Jalan Menuju Mekkah
Menelusuri Cahaya Keimanan

Murad Wilfred Hoffman

 

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Pada hari kesembilan Dzul Hijjah, sekitar 50 ribu kendaraan mengantarkan lebih dari dua juta jama'ah hajji ke Arafah, melewati jalan-jalan yang berada di sekitar Mina dan Mekkah, dalam jarak antara 10 dan 15 kilo meter. Kendaraan yang demikian banyak itu, yang bergerak secara bersamaan dan menuju ke arah yang sama, menyebabkan kemacetan yang tiada tara, yang layak untuk dicatat dalam buku-buku pencatat rekor.

Ada orang yang berusaha menuju ke Arafah dengan berjalan kaki. Namun hal ini tampaknya tidak bisa jadi alternatif. Karena hawa panas telah demikian menyengat semenjak jam delapan pagi. Aku melihat seorang lelaki yang berjalan bersama orang tuanya yang sudah berusia lanjut menuju Arafah, yang kemudian pingsan karena mengalami penurunan metabolisme aliran darah.

Saat kami sampai ke kemah-kemah yang didirikan di sekitar gunung Arafat, udara panas yang melebihi lima puluh derajat celcius di bawah naungan, dan lebih dari enam puluh derajat celcius di bawah terik matahari langsung, terasa menampar-nampar wajah kami. Tidak ada hawa sejuk yang mengalir dan menghilangkan hawa panas ini. Mata hari demikian teriknya, dan orang mengalami kesulitan bernafas. Setiap gerakan yang dilakukan menyebabkan perasaan capai. Aku memperhatikan, saat aku menunggu giliran di depan MCK umum, ternyata kaki 'made in' Jerman-ku langsung melepuh dalam beberapa detik saja berada di bawah hawa panas seperti ini. Oleh karena itu, saat aku merasakan panas yang demikian sangat, aku terpaksa berlindung ke dalam kemah kecil yang aku tempati bersama seorang jama'ah hajji yang sehari-harinya bersatus sebagai professor di Universitas Georgetown di Washington. Sementara Syeikh Na'na' yang berasal dari Aljazair, ia berada di kemah yang terletak di samping kemah kami.

Hari itu demikian panjang dan agungnya. Hari untuk merenung, berdamai, shalat, dan mendengarkan pembicaraan-pembicaraan yang bernilai.

Semenjak aku mengikuti latihan-latihan rohani di usia mudaku, aku belum pernah merasakan penyerahan total kepada Allah SWT dengan kebersihan jiwa yang mengagumkan seperti ini. Pada hari Arafah hanya ada satu hal: yaitu bermunajat kepada Allah SWT. Di sini, talbiah kami terejawantahkan: "Labbaik Allahumma labaik 'ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu'". Dengan demikian, inilah makna berwukuf di hadapan Allah pada hari Arafat. Pada hari itu, jutaan manusia membungkus dirinya dengan kain kafan, dan mereka meninggalkan segala hal demi menghadap Allah SWT. Keberadaan mereka di sini semata hanya untuk Allah SWT. Mereka menunggu kematian mereka. Mereka shalat dan berdo'a dengan kekhusyuan dan keyaqinan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan biasanya tidak akan terjadi lagi.

Di tempat ini, pada tahun 632 H, beberapa mingu sebelum wafatnya Rasulullah, beliau menyampaikan khutbah; sebuah khutbah yang kembali dibaca pada hari yang sama dan di tempat yang sama, setiap tahun. Pada hari itu Rasulullah Saw bersabda kepada kaum Muslimin seperti ini: "aku mewasiatkan agar kalian memperlakukan kaum wanita dengan baik ..."

