Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia
M. Syamsi Ali:
Gus Dur mengatakan bahwa terjadinya pemerkosaan di Saudi
diakibatkan oleh pemahaman orang-orang Saudi yang menilai
bahwa pembantu Rumah Tangga adalah budak wanita (amatun).
Dengan kata lain, menurut Gus Dur, bagi orang Saudi
melakukan hubungan dengan Pembantunya adalah legal, karena
mereka menerapkan hukum Islam kuno, di mana budak wanita
dapat digauli begitu saja.
Abdul Ghofur
Maemun: *** Saya kok melihatnya tidak sejauh itu apa
yang dikehendaki oleh GD. Ini hanya soal tradisi yang sudah
melekat di hati orang-orang Teluk sana. Menurut cerita orang
tuaku, waktu beliau belajar di Makkah, sekitar tahun
1950-an, di Saudi masih ditemui budak-budak (laki-laki dan
perempuan) kulit hitam. Entah dari mana mereka ini. Orang
tua saya bilang: budak syubhat!! Jadi ketika ada ledakan
tenaga kerja wanita, ada semacam "kerinduan" untuk kembali
ke masa lalu.
Memang terlalu berlebihan kalau ada anggapan bahwa orang
Saudi menganggap TKW sebagai amat. Ini menurut saya sama
sekali kurang berdasar. Entah kalau GD punya data atau
pengalaman pribadi mengenai ini.
Yang jelas, memang banyak orang Saudi yang bejat
moralnya. Di Mesir, jika musim panas, yang ngeba'i klub-klub
tari perut itu ya orang-orang teluk itu.
Tapi juga harus diketahui bahwa tidak sedikit pekerja
wanita asing (Asia) yang kelakuannya "njelehi". Tiga kali
saya pergi ke Saudi, sudah cukup untuk menilai orang-orang
kita di sana. Bahkan kalau diantara kalian ada yang sempat
mengunjungi "kam-kam pengungsian" bagi para pekerja yang
melarikan dari majikannya, weleh-weleh.
Na'udzu billah !! Lanang-wedok dadi siji, gak genah
kabeh.
M. Syamsi Ali: Saya justeru melihatnya tidak
demikian. Orang-orang Arab tidak melihat PRTnya sebagai
budak. Buktinya, kalau memang mereka budak dalam pandangan
mereka, ngapain dihubungi sembunyi-sembunyi, bohongin isteri
dsb. Penilaian ini tentunya tidak absolut. Namun semoga
penilaian Ortu anda tidak juga dianggap penilaian absolut.
Karena memang masalahnya bukan pada apakah orang Saudi
menganggap PR sebagai budak atau bukan. Masalah utama di
sini adalah betulkah Islam membolehkan menggauli budak tanpa
nikah atau atau harus lewat proses nikah.
Saya sendiri tidak mengingkari itu. Ada bahkan banyak
diantara mereka yang memang demikian. Dalam hal "wanita"
bagi orang lain harus mengikut kepada aturan Islam.
Buktinya, jika anda masuk airportnya saja, anda akan dipisah
jauh-jauh dari penumpang kaum wanita (istilah mereka,
haramaÉharamÉ) namun bagi mereka sendiri, kelihatannya
halal-halal saja tuh.
Bukti yang anda lihat di kamp-kamp itu menguatkan
kesimpulan saya, bahwa penyelewengan seksual terhadap TKW,
salah satunya, karena mereka sendiri. Bayangkan mas, seorang
ibu muda meninggalkan suami bertahun-tahun. Hidup dalam
rumah yang tertutup, makanan lemak, tontonan yang juga wah!
Apa nggakÉ.Tafsirkan aja mas! Dari Madura ya Mas, kok
nampaknya perbendaharaan bahasa Indonesia nggak cukup ya,
sehingga harus pakai bahasa Madura?
M. Syamsi Ali: Kekeliruan Gus Dur pertama adalah tidak
memahami secara kaaffah ruh syariat dalam perihal
perbudakan.
Abdul Ghofur Maemun: Wah, percaya diri banget.
Nyalahkan orang sak enaknya sendiri. Saya yakin sepenuhnya,
yang nulis beginian pasti anti banget sama GD. Poko-e waton
suloyo.
