Kutbah Iedul Fitri 1438H
oleh Quraish Shihab
Minggu, 25 Juni 2017 di Masjid Istiqlal
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil
Hamd!
Dengan takbir dan tahmid, kita melepas Ramadan yang insya
Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah nalar
kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci
dengan hati yang harus penuh harap, dengan jiwa kuat penuh
optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya
situasi. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar.
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Semua kecil dan ringan selama kita bersama dengan Allah.
Kita bersama sebagai umat Islam dan sebagai bangsa, kendati
mazhab, agama atau pandangan politik kita berbeda. Karena
kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua satu
bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah
sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam,
bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok
dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan
berselisih.
Maksudnya:
"Janganlah menjadi serupa dengan orang-orang
yang berkelompok-kelompok dan berselisih dalam tujuan,
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan.
Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih."
Demikian Allah berfirman dalam Q.S. Ali 'Imran ayat 105.
Saudara, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan yang
dikehendaki Allah untuk seluruh makhluk, termasuk
manusia.
Seandainya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya
satu umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu
untuk menguji kamu menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya
kepada kamu. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan
(Q.S. Al-Maidah ayat 48).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil
Hamd!
Saudara, kini kita beridul fitri. Kata fithri atau
fithrah berarti "asal kejadian", "bawaan sejak lahir". Ia
adalah naluri. Fitri juga berarti "suci", karena kita
dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa. Fithrah juga
berarti "agama" karena keberagamaan mengantar manusia
mempertahankan kesuciannya. Maka hadapkanlah wajahmu kepada
agama (Islam) dalam keadaan lurus.
Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S.
Ar-Rum ayat 30).
Dengan beridul fitri, kita harus sadar bahwa asal
kejadian kita adalah tanah:
Allah Yang membuat sebaik-baiknya segala
sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai
penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. As-Sajadah ayat
7)
Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke
tanah.
Dari bumi Kami menciptakan kamu dan kepadanya
Kami akan mengembalikan kamu untuk dikuburkan dan darinya
Kami akan membangkitkan kamu pada kali yang lain.
(Q.S. Thaha ayat 55).
Kesadaran bahwa asal kejadian manusia dari tanah, harus
mampu mengantar manusia memahami jati dirinya. Tanah berbeda
dengan api yang merupakan asal kejadian iblis. Sifat tanah
stabil, tidak bergejolak seperti api. Tanah menumbuhkan,
tidak membakar. Tanah dibutuhkan oleh manusia, binatang dan
tumbuhan -- tapi api tidak dibutuhkan oleh binatang, tidak
juga oleh tumbuhan. Jika demikian, manusia mestinya stabil
dan konsisten, tidak bergejolak, serta selalu memberi
manfaat dan menjadi andalan yang dibutuhkan oleh
selainnya.
Bumi di mana tanah berada, beredar dan
stabil. Allah menancapkan gunung-gunung di perut bumi
agar penghuni bumi tidak oleng - begitu firman-Nya
dalam Q.S. An-Nahl ayat 15.
Peredaran bumi pun mengelilingi matahari sedemikian
konsisten! Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar,
berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali senang di
kali lain susah.
Saudara, jika tidak tertancap dalam hati manusia pasak
yang berfungsi seperti fungsinya gunung pada bumi, maka
hidup manusia akan oleng, kacau berantakan. Pasak yang harus
ditancapkan ke lubuk hati itu adalah keyakinan tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu sebab mengapa
idul fitri disambut dengan takbir.
Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan adalah inti
keberagamaan. Itulah fithrah atau fitri manusia yang atas
dasarnya Allah menciptakan manusia (Q.S. Ar-Rum ayat
30).
Selanjutnya karena manusia diciptakan Allah dari tanah,
maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah
air, merupakan fithrah yakni naluri manusia. Tanah air
adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga
mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah
mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena
itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air
adalah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika
Allah menyandingkan iman dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat
9).
Sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air, Allah
berfirman:
Allah tidak melarang kamu berlaku adil
(memberi sebagian hartamu) kepada siapapun -- walau bukan
muslim-- selama mereka tidak memerangi kamu dalam agama
atau mengusir kamu dari negeri kamu (Q.S.
Al-Mumtahanah ayat 8).
Demikian pembelaan agama dan pembelaan tanah air yang
disejajarkan oleh Allah.
Saudara, (siapa) yang mencintai sesuatu akan
memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya
serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban
untuknya. Tanah air kita, yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara
persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah
anugerah Allah yang tidak ternilai.
"Seandainya engkau, siapapun engkau,
menafkahkan segala apa yang di bumi untuk mempertautkan
hati anggota masyarakat, engkau tidak akan mampu, tetapi
Allah yang mempertautkan hati mereka," begitu
Firman-Nya dalam Q.S. al-Anfal ayat 63.
Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat
adalah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan
Al-Quran menyangkut masyarakat Saba', negeri yang tadinya
dilukiskan Al-Quran sebagai baldatun thayyibatum wa
rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan
Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka,
menganiaya negeri mereka.
Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami
cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan. (Q.S.
Saba' ayat 18).
Saudara, yang dikemukan ayat-ayat di atas adalah
sunatullah. Itu adalah hukum kemasyarakatan yang
kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian "hukum-hukum
alam". Allah berfirman:
"Sekali-kali engkau -- siapapun, kapan dan di mana pun
engkau -- tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu
perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan
bagi sunnatullah Allah sedikit penyimpangan pun."
Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang
prosesnya bisa jadi yang kita saksikan dewasa ini di sekian
negara di Timur Tengah.
Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil
Hamd!
Saudara-saudara sekalian, Allah berpesan bahwa bila hari
raya fithrah tiba, maka hendaklah kita bertakbir. ?Kalimat
takbir merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi
yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan
aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar, di
sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan
matahari, yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata
surya. Di sekeliling tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan
yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari tauhid,
sebagaimana halnya planet-planet tata surya -- karena bila
berpisah akan terjadi bencana kehancuran.
Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan
seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda
namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah
"wahdat al-wujud/Kesatuan wujud" - dalam
pengertiannya yang sahih.
Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua manusia berasal dari
tanah, sejak Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua
harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun
telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu:
"Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan
yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua manusia dan
siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka
dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia."
[Q.S. al-Maidah ayat 32]
Memang jika ada yang manusia yang menyebarkan teror,
mencegah tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan
kedamaian, maka kemanusiaan harus mencegahnya. Hal ini
dikarenakan, menurut Q.S. Al-Hajj ayat 40:
Seandainya Allah tidak mengizinkan manusia mencegah yang
lain melakukan penganiayaan niscaya akan diruntuhkan
biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan
masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki
roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Karena itu
pula kemanusiaan harus bersifat adil dan beradab.
Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa.
Kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan
atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan
berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu sejak zaman
Nabi Muhammad SAW., beliau telah memperkenalkan istilah
"Lahum Ma Lanaa Wa 'Alaihim Maa 'Alaina". Mereka yang tidak
seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan sebagaimana hak
kita kaum muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban
kewargaan sebagaimana kewajiban kita.
Dan karena itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof.
Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: "Dalam tinjauan kebangsaan
dan kewargaannegaraan, tidak wajar ada istilah mayoritas dan
minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan
lebur dalam kebangsaan yang sama."
Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang
mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi
kemaslahatan dan itulah makna "kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan".?
Saudara, kesadaran tentang kesamaan dan kebersamaan itu
merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian idul
fithri, setiap muslim berkewajiban menunaikan zakat fitrah
yang merupakan simbol kepedulian sosial serta upaya kecil
dalam menyebarkan keadilan sosial. Selain kesatuan-kesatuan
di atas, masih banyak yang lain, seperti: kesatuan suami
isteri, yakni kendati mereka berbeda jenis kelamin namun
mereka harus menyatu. Tidak ada lagi yang berkata "saya"
tetapi "kita", karena mereka sama-sama hidup, sama-sama
cinta serta sama-sama menuju tujuan yang sama.
Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut
kesatuan jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad.
Penyatuan jiwa dan raga, mengantar "binatang cerdas yang
menyusui" ini menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi
pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara
perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas
dengan realitas. Akan tetapi, masing-masing merupakan bagian
yang saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh
pun tidak merintangi kebutuhan jasad.
Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan
kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan
tidak hanya terpaku di bumi dan tidak juga hanya
mengawang-awang di angkasa. Demikian itulah manusia yang
ber-'idul fithri, yang kembali ke asal kejadiannya.
