|
http://www.islamlib.com/DISKUSI/080203ulilparamadina.html
Sirrul Qur'ani wa lubabuhul Ashfa,
wa maqshaduhul aqsha da'watul ibadi ilal
Jabbaril A'la. -- Imam Al Ghazali, Jawahirul Qur'an
Wherever bibliolatry has prevailed, bigotry and
cruelty have accompanied it. --T.H. Huxley, Science
and Hebrew Tradition
I. Inter-Tekstualitas Qur'an dan wahyu yang
hidup
Salah satu masalah yang selalu menghantui umat Islam
sepanjang sejarahnya adalah: bagaimana kita bisa hidup
sesuai dengan tuntutan teks agama di satu pihak, tetapi di
pihak lain kita juga bisa menempatkan diri secara kongruen
dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan. Bagaimana, di
satu pihak, kita bisa terus menyesuaikan diri dengan
perubahan, tetapi, di pihak lain, tetap menjadi Muslim yang
baik? Dirumuskan dengan kalimat lain yang agak sedikit
"keren", bagaimana menjadi otentik, sekaligus menjadi
modern? Bagaimana berubah, tetapi tetap berpegang pada
asas-asas pokok yang ditetapkan oleh agama? Bagaimana
menjada keseimbangan antara "ashalah" dan "hadatsah", dalam
kalimat yang populer di kalangan intelekual Arab
mutakhir?
Seorang penulis Mesir, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, pernah
mengutarakan sebuah statemen yang penting untuk kita
pertimbangkan di sini, yaitu bahwa "wa laisa min qabilit
tabsith an nashifal hadlaratl arabiyyatal Islamiyyah
bi annaha hadlaratun nash'"[2]. Bukan
buat-buatan kalau kita katakan bahwa peradaban Islam dan
Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di
sekiat "teks". Kedudukan teks begitu sentralnya, sehingga
teks menjadi semacam "paradigma" atau cetakan yang
mengkerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dalam
seluruh bentangan sejarahnya. Sudah tentu, pernyataan Prof.
Abu Zeid ini agak sedikit berlebihan, tetapi, seperti akan
saya tunjukkan nanti, bahwa teks memang menempati kedudukan
yang penting dalam seluruh kehidupan umat Islam. Saya
katakan bahwa pernyataan Prof. Nasr sebagai berlebihan,
karena sesungguhnya yang kita saksikan dalam praktek nyata
adalah interaksi antara teks agama dengan
kenyataan-kenyataan sosial yang terus berubah. Teks dan
konteks, dalam praktek kehidupan riil, selalu saling
mengandaikan, begitu rupa sehingga kadang-kadang konteks
bisa membatalkan ketentuan dalam teks itu sendiri. Kedudukan
konteks sebagai sesuatu yang penting telah di-endorse oleh
kaidah hukum fiqh sendiri: al aadah muhakkamah; adat
kebiasaan masyarakat bisa menjadi sumber hukum. Dalam
kenyataannya, teks kemudian juga ditafsirkan secara lentur
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang begitu dinamis.
Meskipun kedudukan konteks sebagai sesuatu yang menjadi
syarat penting dalam memahami teks telah diakui oleh tradisi
penafsiran kita, tetapi pada ujungnya tetaplah harus kita
akui bahwa teks menempati supremasi yang begitu tinggi.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh Prof.
Nasr, bahwa peradaban Islam (dan pada instansi peratama tak
bisa lain adalah peradaban Arab) adalah peradaban teks.
