Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen |
|
5. Yesus anak Maria dan Anak AllahUraian yang dipaparkan di atas kiranya memperlihatkan betapa majemuk dan kaya kristologi/soteriologi yang dihasilkan dua-tiga generasi Kristen yang pertama. Dan uraian ini belum juga memperlihatkan segala segi dan unsur yang dapat ditemukan dalam karangan-karangan Perjanjian Baru. Juga jelas - meskipun dalam uraian tersebut belum cukup ditekankan - betapa majemuk dan tidak seragam kristologi/soteriologi itu. Ada pelbagai pendekatan yang tidak selalu dapat diselaraskan satu sama lain. Umat Kristen purba jelas masih juga mencari jalan dan perkembangan belum juga "selesai". Namun demikian, orang dapat menemukan dalam karangan-karangan Perjanjian Baru dua garis pemikiran yang berbeda. Tentu saja nyatanya kedua garis itu tidak jarang bercampur dan tumpang tindih. Namun demikian, dua pendekatan boleh dibedakan, asal saja tidak secara radikal dipisahkan atau malah diperlawankan satu sama lain. Kedua pendekatan itu dapat diringkaskan dengan dua sebutan yang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus kadang-kadang disebut "Anak Maria" (Mrk 6:3), bahkan bin Yusup pun ditemukan (Yoh 1:45). Tetapi lebih sering disebutkan sebagai "Anak Allah". Garis pemikiran yang satu, yang menyebut Yesus anak Maria, bertitik tolak pengalaman sementara orang dengan Yesus, orang Nazareth, baik sebelum mati di salib maupun sesudahnya. Khususnya pengalaman paska mencetuskan pemikiran. Pada dasar pengalaman itu akhir hidup Yesus, orang Nazareth, ternyata bukan kegagalan definitif. Allah jelas memulihkan kegagalan Yesus. Yesus yang tadinya mati tetap dipahami sebagai yang menghubungkan manusia dengan Allah. Pengalaman itu diartikan dengan pertolongan gagasan "Roh Kudus," yang dalam pengharapan bangsa Yahudi menjadi ciri khas akhir zaman. Maka dengan pembangkitan Yesus, yang disusul pengalaman akan "Roh Kudus" itu, Allah sudah memulai akhir zaman, zaman keselamatan definitif, yang (tidak lama lagi) akan diselesaikan-Nya dengan Yesus itu juga. Kalau demikian, Yesus ternyata Anak Manusia dan Mesias yang diharapkan, tokoh penyelamatan, wakil dan kuasa Allah. Oleh karena Yesus yang ternyata hidup namun tidak begitu saja kembali ke "dunia" ini, maka Yesus sudah menikmati eksistensi baru. Itu berarti Yesus "ditinggikan," diangkat, pindah ke dunia lain, dunia baru yang dinantikan. Yesus berada "di dunia" Allah, di pihak Allah dan mengerjakan apa yang dikerjakan Allah Juru Selamat umat, dan Hakimnya. Dengan bertitik tolak akhir hidup Yesus yang ternyata bukan kegagalan definitif seluruh kehidupan Yesus dahulu menjadi lebih jelas. Pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat dan malah kini diwujudkan ternyata bukan kekeliruan. Dan dalam tindakan Yesus dahulu Allah sudah memperlihatkan kekuasaan penyelamatan-Nya yang juga membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Dan kekuasaan Allah itu ternyata tidak terhalang oleh dosa manusia yang menolak Yesus, bahkan membunuh-Nya di salib. Kalau Yesus kini di pihak Allah, mendapat kuasa ilahi yang mewujudkan pengampunan dosa dan keselamatan bagi manusia, maka dahulu juga sudah begitu. Kuasa yang sama menjadi nyata dalam kehidupan Yesus. Perkataan dan perbuatan-Nya dahulu sudah memperlihatkan kuasa ilahi itu. Dan kuasa ilahi itu tidak lain dari Roh ilahi yang dahulu dalam Yesus berkarya seperti sekarang berkarya melalui