Keamanan Sosial atas Sumber Penghidupan Manusia (7/9)

Dr. Muhammad Emarah

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

2. Islam mendorong energi dan potensi berusaha manusia, untuk mengembangkan sumber-sumber kekayaan, dengan merangsang kecenderungan dalam jiwa manusia untuk memiliki, mendapatkan dan meningkatkan diri. Dan "konsep" serta "aturannya" adalah:

"Siapa yang mengolah tanah yang tidak bertuan maka tanah itu menjadi haknya, dan tidak ada hak bagi orang lain untuk merampasnya." [Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dan Abu Daud]

dan:

"Demi Allah, jika salah seorang dari kalian mengambil tambangnya kemudian pergi ke gunung, dan mencari kayu bakar, kemudian menjualnya dan dengan hasilnya itu ia dapat mencukupi dirinya dari meminta kepada orang lain, itu lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberikannya atau tidak." [Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan imam Ahmad]

Usaha untuk mengembangkan kekayaan adalah jalan untuk memiliki dan mendapatkan kekayaan.

3. Mengatur batasan kepemilikan, sehingga tidak membawa kepada monopoli dan menimbun harta yang berlebihan dari kadar kebutuhan.

"Siapa yang memiliki tanah maka tanamilah, dan jika ia tidak dapat menanaminya dan tidak mampu melakukannya, maka hendaknya ia berikan tanah itu kepada saudaranya yang Muslim, dan ia tidak sewakan atau gadaikan kepadanya." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah]

Saat sahabat Bilal bin Harits ingin mempertahankan kepemilikannya atas tanah yang melebihi kemampuannya untuk mengurusnya ---dan tanah itu sebelumnya telah diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya-- hal itu ditolak oleh khalifah kedua Umar bin Khaththab, dan di antara keduanya kemudian terjadi dialog di bawah ini ---yang dimulai oleh Umar dengan ucapannya--:

Engkau telah diberikan tanah yang amat luas dan lebar oleh Rasulullah Saw, dan Rasulullah Saw tidak pernah menolak memberikan sesuatu yang dipinta kepada beliau, sementara engkau sendiri tidak mampu mengurus apa yang engkau miliki itu!

Benar!

Lihatlah, seukuran tanah yang engkau mampu urus, tetaplah engkau pegang, dan yang tidak mampu engkau urus berikan kepada kami, untuk kemudian kami bagi-bagikan kepada kaum Muslimin yang lain.

Tidak ... saya tidak mau! ... tanah ini diberikan kepadaku oleh Rasulullah Saw!

Rasulullah Saw memberikan tanah itu kepada engkau tidak untuk engkau monopoli dari orang lain, namun beliau memberikannya agar engkau urus. Maka ambilah sekadar yang engkau mampu urus, dan kembalikan sisanya!...

Saya tidak mau....

Demi Allah, engkau harus berikan!.

Kemudian Umar merampas tanah Bilal bin Haritsah yang lebih dari kemampuannya untuk mengurus dan memanfaatkannya itu, dan selanjutnya ia bagi-bagikan kepada orang-orang yang dapat mengurus dan memanfaatkannya. Selanjutnya ia berpidato di depan masyarakat, dan menetapkan suatu ketetapan bahwa "siapa yang menghidupkan dan mengolah tanah yang tidak terurus, maka tanah itu menjadi miliknya ... dan siapa yang menyia-nyiakan tanah selama tiga tahun tanpa mengolah dan memanfaatkannya, kemudian datang orang lain dan mengolahnya, maka tanah itu menjadi milik orang yang mengolahnya itu." Yahya bin Adam, Al Kharaj, hal. 122-124, tahqiq: Dr. Husain Mu'nis, Kairo, 1987 M. dan Abu Ubaid al Qasim bin Salam, Kitab al Amwaal, hal 382-383, tahqiq: Dr. Muhammad Imarah, Kairo, 1989 M]

4. Dan zakat. Pembicaraan Al Quran tentang zakat dimulai dengan menyebutnya sebagai salah satu sifat kaum Mu'minin, semenjak era Mekkah:

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat"[ Al Mu'minuun: 1-4]