M. Syamsi Ali: Sayang saya nggak banyak faham
logat French atau Spanish anda Mas. Lain kali, pakai bahasa
Indonesia aja, kalau tidak ya bahasa Fir'aun (maksud saya
yellow-yellownya orang Mesir) sajalah.
Setiap Muslim memang dituntut untuk percaya diri dalam
limit-limit kebenaran. Yang disayangkan memang kalau percaya
diri dengan kebatilan yang diyakininya. Atau demi ulama
"kami" (saya sengaja pakai kata kami dengan maksud
'ashobiyah), kita kehilangan kepercayaan diri untuk melihat
kebenaran sebagai kebenaran.
M. Syamsi Ali: Selama ini, kata budak wanita dalam Al
Qur'an disebut dengan dua istilah:
Pertama, jika budak itu disebutkan secara umum bukan
dalam konteks hubungan suami-isteri (seksual), maka ia
disebut "AMATUN" (wa laamatun mu'minatun khaerun min
musyrikatin walaw a'jabatkum" (Al Baqarah: 221).
Abdul Ghofur Maemun: *** Anda kurang teliti, budak
perempuan dalam al Quran juga kadang disebut "fataah"
... Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu (fatayaatikum)untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu
... QS. 24:33
*** Apa toh yang dimaksud dengan "secara umum tidak dalam
konteks hubungan suami-istri (seksual)"? Soalnya kalimat
yang terdiri dari suku kata "amat" disebut dua kali dalam al
Quran. Keduanya membahas tentang masalah perkawinan.
Adakah ini termasuk kategori "seksual"?
Kedua kalimat tsb. adalah:
Pertama: QS 02:221 Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak (amat) yang mu'min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih
baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
Kedua: QS 24:32 Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian [1036] diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan (imaa ikum). Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [1036]
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau
wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat
kawin.
M. Syamsi Ali: Anda betul dalam hal ini Mas.
Walaupun dengan catatan bahwa ungkapan "fatayaatikum" adalah
ungkapan untuk hamba-hamba sahaya yang muda. Jadi ada
semacam pengkhususan dari hamba sahaya wanita (amatun).
Karena memang konteksnya adalah melacurkan, yang mana pada
umumnya diperlakukan kepada budak-budak wanita yang
muda-muda. Jadi, tetap penamaan tersebut adalah "amatun"
(lihat ayat 32 dengan kata "imaa" plural dari amatun) untuk
budak wanita.
Lho, anda misunderstand Mas. Ayat-ayat di atas berbicara
mengenai proses pernikahan. Jadi mereka belum dinikahi. Oleh
sebab itu, penyebutan budak di sini dengan kata "amatun dan
imaa jama' dari amatun" tadi karena memang mereka masih
berstatus "single" (lajang). Sehingga ayat-ayat yang anda
sebut itu semakin menguatkan saja persepsi saya bahwa
penamaan amatun atau pluralnya imaa ditujukan kepada mereka
yang telah melalui proses nikah.
M. Syamsi Ali: Kedua, jika budak itu disebut dalam
konteks hubungan seksual, maka ia disebut "Milkul yamiin"
(Aw maa malakat aemaanukum) di S.an Nisa: 4 misalnya.
Abdul Ghofur Maemun: Budak yang disebut dengan
"milkul yamin", dalam al Quran tedapat dalam --Surat an
Nisaa: 03 (bukan 04 seperti yang Anda tulis), 24, 25, 36,
--Surat an Nahl: 71, --an Nuur: 33, 58, -- ar Ruum: 28. Juga
terdapat dalam Suratal Mu minuun:06, al Ahzab:50 (malakat
aimaanuhum), al Ma'aarij:30, an Nur:31, al Ahzab:55,50
(malakat yamiinuk) dan 52.
Tentu tidak mungkin menyebutkan satu persatu ayar-ayat di
muka. Hanya saja, ada dua hal yang perlu saya catat.
