|
II. Pembacaan baru atas Qur'an: go
beyond text
Setelah tour panjang dalam meletakkan
hubungan antara wahyu dan pengalaman serta realitas
kehidupan manusia sebagai dua hal yang saling memprasyarati,
pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: bagaimana sikap
kita terhadap teks Qur'an sendiri; apakah kita harus ta'at
berkukuh kepada makna literal dari ayat itu, atau kita
diperbolehkan untuk meninggalkannya sama sekali jika makna
literal tersebut tidak lagi bisa dipertahankan? Apa
patokannya?
Salah satu kaidah klasik yang menjadi aturan
main dalam proses penalaran hukum adalah la ijitihada
fi muqabalatin nash, tidak dimungkinkan adanya ijtihad atau
penalaran hukum dalam bidang-bidang di mana ada teks yang
menerangkan dengan jelas ketentuan hukumnya. Ketentuan dalam
masalah itu disebut sebagai ketentuan yang sudah pasti dan
mengikat, qath'i. Prof. Ibrahim Hosen pernah mengemukakan
pandangannya mengenai masalah ini. Menurut dia,
ketentuan-ketentuan dalam Qur'an yang dapat disebut sebagai
qath'i (pasti dan mengikat) sangatlah terbatas jumlahnya,
dan untuk sampai kepada status itu dibutuhkan syarat yang
tidak ringan. Dia menyebut, misalnya, ketentuan-ketentuan
itu harus menafikan dengan dasar mutawatir segala
macam bentuk ihtimal (kebolehjadian). Misalnya, nash (teks
UAA) itu tidak mengandung ihtimal majaz, kinayah,
idlmar, takhshish, taqdim dan ta'khir, naskh, atau ta'arudl
aqli.[7] Pandangan Prof. Hosen ini jelas
kurang populer di kalangan sebagian besar ulama, terutama
pendapatnya yang mensyaratkan suatu teks qath'i agar tidak
mengandung kontradiksi secara akliah (ta'arudl qath'i).
Pandangan Prof. Hosen ini saya anggap sangat maju dan cukup
berani. Atas dasar patokan ini, kita bisa dengan mudah
menilai sejumlah ayat dalam Qur'an yang selama ini sudah
dianggap sebagai qath'i, padahal di dalamnya terdapat
ihtimah (kemungkinan makna) yang lain di luar makna literal
yang sering dipahami dari ayat-ayat itu. Meskipun sudah
klise, kita sering mendengar perdebatan klasik yang terakhir
dipicu oleh Munawir Syadzali melalui isu reaktualisasi
ajaran Islam, atau oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui
gagasannya tentang pribumisasi Islam. Masalah yang muncul
ketika itu adalah soal pembagian warisan. Pola lama 2:1 di
mana anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih dari
pembagian yang diperoleh anak perempuan, dianggap oleh
Munawir sebagai ketentuan yang tidak qath'i, meskipun
terdapat ketentuan yang jelas dalam Qur'an (QS 4:11)
mengenai itu. Ihtimal atau keberatan yang diajukan oleh
Munawir, antara lain, bahwa pembagian itu tidak adil dalam
konteks kehidupan sekarang di mana beban penyelenggaraan
rumah tangga dipikul secara bersama oleh laki-laki dan
perempuan secara ekual. Keadilan yang sudah jelas dan
gamblang adalah salah satu fondasi seluruh agama Islam,
menjadi pertimbangan pokok untuk menilai ulang ketentuan
tentang hukum waris ini.
Saat ini kita berhadapan dengan isu sentral tentang
tuntutan pelaksanaan syari'at Islam. Kita dihadapkan lagi
dengan persoalan lama yang belum tuntas perdebatannya:
apakah yang disebut dengan syari'at? Mana saja lingkupnya?
Apakah mungkin syari'at dijadikan landasan pengelolaan
kehidupan masyarakat Muslim di masa modern ini? Apakah
syari'at merupakan ketentuan yang begitu saja harus kita
anggap mengikat semua umat Islam karena dia adalah
hukum Tuhan? Saya mengajukan pertanyaan dan
sekaligus jawaban baru dalam artikel di Kompas yang
menimbulkan kontroversi itu [8]:
apakah benar ada yang disebut hukum Tuhan (dalam
artian Divine law) dalam pemahaman yang selama
ini dilekatkan sebagian besar orang modern terhadap kata
hukum, yaitu hukum positif yang berlaku secara
menyeluruh kepada subyek hukum tanpa melihat latar belakang
agama, suku, warna kulit dsb., serta ditegakkan melalui
wewenang negara?
