Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia
Subject: [mus-lim] Budak Wanita dalam Al Qur'an (tanggapan terhadap KBNU Mesir)
Date: Sun, 23 Apr 2000 21:42:43 EDT
From: MSali95949@aol.com
Reply-To: mus-lim@isnet.org
To: imsa@imsa.nu, mus-lim@isnet.org
Assalamualaikum,
Saya ucapkan terima kasih atas tanggapan anda
(KMNU/Komite Mahasiswa NU?) atas tulisan saya terdahulu
mengenai "betulkan budak dapat digauli tanpa nikah" sebagai
tanggapan terhadap komentar GD yang menyatakan bahwa TKW
banyak diperkosa karena konsep perbudakan dalam Islam klasik
yang masih dianut oleh orang-orang arab.
Pertama, saya sudah yakin bahwa betapapun benar
argumentasi yang akan saya sampaikan pasti akan disalahkan
oleh anda (KMNU) misalnya, karena tulisan saya menyanggah
penyataan seorang K.H. yang dijuluki "wali". Ibaratnya, saya
telah terlalu berani untuk bersinggungan dengan "wali" yang
terkadang ucapannya dianggap suci, sehingga jangan-jangan
saya mendapat laknat. Dan ternyata betul, tulisan saya
dengan penuh semangat ditanggapi dan bahkan mungkin dilaknat
anda.
Tanggapan anda pada intinya mencakup 3 hal:
Pertama, bahwa saya menulis tersebut karena
membenci Gus Dur.
Kedua, membela Gus Dur yang menyatakan bahwa
terjadinya pemerkosaan terjadap TKW di Saudi karena hukum
Islam klasik yang membenarkan hubungan seksual dengan budak
wanita tanpa nikah.
Ketiga, diskusi sekitar arti budak wanita dalam
Islam itu sendiri.
Dari ketiga masalah yang diungkapkan, saya menangkap
dengan jelas betapa semangat membela "wali" itu begitu
tinggi, kendati mungkin harus bertentangan dengan rasio dan
semangat kejujuran intelektual itu sendiri. Ketika menyadari
ini, saya mengingat kembali percakapan antara Rasulullah SAW
dan Adi bin Abi Hatim. Suatu ketika rasulullah SAW
menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasara menjadikan para
Rahib dan Nabinya sebagai sembahan-sembahan selain Allah.
Adi yang masuk Islam dari agama Nasrani, protes dan
mengatakan bahwa "Kami tidak pernah menyembah mereka wahai
rasulullah". Rasulullah kemudian bertanya: 'Tidakkah mereka
mengharamkan apa-apa yang dihalakan oleh Allah, lalu kamu
ikut mengharamkannya? Tidakkah mereka menghalalkan apa-apa
yang dihalalkan Allah, lalu kamu ikut menghalalkannya?".
Jawab Adi: "Betul wahai rasulullah". Sabda baginda Rasul:
"Itulah bentuk penyembahan mereka kepada selain Allah",
seraya membaca ayat 31 dari S At Taubah.
Saya menangkap demikian dari tanggapan anda, karena
tuduhan pertama terhadap saya adalah bahwa saya membenci Gus
Dur. Artinya, saya menulis dan menanggapi GD karena saya
benci kepadanya. Padahal, bukankah keinginan seorang Muslim
untuk mengeritik seorang Muslim yang lain, apalagi dengan
cara yang hikmah dan didukung oleh wawasan intelektual
(keilmuan) yang jelas adalah merupakan bentuk kasih sayang
kepada sesama Muslim? Tapi kenapa anda berkesimpulan bahwa
saya menulis ini karena sangat benci dengan GD? Jawabannya
karena anda nampaknya telah melihat GD sebagai "wali" yang
kata-katanya tidak mengandung kesalahan. Jika kesimpulan
saya ini benar (saya berharap semoga salah), maka anda telah
menyikapi GD sebagimana kaum yahudi menyikapi rahib-rahib
mereka. Wal'iyaadzu billah!