Saya bahkan lebih jauh lagi ingin menarik pengamatan
Prof. Nasr ini dengan mengatakan bahwa peradaban Islam
adalah peradaban yang landasan pokoknya adalah "kata" atau
"lafaz", bukan sekedar teks. Secara ringkas bisa dikatakan
bahwa supremasi teks atau "lafaz" adalah kaidah dasar dalam
ajaran Islam. Kenapa teks menempati supremasi yang begitu
tinggi dalam agama kita, jelas ini berkaitan dengan suatu
"wawasan teologis" yang tidak remeh dan untuk membongkarnya
diperlukan keberanian yang besar; suatu wawasan teologis
yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung kepada
manusia via Nabi; bahwa Sabda Tuhan adalah superior terhadap
sabda manusia; bahwa Sabda Tuhan, sejauh tidak ada
alasan-alasan yang kuat dan kokoh, harus dimengerti dalam
pengertiannya yang harafiah. Wawasan teologis yang melandasi
pandangan "skripturalisme" ini juga tegak atas suatu asumsi
yang agak lucu: semakin harafiah kita memahami Sabda Tuhan,
semakin dekat kita kepada kehendak-Nya; semakian kita asyik
dan sembrono dalam "ta'wil" atau penafsiran non-literal,
maka semakin jauh kita dari kehendak-Nya yang benar. Teks
adalah semacam aksis atau "poros" tempat seluruh tindakan
orang beriman berkisar. Semakin dekat kepada kepada titik
pusat poros itu, maka makin besar kemungkinannya kita untuk
mendekati esensi agama; makin jauh kita dari poros itu,
makin jauhlah kita dari esensi agama. Kedekatan dan
kejauhan, dalam hal ini, semata-mata diukur melalui "lafaz"
atau teks. Wawasan teologis yang bersifat "ultra-teosentris"
semacam inilah yang menerangkan kenapa teks begitu
ditempatkan dalam kedudukan yang sentral, sementara
pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan
dalam kedudukan yang inferior, rendah, sekunder, atau bahkan
tak berarti sama sekali.
Kalau kita hendak melakukan "sesuatu" yang kita harapkan
berguna bagi penyegaran pemikiran Islam, maka
pertama-pertama yang harus kita hadapi adalah jelas sekali:
bagaimana kita menempatkan diri di hadapan teks ini? Kalau
kita sadar bahwa Qur'an dan Sunnah tidak lain adalah juga
sekumpulan teks, maka pertanyaannya menjadi jelas dan
gamblang: mau kita apakan dua Teks Agung ini? Bagaimana
sikap yang tepat terhadap keduanya? Pertanyaan yang saya
lontarkan di awal tulisan ini menyangkut tuntutan untuk
berdiri seimbang antara "taat ajaran" dengan "berubah sesuai
dengan perkembangan", antara menjadi otentik dan modern
sekaligus, dengan demikian juga berkaitan dengan pertanyaan
lain: apakah demi mengikuti perkembangan yang terus berubah,
kita boleh meninggalkan makna lahiriah teks atau tidak.
Sejauh mana teks agama bisa tetap dipertahankan dalam
pengertiannya yang lahiriah? Pada batas mana kita bisa
mengatakan "selamat tinggal" kepada makna lahiriah teks itu?
Di manakah persisnya kita dengan hati yang tenang bisa
mengatakan bahwa makna literal dari Teks Agung (Qur'an dan
Sunnah) bisa kita tinggalkan, digantikan makna lain yang
non-literal, yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia?
Pertanyaan lain yang segera mengemuka adalah: jika
wawasan teologi yang "ultra-teosentris" telah
bertanggungjawab sepenuhnya terhadap supremasi teks yang
begitu hebat, apakah kita bisa merumuskan wawasan teologi
lain yang lebih berpusat pada manusia? Agak aneh, bahwa
konsepsi Islam yang begitu cerah, optimistis, dan maju
tentang manusia (manusia diperlakukan sebagai khalifah,
misalnya, seperti dalam QS 2:30, dan QS 17:70 yang berbicara
tentang konsep "takrim" atau pemuliaan manusia) ternyat
tidak tercermin dalam cara sebagian umat Islam memandang
kedudukan manusia dalam menafsir teks; yakni bahwa "agensi"
manusia untuk menafsir teks kurang begitu diperhitungkan;
atau kalau diperhitungkan, maka agensi itu tetap berada di
bawah kontrol teks. Itulah sebabnya, dalam maksim hukum
Islam klasik dikatakan bahwa "al ibrah bi'umuil lafz,
la bikhususis sabab," yang menjadi pegangan pokok adalah
universalitas teks, bukan partikularitas konteks. Kaidah
ini, secara langsung atau tidak, menempatkan partikularitas
pengalaman riil kehidupan manusia sebagai sesuatu yang
berada di bawah supremasi teks Qur'an atau Sunnah. Konsepsi
semacam ini, secara tidak langsung, berlawanan dengan
prinsip dasar dalam Qur'an di mana manusia diletakkan pada
posisi yang begitu tinggi. Tadi saya sudah katakan, bahwa
Qur'an mempunyai konsepsi yang cerah dan optimistis mengenai
manusia (konsep takrim). Dalam pemahaman saya, manusia di
sini tentu saja bukan suatu "wujud abstrak" yang
diidealisasikan, tetapi adalah manusia yang riil dengan
seluruh pengalaman kongkrit yang dimilikinya. Pemuliaan atas
manusia juga berari mengakui kompleksitas pengalamannya yang
tidak bisa begitu saja ditundukkan kepada teks yang dianggap
sebagai "universal'. Wawasan teologi yang "ultra-teosentris"
dan kemudian berujung pada supremasi teks, dengan demikian
mengakibatkan suatu efek alienasi atau pengasingan, yaitu
manusia diasingkan dari pengalamannya sendiri, dan
diperintahkan begitu saja untuk tunduk kepada kesakralan
teks yang dianggap mengatasi dan "mengabstraksikan" seluruh
pengalaman kongkrit manusia.
Acapkali kita dengar bahwa suatu ketentuan hukum tertentu
dalam Islam (misalnya hukum qishash atau waris, contoh yang
paling banyak dikutip dalam setiap perdebatan mengenai pokok
soal ini) dianggap sebagai sesuatu yang final dan sudah
demikian adanya, semata-mata berdasarkan suatu paham
sederhana bahwa itu adalah sabda Allah atau perintah Allah.
Sebuah ayat dalam Qur'an (33:36) seringkali dikutip sebagai
landasan utama: jika Allah dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu,
maka tidaklah boleh bagi orang beriman, laki atau perempuan,
untuk menolak keputusan itu; tak ada pilihan bagi mereka
kecuali mena'atinya. Apakah benar ayat ini menunjuk kepada
makna yang sering dipahami oleh sebagian umat Islam saat
ini, yaitu ketundukan kepada teks tanpa reserve, tanpa
memperhitungkan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia sendiri? Dengan kata lain, apa benar
bahwa ayat tersebut merupakan argumen kokoh untuk mendukung
supremasi teks yang asasnya adalah: makin tekstual pemahaman
anda, maka anda akan semakin dekat kepada makna teks itu,
dan dengan demikian makin taat anda kepada keputusan Allah
dan Rasul-Nya, dan juga sebaliknya? Saya meragukan bahwa
ayat itu menghendaki pengertian yang semacam itu.
Berdasarkan konsep "takrim" atau pemuliaan yang bahkan
dikenalkan oleh Qur'an sendiri, manusia dengan seluruh
pengalamannya merupakan dasar yang penting dalam ketundukan
kita kepada Allah.
Makna dasar Islam adalah "ketundukan". Apakah ketundukan
kepada Allah harus berarti menundukkan pengalaman sejarah
manusia yang kongkrit kepada kehendak Allah begitu saja? Ini
pertanyaan penting yang harus diungkap terus-menerus, agar
kita tidak terjebak dalam pemaknaan yang sempit atas
sejumlah ayat dalam Quran seperti ayat 36 dalam surah Al
Ahzab yang saya kutipkan di atas itu. Sebab, jika ketundukan
dimaknai dalam kerangka wawasan teologi yang
"ultra-teosentris", maka ketundukan di situ berarti
pengabaian pengalaman kehidupan manusia yang riil demi
memelihara kemuliaan teks Qur'an, karena pengalaman itu
dianggap hanyalah sesuatu yang sifatnya relatif, sesuatu
yang inferior. Saya lebih cenderung memandang bahwa
ketundukan di situ adalah ketundukan yang tetap dalam
kerangka pemuliaan kehidupan manusia, sesuai dengan konsep
takrim yang dikenalkan oleh Qur'an sendiri. Ketaatan kepada
hukum-hukum Allah tetaplah tidak bisa dimutlakkan begitu
rupa sehingga mengorbankan pengalaman kehidupan manusia itu
sendiri. Cara yang tepat untuk memandang Islam adalah dengan
melihat dua dimensi sekaligus: dimensi "islam/istislam"
sebagai ketundukan, dan dimensi "takrim" sebagai pemuliaan
martabat manusia. Dalam retorika populer umat Islam, dimensi
"ketundukan" dan dimensi "kehambaan" (ubudiyyah) lebih
banyak ditekankan ketimbang dimensi pemuliaan manusia dan
pengalamannya. Karena hukum dan kehendak Allah tidak bisa
dipahami kecuali melalui meminjam bahasa ushul fiqh
klasik"khithab" atau ujaran-Nya yang disampaikan via
Nabi, maka makna Islam yang berarti ketundukan itu
dimerosotkan nilainya menjadi sekedar tunduk kepada
teks-teks yang ada dalam Qur'an, tentu ketundukan dalam
pengertian yang harafiah. Islam, dengan demikian, menjadi
aneh maknanya: yaitu tunduk dan berserah diri kepada teks.
