Keamanan Sosial atas Sumber Penghidupan Manusia (9/9)

Dr. Muhammad Emarah

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

10. Pemikiran sosial Islam haruslah seperti ini. Karena al 'Adlu (Adil) adalah salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah (asmaaul husna). Allah SWT-lah yang menurunkan "Al Mîzân", sebagaimana Dia menurunkan " Al Kitâb". Dan "'amal" dalam Al Quran Karim selalu diiringi dengan "iman".

Bahkan pengharaman eksploitasi ribawi dalam Islam terjadi karena ekploitasi ini adalah suatu usaha yang berubah haram dikarenakan ia bukan hasil dari "'amal 'kerja'", dalam mengembangkan uang ini, maka Al Qur'an mengharamkan, dan menghapuskannya.

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".[Al Baqarah: 275-280]

Pengharaman riba (yaitu harta yang datang dari harta minus kerja) menegaskan dengan pasti bahwa filsafat sosial Islam --yang diwujudkn oleh eksprimen Islam pada masa kenegaran Nabi dan kekhalifahan-- hanya berpihak kepada "usaha", dan menjadikannya sebagai ukuran yang memberikan suatu hakikat dan nilai terbesarnya. Ia ('amal 'kerja') adalah pokok utama dalam usaha manusia, dan faktor yang terbesar dalam menentukan keistimewaan seseorang.

Filsafat inilah yang dielaborasikan setelah itu oleh Ibnu Khaldun (732-808H/1332-1406 M), saat ia berkata: "Ketahuilah apa yang memberikan faedah kepada manusia, dan yang ia ambil dari harta, jika dari sesuatu jasa, maka yang ia ambil dan ia raih itu adalah nilai kerjanya, karena yang ada hanyalah kerja... Sedangkan jika di samping jasa dan keahlian itu ada hal lain, seperti pertukangan dan penjahit, di sana ada kayu dan benang, namun dalam keduanya faktor kerja lebih dominan, dan nilainya lebih besar pula... Apa yang didapatkan dan dihasilkan oleh manusia seluruhnya, atau mayoritasnya, adalah nilai kerja manusia..." [Al Muqaddimah, hal. 303, Kairo, 1322 H]

* * *

Islam menjadikan harta kekayaan sebagai harta Allah. Dari-Nya mengalir dan dari-Nya bersumber. Dia menjadikan seluruh manusia mengemban amanah memegang harta itu, dan menjadikan kerja sebagai cara untuk mendapatkan dan memiliki harta itu. Dan melarang kepemilikan yang berlebihan dari kebutuhan, yang skup dan batasan tertingginya ditentukan oleh tradisi, kebiasaan dan tingkat kekayaan masyarakat. Dia mengingatkan keharusan manusia untuk "berserikat" dalam menikmati dan memiliki sumber-sumber pokok kehidupan. Dengan melihatnya sebagai kekayaan umat dan masyarakat. Sehingga ia tidak hanya berputar di antara segelintir orang, dan kemudian mereka halangi orang lain yang turut mendapat amanah untuk memegang dan menikmatinya.

Orang yang memperhatikan pembicaraan Al Qur'an tentang harta, akan menemukan bagaimana ayat-ayatnya menunjukkan sikap yang moderat dan berkeseimbangan ini dalam melihat hubungan manusia dengan harta --dan tidak lupa memberikan dalil-dalil akan keabsahan kepemilikan individual. Pada waktu yang sama, menekankan kenyataan bahwa jama'ah dan umat seluruhnya mempunyai hak menerima amanah harta ini. Dia menisbahkan kata "maal-harta" kepada dhamiir (kata ganti) "individu" dalam tujuh ayat, sementara menisbahkan harta itu kepada dhamiir "manusia secara umum" dalam tujuh puluh tujuh ayat!!. Sehingga Imam Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M) mengomentari petunjuk Al Qur'an tersebut dalam ucapannya: "Dengannya Allah SWT ingin mengingatkan akan "solidaritas umat dalam hak-hak dan kemaslahatan mereka, dan seakan-akan Dia berkata: Harta setiap individu dari kalian adalah harta umat kalian..."!. [Al A'mal al Kamilah, juz 5, hal. 194, kajian dan tahqiq: Dr. Muhamamd Imarah, cet. Kairo, 1993 M]

Teori kekhalifahan Ilahi yang diberikan kepada manusia adalah kunci filsafat Islam dalam masalah kekayaan dan harta. Dan dalam petunjuk sosial filsafat ini, Imam Zamakhsyari (467-538 H/1075-1144) berkata saat menafsirkan ayat istikhlaf dalam harta:

"dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya"[Al Hadiid: 7].

Sebagai berikut:

"Yang Allah SWT maksudkan dalam ayat ini adalah, seakan Dia berfirman kepada manusia: 'Harta yang ada dalam genggaman kalian adalah harta Allah, dengan menciptakan dan menjadikannya, dan Dia menjadikan semua itu sebagai harta bagi kalian,memberikan hak kepada kalian untuk menikmatinya, dan menjadikan kalian sebagai perwakilan Allah dalam menggunakan harta itu. Harta itu bukan milik kalian secara hakikat, namun kalian hanya bertugas sebagai perwakilan dan pengganti"! [Tafsir al Kasy-syaaf, juz 4, hal. 61, Kairo, 1968 M]

Eksprimen Islam telah mewujudkan (pada masa kenabian dan Khulafa Rasyidin) "kehendak Allah" ini. Saat kehendak itu dibumikan dalam bentuk sistem sosial yang menciptakan keamanan sosial bagi manusia dalam bidang penghidupan mereka.

(sebelum)

dari buku: Islam dan Keamanan Sosial
Penulis: Dr. Muhammad Imarah
Penerjemah : Abdul Hayyie al Kattani
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta, 1999.

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team