Pertama: Tidak semua "milkul yamiin" dalam al
Quran menunjukkan arti feminin, ada diantaranya yang
menunjukkan arti maskulin dan bahkan ada yang umum untuk
keduanya. (Artinya: tidak semua milkul yamin berarti "amat"
yang telah dikawin oleh sayyid-nya. Bahkan menurut saya,
tidak ada "milkul yamin" dalam al Quran yang mempunyai arti
demikian ini)
Untuk "milkul yamin" yang mempunyai arti maskulin
diantaranya tersebut dalam SQ 24:58
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak-budak yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum
balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali
(dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika
kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan
sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu
[1048]. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka
selain dari (tiga waktu) itu [1049]. Mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang
lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [1048]
Maksudnya: tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu
itu badan banyak terbuka. Oleh sebab itu Allah melarang
budak-budak dan anak-anak dibawah umur untuk masuk ke kamar
tidur orang dewasa.
Dan untuk "milkul yamin" yang bersifat umum diantaranya
terdapat dalam SQ 24:33
... Dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka [1037], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu... [1037] Salah satu
cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu
seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan,
dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang
yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima
perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya
sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.
Catatan kedua: tidak semua "milkul yamin" yang
menunjukkan arti feminin bermakna amat yang telah dinikahi
oleh sayyid-nya. Bisa saya contohkan di sini
SQ. 04:25 ...Dan barangsiapa diantara kalian
(orang-orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki...
Perlu saya jelaskan, bahwa budak wanita ini bukan milik
orang yang hendak mengawininya. Lihat kembali beberapa
tafsir-tafsir klasik.
Ini tentu saja mengacu pada bahwa perkawinan tidak masuk
dalam "konteks hubungan seksual". Kalau tidak, maka
sesungguhnya Anda telah melakukan kontradiksi dengan diri
Anda sendiri: amat dalam al Quran juga dalam konteks
perkawinan ini yang berarti juga konteks hubungan seksual,
padahal Anda mengatakan bahwa amat dalam al Quran tidak
dalam konteks hubungan seksual.
Contoh lain dari "milkul yamin feminin" yang tidak dalam
konteks hubungan seksual adalah
QS. 24:31 Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka
miliki (maa malakat aimaanuhunn-a), atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
Dari sini, bisa saya simpulkan bahwa penyebutan "milkul
yamin" tidak ada pertaliannya sama sekali dengan konteks
hubungan seksual atau non seksual. Bahkan kesemuanya ini
kembali pada siyaq (context) al kalam.
M. Syamsi Ali: Anda masih "wise" sehingga
mengatakan "menurut saya". Yang keliru kalau anda mengatakan
bahwa memang Al Qur'an tidak memakai kata ini untuk maksud
ini. Boleh-boleh saja kok, namanya pendapat Anda. Sebaliknya
untuk saya kan boleh-boleh saja, namanya juga pendapat saya.
Walaupun saya akui (mungkin anda tidak) masih sangat
terbatas dalam memahami ayat-ayat Allah. Terima kasih pula
atas kutipan seluruh ayat-ayat berkenaan dengan kata "milkul
yamiin". Suatu saat dapat kita lihat satu persatu konteks
penyebutan tersebut.
Mas, mungkin keliru kalau anda menyimpulkan bahwa ayat di
atas menunjukkan hanya maskulin semata. Teliti kembali
terjemahan depag yang anda pakai. Kelihatannya di sini anda
kurang jujur, karena anda tidak kutip apa yang dikutip depag
dalam kurun (lelaki dan wanita).
Apa yang saya fahami di sini adalah walaupun Allah
memakai kata "milkul yamiin' untuk keduanya (pria dan
wanita) namun dari sekian kali kata ini dipakai, pada
umumnya diperuntukkan bagi "budak wanita". Oleh sebab itu,
saya tetap melihat bahwa kita dalam menilai sesuatu
seharusnya memakai standar umum. Bukan sebaliknya, masalah
khusus yang dijadikan standar umum.
Mas, lihat konteks pembicaraan ayat secara keseluruhan.
Kenapa setelah penyebutan "milkul yamin di atas disebutkan
"fatayaat" (budak wanita muda?). Karena konteks pembicaraan
ghalibnya pada budak wanita. Sementara budak-budak lelaki
pada ayat sebelumnya dinaakan "'ibaad". Dengan demikian,
walaupun kedua jenisnya masuk dalam kata itu, namun konteks
ayat dengan penyebutan itu tetap aghlabiyahnya pada budak
wanita.
