Ummat Online
Rubrik: Al-Qur'an & Sunnah
Hukuman Mati
Masyarakat Jahiliah memperlakukan para pembunuh bukan
saja dengan membunuhnya, tetapi menuntut keadilan melebihi
keadilan itu sendiri. Sehingga, si pembunuh bukan saja
dibunuh, melainkan suku-suku kuat boleh jadi membunuh orang
lain sebagai hukuman atas pembunuhan seseorang. Atau, paling
tidak, membunuh seorang lelaki merdeka sebagai imbalan atas
pembunuhan yang dilakukan seorang wanita atau hamba sahaya.
Dalam konteks ini, turun ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan
dengan hukuman mati, antara lain firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu (bila kamu mau) qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita ...
(Q.S. al-Baqarah 2:178).
Perlakuan itulah yang dinamai Al-Qur'an qishash , yang
arti harfiahnya adalah "mengikuti". Dari akar kata yang
sama, lahir kata qishash (kisah) karena orang yang berkisah
mengikuti peristiwa yang dikisahkannya tahap demi tahap
sesuai kronologi kejadiannya. Dengan kata qishash, Al-Qur'an
bermaksud mengingatkan bahwa apa yang dilakukan terhadap
pelaku kejahatan pada hakikatnya hanya mengikuti cara dan
akibat perlakuannya terhadap di korban.
Sebenarnya, konsep qishash dikenal oleh ajaran agama
sebelum Islam, paling tidak, berdasarkan informasi
Al-Qur'an, seperti telah ditetapkan Allah terhadap
pengikut-pengikut Nabi Musa a.s.:
Telah kami tetapkan terhadap mereka di
dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishash-nya. Barang
siapa yang melepaskan hak qishash-nya, maka melepaskan itu
menjadi penebus dosa baginya (Q.S. al-Maidah 5:45).
Al-Qur'an menetapkan adanya qishash bagi pembunuh.
Tetapi, saat menetapkannya --seperti terbaca di atas-- Dia
tidak mewajibkannya, melainkan diserahkan kepada keluarga si
terbunuh untuk menetapkan pilihan mereka terhadap si
pembunuh, baik "menuntut dari penguasa untuk membunuhnya"
maupun memaafkannya dengan imbalan materi dari keluarga
pembunuh.
Ini berbeda dengan pelaku pembunuhan yang meresahkan
masyarakat dengan melakukan perampokan. Dalam kasus semacam
ini, Al-Qur'an tidak memberi pilihan, tetapi secara tegas
menyatakan bahwa tiada maaf bagi mereka. Itulah sebabnya,
ayat 33 surah al-Maidah menggunakan kata yaqattalu (yang
berarti 'dibunuh secara pasti'), bukan yuqtalu (yang berarti
'dibunuh').
Ada pemikir yang menolak hukuman mati bagi terpidana.
"Pembunuhan sebagai hukuman adalah suatu yang kejam, yang
tidak berkenan bagi manusia beradab. Pembunuhan yang
dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi
pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang
lain." Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam,
padahal pembalasan dendam merupakan suatu yang buruk dan
harus dikikis melalui pendidikan. Karena itu, kata kalangan
yang mengemukakan dalih, hukuman terhadap pembunuh bisa
dilakukan dalam bentuk penjara seumur hidup dan kerja paksa;
pembunuh adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa, karena
itu ia harus dirawat di rumah sakit; dan masih banyak dalih
yang lain.
Dalam pandangan pakar-pakar Al-Qur'an, dalih-dalih
tersebut dijawab Al-Qur'an dengan firman-Nya:
Barang siapa membunuh seorang manusia bukan
karena orang itu membunuh orang lain (bukan karena qishash),
atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka
seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya; dan barang siapa
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia
telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya (Q.S.
al-Maidah 5: 32).
Penjelasan ayat ini lebih-kurang sebagai berikut.
Peraturan apa pun yang baik --yang ditetapkan baik oleh
manusia maupun Allah-- pada hakikatnya untuk kemaslahatan
"masyarakat manusia". Dan kalau kita berkata "masyarakat",
maka kita semua tahu bahwa ia adalah kumpulan dari saya,
Anda, dan dia --kumpulan manusia.
Adalah sangat mustahil memisahkan seorang manusia selaku
pribadi dari masyarakatnya. Ini hanya terjadi dalam teori.
Dalam kenyataan sosiologis, bahkan dalam kenyataan
psikologis, manusia tak dapat dipisahkan dari masyarakat,
sekalipun ia hidup di dalam goa seorang diri. Bukankah
manusia yang tinggal seorang diri di goa menciptakan makhluk
lain bersamanya, yang kalau bukan makhluk sejenisnya maka
hantu atau semacamnya? Katakanlah hantu yang menakutkannya,
atau malaikat yang mendukungnya.
Demikianlah kebutuhan manusia. Pada saat manusia
merasakan kehadiran manusia lain bersamanya, pada saat itu
pula seorang diri atau ribuan anggota masyarakatnya
mempunyai kedudukan yang sama. Semua harus dihargai,
sehingga Barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa
alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia
seluruhnya Manusia sekaligus masyarakat, bahkan semua
makhluk hidup memiliki naluri "mempertahankan hidup". Semut
pun melawan jika kehidupannya terancam --kalau perlu dan
mampu ia akan membunuh. Apalagi manusia. Karena itu, semua
peraturan perundangan mentoleransi pembunuhan yang dilakukan
siapa pun yang mempertahankan kehidupannya. Di sisi lain,
semua masyarakat menyiapkan senjata-senjata pembunuh, paling
tidak untuk mempertahankan kehidupannya.