Islam merosot nilainya menjadi "penyembahan kepada teks",
atau, dalam bahasa Huxley yang saya kutip dalam pembukaan
tulisan ini, "bibliolatry".
Suka atau tak suka, semua umat beragama yang mendasarkan
diri pada Holy Scripture, atau Kitab Suci yang tertulis,
sangat rentan terhadap kecenderungan semacam ini:
menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu "supreme",
begitu tinggi, sehingga mengalahkan kenyataan hidup manusia
yang terus berubah. Kalau mau menggunakan istilah yang agak
sedikit seram, "rejim teks" akan selalu menjadi
bayang-bayang yang terus menghantui masyarakat Kitab Suci,
atau dalam bahasa Qur'an"ahlul kitab". Fenomena
sosial yang kita lihat akhir-akhir ini, yaitu
fundamentalisme, sebetulnya merupakan wujud modern dari
kecenderungan yang sudah berurat berakar lama dalam
agama-agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu kecenderungan untuk
meninggikan teks di atas pengalaman kongkrit manusia. Dasar
pokok dalam fundamentalisme agama (termasuk di dalamnya
adalah fundamentalisme Islam) adalah kehendak untuk
mengukuhkan teks. Teks selalu memanggil-manggil umat beriman
untuk kembali ke pangkuannya, karena di sanalah kehendak
Tuhan akan mereka temukan. Itulah sebabnya panggilan untuk
kembali kepada teks (dalam yargon yang selama ini kita
kenal: ruju' ilal kitab was sunnah, kembali kepada Kitab
yang tertulis [yaitu Qur'an] dan tradisi Nabi
[Sunnah]) selalu menyimpan daya tarik yang hebat
bagi umat Islam. Amat mengherankan bahwa teks mempunyai
"gravitasi" yang begitu hebat di kalangan umat.
Sudah tentu gravitasi teks ini bukan semata-mata lahir
karena konsepsi tentang teks yang berlandaskan wawasan
teologi yang "ultra-teosentris". Ada sebab-sebab yang lebih
bersifat sosial politik yang melatari itu semua. Mengutip
kembali Prof. Nasr, dalam sejarah Islam, supremasi teks yang
begitu sentral sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari konteks
politik pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, proses
pemantapan mazhab-mazhab dalam Islam berlangsung sekitar
abad 3-4 Hijriyah. Inilah masa yang dalam sejarah tasyri'
Islam disebut sebagai periode taqnin, atau kodifikasi
mazhab. Pada periode itulah mulai muncul ancaman
disintegrasi "polity" atau kepolitikan umat. Dinasti
Abbasiyah di Baghdad mulai terancam karena munculnya
"duwailah" atau kerajaan-kerajaan kecil di wilayah pinggiran
imperium Islam. Perasaan "insecurity" mulai muncul. Pada
saat seperti itu, umat merasakan perlunya suatu rasa aman,
dan salah satu mekanisme pencarian rasa aman itu adalah
dengan cara menegakkan otoritas teks sebagai pedoman yang
dianggap absolut[3]. Warisan inilah yang terus kita
langgengkan hingga sekarang, yaitu warisan akan pentingnya
ketaatan pada teks karena kekhawatiran akan munculnya
disintegrasi umat yang disebabkan oleh kekacauan penafsiran.
Kata "fitnah" yang berarti kekekacauan sosial selalu
merupakan hantu yang membayangi sejarah sosial umat Islam.
Penegakan supremasi teks adalah semacam usaha untuk
mengkompensasi (amaliyyah ta'widhliyyah, istilah Prof.
Nasr) kekacauan itu dengan cara mengokohkan otoritas teks.
Dalam cara yang sama, Roxanne L. Euben, dalam "Enemy in the
Mirror", menjelaskan kemunculan fundamentalisme modern.