Dalam banyak hal, secara tekstual anda betul. Namun,
bukankah dalam memahami suatu ayat perlu difahami dalam
konteks menyeluruh. Artinya, terkadang mengartikan suatu
ayat belum tentu telah memahami konteks ayat secara
keseluruhan. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman menyeluruh,
karena saya yakin keseluruhan ayat-ayat Al Qur'an itu saling
terkait. Untuk penjelasan ini, lihat keterangan saya diakhir
tulisan ini.
M. Syamsi Ali: Dari kedua penyebutan di atas jelas,
bahwa dalam Islam seandainya memang ada budak, tak akan
dibenarkan untuk digauli sampai terjadi proses hukum yang
disebut "NIKAH". Jika seorang "AMATUN" tadi dinikahi maka
secara otomatis akan berubah statusnya menjadi
"Milkul-yamin" (milik tangan kanan, yang dapat diartikan
dimiliki secara sah), yang sebenarnya statusnya bukan lagi
budak, tapi isteri sah dari bekas tuannya.
Abdul Ghofur Maemun: Dari mana Anda mengambil
kesimpulan semacam ini? Kalau dari "konteks hubungan seksual
atau non seksual", maka sesungguhnya ini telah saya
"mentahkan" sebagaimana di muka. Sesuai dengan apa yang saya
ketahui, seseorang boleh kumpul dengan wanita dengan dua
cara.
Pertama dengan cara nikah, dan kedua melalui cara
at tasarry (mengambil kesenangan dengan amat tanpa melakukan
nikah). --lih: tafsir al Alusy dan at Tahrir wa Attanwir
dalam QS. 04:03--
Adapun dalil al Qur an dan al Hadist mengenai yang kedua
ini adalah sebagai berikut:
Al Qur an: QS. 23:01-07. Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam sembahyangnya...dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki (maa malakat aimaanuhum)***;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu [996] maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. [996].
Maksudnya: zina, homosexueel, dan sebagainya.
*** Andaikan budak-budak ini dinikahi dulu, tentu ia
telah masuk pada bagian sebelumnya (istri-istri mereka).
SQ. 70:29-30: Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela.
QS.33:50: Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan
bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya
dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang
kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah
untukmu. (bagian pertama (istri-istrimu) tentu bukan bagian
kedua)
Al Hadist: Raja Agung Mesir --al Moqouqis-- memberi
hadiah dua putri jariah bersaudara --Mariah al Qibthiayah
dan Sireen-- kepada Rosul. Kemudian Rosul SAW. mengambil
yang pertama dan yang kedua beliau hadiahkan kepada Hassaan
bin Staabit. Tidak pernah diriwayatkan (sepengetahuan saya)
bahwa Rosul SAW. menikahi Mariah. Bahkan hingga Mariah
melahirkan Ibrahim kemudian sampai wafatnya enam belas atau
delapan belas bulan kemudian, Roosul SAW.-pun belum
menikahinya. Ini berdasarkan pada kenyataan bahwa hingga
wafatnya Ibrahim, Mariah masih menempati rumah di dataran
tinggi di pinggiran kota Madinah, tepatnya di daerah yang
sekarang dinamakan Masyrabat Ummi Ibrahim. Bila memang
beliau telah menikahinya, maka, sebagaimana istri-istri-nya
yang lain, ia tentu juga mendapatkan rumah (bilik) di
samping Masjid Nabawy. --Lih:
Hayatu
Muhammad, Mohammad Hosain Haekal--.
Dalil al fiqhy: yang saya maksudkan di sini adalah sistem
perbudakan dalam Islam. Kalau Anda mempelajarinya, tentu
Anda menganal apa yang diistilahkan dengan Ummu al Walad,
yakni amat yang hamil dari hubungannya dengan sayyid-nya.
Amat yang demikian ini statusnya masih tetap dalam
ke-amatan-nya, namun kelak secara otomatis ia akan merdeka
setelah Sayyid-nya meninggal dunia.
Makanya, ia tidak boleh dijual juga tidak boleh
dihadiahkan. (Amat manapun yang melahirkan dari sayyid-nya,
maka ia menjadi merdeka setelah kematian sang Sayyid. HR.
