Menghindari Bibliolatri[1] (2)
Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Ulil Abshar-Abdalla

II. Pembacaan “baru” atas Qur'an: go beyond text

Setelah “tour” panjang dalam meletakkan hubungan antara wahyu dan pengalaman serta realitas kehidupan manusia sebagai dua hal yang saling memprasyarati, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: bagaimana sikap kita terhadap teks Qur'an sendiri; apakah kita harus ta'at berkukuh kepada makna literal dari ayat itu, atau kita diperbolehkan untuk meninggalkannya sama sekali jika makna literal tersebut tidak lagi bisa dipertahankan? Apa patokannya?

Salah satu kaidah klasik yang menjadi “aturan main” dalam proses penalaran hukum adalah la ijitihada fi muqabalatin nash, tidak dimungkinkan adanya ijtihad atau penalaran hukum dalam bidang-bidang di mana ada teks yang menerangkan dengan jelas ketentuan hukumnya. Ketentuan dalam masalah itu disebut sebagai ketentuan yang sudah pasti dan mengikat, qath'i. Prof. Ibrahim Hosen pernah mengemukakan pandangannya mengenai masalah ini. Menurut dia, ketentuan-ketentuan dalam Qur'an yang dapat disebut sebagai qath'i (pasti dan mengikat) sangatlah terbatas jumlahnya, dan untuk sampai kepada status itu dibutuhkan syarat yang tidak ringan. Dia menyebut, misalnya, ketentuan-ketentuan itu harus “menafikan dengan dasar mutawatir segala macam bentuk ihtimal (kebolehjadian). Misalnya, nash (teks –UAA) itu tidak mengandung ihtimal majaz, kinayah, idlmar, takhshish, taqdim dan ta'khir, naskh, atau ta'arudl ‘aqli.[7] Pandangan Prof. Hosen ini jelas kurang populer di kalangan sebagian besar ulama, terutama pendapatnya yang mensyaratkan suatu teks qath'i agar tidak mengandung kontradiksi secara akliah (ta'arudl qath'i). Pandangan Prof. Hosen ini saya anggap sangat maju dan cukup berani. Atas dasar patokan ini, kita bisa dengan mudah menilai sejumlah ayat dalam Qur'an yang selama ini sudah dianggap sebagai qath'i, padahal di dalamnya terdapat ihtimah (kemungkinan makna) yang lain di luar makna literal yang sering dipahami dari ayat-ayat itu. Meskipun sudah klise, kita sering mendengar perdebatan klasik yang terakhir dipicu oleh Munawir Syadzali melalui isu reaktualisasi ajaran Islam, atau oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui gagasannya tentang pribumisasi Islam. Masalah yang muncul ketika itu adalah soal pembagian warisan. Pola lama 2:1 di mana anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih dari pembagian yang diperoleh anak perempuan, dianggap oleh Munawir sebagai ketentuan yang tidak qath'i, meskipun terdapat ketentuan yang jelas dalam Qur'an (QS 4:11) mengenai itu. Ihtimal atau keberatan yang diajukan oleh Munawir, antara lain, bahwa pembagian itu tidak adil dalam konteks kehidupan sekarang di mana beban penyelenggaraan rumah tangga dipikul secara bersama oleh laki-laki dan perempuan secara ekual. Keadilan yang sudah jelas dan gamblang adalah salah satu fondasi seluruh agama Islam, menjadi pertimbangan pokok untuk menilai ulang ketentuan tentang hukum waris ini.

Saat ini kita berhadapan dengan isu sentral tentang tuntutan pelaksanaan syari'at Islam. Kita dihadapkan lagi dengan persoalan lama yang belum tuntas perdebatannya: apakah yang disebut dengan syari'at? Mana saja lingkupnya? Apakah mungkin syari'at dijadikan landasan pengelolaan kehidupan masyarakat Muslim di masa modern ini? Apakah syari'at merupakan ketentuan yang begitu saja harus kita anggap mengikat semua umat Islam karena dia adalah “hukum Tuhan”? Saya mengajukan pertanyaan dan sekaligus jawaban baru dalam artikel di Kompas yang menimbulkan kontroversi itu [8]: apakah benar ada yang disebut “hukum Tuhan” (dalam artian “Divine law”) dalam pemahaman yang selama ini dilekatkan sebagian besar orang modern terhadap kata “hukum”, yaitu hukum positif yang berlaku secara menyeluruh kepada subyek hukum tanpa melihat latar belakang agama, suku, warna kulit dsb., serta ditegakkan melalui wewenang negara?

Saya, dalam artikel itu, mengatakan: tidak ada! Sebab yang ada adalah nilai-nilai pokok yang sering disebut sebagai “maqashidusy syari'ah” atau tujuan-tujuan umum syari'at Islam. Saya tidak akan membahas masalah ini sekarang. Saya akan mencoba menjawab masalah pokok yang menjadi bahan perdebatan lama: apakah yang disebut dengan qath'i, apa yang disebut dengan zhanni; manakah ayat-ayat dalam Qur'an (juga Sunnah) yang bisa kita masukkan ke dalam status qath'i, sehingga tidak boleh lagi diganggu gugat, dan manakah yang zanni dan mengandul –istilah Prof. Hosen—“ihtimal” sehingga bisa dinegosiasikan berdasarkan perkembangan waktu dan tempat?

Dua kata itu, qath'i dan zanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern, didefinisikan dalam cara yang, bagi saya, kurang tepat. Qath'i artinya adalah suatu dalil hukum yang dikemukakan dalam suatu redaksi atau “kata” yang tidak mengandung makna ganda (la yahtamilu ma'nayain). Dalil yang zanni adalah dalil yang sebaliknya, yaitu dalil hukum yang redaksinya mengandung ambiguitas. Dalil qath'i dibagi kedalam dua kategori: qath'iyyul wurud (yaitu dalil yang transmisinya valid, sehingga tidak mengandung keraguan lagi [Qur'an, dalam pandangan fuqaha dan seluruh umat Islam adalah qath'iyyul wurud, sementara hadis hanya sebagian yang qath'yyul wurud, sebagian yanglain adalah zanniyyul wurud]), dan qathi'yud dilalah (yaitu dalil yang menunjukkan makna yang pasti, univok, tidak ambigu). Begitu juga dalil zanni dibagi kedalam dua kategori: zanniyyul wurud (yaitu dalil yang transmisinya mengandung keraguan, apakah benar dalil itu diucapkan oleh Nabi atau tidak, misalnya), dan zanniyyud dilalah (dalil yang menunjukkan makna ganda, sehingga kita tidak bisa memastikan mana makna yang tepat).

Defisini qath'i dan zanni dalam tradisi hukum kita lebih didasarkan pada pertimbangan “redaksi” atau kalimat. Suatu dalil atau teks dianggap qath'i manakalah ia disampaikan dalam suatu redaksi atau kalimat yang begitu rupa sehingga tidak mengandung ambiguitas. Redaksi atau lafaz yang demikian itu disebut sebagai “an nash”. Begitu juga, suatu dalil akan dianggap sebagai zanni manakala disampaikan dalam redaksi atau lafaz yang ambigu, bermakna ganda, ekuivok. Saya paham, bahwa pada akhirnya suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenai Kitab Suci Tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis dalam Kitab Suci itu. Dalam hal ini, teori tentang “kata” memegang peran penting. Itulah sebabnya, dalam ushul fiqh klasik dikenal suatu pembahasan panjang mengenai “Bab al Alfaz”, bab tentang kata. Sebab “kata” adalah fondasi paling asasi dalam penalaran hukum yang berlandasakan Kitab Suci Tertulis. Tetapi justru di sinilah saya hendak mengemukakan pandangan lain, yaitu keharusan melakukan “paradigm shift”, atau pembalikan paradigma. Bagi saya, teori tentang qath'i dan zanni tidak bisa lagi dipertahankan lagi sebagai sekedar teori tentang “kata”, tetapi harus menjadi teori tentang nilai. Diskursus mengenai nilai dan teori nilai tampaknya kurang dikembangkan dengan serius oleh sarjana Muslim, baik klasik atau modern. Atau tepatnya: filsafat etika kurang menempati posisi sentral dalam pemikiran Islam klasik dan modern. Sebagian besar energi intelektual umat Islam terserap kedalam penalaran fiqh dengan pusatnya yang paling penting adalah “teks”. Lagi-lagi, mengutip kalimat Prof. Nasr, tradisi pemikiran Islam memang benar-benar tradisi yang berikisar di sekitar “Teks”, yakni teks Qur'an dan Sunnah.

Sejumlah intelektual Muslim modern mulai mengajukan alternatif terhadap cara pandangan lama tentang qath'i dan zanni ini. Fazlur Rahman, misalnya, dalam Major Themes in Qur'an, mencoba memulai suatu tradisi baru dengan menggali apa yang dia sebut sebagai konsep-konsep etiko-religius, yakni konsep-konsep etis Qur'ani yang merupakan landasan dari “pandangan dunia Islam”. Dalam bukunya yang seminal, Toward An Islamic Reformation, Abdullahi Ahmed An Na'im, mengikuti contoh yang ditinggalkan gurunya, Muhammad Mahmud Taha, merumuskan ulang defenisi qath'i dan zanni. Dia membagi ayat-ayat dalam Qur'an dalam cara yang ditempuh oleh ulama klasik tetapi dengan pemaknaan yang baru, yaitu ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Ayat-ayat Makkiyah lebih relevan dijadikan sebagai usaha merumuskan hirarki nilai baru dalam Islam, sebab umumnya ayat-ayat Makkiyyah berisi konsep-konsep etis universal yang bersifat umum, sementara ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak berkaitan dengan cara penerjemahan konsep-konsep etis itu kedalam konteks yang spesifik di Madinah. Dengan ini hendak dikatakan bahwa derajat universalitas ayat-ayat Makkiyyah lebih tinggi dibanding dengan ayat-ayat Madaniyyah. Ayat-ayat yang qath'i, dengan demikian, adalah ayat-ayat yang turun di Makkah, sementara ayat-ayat zanni adalah yang turun di Madinah. Masdar F. Mas'udi, dalam Agama Keadilan, mencoba meninjau ulang kedua konsep itu (qath'i dan zanni). Masdar merumuskan ayat-ayat qath'iyyah sebagai ayat-ayat yang mengandung ketentuan nilai-nilai etis yang universal, yang tidak berubah karena perkembangan waktu dan perbedaan tempat. Sementara ayat-ayat dzanniyah adalah ayat-ayat yang berurusan dengan cara penerjemahan nilai-nilai etis universal itu ke dalam konteks tertentu [9].

Saya kira, “batu-batu bata” argumen yang telah dimulai oleh pemikir-pemikir Muslim modern itu sudah cukup membawa kita semua untuk meninjau ulang cara kita “membaca” ayat-ayat Qur'an atau Sunnah. Seperti saya kemukakan di bagian terdahulu, teks Kitab Suci bukanlah teks yang tembus pandang begitu saja, yang transparan. Sebab, ada jarak historis dan epistemologis yang cukup panjang antara kita dengan teks itu, jarak yang begitu lebarnya sehingga untuk “menyeberanginya” kita membutuhkan “piranti penalaran” yang tidak remeh. Itulah yang saya sebut sebagai “mediasi akal”. Dalam bagian terdahulu, saya sudah mengemukakan bahwa kedudukan wahyu dan pengalaman kongkret manusia dalam kehidupan sehari-hari haruslah diletakkan dalam posisi yang sejajar, sebab wahyu tanpa konteks tidaklah bisa “berbunyi”. Wahyu yang tertulis adalah –ini bukan istilah akademis—“wahyu eksplisit”, sementara konteks yang meliputi turunnya wahyu, konteks di mana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat dengan wahyu tersebut, boleh disebut –lagi-lagi ini bukan istilah akademis—sebagai “wahyu implisit'. Dalam penggunaan yang lebih populer, dikenal dua istilah: ayat-ayat qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Saya pernah menggunakan istilah “wahyu verbal” dan “wahyu non-verbal”. Keduanya harus saling mengandaikan dan mensyaratkan.