Dan setelah didirikan "negara" Islam di Madinah, zakat menjadi satu badan bagi keamanan sosial dalam bidang-bidang penghidupan manusia. Ia dipungut, oleh negara, dari seluruh macam harta yang digunakan dalam investasi, dari dua barang berharga ---emas dan perak--, dari kekayaan yang disimpan ---emas, batu mulia dan benda berharga yang disimpan dan tidak dipergunakan sebagai perhiasan yang dibolehkan, dan seterusnya, dan seterusnya ... Saat kekayaan mencapai nishab ---dalam kapital ...tidak semata dalam keuntungan-- negara akan memungut zakatnya, yang jumlahnya berkisar antara 2,5 %, 10 %, dan 5%. [Penjelasan hal itu terdapat dalam sunnah Nabi --dan secara khusus dalam korespondensi antara Rasulullah Saw kepada sebagian gubernurnya-- kemudian hal itu dikaji oleh kitab-kitab fiqh Islam, dengan segala mazhabnya. Lihat "Majmu'at al Watsaaiq as Siyasiyyah lil Ahdi An Nadawi wa al Khilafah ar Rasyidah, hal. 111-207, tahqiq: Dr. Muhammad Hamidullah Heidrabadi, Kairo, 1956 M]

5. Zakat rikaz, yang dipungut dari seluruh kekayaan, barang-barang tambang, bahan-bahan dasar, dan batu bara yang terpendam di dalam tanah. Ukurannya adalah 20% dari nilai kekayaan ini, untuk dipergunakan dan diinvestasikan bagi usaha mewujudkan keamanan sosial dalam bidang penghidupan manusia. Dalam hadits Nabi Saw terdapat aturan zakat "rikaz" ini. Rasulullah Saw bersabda:

"Dalam rikaz ada seperlima (zakatnya) "[Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Imam Malik --dalam kitab Al Muwaththa-- dan Imam Ahma. Lihat: Kitab al Amwaal, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, hal. 436-439].

6. "Al Hima" (yaitu tanah...bangunan...dan sumber-sumber kekayaan) yang dipilih oleh "negara" (yang memegang amanah kekhalifahan dari "umat") untuk dipergunakan bagi "kepentingan umum", dan untuk mewujudkan kecukupan atas kebutuhan orang-orang yang membutuhkan ...

Semenjak masa-masa pertama pengaplikasian Islam atas filsafat Islam dalam bidang harta dan kekayaan, "al hima" ini (yang dikhususkan untuk umat dan kepentingan umum) adalah sumber-sumber kekayaan yang tidak boleh dimiliki oleh individu, dan dimonopoli oleh beberapa gelintir orang. Dalam tafsir Abi Ubaid Al Qasim bin Salam (157-224 H/774-837 M) atas hadits Rasulullah Saw: "Hima hanya milik Allah dan Rasul-Nya", ia berkata: "yang dijadikan hima adalah beberapa sumber kebutuhan masyarakat yang ditentukan oleh Rasulullah Saw sebagai milik umum, yaitu air, padang gembala, dan api"[ Ibid, hal. 386, dan hadits tentang sifat kepemilikan umum sumber air, padang rumput dan api diriwayatkan oleh Imam Ahmad]

