembenaran hati. Peringkat iman dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu saat dengan saat lainnya pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu (Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya. Nah, upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan iman merupakan hal yang amat ditekankan. Iman inilah yang amat berpengaruh pada hal diterima atau tidaknya suatu amal oleh Allah Swt. Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan, Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu (sia-sia bagai) debu yang beterbangan. Ini disebahkan amal atau pekerjaan tersebut tidak dilandasi oleh iman. Demikianlah bunyi sebuah ayat yang merupakan "undang-undang Ilahi" Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang disebut dalam surat ini pada hakikatnya merupakan bagian dari amal saleh. Namun demikian ketiganya disebut secara eksplisit untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Pesan tersebut antara lain adalah bahwa amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah Swt. Dapat juga dinyatakan ada dua macam ajaran agama, yaitu pengetahuan dan pengamalan. Iman (akidah) merupakan sisi pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan. Atas dasar inilah ulama memahami makna alladzina amanu (orang yang beriman) dalam ayat ini sebagai "orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran". Puncak kebenaran adalah pengetahuan tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber dari-Nya. Jika demikian, sifat pertama yang dapat menyelamathan seseorang dari kerugian adalah iman atau pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan seperempat dirinya, padahal ada empat hal yang disebutkan surat Al-'Ashr yang menghindarkan manusia dari kerugian total. MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA Hal kedua yang disebutkan dalam surat Al-'Ashr adalah 'amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal (pekerjaan) digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin. Kiranya menarik untuk mengemukakan pendapat beberapa pakar bahasa yang menyatakan bahwa kata 'amal dalam Al-Quran tidak semuanya mengandung arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik --kata mereka-- juga dinamai 'amal. Rasul Saw. menilai bahwa niat baik seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud surat Al-Zalzalah ayat 7: Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan (ganjaran)-nya. Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat daya yang dimilikinya: 1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki antara lain kemampuan dan keterampilan teknis. 2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunnatullah 3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan moral, estetika, etika, serta mampu berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran ilahi. 4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan. Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh". Kata shalih terambil dari akar kata shaluha yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Quran dijelaskan maknanya sebagai antonim (lawan) kata fasid (rusak). Dengan demikian kata "saleh" diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan. Shalih juga diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan tidak menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila pekerjaan tersebut dilakukan akan diperoleh manfaat dan kesesuaian. Secara keseluruhan kata shaluha dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara umum dapat dikatakan bahwa kata tersebut ada yang dibentuk sehingga membutuhkan objek (transitif), dan ada pula yang tidak membutuhkan objek (intransitif). Bentuk pertama menyangkut aktivitas yang mengenai objek penderita. Bentuk ini memberi kesan bahwa objek tersebut mengandung kerusakan dan ketidaksesuaian sehingga pekerjaan yang dilakukan akan menjadikan objek tadi sesuai atau tidak rusak. Sedangkan bentuk kedua menunjukkan terpenuhinya nilai manfaat dan kesesuaian pekerjaan yang dilakukan. Usaha menghindarkan ketidaksesuaian pada sesuatu maupun menyingkirkan madharrat yang ada padanya dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara kesesuaian serta manfaat yang terdapat pada sesuatu dinamai shalah. Apakah tolok ukur pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Muhammad 'Abduh, misalnya, mendefinisikan amal saleh sebagai, "segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan." Apabila seseorang telah mampu melakukan amal saleh yang disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya untuk membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun sekali lagi harus diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal di atas baru membebaskan manusia dari setengah kerugian karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar benar-benar selamat, beruntung, serta terjauh dari segala kerugian. Yang ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw bish-shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Agaknya bukan di sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan secara rinci. Yang dapat dikemukakan hanyalah bahwa al-haq diartikan sebagai kebenaran yang diperoleh melalui pencarian ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu, serta kemampuan menahan rayuan nafsu demi mencapai yang terbaik. Surat Al-'Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah dan sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya. Demikian terlihat bahwa amal atau kerja dalam pandangan Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan, minum, atau rekreasi, tetapi kerja beraneka ragam sesuai dengan keragaman daya manusia. Dalam hal ini Rasulullah Saw. mengingatkan: Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi. Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar Al-Ghifari). Demikian surat Al-'Ashr mengaitkan waktu dan kerja, serta sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh tepat imam Syafi'i mengomentari surat ini: Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi kehidupan mereka).[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |