|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
B. Cara Mentashih Pokok MasalahSetelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya, Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam. Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu). Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid. Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah. Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih memahaminya. Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalahSeseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.). Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian. Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian. Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul. Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah. Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah. Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian. Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27). Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm. Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pembagian Waris Menurut Islam oleh Muhammad Ali ash-Shabuni penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995 Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740 Tel.(021) 7984391-7984392-7988593 Fax.(021) 7984388 ISBN 979-561-321-9 ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |