Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman

 

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Bagian terakhir

 

Terima kasih atas kesabaran Anda semua, memberi kesempatan saya menyampaikan amanah kedua belah pihak yang berdialog. Mudah-mudahan dialog tanpa suasana permusuhan seperti ini semakin digalakkan di masa mendatang.

salam,
DWS


UAA: Sent: Tuesday, December 24, 2002 3:27 AM Subject: Kenapa saya ber-"paham" seperti ini?

Pak Nur yan baik,

Mohon maaf terlambat menjawab email anda. Bukan berniat "mengabaikan" posting anda, tetapi saya harus pulang kampung karena adik ipar saya nikah dan saya, sesuai dengan sabda Nabi, tentu ingin mendapat pahala dengan menghadiri walimah-nya.

Kali ini saya tidak bisa menulis panjang. Saya agak kelelahan karena harus mengurus persiapan legal menghadapi kasus yang diajukan oleh teman-teman FUUI ke Mabes Polri. Sebagai selingan: saya agak menyayangkan bahwa kasus pertukaran pikiran semacam ini harus di bawa ke mahkamah pengadilan; diskusi menjadi tertutup, dan kesempatan untuk adu pendapat menjadi agak sedikit terganggu.

Saya menyetujui usul Pak Nur: mengubah bahasa dan kalimat yang saya pakai, agar tidak terlalu terkesan "radikal". Santri tamatan Gontor akan mengenal semboyan ini, "ath thariqah ahammu minal maddah." Metode lebih penting dari materi.

Saya ingin menegaskan kembali posisi awal: bahwa dalam lapangan mu'amalah, saya menganut prinsip bahwa segala sesuatu harus ditentukan melalui "kesepakatan sosial" sebagai hasil diskusi publik, dengan berdasarkan pada nilai-nilai fundamental dalam Islam. Dalam lapangan ibadah, saya memakai kaidah yang sangat jelas: semua mengikuti apa kata agama. Hal-hal yang tercakup dalam lapangan "ibadah mahdlah" adalah: salat, puasa, dan haji. Meskipun tidak termasuk dalam lingkup ibadah mahdlah, tetapi dalam hal-hal yang sering dikategorikan sebagai "ahwal syakhsyiyyah", saya juga mengikuti apa yang telah diatur oleh agama, misalnya: soal pernikahan dan math'umat/maysrubat (makanan dan minuman). Saya tidak mungkin menghalalkan zina, karena sesuai dengan "skema pemikiran" yang saya pakai, itu adalah termasuk wilayah di mana kita tidak perlu mengutak-utik terlalu jauh.

Tetapi, dengan mengatakan bahwa lapangan ibadat dan ahwal syakhsyiyyah sudah diatur dengan terperinci oleh Allah, dan kita tidak boleh mengutak-utiknya, maja bukan berarti bahwa dalam aspek-aspek tertentu ada bidang-bidang dalam dua lapangan tersebut yang merupakan masalah ijtihadiyyah. Meskipun kewajiban salat adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh agama, tetapi ada sejumlah hal dalam detail salat yang merupakan masalah ijtihadiyyah; artinya hasil akal manusia (contoh yang langsung saya ingat di sini adalah soal yang dulu [lucu sekali lho!] pernah diperselisihkan antara orang-kalimah syahadat, sesuai dengan mazhab Hambali dan Maliki; orang NU hanya mengangkat telunjuknya dan kemudian diam, sesuai dengan mazhab Syafi'i]).

Meskipun pernikahan merupakan hal yang prinsipil bagi saya, tetapi ada sejumlah hal dalam masalah munakahat yang bagi saya bisa juga diperselisihkan sesuai dengan ijthad masing-masing. Misalnya: saya berpendapat bahwa kawin campur dalam dua bentuknya (laki Muslim<>wanita non-Muslimah atau sebaliknya) diperbolehkan dalam Islam. Karena kita tidak sedang berdiskusi mengenai masalah ini, maka saya tidak akan kemukakan alasan-alasan saya kenapa saya sampai pada kesimpulan ini. Yang jelas, Qur'an tidak pernah melarang secara eksplisit pernikahan antara laki-laki dari "ahlul kitab" dengan wanita Muslimah. Yang dilarang secara eksplisit adalah pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita "musyrikah" dan juga sebaliknya (wala tankihul musyrikati hatta yu'minna wa la amatun mu'minatun khairun min musyrikatin wa law a'jabatkum; wa la tunkihul musyrikina hatta yu'minu ...).

Dalam masalah hukum kewarisan dan zakat, saya menganut pandangan bahwa dalam dua bidang itu, semua ketentuan yang tercantum dalam Qur'an dan Sunnah bisa diubah sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya: formula 2:1 dalam kewarisan bisa saja diubah sesuai dengan pola hubungan laki-laki dan perempuan yang terus berkembang. Tidak berarti semua hukum dalam zakat dan kewarisan harus diubah semua, tetapi jika ada ijtihad baru yang mencoba menyesuaikan hukum dalam kedua bidang itu dengan tuntutan zaman, maka saya tidak menolaknya.

Dalam lapangan mu'amalah, sepenuhnya saya berpendapat bahwa aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam, entah dalam Qur'an dan Hadis, adalah semata-mata merupakan wujud dari suatu nilai fundamental Islam tertentu dalam konteks historis yang tertentu pula. Dalam pengelolalaan kehidupan negara, misalnya, seluruhnya adalah soal jtihadiyah. Tidak ada hukum Tuhan dalam pengertian diktum-diktum legal yang spesfik dalam lapangan kehidupan negara. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum. Bagaimana kita menerapkan prinsip-prinsip itu dalam konteks tertentu, maka sepenuhnya akal manusia yang mendapat tugas dari Allah untuk melakukannya. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa dalam lapangan pengelolaan kehidupan negara, kita tidak diwajibkan mengiktui Nabi secara harafiah. Sebab tak ada hadis yang bunyinya, "Dabbiru siyasatakum kama ra-aitumuni udabbiru siyasati," aturlah politik kalian sebagaimana kalian lihat aku mengatur politikku. Yang ada adalah hadis, "Shallu kama ra-aitumuni ushalli," salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat. Kenapa statemen ini hanya disabdakan Nabi dalam hal salat, dan tidak dalam lapangan politik? Jawabannya jelas: karena salat adalah masalah ubudiyyah yang statis, tidak berkembang, dan aturannya final dan terinci. Soal politik adalah soal dinamis, dan karena dinamis maka tidak ada "Hukum Tuhan" di sana, yang ada adalah prinsip-prinsip umum, maqashidusy syari'ah. Dalam lapangan ekonomi, hal yang sama juga berlaku. Masalah-masalah medis dan kedokteran juga sama. Apakah ada Hukum Tuhan yang spesifik dalam soal euthanasia, misalnya? Sudah pasti tidak ada.

Soal yang menjadi perdebatan sengit di abada dua puluh adalah soal konsepsi negara dalam Islam: apakah negara dan agama itu menyatu; apakah Islam itu "religie, godienst, religion" dalam konsepsi Barat, atau Islam itu adalah agama dan negara sekaligus, din wa dawlah( biasanya Montgomerry Watt dikutip di sini, bahwa "Islam bukan sekedar agama biasa, tetapi adalah keseluruhan suatu peradaban.")? Pertanyaan-pertanyaan itu, bagi saya, tidak bisa dijawab dengan pasti dan "qath'iy", seolah-olah ada Hukum Tuhan yang pasti di sana. Jawaban atas masalah itu paling jauh adalah bersifat ijtihadiyah. Jadi, saya berani mengatakan, bahwa dalam lapangan kehidupan kenegaraan dan bentuk negara, tidak ada Hukum Tuhan. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum. Tidak ada ayat atau hadis yang mendukung secara spesifik demokrasi, tetapi juga tidak ada ayat dan hadis yang mendukung konsepsi DII/TII ala Kartosuwiryo. Kalau ada ayat dan hadis dikutip dalam pendapat Ali Abdur Raziq (yang mendukung sistem pemisahan agama dan negara) dan Kartosuwiryo (yang berjuang mendirikan Negara Islam), maka ayat-ayat dan hadis-hadis itu telah ditafsirkan mereka sendiri.

Dalam lapapangan kenegaraan (yang merupakan masalah mu'amalah), kita tidak diwajibkan mengikuti contoh Nabi secara harafiah. Sebab, kalau kita diwajibkan untuk mengikutinya secara harafiah (berdasarkan tesis bahwa yang disebut hadis adalah "ucapan, tindakan dan penetapan Nabi"), maka niscaya kita akan mengatakan bahwa sistem kenegaraan yang sesuai dengan sunnah Nabi adalah sistem di mana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan dipegang oleh satu orang, sebab begitulah yang terjadi pada Nabi. Trias politika akan ditolak. Kalau itu kita ikuti, maka kita akan menegakkan kediktatoran. Kalaupun Nabi mempraktekkan sistem pengelolaan negara yang menggabungkan antara ketiga kekuasaan tersebut, memang pad saat itu belum berkembang gagasan tentang pemisahan kekuasaan seperti dalam Trias Politika. Jadi, kita tidak diwajibkan untuk mengikuti Nabi dalam lapangan pengelolaan negara secara harafiah, karena apa yang dilakukan Nabi dalam bidang itu sepenuhnya merupakan cerminan budaya politik zaman itu. Tetapi, ini bukan berarti bahwa Nabi tidak melakukan pembaharuan apa-apa dalam lapangan politik. Usaha Nabi untuk mendirikan negara Madinah yang tidak berdasarkan pada sentimen tribal, tetapi berdasarkan "akidah", ideologi, adalah suatu terobosan yang luar biasa.