Kasus TKW
Dikatakannya bahwa pemerkosaan kepada TKW Indonesia di
Saudi disebabkan karena adanya sisa-sisa pemahaman
orang-orang saudi tentang hukum Islam klasik yang masih
membenarkan hubungan seksual dengan budak wanita. Hal ini
boleh saya katakan mendekati mustahil, karena selama 3 tahun
lebih saya tinggal di Saudi, persisnya di Jeddah, dengan
pekerjaan yang banyak berhubungan dengan para pekerja
(tau'iyah atau tugas da'wah dari kantor da'wah Jeddah), saya
mendapati penyebab-penyebab pemerkosaan karena hal-hal yang
saya sebutkan terdahulu. Orang-orang saudi, kalaupun
ternyata ada yang berfaham demikian, maka itu adalah bagian
dari penyelewengan pemahaman terhadap hukum Islam yang benar
mengenai hal ini (budak wanita), sebagimana GD salah
memahaminya. Sebab bagaimanapun juga, dan anda akan baca di
bawah ini, Islam tidak pernah dan tak akan pernah
membenarkan hubungan seksual dengan siapa saja, termasuk
dengan budak wanita, tanpa proses pernikahan.
Anda sebutkan penampungan yang demikian ...saya lupa
istilah Madura anda. Saya mengetahui banyak penampungan
(tempat di mana para TKW ditampung jika melarikan diri dari
majikan) karena saya seringkali mengunjukinya untuk
melakukan tau'iyah. Pada umumnya penampungan ini sifatnya
ilegal di kota Jeddah. Di tempat ini memang seringkali
terjadi penyelewengan seksual, tapi hal itu bukanlah
justifikasi untuk menyatakan bahwa hal itu adalah karena
konsep perbudakan. Saya justeru melihatnya, justeru tidak
ada hubungannya dengan masalah yang kita bicarakan.
Pemandangan yang dilihat di panmpungan itu sendiri merupakan
pembenaran terhadap kesimpulan saya, bahwa pemerkosaan
banyak terjadi karena salah satu penyebabnya adalah para tkw
sendiri yang getol atau gatal.
Konsep perbudakan dalam Qur'an
Cuku panjang uraian anda. Namun say belum bisa menarik
benang merah sebagai kesimpulan dari uraian yang cukup
berbelit-belit itu. Sayangnya pula, anda tidak menyampaiakn
pendapat anda yang jelas, apakah budak wanita dalam
pandangan Islam dapat digauli tanpa nikah, atau harus dengan
pernikahan yang sah. Karena, penamaan perbedaan penamaan
budak yang sudah dikawini (menurut saya milkul yamiin) dan
yang budak wanita lajang (amatun) menurut saya bukan titik
poin peemasalahan. Poin utama permasalahan adalah, bolehkah
budak digauli tanpa nikah???
Walaupun demikian, dengan berbagai contoh-contoh ayat
yang anda berikan, saya kali ini hanya akan merujuk kepada
satu ayat (satu saja, supaya terkonsentrasi dalam
memahaminya dan tidak berbelit-belit) dalam kaitannya dengan
hukum hubungan seksual antara seorang majikan dan budak
wanita tersebut. Lihat s. An Nisa: 24-25 misalnya. Berikut
terjemahan lengkap dan catatan kaki Depag (sengaja saya
pakai terjemahan Depag supaya jangan disangka saya
membuat-buat terjemahan):
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai
ketetapanNya atas kamu. Dan dihalakan bagi kamu selain yang
demikian. (Yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah
kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban:
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"
"Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang
tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita-wanita
merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki, Allah mengetahui
keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain,
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan
berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
pula wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya; dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada kemasyarakatan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antaramu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang" (4: 24-25).
Dari berpedoman kepada satu ayat ini saja, keraguan anda
terhadap kesimpulan saya yang menyatakan bahwa adalah
dilarang seorang Muslim untuk menggauli budaknya tanpa
proses pernikahan telah terjawab sudah.
Pertama, Konteks pembicaraan di ayat 24 adalah
sambungan dari pembicaraan di ayat 23 sebelumnya, yaitu
tentang wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi
(muhrim). Lalu pada ayat 24 disebutkan satu lagi macam
wanita yang dilarang, yaitu mereka yang masih dalam status
bersuami. Kemudian dilanjutkan oleh Allah, "kecuali
budak-budak yang kamu miliki". Karena konteksnya adalah
mengenai siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, maka
tafsiran ayat "illa maa malakat aemaanukum" di sini adalah
"Kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki dapat dinikahi,
walaupun masih dalam status punya suami. Dalam banyak
penafsiran dijelaskan bahwa budak wanita yang bersuami namun
dapat dinikahi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah
budak-budak yang ikut menjadi tahanan perang dan atau dijual
oleh tuannya. Jika seorang budak wanita ikut dalam tawanan
dan suaminya tidak tertahan, maka oleh sebagian ulama
dianggap telah bercerai dengan sendirinya. Demikian pula,
jika seorang budak wanita dijual oleh tuannya, sementara
suaminya tidak ikut terjual bersamanya, maka secara otomatis
pula terceraikan dari suami tersebut. Dengan demikian, jika
seorang Muslim ingin menikahi budak wanita seperti ini,
jangan ragu (boleh) karena tidak lagi berstatus bersuami.