Mengapa demikian? Jawabannya adalah, "Karena manusia
ingin mempertahankan hidupnya, walau dengan membunuh." Kalau
demikian, mengapa tidak dibenarkan membunuh orang yang
membunuh orang lain tanpa hak?
Bukankah tak ada perbedaan antara seseorang dengan
masyarakatnya? Dengan membunuh orang yang membunuh tanpa
hak, maka akan terjamin kehidupan orang lain, bahkan
kehidupan banyak orang. Itu sebagian kandungan pesan singkat
Al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah 2: 179): Di dalam qishash ada
jaminan kelangsungan hidup bagimu.
Dengan membunuh si terpidana, maka setiap orang yang
merencanakan pembunuhan akan berpikir seribu kali karena
yang paling berharga bagi manusia adalah hidupnya dan yang
paling ditakutinya adalah kematian. Sebab, kalau seseorang
mengetahui bahwa dengan membunuh tanpa hak ia tidak akan
dibunuh, maka tangannya akan semakin ringan untuk menganiaya
dan membunuh.
Agaknya Al-Qur'an menyadari bahwa tak semua orang bisa
memahami kandungan pesan di atas. Oleh sebab itu, penggalan
ayat tersebut dirangkaikan dengan kalimat: Hai orang-orang
yang berakal.
Memang benar, tak semua orang menyadari hal itu. Buktinya
adalah dalih-dalih seperti yang telah dikemukakan di atas.
"Pembunuhan sebagai hukuman adalah sesuatu yang kejam, yang
tak berkenan bagi manusia beradab, yang seharusnya memiliki
rahmat dan kasih sayang." Ayat tentang qishash akan dinilai
kejam jika hanya dilihat secara berdiri sendiri dan
melupakan korbannya yang terbunuh serta keluarga korban yang
ditinggal.
Di sisi lain --dalam pandangan Al-Qur'an-- ditekankan
agar pelaksanaan sangsi hukum bagi penzina jangan sampai
mengabaikan hukum hanya karena rasa kasih-sayang kepada
terpidana (baca Q.S. an-Nur 24: 2). Rahmat dan kasih sayang
ada tempatnya, dan ketegasan juga ada tempatnya. Itulah
keadilan yang didambakan manusia, yakni meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya yang wajar.
"Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu
nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu
nyawa yang lain." Begitu dalih yang lain, dan memang
demikian yang tampak dipermukaan. Tetapi, yang tidak tampak
--karena bergejolak di hati keluarga korban-- adalah dendam
menuntut balas, yang dapat melampaui batas keadilan. Dan
ketika itu bukan saja satu nyawa lain yang terancam,
melainkan bisa puluhan nyawa.
"Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam.
Padahal, pembalasan dendam merupakan sesuatu yang buruk dan
harus dikikis melalui pendidikan." Ini adalah dalih yang
baik. Tetapi, berhasilkah kemanusiaan mengikis habis dari
jiwa manusia perasaan dendam yang membara?
Betapapun, Al-Qur'an juga menempuh jalan pendidikan itu,
sehingga, di samping ketetapan dan tuntunan-Nya yang
menyatakan:
Barang siapa yang terbunuh secara aniaya,
maka sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada
ahli warisnya (Q.S. al-Isra' 17: 33).
Kekuasaan yang dimaksud adalah "memaafkan, menerima
ganti, atau menuntut qishash (membunuh) si pembunuh". Dan
kalau ia memilih yang terakhir, maka lanjutan pesan ayat di
atas adalah: Janganlah ia (ahli waris) melampaui batas dalam
membunuh, karena sesungguhnya ia (dengan ketetapan ini)
telah mendapat pembelaan atau pertolongan. Dengan
ketetapan-Nya memberi wewenang kepada ahli waris memilih
alternatif di atas, sambil menganjurkan untuk memberi maaf
kepada yang bersalah, karena pemaafan dalam qishash
menghapuskan dosa si pemaaf serta melahirkan hubungan yang
lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, maka sisi
pendidikan telah ditempuh Al-Qur'an.
Akhirnya, dalih terakhir adalah "si pembunuh mengidap
penyakit jiwa". Dalih ini sangat berbahaya bagi kehidupan
masyarakat, karena ia akan mendorong pembunuhan dengan
perisai "sakit jiwa". Namun, jika memang yang demikian itu
terbukti melalui pemeriksaan yang bertanggung jawab, maka
tentu saja hukuman terhadap si terpidana akan berbeda.
Demikianlah sedikit uraian Al-Qur'an dan penafsirannya
yang dapat dikemukakan dalam ruang yang terbatas ini.
Date: Fri, 4 Jul 1997 01:23:05 +1000 (EST)
From: Fariastuti Djafar <Fariastuti.Djafar@anu.edu.au>
CC: Joko Look <luknanto@yogya.wasantara.net.id>
|