Saya, dalam artikel itu, mengatakan: tidak ada! Sebab
yang ada adalah nilai-nilai pokok yang sering disebut
sebagai maqashidusy syari'ah atau tujuan-tujuan
umum syari'at Islam. Saya tidak akan membahas masalah ini
sekarang. Saya akan mencoba menjawab masalah pokok yang
menjadi bahan perdebatan lama: apakah yang disebut dengan
qath'i, apa yang disebut dengan zhanni; manakah ayat-ayat
dalam Qur'an (juga Sunnah) yang bisa kita masukkan ke dalam
status qath'i, sehingga tidak boleh lagi diganggu gugat, dan
manakah yang zanni dan mengandul istilah Prof.
Hosenihtimal sehingga bisa dinegosiasikan
berdasarkan perkembangan waktu dan tempat?
Dua kata itu, qath'i dan zanni, dalam tradisi ushul fiqh
klasik dan modern, didefinisikan dalam cara yang, bagi saya,
kurang tepat. Qath'i artinya adalah suatu dalil hukum yang
dikemukakan dalam suatu redaksi atau kata yang
tidak mengandung makna ganda (la yahtamilu ma'nayain). Dalil
yang zanni adalah dalil yang sebaliknya, yaitu dalil hukum
yang redaksinya mengandung ambiguitas. Dalil qath'i dibagi
kedalam dua kategori: qath'iyyul wurud (yaitu dalil yang
transmisinya valid, sehingga tidak mengandung keraguan lagi
[Qur'an, dalam pandangan fuqaha dan seluruh umat Islam
adalah qath'iyyul wurud, sementara hadis hanya sebagian yang
qath'yyul wurud, sebagian yanglain adalah zanniyyul
wurud]), dan qathi'yud dilalah (yaitu dalil yang
menunjukkan makna yang pasti, univok, tidak ambigu). Begitu
juga dalil zanni dibagi kedalam dua kategori: zanniyyul
wurud (yaitu dalil yang transmisinya mengandung keraguan,
apakah benar dalil itu diucapkan oleh Nabi atau tidak,
misalnya), dan zanniyyud dilalah (dalil yang menunjukkan
makna ganda, sehingga kita tidak bisa memastikan mana makna
yang tepat).
Defisini qath'i dan zanni dalam tradisi hukum kita lebih
didasarkan pada pertimbangan redaksi atau
kalimat. Suatu dalil atau teks dianggap qath'i manakalah ia
disampaikan dalam suatu redaksi atau kalimat yang begitu
rupa sehingga tidak mengandung ambiguitas. Redaksi atau
lafaz yang demikian itu disebut sebagai an nash.
Begitu juga, suatu dalil akan dianggap sebagai zanni
manakala disampaikan dalam redaksi atau lafaz yang ambigu,
bermakna ganda, ekuivok. Saya paham, bahwa pada akhirnya
suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenai Kitab Suci
Tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis
dalam Kitab Suci itu. Dalam hal ini, teori tentang
kata memegang peran penting. Itulah sebabnya,
dalam ushul fiqh klasik dikenal suatu pembahasan panjang
mengenai Bab al Alfaz, bab tentang kata. Sebab
kata adalah fondasi paling asasi dalam penalaran
hukum yang berlandasakan Kitab Suci Tertulis. Tetapi justru
di sinilah saya hendak mengemukakan pandangan lain, yaitu
keharusan melakukan paradigm shift, atau
pembalikan paradigma. Bagi saya, teori tentang qath'i dan
zanni tidak bisa lagi dipertahankan lagi sebagai sekedar
teori tentang kata, tetapi harus menjadi teori
tentang nilai. Diskursus mengenai nilai dan teori nilai
tampaknya kurang dikembangkan dengan serius oleh sarjana
Muslim, baik klasik atau modern. Atau tepatnya: filsafat
etika kurang menempati posisi sentral dalam pemikiran Islam
klasik dan modern. Sebagian besar energi intelektual umat
Islam terserap kedalam penalaran fiqh dengan pusatnya yang
paling penting adalah teks. Lagi-lagi, mengutip
kalimat Prof. Nasr, tradisi pemikiran Islam memang
benar-benar tradisi yang berikisar di sekitar
Teks, yakni teks Qur'an dan Sunnah.
Sejumlah intelektual Muslim modern mulai mengajukan
alternatif terhadap cara pandangan lama tentang qath'i dan
zanni ini. Fazlur Rahman, misalnya, dalam Major Themes in
Qur'an, mencoba memulai suatu tradisi baru dengan menggali
apa yang dia sebut sebagai konsep-konsep etiko-religius,
yakni konsep-konsep etis Qur'ani yang merupakan landasan
dari pandangan dunia Islam. Dalam bukunya yang
seminal, Toward An Islamic Reformation, Abdullahi Ahmed An
Na'im, mengikuti contoh yang ditinggalkan gurunya, Muhammad
Mahmud Taha, merumuskan ulang defenisi qath'i dan zanni. Dia
membagi ayat-ayat dalam Qur'an dalam cara yang ditempuh oleh
ulama klasik tetapi dengan pemaknaan yang baru, yaitu
ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Ayat-ayat Makkiyah lebih
relevan dijadikan sebagai usaha merumuskan hirarki nilai
baru dalam Islam, sebab umumnya ayat-ayat Makkiyyah berisi
konsep-konsep etis universal yang bersifat umum, sementara
ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak berkaitan dengan cara
penerjemahan konsep-konsep etis itu kedalam konteks yang
spesifik di Madinah. Dengan ini hendak dikatakan bahwa
derajat universalitas ayat-ayat Makkiyyah lebih tinggi
dibanding dengan ayat-ayat Madaniyyah. Ayat-ayat yang
qath'i, dengan demikian, adalah ayat-ayat yang turun di
Makkah, sementara ayat-ayat zanni adalah yang turun di
Madinah. Masdar F. Mas'udi, dalam Agama Keadilan, mencoba
meninjau ulang kedua konsep itu (qath'i dan zanni). Masdar
merumuskan ayat-ayat qath'iyyah sebagai ayat-ayat yang
mengandung ketentuan nilai-nilai etis yang universal, yang
tidak berubah karena perkembangan waktu dan perbedaan
tempat. Sementara ayat-ayat dzanniyah adalah ayat-ayat yang
berurusan dengan cara penerjemahan nilai-nilai etis
universal itu ke dalam konteks tertentu [9].
Saya kira, batu-batu bata argumen yang telah
dimulai oleh pemikir-pemikir Muslim modern itu sudah cukup
membawa kita semua untuk meninjau ulang cara kita
membaca ayat-ayat Qur'an atau Sunnah. Seperti
saya kemukakan di bagian terdahulu, teks Kitab Suci bukanlah
teks yang tembus pandang begitu saja, yang transparan.
Sebab, ada jarak historis dan epistemologis yang cukup
panjang antara kita dengan teks itu, jarak yang begitu
lebarnya sehingga untuk menyeberanginya kita
membutuhkan piranti penalaran yang tidak remeh.
Itulah yang saya sebut sebagai mediasi akal.
Dalam bagian terdahulu, saya sudah mengemukakan bahwa
kedudukan wahyu dan pengalaman kongkret manusia dalam
kehidupan sehari-hari haruslah diletakkan dalam posisi yang
sejajar, sebab wahyu tanpa konteks tidaklah bisa
berbunyi. Wahyu yang tertulis adalah ini
bukan istilah akademiswahyu eksplisit,
sementara konteks yang meliputi turunnya wahyu, konteks di
mana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat dengan
wahyu tersebut, boleh disebut lagi-lagi ini bukan
istilah akademissebagai wahyu implisit'. Dalam
penggunaan yang lebih populer, dikenal dua istilah:
ayat-ayat qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Saya pernah
menggunakan istilah wahyu verbal dan wahyu
non-verbal. Keduanya harus saling mengandaikan dan
mensyaratkan.
Berdasatkan itu, saya ingin mengajukan cara pandang baru
dalam membaca Qur'an. Harus diakui, ini bukanlah
sesuatu yang baru sama sekali, sebab- preseden
ke arah itu sudah terdapat dalam pemikiran para sarjana
Muslim terdahulu. Saya hanya mencoba merumuskan masalahnya
secara lain dalam konteks tantangan baru yang
kita hadapi sekarang ini. Suatu cara pandang baru yang
radikal memang benar-benar harus diajukan untuk mengubah
cara pandang yang dominan selama ini di kalangan umat
sekarang ini, yaitu sudut pandang yang kalau boleh ingin
saya sebut sebagai bibliolatristik. Kita harus
membangunkan kembali kesadaran umat Islam mengenai apa yang
dalam tradisi fiqh disebut sebagai hikmatut
tasyri', filosofi di balik legislasi hukum. Dengan
kata lain, aspek-aspek etis dari ajaran agama Islam harus
dikemukakan lagi secara lebih persisten dan vokal untuk
menandingi kecenderungan-kecenderungan fundamentalisme
modern yang hendak mendangkalkan pemahaman Islam sebatas
atau sebagai ideologi politik atau sekumpulan
ajaran yang harus diikuti begitu saja karena ia merupakan
perintah Tuhan. Teori tentang nilai atau visi etis dari
agama juga harus ditampilkan lagi lebih gamblang.
Dalam wawasan seperti itu, cara baru membaca Qur'an
didasarkan bukan pada asumsi lama: bahwa segala ketentuan
yang secara harafiah ada dalam Qur'an (atau
Sunnah), maka ia adalah bersifat mengikat, permanen, dan
berlaku sepanjang masa dan tempat. Ini, dalam pandangan
saya, adalah cara membaca Qur'an yang
bibliolatristik, pembacaan yang hanya berhenti
pada teksnya saja. Tiga ayat dalam Surah Al Maidah (QS
5:44-47) yang seringkali dipakai untuk mendukung sikap
bibliolatrisme, bahwa barang siapa tidak
berhukum kepada hukum Allah, maka dia adalah kafir, zalim
dan fasik, haruslah dibaca ulang bukan dalam kerangka yang
tekstualistik semacam itu. Kita harus membaca Qur'an dalam
sinaran konsep-konsep etis yang diderivasikan sendiri dari
Qur'an tersebut. Rahman telah merintis suatu
ijtihad yang sangat bermanfaat dalam bidang ini.
Tetapi pembacaan baru atas Qur'an juga harus didasarkan pada
pertimbangan bahwa konteks kehidupan manusia yang kongkrit
juga merupakan sesuatu yang konstitutif dalam
pembentukan wahyu Qur'an. Pengalaman umat Islam
dalam periode yang oleh Abdullahi A. An Na'im sebagai
periode paska-kolonial' juga harus dipertimbangkan
dengan sungguh-sungguh. Pembacaan Qur'an yang berlaku selama
ini masih tetap dalam semacam complacency bahwa
tak ada sesuatu yang berubah pada umat Islam setelah
memasuki abad modern, dengan ciri-ciri pokok, antara lain:
pengalaman kolonialisme moder, pengalaman negara bangsa,
perjumpaan dan perkenalan dengan hukum positif Barat yang
kemudian menjadi kenyataan sehari-hari dalam kehidupan umat
Islam, integrasi ekonomi global, berkembangnya sistem
demokrasi sebagai bentuk polity baru yang
dominan di seluruh dunia, dst. Pembacaan Qur'an yang
revivalistik dan bibliolatristik
masih tetap saja mengandaikan bahwa seolah-olah umat Islam
bisa dengan mudah ditarik mundur ke zaman Nabi, dan bahwa
sejarah kesadaran umat Islam seolah-olah tidak
mengalami diskontinuitas yang berarti setelah memasuki abad
industri. Ini semua adalah kenyataan-kenyataan hidup umat
Islam yang harus dipertimbangkan dalam pembacaan Qur'an.
Kesimpulannya: meletakkan Qur'an semata-mata sebagai teks
yang terisolasi dari kenyataan di sekitarnya, dan atas dasar
itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran-ajaran tertentu
adalah bersifat mengikat dan permanen hanya karena ada
ketentuan harafiahnya dalam Qur'an, tidak bisa lagi
diterima. Pandangan semacam ini harus ditolak. Kutipan dari
Imam Ghazali dalam pembukaan tulisan ini layak kita
pertimbangkan. Rahasia Qur'an adalah undangan atau ajakan
agar hamba-hamba Tuhan kembali kepada-Nya. Kalimat ini
sangat radikal efeknya jika kita maknai sebagai berikut:
rahasia Qur'an bukanlah ajakan agar umat Islam dan
hamba-hamba Tuhan kembali kepada teks Qur'an itu sendiri,
tetapi kembali kepada esensi transendental yang
ada di balik teks itu. Situasi yang kita hadapi sekarang ini
sungguh amat berbeda: umat Islam kembali kepada teks, kepada
scripture, bukan kepada visi etis yang melandasi
teks-teks itu. Karena teks menjadi sandaran utama dalam visi
keagamaan yang dominan, maka pembaharuan-pembaharuan
pemikiran dalam Islam selalu berhadapan dengan pertanyaan
pokok yang selalu berulang dari waktu ke waktu: pandangan
anda sesuai tidak dengan Qur'an dan Sunnah? Mana dalilnya?
Pertanyaan itu mengandung kelemahan dasar dan salah sejak
dari awalnya: sebab kesesuaian dengan Qur'an dan Sunnah
semata-mata dinilai berdasarkan keesuaian yang sifatnya
tekstual. Kenyataan bahwa wahyu sejak dari awalnya adalah
teks yang pemaknaannya terkait secara erat dengan komunitas
sahabat yang menerimanya saat itu, dan bahwa wahyu tekstual
adalah separoh saja dari wahyu Qur'an yang
sesungguhnya (yang lain adalah wahyu implisit
dalam bentuk konteks sosial), sama sekali diabaikan. Kita
harus berani menyeberang di balik teks, dengan
menengok kembali visi etis Qur'an yang bersifat universal,
serta lingkungan sosial umat Islam yang terus berubah. Go
beyond text, itu tantangannya.
Visi etis Islam sebetulnya sudah dirumuskan untuk
sebagian oleh juris klasik Islam, yaitu dalam apa yang
disebut sebagai al kulliyyatul khamsah (lima
pilar utama) atau al kulliyyatul kubra
(pilar-pilar agung). Visi itu dirumuskan sebagai
perlindungan. Yaitu perlindungan atas (1) akal,
(2) agama, (3) nyawa, (4) harta, dan (5) kehormatan atau
keluarga. Ayat-ayat Qur'an sudah semestinya dibaca dalam
terang visi etis ini, di satu pihak, serta didialogkan
dengan pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan
mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni
seperti salat, puasa dan haji, dan ketentuan sial makanan
dan minuman (math'umat dan masyrubat), maka seluruh
ayatul ahkam atau ayat-ayat hukum yang
keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap sebagai
ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual, dan terbatas
pada pengalaman sosial bangsa Arab di abad 7 M. Ayat-ayat
itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan,
kedudukan perempuan, jilbab, qishash, jilid, potong tangan,
untuk menyebut beberapa contoh saja. Tidak ada kekeliruan
yang lebih fatal dari cara pandang yang melihat bahwa Qur'an
adalah kitab yang mengandung ketentuan yang seluruhnya
bersifat permanen, universal, dan abadi. Kleim yang selalu
dikemukakan bahwa Qur'an adalah shalihun likulli
zamanin wa makan, tepat dan relevan untuk segala
tempat dan wahyu, dan bahwa Qur'an adalah kitab yang
sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian atas
semua masalah (Qur'an sebagai panacea, pandangan
yang sekarang mudah dipakai untuk menipu umat Islam awam),
perlu dilihat ulang. Yargon-yargon itu lebih mempunyai makna
politis, yaitu sebagai yel politik
yang dipakai oleh partai-partai atau golongan-golongan Islam
tertentu melawan golongan dan partai lain, semata-mata untuk
mencapai pengaruh politik dengan cara yang murah, ketimbang
merupakan doktrin teologis[10]. Dalam Qur'an ada
ajaran-ajaran yang sifatnya permanen, dan ada yang sifatnya
temporer dan kontekstual.
Menyuguhkan pandangan yang seolah-olah Islami bahwa
seluruh hal dalam Qur'an adalah bersifat permanen, atas
dasar yang sangat sederhana bahwa ketentuan yang secara
harafiah terdapat dalam Qur'an adalah bersifat mengikat dan
universal, jelas keliru besar. Itulah bentuk
bibliolatri yang harus ditentang. Kita harus
melampaui bibliolatrisme, menyeberangi teks, dan menangkap
visi etis Qur'an kembali, meletakkannya dalam
perjumpaan yang dialogis dengan
kenyataan-kenyataan hidup umat Islam di zaman modern ini,
zaman yang dari segi manapun sudah tidak bisa lagi diukur
secara sederhana dengan paradigma Madinah. Kita
perlu mengangkat kembali posisi manusia kedalam martabat
yang diberikan Qur'an sendiri kepadanya, dengan
memperhitungkan kemaslahatan manusia sebagai
partner dari wahyu.
Harap jangan lupa: wahyu verbal dalam Qur'an hanyalah
separo wahyu yang harus dilengkap dengan wahyu non-verbal.
Dengan cara itulah kita bisa menghindari sikap
bibliolatristik.*****
Catatan kaki:
[1] Teks ceramah di Paramadina, tanggal 8
Februari 2003. Kata bibliolatry di sini secara
harafiah berarti penyembahan Bibel. Secara umum,
kata itu berarti pengagungan Kitab Suci apapun
secara berlebihan sehingga menyerupai penyembahan. Dalam
makalah ini, kata itu saya pakai sebagai padanan (dengan
pengertian yang jauh lebih mendalam) dari
skripturalisme yang berlebihan. Kata itu saya
kutip dari buku T.H. Huxely, Science and Hebrew Tradition.
Kutipan lain saya ambil dari Imam Al Ghazali dalam bukunya
Jawahirul Qur'an. Terjemahannya: Rahasia Qur'an,dan intinya
yang paling cemerlang, serta tujuannya yang pokok adalah
undangan untuk para hamba menuju kepada
Tuhan.
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhumun Nash: Dirasat
fi Ulumil Qur'an (Kairo: Al Hai'ah al Mishriyyah al
Ammah lil Kitab, 1993), hal. 11.
[3] Ibid, hal. 12.
[4] Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror:
Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism
(Princeton: Princeton University Press, 1999).
[5] Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi,
Al Burhan fi Ulumil Qur'an (Bairut: Darul Ma'rifah,
1972), jilid I, hal. 17.
[6] Dalam kasus tawanan perang Badar, Umar
berpendapat bahwa mereka harus dibunuh, sementara Abu Bakar
berpendapat lain: mereka dibebaskan saja dengan tebusan.
Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar, kemudian turun ayat dalam
surah Al Anfal yang menyalahkan keputusan Nabi, dan
membenarkan keputusan Umar (QS 8:67-68).
[7] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang
Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Reaktualisasi Ajaran
Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, MA (Jakarta:
IPHI&Paramadina, 1995), hal. 251-284.
[8] Ulil Abshar-Abdalla, Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam, Kompas, 18 November 2002.
[9] Untuk survei kritis mengenai
kesulitan-kesulitan penerapan syari'at Islam dalam konteks
modern, terutama berkaitan dengan hokum keluarga, dapat
dibaca observasi yang sangat bagus dari Abdullahi A. An
Na'im. Baca. Abdullahi A. An Na'im, Shari'a and
Islamic Family Law: Transition and Transformation
dalam Abdullahi A. An Na'im, Islamic Family Law In a
Changing World: A Global Resource Book ( London: Z Book,
2002), hal. 1-36.
[10] Asghar Ali Engineer baru-baru ini menulis
artikel pendek dalam seri Newsletter Secular Perspective
berjudul Islam and Secularism. Artikel tidak
dipublikasi, hanya disebarkan via internet kepada sejumlah
pelanggan. Dalam artikel itu, dia menekankan pentingnya
pembedaan antara yang politis dan yang
teologis. Mencampuradukkan antara kedua hal itu hanya
akan menguntungkan kaum demagog dan politisi yang berwawasan
pendek.
(Bagian
1)
|