X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM
A. Definisi Dzawil Arham
Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya
dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan
janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi
'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak
ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya
rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh
rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik
dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah
berfirman:
"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan?" (Muhammad: 22)
Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang berkehendak untuk
dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka
hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim,
dan lainnya)
Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah
fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai
bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun
Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah.
Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk
ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham
adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan
pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul
furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi
(saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki
ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu
laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
|