Inilah skema besar pemahaman saya mengenai Islam; saya dengan gamblang mencoba mempertanggungjawabkan pernyataan saya yang bikin "marah" banyak orang, bahwa tak ada hukum Tuhan; tentang kedudukan Nabi; tentang kedudukan "kesepakata sosial" dan dalam bidang apa ia berlaku.

Inti pemahaman saya mengenai Islam sebetulnya bisa diringkaskan dalam rumusan berikut ini: "Dalam hal mu'amalah, interaksi sosial, aspek-aspek kehidupan publik, semua hal adalah "mubah". Bagaimana mengaturnya, adalah melalui dua instrumen:

  1. Nilai-nilai fundamental Islam (maqashidusy syari'ah, al kulliyatul khams).
  2. Kesepakatan publik berdasarkan diskusi dan deliberasi publik yang dilandasi oleh nilai-nilai tersebut.


Catatan tentang sumber pemikiran dan beberapa komentar: Dalam mengembangkan gagasan ini, saya diinspirasikan oleh gagasan sejumlah ulama klasik dan modern, juga para filosof dan pemikir politik di abad 20 ini:

  1. Teori maslahat seperti dikembangkan oleh Imam Syathibi dalam "Al Muwafaqat" dan Imam Ath Thufi.
  2. Gagasan Seyyed Waliyyul Lah ad Dihlawi dalam "Hujjatul Lahil Balighah".
  3. Gagasan Ibnu Rushd tentang penyelarasan antara akal dan wahyu dalam "Fashlul Maqal fi ma Bainal Hikmati wasy Syari'ati minal Ittishal".
  4. Teori teks yang dikembangkan oleh Dr. Nasr Hamid Abu Zaid dalam"Mafhumun Nash". 5. Pandangan Muhammad Iqbal tentang akal dan wahyu seperti tercantum dalam "The Reconstruction of Religious Thought".
  5. Teori Dr. Fazlur Rahman mengenai konsep "etiko-religius" Qur'an dan metode tafsir ganda.
  6. Gagasan filosof besar Jerman abad 20 yang masih hidup hingga kini, Jurgen Habermas, tentang konsep "deliberasi publik", ruang publik, dan radikalisasi atas teori demokrasi.
  7. Gagasan-gagasan hermeneutik yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur.
  8. Gagasan-gagasan para pemikir Indonesia sendiri: Ahmad Wahib, Cak Nur, Gus Dur, Munawwir Syadzali, dll.
  9. Gagasan Jamal Al Banna dalam "Tajdidul Fiqh".
  10. Gagasan teman saya, Masdar F. Mas'udi (sekarang Wakil Katib Syuriyah PBNU) mengenai "agama keadilan".

Saya mengembangkan kritik-kritik saya sendiri (sedang saya tuliskan) atas teori hukum Islam klasik dalam bidang kajian yang disebut Ushul Fiqh. Untuk sebagian, saya berhutang budi kepada karya-karya Dr. Hassan Hanafi dari Mesir.

Sudah tentu, saya membaca penulis-penulis Arab dan non-Arab yang biasanya menjadi sandaran teman-teman dari garis "Islam radikal", seperti Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abul A'la Al Maududi, Sa'id Hawwa, Fathi Yakan, dll; atau pemikir Muslim moderat seperti: Dr. Yusuf Qardlawi, Syekh Muhammad Al Ghazali, Sa'id Ramadlan Al Buthi, Dr. Wahbah Az Zuhaili, dll. Atau intelektual Arab moderat yang berdiri di tengah antara kaum "sekularis" dan "kaum Azhari", seperti Dr. Fahmi Huwaidi, Dr. Salim Al 'Awwa, dll.

Saya bisa terima penulis moderat, tetapi saya susah menerima gagasan-gagasan penulis Islam radikal seperti Sayyid Qutb dan lain-lainnya. Saya punya segebok kritik mendasar atas apa yang saya sebut sebagai semacam "Qutbisme" atau pemikiran a la Sayyid Qutb. Teman-teman yang mendukung Syari'at Islam di Indonesia bisa dipetakan ke dalam 3 golongan: golongan Qutbis (pengikut pemikiran Sayyid Qutb; termasuk Taqiyyuddin An Nabhani yang menjadi pendiri gerakan Hizbut Tahrir); golongan salafi yang diilhami oleh pemikiran orang-orang seperti Syekh Nashruddin Al Albani dan lain-lain; golongan moderat yang diilhami oleh gagasan-gagasan Dr. Yusuf Qardlawi. Terhadap ketiganya, saya mempunyai keberatan yang mendasar, meskipun gagasan-gagasan Yusuf Qardlawi, untuk sebagian, dapat saya terima (dalam bukunya "Min Fiqhid Daulah fil Islam").


Rasanya saya sudah terlalu panjang, padahal niatnya hanya menulis pendek.

Mohon maaf atas kekurangtepatan pemilihan kata-kata. Wal Lahu a'lam bish shawab...

salam,
ulil

(sebelum, sesudah)

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team