Dan beliau mengakhiri khutbahnya sebagai berikut: "aku meninggalkan pegangan yang jika kalian pegang teguh niscaya kalian tidak akan pernah tersesat: yaitu Kitab Allah dan sunnahku. Aku akan mempertanyakan kalian pada hari kiamat nanti apa yang kalian lakukan [terhadap wasiatku ini]". Berdasarkan penuturan periwayat, orang-orang yang hadir dan mendengar khutbah beliau kemudian menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah dan memberikan nasihat kepada umat". Hal ini pula yang aku persaksikan bersama dua juta dua ratus ribu laki-laki dan perempuan yang datang dari seluruh penjuru dunia.

Sesuai dengan aturan manasik hajji, selepas matahari tenggelam, para jama'ah hajji bergerak dari Arafah ke Muzdalifah yang berjarak 7 kilo meter dari Arafah. Saat seluruh jama'ah yang demikian banyak secara serentak bergerak, terjadi sedikit kesimpang siuran, sehingga membuat aku dan temanku yang professor itu ketinggalan rombongan. Selanjutnya kami berdua ke sana ke mari mencari tempat kosong di ratusan bus yang mengangkut jama'ah hajji. Namun kami tidak mendapatkan tempat. Tiba-tiba aku melihat menteri perindustrian Maroko, 'Azmaani, salah seorang sahabat lamaku. Ia melambaikan tangannya memanggilku di tengah-tengah manusia yang berjumlah lebih dari dua juta orang. Kejadian ini meyakinku bahwa sebenarnya tidak ada 'ketidak sengajaan' yang hakiki dalam dunia milik Allah ini. Akhirnya aku menjadi anggota sementara tidak resmi dalam rombongan jama'ah hajji resmi Maroko itu. Sebelumnya, semua orang ingin bergerak secepatnya, namun karena lalu lintas yang demikian macetnya, kami harus menunggu dengan meneteskan peluh dalam kendaraan selama tiga jam, sebelum akhirnya kendaraan kami dapat bergerak di tengah kemacetan itu.

Berikutnya, seluruh jama'ah hajji kembali bergerak secara bersamaan menuju satu tujuan. Polisi lalu lintas sudah berusaha untuk mengaturkan lalu lintas, namun malah membuat kemacetan makin menjadi-jadi. Ada sebagian jama'ah hajji yang berusaha menempuh jalan pintas dengan berjalan kaki melewati pegunungan hitam yang tampak kontras dengan pakaian mereka yang berwarna putih.

Karena macet dan banyak berhenti di jalan, kami baru sampai di Muzdalifah sekitar jama sebelas malam, sambil merasakan ngilu di lutut dan persendian kami. Di Muzdalifah kami melaksanakan shalat Maghrib dan Isya secara jamak ta'khir, di atas bebatuan tempat kami akan mengambil 49 kerikil untuk persiapan jumrah keesokan harinya, dengan diimami oleh seorang imam shalat yang berasal dari Rabbath. Kami telah disediakan makanan, namun kami harus mendatanginya terlebih dahulu untuk mendapatkannya. Aku tidak banyak mengeluh dengan pelayanan itu, karena selama musim hajji aku telah terbiasa hanya mengkonsumsi sedikit daging ayam, bubur kacang hijau, apel dan buah pisang. Yang terpenting adalah minum air. Untungnya, kami sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam masalah air minum, karena petugas hajji pemerintah Saudi terus membagi-bagikan 80 juta kantong plastik ukuran satu liter selama musim hajji. Mereka juga membagi-bagikan kotak juice buah kepada seluruh jama'ah hajji di setiap perempatan jalan besar. Oleh karena itu, aku merasa tidak butuh membawa persiapan Coca Cola untuk kebutuhan minumku.

Rombongan kami sampai ke Mina pada jam dua pagi, dekat dengan tempat pelemparan jumrah; sebuah ritus yang melambangkan penolakan manusia secara tegas atas kejahatan yang berada dalam dirinya dan dunia di sekelilingnya. Aku mendekat ke tiang tempat pelemparan jumrah itu, sehingga aku dapat menjamin dapat membidiknya dengan tepat dengan menggunakan dua jari saja, sambil menjaga jarak tertentu agar aku tidak terkena hujan batu yang melayang dari belakangku. Kondisinya benar-benar sulit; karena sebagian orang awam ada yang merasa bahwa baru kali inilah, selama hidupnya, mereka dapat menimpuk Iblis, sehingga mereka pun melempari tempat pelemparan jumrah itu dengan batu-batu besar, sepatu dan payung mereka.