Anda menemukan dia teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi
bijaksana, senantiasa bersih walau miskin, hemat dan
sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak
menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar fitnah tidak
menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang
lain.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil
Hamd!
Saudara, kitab suci Al-Qur'an menguraikan bahwa sebelum
manusia ditugaskan ke bumi, Allah memerintahkannya transit
terlebih dahulu di surga. Itu dimaksudkan agar Adam dan ibu
kita Hawa memperoleh pelajaran berharga di sana. Di surga,
hidup bersifat sejahtera. Di sana, menurut Al-Qur'an Surah
Thaha ayat 118-119, "tersedia sandang, papan dan pangan yang
merupakan tiga kebutuhan pokok manusia. Di sana juga tidak
terdengar, jangankan ujaran kebencian, ucapan yang tidak
bermanfaat pun tidak ada wujudnya. Yang ada hanya
damai
damai dan damai.
Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan
yang sia-sia dan tidak pula yang menimbulkan dosa, akan
tetapi ucapan salam lagi sejahtera. (Q.S. Al-Waqiaah
ayat 25-26).
Situasi demikian, dialami oleh manusia modern pertama
itu, bukan saja agar jika mereka tiba di pentas bumi mereka
rindu kepada surga sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi
juga agar berusaha mewujudkan bayang-bayang surga itu dalam
kehidupan di bumi ini, yakni hidup sejahtera, terpenuhi
kebutuhan pokok setiap individu, dalam suasana damai, bebas
dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan
yang berlarut?
Saudara! Di surga juga keduanya menghadapi tipu daya
iblis dan mengalami kepahitan akibat memperturutkannya.
Sementara pakar berkata bahwa kata "iblis" terambil dari
bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang berarti "sosok yang
memfitnah, yang memecah belah". Iblis memfitnah Tuhan dengan
berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya
mencicipi buah terlarang, kecuali karena Allah enggan
keduanya menjadi malaikat atau hidup kekal (Q.S. Al-'Araf
ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan
prasangka buruk.
Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang
peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar
luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku buruk serta
untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
Saudara, Al-Qur'an melukiskan bahwa mempercayai ujaran
Iblis, mengakibatkan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (Q.S.
Al-araf ayat 27). Pakaian adalah hiasan, pakaian juga
menandai identitas dan melindungi manusia dari sengatan
panas dan dingin sambil menutupi bagian yang enggan
diperlihatkan. Selama bulan puasa ini, kita menenun pakaian
takwa dengan nilai-nilai luhur.
Nilai yang telah disepakati oleh bangsa kita adalah
nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang
tersimpul dalam Pancasila. Itulah pakaian kita sebagai
bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain.
Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya
kita dapat terlindungi -- atas bantuan Allah -- dari aneka
sengatan panas dan dingin, dari aneka bahaya yang mengganggu
eksistensi kita sebagai bangsa.
Allah berpesan: Jangan menjadi seperti
seorang perempuan gila dalam cerita lama yang merombak
kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai setelah
ditenunkannya (Q.S. An Nahl ayat 92).
Saudara-saudara, para 'Â'idîn dan
'Â'idât, yakinlah bahwa kita memiliki
nilai-nilai luhur yang dapat mengantarkan kita ke cita-cita
proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang mampu merekat
nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat.
Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota
masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin
mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat
yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.
Ada orang atau masyarakat yang sakit tapi tidak menyadari
bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan
keadaan seseorang atau masyarakat: "Penyakitmu disebabkan
oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu
tapi engkau tak sadar."
Keadaan yang lebih parah adalah tahu dirinya sakit, obat
pun telah dimilikinya, tapi obatnya dia buang jauh-jauh.
Semoga bukan kita yang demikian.
Akhirnya, mari kita jadikan 'idul fithri, sebagai
momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan
persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara
kita semua, sebangsa dan setanah air.
Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan
dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan,
kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera
as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta,
bahkan di seluruh penjuru dunia.
"Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu
bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya.
Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan
as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami
kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian.
Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal
Jalâli wal Ikrâm.
Date: Fri, 4 Jul 1997 01:23:05 +1000 (EST)
From: Fariastuti Djafar <Fariastuti.Djafar@anu.edu.au>
CC: Joko Look <luknanto@yogya.wasantara.net.id>
|