IX. HUKUM MUNASAKHAT
A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan
'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba
yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran
lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar
matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai
dengan firman Allah SWT berikut:
"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh
mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106)
Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama
faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum
pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada
ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris
meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena
memang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada
ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah
yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan
al-jami'ah.
Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:
Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua
adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang
pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah,
dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada
seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian
salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal,
tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali
saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang
ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa,
seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari
awalnya.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang
kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun
ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap
pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari
istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak
laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan
tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia
meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki
dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan
itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya
dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok
ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua
keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab
kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya
ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi
dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak
laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara
laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung
perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda,
dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang
disebut oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah
al-jami'ah.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua
bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau sebagian ahli
warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris
dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris
kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori
al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang
ada berbeda dan berlainan.
|