Berikutnya, rombongan kami dikelilingi oleh beberapa anak kecil yang membawa --seperti aku duga sebelumnya-- gunting untuk memotong beberapa helai rambut kami, dengan imbalan tiga real Saudi, selama kami tidak ingin mencukur habis rambut kami. Karena kami ingin segera melepaskan pakaian ihram, maka kami segera berangkat ke Mekkah sebelum matahari tenggelam. Kami tidak perlu membujuk supir bus kami, yang tidak tidur semalaman, untuk membawa kami ke Mekkah, karena ia sendiri mengenakan pakaian ihram. Setelah sampai ke Mekkah, kami segera melaksanakan thawaf untuk ketiga kalinya ke sekeliling Ka'bah: yakni thawaf Ifadhah. Saat ini, jumlah jama'ah yang melaksanakan thawaf jauh lebih banyak dari sebelumnya, karena jumlah jama'ah yang berthawaf tidak kurang dari dua ratus ribu orang. Oleh karena, aku membutuhkan waktu selama dua jam, dengan penuh capai, untuk menunaikan thawaf ke sekeliling Ka'bah dan untuk ber-Sai antara Shafa dan Marwa.

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul empat setengah pagi. Berarti sudah masuk waktu shalat subuh di pagi hari Idul Adha, tanggal sepuluh Dzul Hijjah, di Haram Makkah. Aku akan melaksanakan shalat shubuh berjama'ah dengan sisa-sisa energiku, bersama 800 ribu kaum Mukminin yang lain di Masjidil Haram itu. Dengan suara nyaring dan merdu, muazzin Masjidil Haram dan imamnya memberikan komando kepada jama'ah untuk merapatkan dan merapikan barisan. Adzan yan dikumAndangkan demikian merdu dan artistiknya. Bacaan Al Qur'an mereka juga amat indah terdengar. Untungnya, kalangan penganut madzhab Hanbali di Saudi membolehkan dimensi keindahan ini dalam shalat, berbeda dengan yang dilakukan oleh para penganut madzhab Maliki di Afrika Utara. Keindahan ini membawa jama'ah hajji, yang belum tidur malam dan sedang capai, seperti diriku, ke alam yang sama sekali kosong dari kecapaian.

Akhirnya, kami kembali pada jam enam pagi ke rumah penginapan kami di Mina, setelah kami menghabiskan waktu 26 enam di atas kaki kami dengan segenap kesadaran nurani dan jasmani kami. Kami, yaitu aku dan teman-teman sesama jama'ah hajji, saling berpelukan dan mengucapkan: semoga mendapatkan hajji mabrur, dan diterima di sisi Allah, insya Allah. Syeikh Na'na memberikan selamat kepadaku atas status baruku sebagai seorang 'Bapak Haji'. Aku kembali ke kamarku, dan di sana aku akhirnya dapat melepaskan pakaian ihram. Selanjutnya aku berbaring di pembaringanku sambil masih berpeluh keringat. Aku bersyukur kepada Allah SWT karena aku dianugerahkan kemampuan untuk menunaikan ibadah hajji, sambil berdoa semoga ibadah hajjiku diterima di sisi-Nya. Selanjutnya aku tertidur dengan pulas, tanpa merasa terganggu oleh suara bising yang cukup keras yang bersumber dari alat pendingin ruangan.