Berdasatkan itu, saya ingin mengajukan cara pandang baru dalam “membaca” Qur'an. Harus diakui, ini bukanlah sesuatu yang “baru” sama sekali, sebab- preseden ke arah itu sudah terdapat dalam pemikiran para sarjana Muslim terdahulu. Saya hanya mencoba merumuskan masalahnya secara “lain” dalam konteks tantangan baru yang kita hadapi sekarang ini. Suatu cara pandang baru yang radikal memang benar-benar harus diajukan untuk mengubah cara pandang yang dominan selama ini di kalangan umat sekarang ini, yaitu sudut pandang yang kalau boleh ingin saya sebut sebagai “bibliolatristik”. Kita harus membangunkan kembali kesadaran umat Islam mengenai apa yang dalam tradisi fiqh disebut sebagai “hikmatut tasyri'”, filosofi di balik legislasi hukum. Dengan kata lain, aspek-aspek etis dari ajaran agama Islam harus dikemukakan lagi secara lebih persisten dan vokal untuk menandingi kecenderungan-kecenderungan fundamentalisme modern yang hendak mendangkalkan pemahaman Islam sebatas atau sebagai “ideologi politik” atau sekumpulan ajaran yang harus diikuti begitu saja karena ia merupakan perintah Tuhan. Teori tentang nilai atau visi etis dari agama juga harus ditampilkan lagi lebih gamblang.

Dalam wawasan seperti itu, cara baru membaca Qur'an didasarkan bukan pada asumsi lama: bahwa segala ketentuan yang secara “harafiah” ada dalam Qur'an (atau Sunnah), maka ia adalah bersifat mengikat, permanen, dan berlaku sepanjang masa dan tempat. Ini, dalam pandangan saya, adalah cara membaca Qur'an yang “bibliolatristik”, pembacaan yang hanya berhenti pada teksnya saja. Tiga ayat dalam Surah Al Maidah (QS 5:44-47) yang seringkali dipakai untuk mendukung sikap “bibliolatrisme”, bahwa barang siapa tidak berhukum kepada hukum Allah, maka dia adalah kafir, zalim dan fasik, haruslah dibaca ulang bukan dalam kerangka yang tekstualistik semacam itu. Kita harus membaca Qur'an dalam sinaran konsep-konsep etis yang diderivasikan sendiri dari Qur'an tersebut. Rahman telah merintis suatu “ijtihad” yang sangat bermanfaat dalam bidang ini. Tetapi pembacaan baru atas Qur'an juga harus didasarkan pada pertimbangan bahwa konteks kehidupan manusia yang kongkrit juga merupakan sesuatu yang “konstitutif” dalam “pembentukan” wahyu Qur'an. Pengalaman umat Islam dalam periode yang oleh Abdullahi A. An Na'im sebagai “periode paska-kolonial' juga harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Pembacaan Qur'an yang berlaku selama ini masih tetap dalam semacam “complacency” bahwa tak ada sesuatu yang berubah pada umat Islam setelah memasuki abad modern, dengan ciri-ciri pokok, antara lain: pengalaman kolonialisme moder, pengalaman negara bangsa, perjumpaan dan perkenalan dengan hukum positif Barat yang kemudian menjadi kenyataan sehari-hari dalam kehidupan umat Islam, integrasi ekonomi global, berkembangnya sistem demokrasi sebagai bentuk “polity” baru yang dominan di seluruh dunia, dst. Pembacaan Qur'an yang “revivalistik” dan “bibliolatristik” masih tetap saja mengandaikan bahwa seolah-olah umat Islam bisa dengan mudah ditarik mundur ke zaman Nabi, dan bahwa sejarah “kesadaran” umat Islam seolah-olah tidak mengalami diskontinuitas yang berarti setelah memasuki abad industri. Ini semua adalah kenyataan-kenyataan hidup umat Islam yang harus dipertimbangkan dalam pembacaan Qur'an.