Ibnu Majjah dan al Hakim). Artinya, bahwa amat tsb. saat
dikumpuli oleh sayyid-nya juga setelah melahirkan sang anak,
masih berstatus amat (budak) dan bukan berstatus istri yang
telah merdeka.
M. Syamsi Ali: Ada beberapa poin yang anda
sampaikan di atas:
Pertama, mengenai ayat di S. Al Mu'minuun ayng
anda kutip, sepintas betul. Namun seandainya kita dibenarkan
untuk mencari penfsiran/pemahaman yang tidak bertentangan
dengan ruh Qur'an itu sendiri, maka saya melihatnya
penyebutan "milkul yamiin" terpisah dari "azwaaj" yang
berarti "pasangan-pasangan" (bukan hanya isteri-isteri),
sekedar untuk memperjelas statusnya sebagai "mantan budak".
Artinya, sebagimana saya jelaskan terdahulu, bahwa
penyebutan ini sebenarnya jangan lagi difahami sebagai
budak, melainkan seseorang yang telah dimiliki secara sah
dengan proses pernikahan. Sebab jika difahami bahwa mereka
adalah budak, maka bagaimana anda memahami kata "azwaaj" itu
sendiri. Di mana kata ini diperuntukkan untuk kaum lelaki
sekaligus untuk kaum wanita.
Nah, jika yang dimaksud menjaga kemaluannya adalah kaum
wanita, lalu siapa milkul yamiinnya? Rumit bukan?
Oleh sebab itu, diperlukan penafsiran dengan konteks
Qur'ani. Penafsiran yang tidak hanya terbatas pada ayat itu
sendiri, melainkan penafsiran yang mengakomodasi konteks
Qur'an secara syamil.
Kedua, Mengenai hadiah Raja yang menghadiahkan
Rasulullah 2 budak wanita, kemudian satu di antaranya
diambil oleh Rasulullah sebagaiÉ..(bagaimana anda
mengistilahkanya? Gundik?). Iyaa, emangnya seluruh
isteri-isteri nabi itu diceritakan secara detail
perkawinannya dengan Rasulullah SAW? Terus, emangnya seluruh
isteri Nabi itu tinggal di sekitar mesjid nabawi? Mohon
dikaji kembali sejarah itu baik-baik lagi. Dalam beberapa
ungkapan sejarah, Maria tetap disebut sebagai zawjun Nabi.
Bahkan saya belum menemukan bahwa beliau (Maria) itu disebut
sebagai hamba sahayanya nabi.
Jika kesimpulan anda menyatakan bahwa Maria adalah hamba
sahaya nabi, maka di sini rasanya terjadi kontradiksi dengan
misi Rasulullah SAW yang salah satunya membebaskan manusia
dari perbudakan terhadap sesama. Kok sampai tega rasulullah
SAW masih memperbudak, berhubungan lagi dengan budak itu
hingga lahir beberapa anak darinya. Di mana anda mendudukkan
rasulullah dalam hal ini?
Ketiga, istilah "ummulwalad" dalam buku-buku fiqhi
juga masih menjadi perdebatan panjang. Sayang sekali maraji'
saya tidak ada dengan saya saat ini. Tapi silahkan kaji
kembali mengenai hal ini, lihat bagaimana perselisihan para
ulama mengenai apakah budak wanita yang dinikahi secara
otomatis merdeka atau setelah suaminya meninggal. Hal ini
sekaligus menjawab poin yang anda kemukakan di bawah ini.
Keempat, dalil fiqhi yang anda pakai mengenai
pembagian kehalalan hubungan dengan wanita kepada 2 cara:
Nikah dan Tasarry adalah penafsiran bung. Masalah ini
menjadi masalah rumit dan kompleks yang diperdebatkan oleh
para ahli fiqhi kita. Tentu pertimbangannya banyak. Maksud
saya, sistem tasarry yang disebutkan dalam beberapa buku
fiqhi masih dipermasalahkan. Jangan lalu anda mengambil
kesimpulan, seolah-olah kedua macam hubngan dengan wanita di
atas sudah menjadi baku.
