VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA
A. Pengertian Kakek yang Sahih
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap
pewaris tidak tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari
bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis
wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya
ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan
sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana
unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki, maka kakek
menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur
wanita, itulah kakek yang sahih."
B. Hukum Waris antara Kakek dengan
Saudara
Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan
tentang hukum waris bagi kakek yang sahih dengan saudara
kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas
sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini,
bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa
yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam
hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami
tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah
kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakak yang
sahih dengan saudara."
Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi
Thalib:
"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam
neraka Jahanam, maka hendaklah ia memvonis masalah waris
antara kakek yang sahih dengan para saudara."
Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis
masalah hak waris kakek dan saudara itu tentu sangat
beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi
yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka,
masalah ini memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain,
ijtihad ini sangat mengkhawatirkan mereka, karena jika salah
berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya
mempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak
waris kepada orang yang sebenamya tidak berhak. Terlebih
lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum
tentang hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut
kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.
Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah
berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT tidak
membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah
hak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya di dalam
Al-Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan
perbuatan aniaya di kalangan umat manusia, khususnya para
ahli waris.
Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu
hilang setelah munculnya ijtihad para salaf ash-shalih dan
para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga
serta dibukukan secara lengkap dan detail beserta
dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang
ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang
dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta dapat
dijadikannya sandaran dalam berfatwa.
C. Perbedaan Pendapat Mengenai
Hak Waris Kakek
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris
kakak bila bersamaan dengan saudara, sama seperti perbedaan
yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw..
Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.
Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para
saudara --baik saudara kandung, saudara seayah, ataupun
seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek.
Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah
bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling
'tinggi'. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang
masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah saya sebutkan
sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya,
maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan),
kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah
paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau
berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih
dahulu hilang atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada
anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila
'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang
didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah
paman.
Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa
arah ayah --mencakup kakek dan seterusnya-- lebih
didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para
saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama
seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah.
Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu
Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat ini diikuti oleh mazhab
Hanafi.
Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara
kandung laki-laki/perempuan dan saudara laki-laki seayah
berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek.
Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung
dan yang seayah, sama seperti halnya ayah.
Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa
derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama.
Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian
juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan
saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak
untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka
sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan
mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa
alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan
hak waris kepada para saudara kandung kemudian di antara
mereka ada yang tidak diberi.
Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa
kebutuhan para saudara --yang jelas lebih muda daripada
kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para
kakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini
dibagikan atau diberikan kepada para kakek, kemudian ia
wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada
anak-anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan
demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para
saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak mendapat warisan
dari saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik,
Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal, dan diikuti oleh
kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf.
Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in,
yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud,
asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.
|