Kesimpulannya: meletakkan Qur'an semata-mata sebagai teks yang terisolasi dari kenyataan di sekitarnya, dan atas dasar itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran-ajaran tertentu adalah bersifat mengikat dan permanen hanya karena ada ketentuan harafiahnya dalam Qur'an, tidak bisa lagi diterima. Pandangan semacam ini harus ditolak. Kutipan dari Imam Ghazali dalam pembukaan tulisan ini layak kita pertimbangkan. Rahasia Qur'an adalah undangan atau ajakan agar hamba-hamba Tuhan kembali kepada-Nya. Kalimat ini sangat radikal efeknya jika kita maknai sebagai berikut: rahasia Qur'an bukanlah ajakan agar umat Islam dan hamba-hamba Tuhan kembali kepada teks Qur'an itu sendiri, tetapi kembali kepada “esensi transendental” yang ada di balik teks itu. Situasi yang kita hadapi sekarang ini sungguh amat berbeda: umat Islam kembali kepada teks, kepada “scripture”, bukan kepada visi etis yang melandasi teks-teks itu. Karena teks menjadi sandaran utama dalam visi keagamaan yang dominan, maka pembaharuan-pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu berhadapan dengan pertanyaan pokok yang selalu berulang dari waktu ke waktu: pandangan anda sesuai tidak dengan Qur'an dan Sunnah? Mana dalilnya? Pertanyaan itu mengandung kelemahan dasar dan salah sejak dari awalnya: sebab kesesuaian dengan Qur'an dan Sunnah semata-mata dinilai berdasarkan keesuaian yang sifatnya tekstual. Kenyataan bahwa wahyu sejak dari awalnya adalah teks yang pemaknaannya terkait secara erat dengan komunitas sahabat yang menerimanya saat itu, dan bahwa wahyu tekstual adalah “separoh” saja dari wahyu Qur'an yang sesungguhnya (yang lain adalah “wahyu implisit” dalam bentuk konteks sosial), sama sekali diabaikan. Kita harus berani “menyeberang” di balik teks, dengan menengok kembali visi etis Qur'an yang bersifat universal, serta lingkungan sosial umat Islam yang terus berubah. Go beyond text, itu tantangannya.

Visi etis Islam sebetulnya sudah dirumuskan untuk sebagian oleh juris klasik Islam, yaitu dalam apa yang disebut sebagai “al kulliyyatul khamsah” (lima pilar utama) atau “al kulliyyatul kubra” (pilar-pilar agung). Visi itu dirumuskan sebagai “perlindungan”. Yaitu perlindungan atas (1) akal, (2) agama, (3) nyawa, (4) harta, dan (5) kehormatan atau keluarga. Ayat-ayat Qur'an sudah semestinya dibaca dalam terang visi etis ini, di satu pihak, serta didialogkan dengan pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti salat, puasa dan haji, dan ketentuan sial makanan dan minuman (math'umat dan masyrubat), maka seluruh “ayatul ahkam” atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap sebagai ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual, dan terbatas pada pengalaman sosial bangsa Arab di abad 7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishash, jilid, potong tangan, untuk menyebut beberapa contoh saja. Tidak ada kekeliruan yang lebih fatal dari cara pandang yang melihat bahwa Qur'an adalah kitab yang mengandung ketentuan yang seluruhnya bersifat permanen, universal, dan abadi. Kleim yang selalu dikemukakan bahwa Qur'an adalah “shalihun likulli zamanin wa makan,” tepat dan relevan untuk segala tempat dan wahyu, dan bahwa Qur'an adalah kitab yang sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian atas semua masalah (Qur'an sebagai “panacea”, pandangan yang sekarang mudah dipakai untuk menipu umat Islam awam), perlu dilihat ulang. Yargon-yargon itu lebih mempunyai makna “politis”, yaitu sebagai “yel politik” yang dipakai oleh partai-partai atau golongan-golongan Islam tertentu melawan golongan dan partai lain, semata-mata untuk mencapai pengaruh politik dengan cara yang murah, ketimbang merupakan doktrin teologis[10]. Dalam Qur'an ada ajaran-ajaran yang sifatnya permanen, dan ada yang sifatnya temporer dan kontekstual.