Salah satu tindakan untuk mewujudkan "kepentingan umum", sebagai jaminan bagi pemenenuhan kebutuhan orang-orang yang kekurangan dan membutuhkan, "Rasulullah Saw menjadikan hima daerah An Naqi' (yaitu sebidang tanah yang memiliki sumber mata air dan padang rumput, yang terletak sejauh dua puluh parsakh dari Madinah) bagi kuda-kuda kaum Muslimin". Umar bin Khaththab memperingatkan pegawainya agar mempertahankan hima ini (yang telah bertambah luasnya) bagi kepentingan orang-orang yang membutuhkan, bukan bagi orang-orang kaya, dan ia menunjuk Hunay untuk menjaga hina ini. Ia (Umar) berkata kepadanya: "Wahai Hunay, jagalah dirimu dari manusia, dan takutlah terhadap do'a orang yang dizalimi, karena do'a mereka dikabulkan, dan masukkanlah ke hima ini orang-orang yang membutuhkan dari para pemilik unta dan gembala yang sedikit. Sementara cegah hewan gembala Ibnu Affan dan hewan gembala Ibnu 'Auf untuk masuk ke Hima ini, karena keduanya, jika gembala miliknya binasa sekalipun, keduanya masih dapat memanfaatkan pohon kurma dan ladangnya. Sedangkan orang-orang yang miskin ini, jika gembalanya binasa, mereka akan berteriak: "Wahai Amirul Mu'minin, apakah padang rumput lebih ringan bagi saya, ataukah hutang emas dan perak?!" Padang rumput itu adalah hak mereka,.dan tanah-tanah ini adalah milik Allah, yang sebagiannya dijadikan sebagai hima harta Allah, dan kemudian dijadikan sebagai perangkat dan modal untuk berjihad di jalan Allah. Semua harta kekayaan adalah milik Allah, dan sekalian manusia adalah hamba Allah. Demi Allah, seandainya hewan-hewan yang digembala itu tidak dipergunakan untuk berjihad di jalan Allah, niscaya aku tidak jadikan tanah ini sebagai hima sedikitpun, se-hasta demi se hasta"[ Ibid, hal. 389-390].

Ia adalah kekayaan yang dipilih oleh negara, dan kemudian dijadikan sebagai badan umum untuk membiayai bentuk-bentuk kepentingan umum, di jalan Allah.

7. Wakaf. Ia adalah sejumlah harta yang dipilih oleh pribadi atau beberapa orang, dari harta mereka, untuk kemudian mereka keluarkan dari kepemilikan majaz mereka, dan mereka kembalikan kepada Pemiliknya Yang sebenarnya, yaitu Allah SWT, untuk dipergunakan oleh masyarakat umum (umat) yang diberi wewenang harta, dan hasilnya dipergunakan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan umat dan menciptakan keadilan di antara individu-individu umat.

Institusi "wakaf" ini telah dimulai "pengorganisasiannya" pada masa awal sejarah negara Islam yang pertama, pada masa Rasulullah Saw. Yaitu saat Mukhairiq bin Nadhr (3 H-625 M) mewasiatkan agar hartanya diberikan kepada Rasulullah Saw "untuk dipergunakan oleh Rasulullah Saw sesuai dengan yang kehendaki Allah SWT. Wakafnya tersebut berbentuk tujuh bidang kebun, kemudian Rasulullah Saw menjadikannya sebagai wakaf, yang harta aslinya dipertahankan, kemudian hasilnya dipergunakan bagi kepentingan masyarakat dan umat.

Berikutnya Umar bin Khaththab. Ia memilih hartanya yang paling berharga (yaitu tanahnya di Khaibar) untuk dijadikan sebagai wakaf bagi kepentingan umum. Ia datang kepada Rasulullah Saw, dan berkata:

Wahai Rasulullah Saw, aku menyiapkan hartaku yang paling berharga, untuk aku sedekahkan.

Rasulullah Saw menjawab:

"Sadaqahkanlah pokoknya, dengan tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Kemudian infakkankanlah buah dan hasilnya"[Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Al Muzara'ah dan al Washaya dari Sahihnya.Penj.].

Kemudian Umar menulis satu "dokumen" (sebagai bukti) wakafnya itu, yang barangkali merupakan suatu dokumen institusi wakaf tertua dalam sejarah Islam. Dalam dokumen itu ia menulis: "Ini adalah pernyataan yang ditulis oleh hamba Allah, Umar, tentang "Tsamgh --sebidang tanah di Khaibar-- bahwa: ia tidak dijual pokoknya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Manfaatnya ditujukan untuk para fakir miskin, untuk kebaikan, untuk membebaskan budak, untuk keperluan di jalan Allah, ibnu sabil dan tamu. Dan orang yang mengurusnya tidak mengapa jika memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik, dan memberikan makan temannya, namun jangan ia jadikan sebagai hartanya [Hadits diriwayatkan leh Bukhari. Lihat: Muhammad Abdul Aziz Al Halawi, Fatawa wa Aqdhiah Umar bin Khaththab, hal. 260, Kairo. 1985]

(sebelum, sesudah)

dari buku: Islam dan Keamanan Sosial
Penulis: Dr. Muhammad Imarah
Penerjemah : Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta, 1999.

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team