Dalam fundamentalisme modern, "discourse of authenticity"
begitu kuat dan menonjol. Sudah tentu, keotentikan di situ
diukur pertama-tama melalui ketaatan seseorang kepada bunyi
dan ketentuan teks dalam Kitab Suci. Wacana tentang keaslian
berdasarkan teks ini, seperti diulas oleh Euben, adalah
lahir karena perasaan kecemasan yang mendalam dalam umat
Islam berhadapan dengan hegemoni negara-negara Barat yang
dipandang melukai "harga diri" mereka; dalam usaha mengatasi
kecemasan itu, sesuatu yang bersifat pasti dan kokoh
diperlukan. Teks dikokohkan kembali untuk mengkompensasi
perasaan cemas ini[4]. Singkatnya, dalam situasi
krisis di mana umat Islam mencari pegangan yang kokoh untuk
tambatan agar tidak mengalami disintegrasi atau "fitnah",
seringkali seruan untuk kembali berpegang kokoh kepada teks
digembar-gemborkan secara reguler. Kita masih ingat
observasi yang dulu, di abad 19, pernah dikemukakan oleh
seorang intelektual Muslim masa kekhalifahan Usmani,
Muhammad Syakib Arsalan: kemajuan bangsa Barat terjadi
karena mereka meninggalkan Kitab Suci mereka; tetapi
kemajuan umat Islam hanya akan terjadi kalau mereka kembali
berpegang teguh kepada Qur'an. Kitab Suci atau teks, dalam
pengamatan Arsalan, dipandang sebagai sumber penyelesaian
masalah umat.
Tetapi, pertanyaan saya adalah: kenapa teks begitu mudah
menarik perhatian umat Islam, dan kenapa dalam situasi
krisis (identitas), teks lah yang selalu "dipanggil" ke
depan untuk menjadi pelindung dari ancaman kekacauan? Ini
semua tidak mungkin terjadi seandainya teks sendiri tidak
menempati kedudukan yang sentral dalam wawasan keagamaan
umat. Dalam istilah Prof. Nasr, Qur'an dan Sunnah sebagai
teks telah menjadi suatu "konsep aksial" (mafhum mihwary)
atau gagasan poros yang begitu pentingnya sehingga
bolak-balik umat selalu menoleh ke sana dari waktu ke waktu.
Jika tidak ada suatu upaya untuk membongkar wawasan teologis
yang menempatan teks dalam posisi yang begitu sentral
semacam itu, maka lingkaran setan pemahaman keagamaan yang
"alkitabiah" atau skripturalistik tidak akan bisa diatasi.
Bibliolatri akan terus membayang sebagai ancaman yang tidak
bisa dihindarkan. Bahaya dari bibliolatri adalah "hilangnya
dimensi manusia" ("ghayabul insan", istilah Hassan Hanafi)
dalam modus keberagamaan. Pengalaman manusia menjadi remeh
dan tidak diperhitungkan. Manusia menjadi tidak da harganya,
entah sebagai pribadi atau sebagai kolektivitas sosial yang
kaya akan pengalaman-pengalaman historis yang kongkrit.
Ada sekurang-kurangnya dua asumsi dasar dalam pemahaman
keislaman yang tekstualistik:
Pertama, Adanya praanggapan bahwa teks adalah
sesuatu yang dengan sendirinya tembus pandang, transparan.
Seorang pembaca teks bisa dengan langsung menembus dan
menggali isi dan kandungan dalam teks itu tanpa ada hambatan
apapun. Inilah yang menjelaskan kenapa retorika agama
populer selalu bertaburan dengan ayat dan hadis; kedua
sumber itu dikutip begitu saja, seolah-olah tidak ada
hambatan apapun; seolah ayat yang turun untuk sahabat Nabi
di abad 7 Masehi dengan begitu saja bisa dikutip untuk zaman
sekarang tanpa adanya kesulitan yang timbul karena adanya
"jarak epistemologis" yang berarti. Maksud saya: jarak yang
terbentang karena konteks tempat ayat itu turun jelas
berbeda dengan konteks kita sekarang ini. Asumsi ini tidak
bisa diterima karena satu alasan yang sebenarnya sangat
sederhana: setiap teks selalu mengandung lapisan-lapisan
penafsiran yang bertingkat-tingkat. Teks juga tidak bisa
bicara dengan sendirinya kepada masyarakat yang menerimanya.