Menyuguhkan pandangan yang seolah-olah Islami bahwa seluruh hal dalam Qur'an adalah bersifat permanen, atas dasar yang sangat sederhana bahwa ketentuan yang secara harafiah terdapat dalam Qur'an adalah bersifat mengikat dan universal, jelas keliru besar. Itulah bentuk “bibliolatri” yang harus ditentang. Kita harus melampaui bibliolatrisme, menyeberangi teks, dan menangkap visi etis Qur'an kembali, meletakkannya dalam “perjumpaan yang dialogis” dengan kenyataan-kenyataan hidup umat Islam di zaman modern ini, zaman yang dari segi manapun sudah tidak bisa lagi diukur secara sederhana dengan “paradigma” Madinah. Kita perlu mengangkat kembali posisi manusia kedalam martabat yang diberikan Qur'an sendiri kepadanya, dengan memperhitungkan kemaslahatan manusia sebagai “partner” dari wahyu.

Harap jangan lupa: wahyu verbal dalam Qur'an hanyalah separo wahyu yang harus dilengkap dengan wahyu non-verbal. Dengan cara itulah kita bisa menghindari sikap bibliolatristik.*****

Catatan kaki:

[1] Teks ceramah di Paramadina, tanggal 8 Februari 2003. Kata “bibliolatry” di sini secara harafiah berarti “penyembahan Bibel”. Secara umum, kata itu berarti “pengagungan” Kitab Suci apapun secara berlebihan sehingga menyerupai penyembahan. Dalam makalah ini, kata itu saya pakai sebagai padanan (dengan pengertian yang jauh lebih mendalam) dari “skripturalisme” yang berlebihan. Kata itu saya kutip dari buku T.H. Huxely, Science and Hebrew Tradition. Kutipan lain saya ambil dari Imam Al Ghazali dalam bukunya Jawahirul Qur'an. Terjemahannya: Rahasia Qur'an,dan intinya yang paling cemerlang, serta tujuannya yang pokok adalah “undangan” untuk para hamba menuju kepada Tuhan.

[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhumun Nash: Dirasat fi ‘Ulumil Qur'an (Kairo: Al Hai'ah al Mishriyyah al ‘Ammah lil Kitab, 1993), hal. 11.

[3] Ibid, hal. 12.

[4] Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism (Princeton: Princeton University Press, 1999).

[5] Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi, Al Burhan fi ‘Ulumil Qur'an (Bairut: Darul Ma'rifah, 1972), jilid I, hal. 17.

[6] Dalam kasus tawanan perang Badar, Umar berpendapat bahwa mereka harus dibunuh, sementara Abu Bakar berpendapat lain: mereka dibebaskan saja dengan tebusan. Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar, kemudian turun ayat dalam surah Al Anfal yang menyalahkan keputusan Nabi, dan membenarkan keputusan Umar (QS 8:67-68).

[7] Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Reaktualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, MA (Jakarta: IPHI&Paramadina, 1995), hal. 251-284.

[8] Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18 November 2002.

[9] Untuk survei kritis mengenai kesulitan-kesulitan penerapan syari'at Islam dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan hokum keluarga, dapat dibaca observasi yang sangat bagus dari Abdullahi A. An Na'im. Baca. Abdullahi A. An Na'im, “Shari'a and Islamic Family Law: Transition and Transformation” dalam Abdullahi A. An Na'im, Islamic Family Law In a Changing World: A Global Resource Book ( London: Z Book, 2002), hal. 1-36.

[10] Asghar Ali Engineer baru-baru ini menulis artikel pendek dalam seri Newsletter Secular Perspective berjudul “Islam and Secularism”. Artikel tidak dipublikasi, hanya disebarkan via internet kepada sejumlah pelanggan. Dalam artikel itu, dia menekankan pentingnya pembedaan antara “yang politis” dan “yang teologis”. Mencampuradukkan antara kedua hal itu hanya akan menguntungkan kaum demagog dan politisi yang berwawasan pendek.

(Bagian 1)


Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.