Saat orang-orang yang kecapaian seperti diriku berusaha mengembalikan energi mereka pada hari Idul Adha ini, sebagian jama'ah hajji yang lain --yang mempunyai stamina lebih kuat-- menyembelih hewan kurban mereka di tempat yang mereka kehendaki. Seorang jama'ah hajji boleh memakan sebagian kecil dari daging hewan kurbannya. Sedangkang bagian terbesarnya ia bagi-bagikan kepada jama'ah hajji yang membutuhkan. Tulang-belulang hewan-hewan kurban itu kemudian dijemur hingga kering, dan kadang-kadang di kota-kota kayu. Bisa dibayangkan baunya. Oh tidak, hanya orang yang mengalaminya sendiri-lah yang mengetahui betapa baunya.

Aku mengetuk beberapa kali pintu kamar tetangga kamarku yang datang dari Wasington, untuk mengecek keadaannya. Karena aku tahu ia telah memforsis pisiknya lebih dari kemampuannya. Bahkan ia telah memintaku untuk menggantikan sisa kewajiban melontar jumrah. Hal ini boleh, bahkan untuk pelaksanaan seluruh ritus hajji juga boleh. Yaitu orang yang tidak mampu melaksanakan hajji sendiri, ia boleh dihajjikan oleh orang lain.

Pada hari kedua Idul Adha aku diundang --bersama 150 jama'ah hajji yang berasal dari seluruh dunia, termasuk Sultan Brunai dan salah seorang anak Rafsanjani, presiden Iran-- untuk hadir ke istana raja Fahd bin Abdul Aziz, di Mina. Raja Saudi pada tahun itu telah memberikan undangan untuk melaksanakan ibadah hajji --tidak sekadar undangan jamuan makan saja-- kepada 1300 muslim dari penduduk bekas Uni Soviet. Dalam jamuan makan itu aku duduk di samping kolumnis Mesir Anis Manshur dan qadhi agung Pakistan Muhammad Hifzhullah; yang mengatakan kepadaku bahwa ia sama sekali belum pernah memutuskan hukum potong tangan kepada pencuri. Karena raja-raja biasanya senang ditunggu oleh orang lain, maka kami mempunyai kesempatan untuk berbicara ke sana ke mari tentang Islam; yang memperkuat kenyataan bahwa ibadah hajji adalah perhelatan besar bagi berkumpulnya seluruh kaum Muslimin.

Raja Fahd dijaga oleh tiga orang pengawal pribadi yang sangat tegas, yang mengenakan pakaian nasional kerajaan Saudi. Besar dugaanku para pengawal itu sebelumnya juga telah bertugas menjadi pengawal raja Abdul Aziz Al Saud (w. 1953) yang legendaris. Namun saat ini mereka telah dilengkapi dengan persenjataan modern; tidak sekadar belati dan pistol saja, namun juga dilengkapi dengan senjata otomatis.

Saat aku berbicara dengan raja, tampak jelas ia telah mengetahui banyak tentang diriku. Undangan yang ia berikan kepadaku dapat dipahami sebagai counter atas provokasi-provokasi yang menyerangku di Jerman.

Sesuai dengan etika jamuan makan Arab, seluruh makanan dihidangkan sekaligus, agar dapat dicicipi oleh semua yang hadir, sehingga membuat meja-meja makan hampir tidak cukup untuk menampung semua hidangan yang disajikan. Di antara etika jamuan makan itu adalah agar seseorang makan dengan cepat dan sedikit berbicara, selanjutnya ia segera pulang saat kenyang. Sementara raja tetap berada di tempat hingga seluruh undangan pulang.

Pada sore harinya, aku dan menteri Azmani berusaha melewati jalan, yang dipenuhi bau menyengat dan kerumunan manusia, menuju tempat pelemparan jumrah untuk melontar kembali, sambil dibantu oleh polisi. Selama itu kami menutup hidung dan mulut kami dengan sapu tangan yang telah kami percikan minyak wangi. Sampah-sampah bekas jama'ah hajji yang tidur di aspal jalan, dan mesin-mesin mobil yang terus dihidupkan untuk menghidupkan AC mobil, membuat jalan itu bisa menjadi bahan kritikan keras para aktivitas lingkungan hidup.