Qur'an, misalnya, tidak bisa berbicara sendiri atas nama
Tuhan tanpa adanya "masyarakat tafsir" (ahlut ta'wil sebagai
imbangan ahlul kitab) yang membuat Kitab Suci itu berbicara
kepada mereka. "Innama yunthiquhur rijal," kata Sayyidina
Ali r.a,; sesungguhnya yang membuat mushaf atau Qur'an itu
berbunyi adalah orang-orang (tentu kata "rijal" yang artinya
laki-laki di sini sangatlah bias gender; seolah-olah yang
bisa "membunyikan" Qur'an hanyalah kaum laki-laki, dan
perempuan hanya bisa diam pasif mendengarkan "suara" kaum
laki-laki itu). Artinya, teks agama tidak bisa hadir sebagai
sesuatu yang bermakna bagi manusia tanpa adanya suatu
"perantara" atau "makelar". Saya mempunyai hipotesis:
semakin jauh jarak kita dari suatu teks, semakin banyak kita
membutuhkan "perantara" untuk menjembatani antara kita yang
hidup di abad 21 ini dengan teks Qur'an yang lahir dalam
konteks sosial abad 7. Artinya: semakin jauh jarak kita dari
suatu teks, maka media atau jembatan yang perlu kita bangun
jelas makin panjang. Sebabnya tentu sangatlah sederhana:
kita tidak pernah tahu persis, bagaimana sebetulnya gambaran
dari masyarakat zaman Nabi dahulu saat menerima wahyu itu,
bagaimana situasi dan konteksnya, bagaimana hubungn-hubungan
sosial yang ada zaman itu, dst. Kita hanya bisa mereka-reka
saja, merekonstruksi peristiwa kewahyuan yang ada zaman itu.
Pengetahuan tentang konteks pewahyuan yang lebih dari
sekedar ilmu asbabun nuzul dalam pengertian klasik merupakan
syarat mutlak untuk memahami suatu ayat.
Kedua, asumsi lain adalah: seolah-olah yang
disebut sengan Qur'an hanyalah ayat-ayat yang tertera dalam
mushaf saja. Asumsi ini juga tidak bisa kita terima.
Mengandaikan bahwa Qur'an adalah hanya sekedar teks yang
tercantum dalam mushaf, sama saja dengan mengandaikan bahwa
Qur'an hanya teks yang mati belaka. Lagi-lagi mengutip Prof.
Nasr, proses pewahyuan sejatinya adalah "'amaliyyat
ittishal", proses komunikasi yang mengandaikan adanya dua
pihak: pihak yang mengirimkan pesan (Allah) dan pihak yang
menerima pesan (Nabi Muhammad). Karena Nabi bukanlah
seseorang yang terisolasi dari konteks, tetapi orang yang
hidup dalam suatu komunitas "makna" yang sungguh-sungguh
kongkrit, maka sebetulnya wahyu yang kemudian bernama Qur'an
itu sebenarnya bukan sekedar merupakan deretan teks mati,
tetapi teks yang hidup dalam suatu konteks yang benar-benar
nyata. Kalau boleh, saya hendak mengajukan suatu konsep
tentang "wahyu yang hidup", yaitu wahyu yang terdiri dari
teks dan konteksnya sekaligus. Teks yang kita baca dalam
Qur'an sekarang ini adalah "sebagian" dari wahyu yang harus
dilengkapi dengan pemahaman atas konteks kongkret tempat
wahyu itu dahulu turun. Prof. Arkoun mempunyai suatu analisa
yang baik mengenai hal ini. Dia mengajukan suatu istilah
"tajribatul Madinah", atau pengalaman Madinah. Wahyu yang
diterima oleh Nabi adalah wahyu yang turun dalam suatu
konteks "pengalaman yang kongkret". Kita juga tidak bisa
memandang Nabi hanya sebagai individu belaka, sebab Nabi
adalah bagian dari suatu komunitas yang nyata. Ketika Qur'an
dibukukan dan diresmikan dalam "mushaf", dalam
lembaran-lembaran, maka yang tercatat sebagian besar
hanyalah teks Qur'an, tetapi konteks yang melekat pada wahyu
saat turun tidak ikut tercatat di dalamnya. Proses penulisan
Qur'an, dengan sendirinya, "mereduksikan" Qur'an hanya
sebagai sebuah teks mati belaka. Gerakan-gerakan Islam yang
memperjuangkan agar umat kembali kepada "teks", sama sekali
tidak menyadari bahwa mereka sedang mengajak umat merujuk
kepada suatu dokumen wahyu yang sudah kehilangan konteksnya.