M. Syamsi Ali: Penjelasan ini sesuai dengan ruh Islam
yang datang dengan tujuan, salah satunya, membebaskan
perbuadakan di atas bumi ini. Salah satunya dengan
menganjurkan kepada para tuan untuk mengawini budaknya
sehingga secara otomatis terbebas dari perbudakan.
Abdul Ghofur Maemun: Ya !!! Islam memang terobsesi
untuk menghilangkan sistem perbudakan di muka bumi. Makanya
penjelasan-penjelasan saya jangan difahami sebagai usaha
untuk menghidupkan kembali sejarah yang telah masuk kotak.
Namun harus difahami sebagai upaya menjelaskan apa yang
sebetulnya telah terjadi. Jangan sampai sejarah dimanipulasi
demi kepentingan yang tampak amat luhur.
Ya !!! Islam memang menganjurkan kepada para tuan untuk
menikahi amatnya, tapi jangan langsung ditandaskan bahwa
dengan menikahinya, secara otomatis sang amat menjadi
merdeka. HR. Bukhori dan Muslim: "Barangsiapa mempunyai
jariah (amat) kemudian ia mengajarinya dan berlaku baik
padanya, dan kemudian ia memerdekakannya dan mengawininya
maka ia berhak mendapatkan dua pahala".
Jadi sebelum menikahi, ia harus memerdekakannya dahulu.
Coba Anda buka tafsir al Alusi Surat an Nisaa ayat tiga
(ayat yang Anda jadikan dalil untuk menjustifikasi
kemerdekaan amat dengan cara pernikahan), Anda akan
mendapati bahwa para ulama tidak memperbolehkan seseorang
mengawini amat-nya. karena ini akan mengakibatkan terjadinya
dua "akad" yang saling bertentangan pada satu objek. Nikah
berkonskwensi kesetaraan sementara ar riqq (perbudakan)
meniscayakan penghambaan.
Maka arti ayat tiga tsb. begini: Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil [265], maka (cukuplah) seorang saja (dengan cara
kawin), atau budak-budak yang kamu miliki(dengan cara
tasarry). Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Perbedaan "dengan cara kawin " dan "dengan cara tasarry"
tsb. dalam gramatika Arab disebut 'athof gaya "'alaftuhaa
tibnan wa maa an baaridaa". Semoga Anda pernah
mempelajarinya !?
M. Syamsi Ali: Mengenai urutan penyebutan pada
hadits di atas, menurut saya, bukanlah kemutlakan. Artinya,
tidak harus difahami bahwa jika ingin menikahi budak wanita
harus dimerdekakan dahulu. Sebab terkadang memang terjadi
penyebutan terdahulu walaupun statusnya di belakang. Boleh
juga tidak harus di belakang atau didepan. Hadits kaffarah
puasa misalnya, disebutkan pembebabasan budak, lalu puasa
dua bulan berturut-turut, lalu memberikan makan 60 orang
miskin. Namun oleh para ulama, urutan ini bukanlah suatu
kemutlakan. Boleh saja, orang justeru mengambil yang ketiga,
yaitu memberi makan 60 orang miskin. Jika mengambil istilah
"'adamul kafaah" (tidak imbang, karena satunya merdeka dan
satunya budak) sehingga harus dimerdekakan dulu, maka kenapa
pada S. An nisa 25 diperbolehkan untuk menikahi budak-budak
wanita? Bukankah itu pernikahan yang sebenarnya batil karena
tidak memenuhi persysratan, namun dibolehkan? Saya justeru
melihatnya dengan pernikahan itu sendiri menjadikan kedua
insan itu seimbang. Lihat ayat 25 An Nisa di atas "Wallahu
a'lam niimanikum".
"'Athof ghayah"nya kan berarti bertujuan memenuhi
kebutuhan biologisnya. Artinya, laki-laki dapat memuaskan
kebutuhan bilogisnya dengan menikah, dan dapat pula memenuhi
kebutuhannya dengan berhubungan dengan budak wanitanya tanpa
nikah. Itu kan maksud anda? Lalu bagaimana anda
mempertanggung jawabkan hal ini setelah memahami konteks
Qur'an secara menyeluruh dan maqaasidus syari'ah, yang salah
satunya hifzunnasala (menjaga kemurnian keturunan)? Atas
dasar ini, sebagian ulama mempermasalahkan "tasarry"
tersebut.