Para jama'ah hajji yang tidur di aspal jalan itu merupakan jama'ah hajji asing, yang pergi hajji tanpa melalui prosedur resmi. Kehadiran mereka tidak resmi, namun amat mencolok. Pada hari itu ada seorang wanita yang meletakkan anak bayinya di atas alas dari karton.

Pada hari ketiga (13 Juni), yang merupakan akhir hari Idul Adha, aku berangkat sendiri selepas shalat shubuh untuk melontar jumrah bagi diriku dan temanku. Para jama'ah yang selama ini tidur di jalan, pada hari itu sudah mulai meninggalkan tempat mereka. Mereka menggunakan persediaan air mereka yang sedikit terutama untuk wudhu (lihat fasal: "Lima Kali Sehari, seperti yang Diperintahkan kepada Kami). Para pedagang asongan juga mulai menjalankan kerja mereka. Pencampuran ibadah hajji dengan kegiatan perdagangan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh Islam. Ada sebagian jama'ah hajji yang memodali ongkos kepulangan mereka ke tanah air mereka dari hasil penjualan komoditas negara mereka yang mereka bawa, seperti perhiasan dari gading, perak dan pakaian. Ada seorang jama'ah hajji dari Turki yang berpapasan denganku dan bertanya dengan lugas: "di mana syetan berada"? Pertanyaannya menyiratkan bahwa ia menyangka semua orang harus mengetahui di mana syetan berada, bahkan syetan itu harus berbahasa Turki juga! Aku menunjuk dengan amat sopan, dan dengan bahasa Turki pula, ke arah tiang ketiga (Jamrah Tsalitsah) yang akan kami lempari kerikil pada hari ini. Sebelum kejadian itu, aku tidak mampu menunjukkan tempat syetan dengan demikian tepatnya!

Pada hari berikutnya, dalam perjalanan pulang kami dari Mina ke Jeddah, kami melaksanakan thawaf wada' di sekeliling Ka'bah. Pada saat itu masjid telah penuh sesak di segala penjuru, karena kami sampai pada saat datang waktu shalat ashar. Pada kali ini, aku thawaf keliling Ka'bah di bagian atap Masjidil Haram, meskipun kedua telapak kakiku hanya mampu menahan panasnya atap yang tersengat matahari itu selama beberapa detik saja. Aku membayangkan diriku seperti beruang yang berusaha diajarkan menari di atas lantai yang panas oleh pawangnya. Namun demikian, setelah itu aku duduk cukup lama di emper masjid untuk mengabadikan bentuk masjid yang indah ini dalam ingatanku!

Aku memperhatikan, pada tanggal 16 juni, saat aku mengambil passpor hajjiku, untuk bersiap-siap kembali dengan pesawat menuju Daar Baidha (Casablanca), para petugas hajji tampak bergembira melihat jama'ah kembali ke negara masing-masing dengan puas. Kapal jumbo jet yang aku naiki terbang langsung dengan lurus menuju Tunis. Dengan begitu, arah kiblat di dalam pesawat itu tetap dan tidak berubah arah selama penerbangan, sehingga memungkinkan para pramugari dan pramugara untuk menunaikan shalat di lantai pesawat. Untuk mengisi kekosongan, aku memilih majalah Time edisi 15 Juni untuk aku baca selama penerbangan. Cover edisi ini menampilkan poto sebuah masjid, sementara Head Covernya tertulis: "Islam ... Apakah Ia Harus Ditakuti Oleh Dunia?"

(sebelum, sesudah)

dari buku: Jalan Menuju Mekkah: Menelusuri Cahaya Keimanan
Penulis: Dr. Murad Wilfred Hoffman
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Rahmat Tohir, Nurcholish Hamzen
Penerbit: Gema Insani Press
Tahun Terbit: Jakarta, 2000

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penterjemah
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team