Dengan demikian, ayat 24 yang sering disalah fahami
sebagai ayat pembenaran untuk menggauli budak tanpa nikah,
justeru sesungguhnya sebaliknya. Kejelasan ini semakin
nampak jika baca secara teliti ayat 25 tersebut.
Ayat 25 dimulai dengan "dan jika kamu tidak memiliki
kemampuan untuk menikahi wanita-wanita merdeka". Artinya,
konteksnya adalah menikahi. Kalimat ini lalu dilanjutkan:
"Fa mimmaa malakat aemaanukum min fatayaatikumul mu'minaat".
Oleh departemen agama secara lugas dan transparan
diterjemahkan: "ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki". Potongan ayat ini saja sudah
jelas, bahwa jika tak mampu menikahi wanita merdeka
(biasanya karena maharnya terlalu mahal) maka demi menjaga
kehormatan lelaki tersebut, tidaklah apa-apa menikahi
(mengawini) wanita mu'min dari kalangan budak. Jadi bukan
karena tidak mampu menikahi wanita merdeka, lalu boleh
menggauli budak tanpa nikah.
Akan semakin jelas, jika anda baca lanjutan ayat
tersebut: "Fankihuuhunna biidzni ahlihina, waatuuhunna
ujuurahunna bil ma'ruuf" (Maka nikahilah mereka, -yaitu
budak-budak wanita tersebut- dengan izin walinya dan
berikanlah maharnya dengan cara yang baik).
Dengan potongan ayat ini, apakah tidak nampak sinarnya
mentari kebenaran di depan mata anda, bahwa memang betul
Islam tidak pernah dan tak akan pernah menghalalkan hubungan
seksual seorang majikan dengan budak wanitanya tanpa nikah.
Dengan demikian, jika ada orang yang memahami bahwa hukum
Islam (apalagi dengan embel kata klasik) pernah menghalalkan
hubungan seksual dengan budak wanita tanpa nikah, adalah
keliru dan pertanda kekurang telitian dalam melihat
ayat-ayat al Qur'an.
Demikian tanggapan singkat saya, sengaja saya tidak
mengupas keseluruhan ayat-ayat yang anda kutip karena
disamping ayat ini cukup representatif untuk menjustify
pendapat saya, juga saya tidak mau bertele-tele tanpa
kesimpulan yang jelas. Pertanyaan saya yang terakhir, apa
sebenarnya sikap anda, betulkah Islam membenarkan hubungan
seksual dengan budak tanpa nikah, atau Islam membolehkan
hubungan tersebut hanya dengan proses pernikahan?
Ada beberapa catatan ringkas dari tanggapan anda, seolah
hanya anda yang pernah belajar bahasa Arab. Disamping itu,
references yang anda ungkapkan juga mengambil yang terlalu
asing. Padahal jika saja anda merujuk kepada tafsir Ibnu
Katsir mengenai hal ini, khususnya penafsiran ayat di atas,
kekeliruan anda bersama Gus Dur akan terjawab.
Saya ingin ulangi lagi, bahwa diwajibkanya seorang
majikan untuk menikahi budak wanitanya jika ingin
berhubungan adalah merupakan salah satu upaya penghapusan
perbudakan dalam Islam. Tentu Islam memiliki banyak cara,
namun dengan mewajibkan kepada lelaki menikahi budak wanita
jika ingin melakukan hubungan adalah salah satu dari
upaya-upaya tersebut. Sebab jika seorang budak wanita telah
dinikahi oleh pria merdeka, maka secara otomatis dia menjadi
wanita yang merdeka pula.
Sekali lagi, saya ingin tegaskan bahwa penyelewengan
seksual yang terjadi kepada atau di kalangan TKW kita bukan
karena hukum Islam yang pernah membenarkan hubungan seksual
dengan para budak wanita, terlepas benar tidaknya apakah
majikan TKW itu melihat pembantunya sebagai budak atau
tidak. Sebab sekalipun mereka melihat pembantunya sebagai
budak, toh Islam tidak membenarkan hubungan tersebut.
Terjadinya pemerkosaan atau penyelwengan seksual pada
umumnya disebabkan karena hal-hal yang saya sebutkan
terdahulu.
Wassalam,
M. Syamsi Ali
New York
(Artikel Asli,
Tanggapan, Tanggapan Balik)
|