M. Syamsi Ali: Nah, dengan demikian, jelas sekali bahwa
pemahaman Gus Dur terhadap ayat-ayat Al Qur'an sangat
parsial.
Abdul Ghofur Maemun: Apa ndak terbalik?
M. Syamsi Ali: Nampaknya sih nggak mas, hanya saja
kalau kita memandang hanya dengan sebelah mata (maaf bukan
berarti satu matanya buta), maksud saya mengambil Al qur'an
ini secara parsial, maka pemahamannya akan demikian.
M. Syamsi Ali: Keempat, dalam beberapa kasus memang
moral orang-orang Arab sangat bejat.
Adanya TKW di sekelilingnya terkadang dijadikan
pelampiasan dari ketertutupan tadi.
Abdul Ghofur Maemun: Benar, Mas. Wong Saudi memang
gak ilok tenan.
M. Syamsi Ali: Wah, ini bahasa apa lagi. Tapi
bukan bahasanya Fir'aun dari Mesir bukan?
M. Syamsi Ali: Demikian seterusnya, saya kira para
pembisik Gus Dur perlu membisiki segera Gus Dur tentang hal
ini. Supaya Gus Dur dapat tahu bagaimana ngomong yang benar.
Abdul Ghofur Maemun: Semakin banyak nampaknya
orang yang terlalu yakin akan kebenaran dirinya sendiri.
M. Syamsi Ali: Memang gitu mas, jangan kita
bersikap seperti yahudi menyikapi rahib-rahibnya. Ibaratnya
omongan Kyai-nya suci saja. Padahal, manusia ya namanya
manusia. Yang ma'shum hanya Rasulullah toh? Selama pendapat
itu masih dipertanggung jawabkan dengan mendasarkannya
kepada pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat Al Qur'an dan
Sunnah, tidak apa-apa kan kita berbeda.
Penutup
Mas AG:
Saya ingin menutup respon ini dengan hal-berikut:
Pertama, saya melihat terkadang kita tidak jujur
pada diri kita sendiri. Terkadang kita bersikukuh
menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an secara harfy, tanpa ingin
melihat kepada konteks Al Qur'an secara kaaffah dan syamil
dengan melihat pula kepada konteks ajaran yang diperjuangkan
Al Qur'an, hanya karena hal ini untuk menjustifikasi
pendapat "Kami". Sifat 'ashobyah seperti ini cukup lama
mematikan daya nalar dan intellectual capabilities yang kita
miliki.
Kedua, Islam sejak awal memiliki komitmen untuk
menghapuskan perbudakan. Saya kira, salah satu makna inti
dari "syahadah" kita adalah menghapuskan seluruh bentuk
perbudakan, khususnya perbudakan formal seperti yang pernah
terjadi itu. Jika ternyata Al Qur'an sendiri, bahkan anda
menyangka rasulullah SAW sendiri mempraktekkannya, maka di
mana anda bisa mempertemukan dua hal yang bertolak belakang
ini?
Ketiga, salah satu tujuan utama syariat kita
adalah "hifzun nasal" (menjaga kemurnian keturunan) sehingga
perzinahan diharamkan. Nah, jika menggauli budak dibenarkan
dan kemudian dibiarkan dinikahi oleh lelaki lain, seperti
anjuran Allah pada ayat 25 An Nisaa itu, maka dapatkah
maqshad syar'I ini dipertahankan?
Masih banyak hal yang perlu saya sampaikan, insya lain
kali. Semoga diskusi ini diredhai Allah, tentu dengan
I'tikad yang baik dari kita semua disertai kelapangan dada
tanpa diikat oleh kecenderungan-kecenderungan 'ashobiyah".
Sungguh saya bahagia, karena saya dilahirkan dari keluarga
NU beristerikan seorang dari kalangan Muhammadiyah.
Mengenyam pendidikan Muhammadiyah, namun berkprah di
beberapa mesjid NU. Karena bagi saya, kedua pergerakan ini
bertujuan bersama-sama untuk menegakkan kebenaran, laa
ghaer.
Wassalam, SA.
(Artikel Asli,
Tanggapan, Tanggapan Balik)
|