Di sinilah letak sulitnya kita menerima pemahaman "naif"
atas ayat yang sering dikutip oleh kaum skripturalis (QS
4:59): fa in tanaza'tum fi syai'in farud duhu ilal Lahi wa
rasulih. Jika kalian berselisih mengenai suatu perkara, maka
kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan "kenaifan"
yang polos, ayat ini bisa menjebak kepada pemahaman
sederhana bahwa kembali kepada teks Qur'an adalah makna yang
dikehendaki oleh ayat itu. Bagi saya, pokok soalnya adalah:
bagaimana kita bisa kembali, kalau kita hanya mewarisi
dokumen Qur'an tertulis yang tidak menyertakan rekaman yang
detil mengenai konteksnya. Dan sesungguhnya, jika kita mau
jujur, tidak ada Kitab Suci di dunia ini yang dibukukan dan
menyertakan konteksnya sekaligus. Sebab jika demikian
halnya, Kitab Suci akan sangat tebal, dan membuat malas
umatnya untuk menyimak dan menghafal. Benarlah kata
Sayyidina Ali seperti yang telah dikutip di atas:
sesungguhnya Qur'an itu adalah teks mati (karena
dikodifikasi dengan tanpa menyertakan dokumen tentang
konteksnya), hanya orang-oranglah yang membuatnya hidup dan
bisa "berbicara" kepada manusia.
Dengan kata lain, diperlukan suatu "mediasi" atau
perantaraan, suatu penafsiran. Dan di sinilah letak
pentingnya "masyarakat penafsir". Yang jarang diingat oleh
mereka yang menganjurkan kembali kepada teks Kitab Suci
adalah bahwa bahkan Kitab Suci itu sendiri sejak menit
pertama hadir dalam sejarah masyarakat manusia, dia
sesungguhnya hadir di tengah-tengah masyarakat penafsir.
Sahabat Nabi, bahkan juga Nabi sendiri, bukanlah merupakan
penerima pasif wahyu, tetapi adalah masyarakat yang aktif
menafsirkan wahyu itu sendiri. Bahkan Az Zarkasyi, dalam Al
Burhan fi Ulumil Qur'an, mengutip suatu pendapat
(meskipun kurang dominan) di lingkungan penafsir Qur'an
klasik, bahwa Qur'an turun kepada Nabi hanyalah berupa
gumpalan gagasan-gagasan, sementara "wording" atau
pengkalimatan gagasan itu dalam konteks masyarakat Makkah
dan Madinah saat itu dilakukan oleh Nabi sendiri (sebagian
pendapat yang lain mengatakan: Jibril lah yang memberikan
"baju" atas gagasan-gagasan kewahyuan)[5]. Jika kita
ikuti pendapat ini, maka akan gamblang sekali bahwa bahkan
sejak menit pertama, wahyu adalah merupakan proses yang
sifatnya "partisipatif", suatu medan makna di mana di
dalamnya terlibat aktif para aktor-aktor historis yang hidup
dalam konteks yang kongkret, termasuk Nabi sendiri dan para
sahabatnya. Konon, menurut Fazlur Rahman, sahabat Umar boleh
disebut sebagai "co-author" atau orang yang ikut
"menciptakan" Qur'an, karena banyak sekali ayat-ayat Qur'an
yang turun membenarkan pendapat Umar, dan menyalahkan
keputusan Nabi[6]. Saya hendak melangkah lebih jauh
lagi dengan mengatakan bahwa sebenarnya seluruh sahabat dan
komunitas di Madinah saat itu adalah, secara tidak langsung,
merupakan "co-author" dari Qur'an. Dalam pengertian inilah
kita bisa memahami konsepsi Mohamed Arkoun tentang
"pengalaman Madinah" di atas: suatu pergulatan antara wahyu
dengan masyarakat yang menerimanya, di mana keduanya adalah
merupakan dua pihak yang saling mengandaikan. Pengalaman itu
juga bersifat partisipatif, di mana masyarakat sahabat
terlibat secara aktif dalam "an act of co-authorship", dalam
tindak "penciptaan" dan pemaknaan Qur'an.
