Jalan Menuju Mekkah
Menelusuri Cahaya Keimanan

Murad Wilfred Hoffman

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Ketika, pada 1992, penerbit Ditrich di Jerman menerbitkan bukuku "Der Islam Als Alternative", terjadi polemik besar-besaran di media massa, partai-partai, dan parlemen Jerman. Membiarkan isu-isu yang dilontarkan dalam polemik itu adalah sesuatu yang sulit diterima, karena isu-isu itu telah jauh melewati sisi individualku. Dan kampanye fitnah, serta pemutarbalikkan fakta yang terorganisir rapi itu bertujuan mencapai tujuan yang lebih jauh dan lebih besar dari sekadar diriku sendiri.

Dalam buku yang telah aku sebutkan tadi, aku berusaha, dengan metode rasional, mengkounter dan menolak seluruh ketidak adilan dan pemikiran-pemikiran yang keliru dan tidak rasional tentang Islam, yang telah diamini dan tertanam kuat dalam kesadaran masyarakat Jerman. Terutama ketika aku dapati sikap reflek masyarakat Jerman yang buruk terhadap segala sesuatu yang berlabel Islam, sebelum mereka mengkajinya atau mengetahui perkara yang sebenarnya terlebih dahulu.

Jika buku yang aku sebutkan tadi itu mengkaji Islam dari kaca mata Islam sendiri, dan dalam bentuk yang diinginkan oleh Islam, serta yang seharusnya terwujudkan, maka buku ini meneropong Islam dari kaca yang lain, yaitu menatap hakikat keimanan sebagaimana aku jalani dan rasakan.

Sedangkan realita bahwa agama-agama besar selururuhnya tidak dijalankan secara intens dan lengkap oleh para pemeluknya adalah sesuatu yang normal, dan malah manusiawi. Jika kita merujuk kepada tuntutan akhlak dan pemikiran yang demikian tinggi yang diinginkan oleh Islam. Dari dasar ini.

Aku berharap bukuku ini dapat membantu untuk mengungkapkan kekuatan pendorong yang diserap oleh para kaum Muslimin dari agamanya, dan bagaimana kaum Muslimin dapat meningkat dan maju bersama kekuatan Islam itu. Serta diharapkan buku ini juga dapat membantu memperjelas pandangan kita akan kondisi yang dapat dicapai oleh dunia Islam jika dunia Islam berpegang dan menjalankan seluruh ajaran Islam dengan lengkap dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Murad Wilfred Hoffman


Al Quran al Karim menyerukan orang yang akan menunaikan ibadah hajji agar memperhatikan etika-etika ibadah hajji. Di antaranya, orang yang sudah memakai pakaian ihram dilarang untuk bersetubuh, mencela, memaki, bertengkar dengan teman seperjalanannya, dan berusaha sedapat mungkin melakukan kebaikan:

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal." Al Baqarah: 197

Aku telah membaca deskripsi historis tentang ibadah hajji pada abad ke sembilan belas. Aku telah membaca buku karya Richard Burton yang terdiri dari dua jilid, dan diterbitkan pada 1853, yang mendeskripsikan perjalanan ibadah hajji ke Mekkah dan Madinah. Aku juga telah membaca buku "Perjalanan Hajji ke Mekkah" yang ditulis oleh Von Maltzan (1860), yang menceritakan perjalanan seorang Muslim Swiss dari kota Bazel kuno, yaitu Johann Ludwig Burkler (1814), yang dikenal dengan nama Syeikh Ibrahim bin Abdullah, setelah ia menyatakan masuk Islam. Di samping itu, aku juga telah membaca tulisan-tulisan kontemporer seperti buku "Petunjuk Pelaksanaan Ibadah Hajji dan Umrah" yang diterbitkan dalam seri penerbitan Jerman: 'Perjalanan Hari Ini'.

Persiapan ruhani yang terpenting adalah mempelajari beberapa ayat Al Qur'an yang bercerita tentang ibadah hajji, terutama yang terdapat dalam surah Al Baqarah dan surah Al Hajj. Demikian juga menghapal beberapa hadits Rasulullah Saw yang banyak, yang berbicara tentang ibadah hajji. Buku yang ditulis oleh Ahmad von Denver ---yang mengkompilasikan banyak ayat Al Quran dan hadits Nabi tentang ibadah hajji-- membantu diriku untuk mengaitkan manasik-manasik ibadah hajji antara yang zhahir dan bathin, materi dan ruhani. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi kaum Muslimin, yang aqidah mereka menyatukan ruhani dan materi sekaligus. Karena bertawajjuh kepada Allah SWT, dalam Islam, tidak semata dengan ruhani saja, atau fisik semata. Seorang individu Muslim dalam shalatnya, puasanya, kurbannya dan ibadah hajjinya, tidak semata hadir dengan ruh, akal dan hatinya semata, namun juga dengan daging dan darahnya; alternatif yang ada adalah: ia menghadirkan semua kesadaran itu, atau tidak sama sekali. Ini merupakan hasil dari konsep 'tauhid' yang mengaitkan segala hal dalam pandangan Islam.