Gagasan tentang "mediasi" atau adanya perantara antara
kita dengan Kitab Suci menolak anggapan bahwa Qur'an adalah
teks yang tembus pandang, teks yang bisa diakses tanpa
mengandaikan pengetahuan yang memadai tentang konteks ayat
itu turun. Gagasan itu juga menolak anggapan bahwa teks saja
adalah memadai. Teks Qur'an tidaklah sesuatu yang "self
sufficient", mencukupi dirinya sendiri. Kenapa Qur'an tidak
mencukupi dalam dirinya sendiri, karena teks Qur'an
sebetulnya adalah teks yang tali-temali, kait berkelindan
dengan teks-teks lain. Teks Qur'an adalah teks yang sifatnya
intertekstual. Teks-teks lain yang mengelilingi Qur'an,
antara lain, adalah sejarah sosial masyarakat Arab, tradisi
literer yang sangat kaya dan maju pada zaman itu, konteks
politik dan hubungan-hubungan kekuasaan pada masa turunnya
wahyu, tradisi-tradisi kepercayaan dan keagamaan yang hidup
pada saat tersebut, dan sebagainya.
Secara ringkas dapat dikatakan kembali, bahwa problem
pokok dalam pemahaman Islam skarang ini adalah adanya
pandangan yang dominan tentang teks sebagai sesuatu yang
"supreme", sehingga pemahaman atas teks itu kerapkali
mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkrit.
Akibatnya adalah pengasingan manusia dari pengalamannya
sendiri, karena supremasi teks yang berlebihan. Diperlukan
suatu pandangan yang lebih seimbang tentang teks, yaitu teks
atau wahyu yang hidup dalam konteks yang nyata, di mana
masyarakat terlibat aktif dalam pemaknaan teks itu.
Pengalaman manusia dan wahyu adalah dua hal yang saling
mengandaikan, dan tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain.
Dengan kata lain, wahyu dan pengalaman manusia (termasuk di
dalamnya adalah akal) adalah sama kedudukan dan status
"epistemologis"-nya dalam tindakan penafsiran. Kalau kita
mengikuti hirarki klasik mengenai sumber-sumber hukum dalam
Islam, kita akan mengenal empat sumber: Qur'an, Sunnah,
Ijma', Qiyas/Ijtihad. Kalau saya diperkenankan untuk melihat
ulang kembali sumber-sumber hukum itu dalam terang wawasan
penafsiran seperti yang telah dikemukakan di atas, maka saya
akan menyebutkan dua sumber saja: wahyu dan pengalaman
historis manusia. Sunnah, Ijma' dan Qiyas adalah cerminan
dari pengalaman masyarakat (Madinah) dalam pergulatannya
dengan wahyu. Kedua sumber itu, seperti telah ditegaskan
tadi, adalah setara kedudukannya. Sesuai dengan konsepsi
Qur'an tentang "takrim", maka sudah sewajarnya kita
mengangkat pengalaman historis masyarakat sebagai sumber
yang setara dengan wahyu itu sendiri. Yang saya maksudkan
dengan "pengalaman" di sini adalah perkembangan-perkembangan
situasi dalam kehidupan setiap masyarakat. Dengan kata lain:
wahyu bukan saya maknai sebagai "teks" yang sepenuhnya
terpisah dari kehidupan manusia yang terus berkembang,
sebagaimana pemahaman yang secara implisit sekarang ini
berlaku dalam masyarakat kita. Wahyu, dalam pandangan yang
selama ini kita jumpai, dipandang sebagai "eksternal"
terhadap kenyataan hidup manusia, dan dengan demikian juga
berada di "atas"-nya, mengatasinya, superior terhadap yang
terakhir itu. Jika kenyataan hidup berlawanan atau
menyimpang dari wahyu, maka jawabannya adalah sudah pasti:
sesuaikan kenyataan itu dengan wahyu. Sebab, mengutip
kata-kata da'i "sejuta umat" kita, Zainuddin MZ, Qur'an
adalah "imam", sementara kita adalah "makmum". Sebaliknya,
yang saya kehendaki adalah wahyu yang bersama dengan
pengalaman dan realitas kehidupan manusia bekerja secara
dialektik dalam merumuskn kebenaran ajaran agama.
(bersambung)
|