Sambil menunggu-nunggu datangnya hari Arafah, aku duduk di kamarku, di sebuah hotel di Jeddah, membaca beberapa referensi tentang ibadah hajji yang aku bawa. Di antaranya adalah redaksi-redaksi yang ditulis oleh rekan Ahmad von Denver sebagai berikut: "tidakkah kita dapat mengatakan bahwa ihram merupakan perlambang kematian, thawaf merupakan suatu bentuk penyerahan diri seseorang kepada Allah? Sa'i, bukankah ia melambangkan kecapaian dan keluh kesah [dunia]? Bukankah Zamzam lambang kehidupan? Hari Arafah, bukankah ia melambangkan penungguan kita akan hari Kiamat? Muzdalifah, bukankah ia melambangkan kegelapan yang mendahului datangnya hari yang baru? Mina, bukankah ia melambangkan kesetiaan dengan cara memberikan kurban? Melepaskan kain ihram di Mina, bukankah ia melambangkan kehidupan baru? Melempar Jumrah, bukankah ia melambangkan perjuangan sepanjang hidup melawan segala keburukan? Namun Allah--lah Poros kehidupan ..."

Suara muazzin berkumandang dari pengeras suara, memanggil untuk menunaikan shalat Ashar. Kemudian datang tugasku untuk mengumandangkan iqamah di masjid hotel yang sedikit demi sedikit dipenuhi oleh jama'ah shalat. Aku mengumandangkan iqamat dengan bahasa Arab seperti yang dikumandangkan oleh Bilal, seorang muazzin pertama, pada 1413 tahun (qamariah) yang lalu. Namun dengan suara yang lebih lemah dari suaranya. Kemudian kami meminta seorang jama'ah yang berasal dari Maldive, yang berkulit hitam legam untuk menjadi imam shalat, dan ia pun segera memenuhi permintaan kami itu.

Aku perhatikan, saat kami berkumpul di meja makan malam, tidak ada di antara kami yang memiliki nafsu makan. Sebabnya adalah karena kami semua menunggu perpindahan kami, di esok harinya, dari Mekkah ke Mina, ke tempat tinggal kami di hari-hari berikutnya. Pada malam harinya kami tidak dapat tidur nyenyak. Dan pada pagi berikutnya, sebagian besar dari kami telah berkumpul dengan berpakain ihram di lobby hotel, semenjak jam lima pagi.

Kami berhenti sebentar di Mekkah untuk melaksanakan thawaf qudum sekali lagi di sekeliling Ka'bah. Pada saat ini, kami thawaf di bawah terik matahari yang amat menyengat, sehingga mendorong banyak jama'ah hajji, seperti diriku, untuk berlindung di bawah payung. Namun dalam kondisi penuh sesak seperti itu, memakai payung dapat membuat celaka orang lain. Dalam gelombang thawaf yang sedemikian sesaknya, para jama'ah hampir tidak dapat melangkah maju di tempat thawaf yang luas. Oleh karena itu, aku kemudian berpindah ke tingkat terakhir, yang memiliki lingkaran thawaf lebih besar yang harus dilewati. Namun aku tidak mempunyai pilihan lain. Dengan berthawaf di sini, berarti seorang jama'ah harus menempuh jarak 5,6 kilo meter di bawah terik panas yang mencapai 44 derajat celcius. Namun demikian, tidak ada jama'ah yang mengeluh; semua itu terasa ringan bagi seorang jama'ah hajji. Bahkan di sebelahku ada jama'ah yang berthawaf sambil menggendong anaknya di pundaknya, sepanjang pelaksanaan thawaf.

Melihat dari atas sini, menuju ke bawah, ke arah jama'ah yang sedang berthawaf di pelataran Ka'bah, membuat kita seperti terhipnotis. Pemandangan itu amat indah. Ka'bah tampak seperti poros yang diam dan kokoh, yang dikitari oleh jarum yang berputar dengan lambat dan tenang, ke arah yang berlawanan dengan arah perputaran jam. Pemandangan ini hanya berubah saat masuk waktu shalat; saat Ka'bah menjadi poros bagi lingakaran-lingkaran yang beragam, yang berpusat pada satu titik, yang terdiri dari ratusan ribu tubuh manusia yang tampak putih berseri, yang ingin, mencari dan mengerjakan perbuatan yang sama, sebagai perlambang penyerahan diri kepada Tuhan-nya. Saat ini, pelataran yang memutari Ka'bah dikelilingi oleh bangunan bertingkat-tingkat yang terbuat dari keramik berwarna hijau. Dan Ka'bah juga dikelilingi oleh tujuh menara yang dibangun dengan model India-Islam.

Aku harus meninggalkan pemandangan yang indah itu untuk melanjutkan perjalananku menuju Mina, dengan mengendarai mobil. Dalam perjalanan yang membutuhkan waktu 45 menit untuk menempuh jarak sejauh lima kilo meter. Mina adalah "starting point" untuk menuju hari Arafah. Apakah Arafah itu? Rasulullah Saw bersabda: "hajji adalah Arafah".

(sesudah)

dari buku: Jalan Menuju Mekkah: Menelusuri Cahaya Keimanan
Penulis: Dr. Murad Wilfred Hoffman
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Rahmat Tohir, Nurcholish Hamzen
Penerbit: Gema Insani Press
Tahun Terbit: Jakarta, 2000

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team