Yesus yang dibangkitkan. Dalam rangka pemikiran ini kematian Yesus di salib dapat dipahami. Kematian itu memang tetap suatu pembunuhan, suatu kejahatan. Namun demikian, kematian itu sesuai dengan rencana penyelamatan dan kehendak Allah, bukan sesuatu tanpa arti dan makna. Kematian Yesus dalam rencana Allah menjadi jalan menuju peralihan kepada peranan dan kedudukan Yesus sekarang sebagai Mesias dan Anak Allah yang ada di pihak Allah dan mewujudkan keselamatan manusia. Maka dalam analisis terakhir kematian Yesus malah menguntungkan bagi manusia yang berdosa, sebab membuka zaman keselamatan, di mana Yesus sebagai Mesias, Anak Allah dan Tuhan tetap berkuasa. Dosa manusia ternyata tidak menghalangi karya penyelamatan Allah, bahkan ditiadakan oleh-Nya sebagai rintangan keselamatan. Dan semuanya itu dimulai dengan tampilnya Yesus dan diteruskan sesudah kematian dan kebangkitan-Nya. Dalam garis pemikiran yang bertitik tolak pengalaman dahulu dengan Yesus, seorang manusia, dalam refleksi umat seolah-olah menjadi ilahi, semakin ditempatkan di pihak Allah. Yesus menjadi seorang manusia yang diilahikan. Hanya dalam garis pemikiran ini tidak menjadi terlalu jelas bagaimana manusia Yesus dari Nazareth menjadi ilahi, kapan diilahikan. Waktu dibangkitkan? Waktu mulai berkarya dahulu? Waktu dilahirkan dan diperkandung? Hanya jelaslah Yesus seorang manusia lain dari siapa pun. Ia sungguh-sungguh unggul, seorang tokoh yang bertindak sebagai utusan Allah, sebagai wakil dan kuasa Allah sendiri dan atas dasar itu sedikit banyak dapat disamakan dengan Allah yang menghubungi manusia. Garis pemikiran yang kedua justru menjelaskan kekaburan tersebut. Sejak awal eksistensi-Nya Yesus ada di pihak Allah, sejak awal Ia "Anak Allah." Maka Yesus mesti pikirkan dengan bertitik tolak Allah sendiri. Dengan Yesus orang Nazareth itu Allah menggenapi janji-Nya, kesetiaan-Nya pada diri-Nya dan kepada umat-Nya. Yesus merupakan pelaksanaan penuh rencana penyelamatan Allah. Dan sejauh itu Yesus malah sudah ada sebelum tampil di muka bumi. Dari segi itu Yesus seabadi dengan Allah sendiri, seperti rencana keselamatan Allah abadi. Maka boleh dikatakan Yesus turut menciptakan alam semesta dan memimpin seluruh sejarah menuju ke puncaknya perwujudan rencana keselamatan dalam Yesus Kristus. Dengan tampilnya Yesus Allah Penyelamat tampil dan melibatkan diri dalam sejarah manusia. Dan kalau Yesus disebut "Anak Allah" dan "Tuhan," maka gelar itu menggarisbawahi ciri ilahi Yesus Kristus. Dengan arti tertentu Yesus malah boleh disebut Allah (Rm 9:5; Yah 1:1; Tit 2:13; 2Ptr 1:1; 2Tes 1:12), sebab dengan-Nya Allah Penyelamat sudah tampil di bumi. Dan dengan memikirkan halnya secara demikian orang boleh berkata bahwa Yesus Kristus "turun dari Allah," berasal dari Allah, dari surga. Dan dalam rangka pemikiran itu kehidupan dan kematian Yesus menjadi lebih berarti lagi. Ternyata bahwa dalam Yesus Allah sendiri menjadi senasib dengan manusia yang malang dan berdosa. Allah sendiri menjadi terjerat dalam kedosaan manusia. Tetapi oleh karena Yesus ternyata bangkit dan hidup, maka terbukti bahwa Allah sudah mengatasi keadaan malang dan berdosa itu. Manusia kendati dosa dan kemalangan toh tidak secara mendasar dan definitif terasing dari Allah, terpisah dari kehidupan sejati bersama dengan dan dalam Allah sendiri. Dalam Yesus nyata bahwa manusia menjadi peserta dalam kehidupan Allah sendiri yang menjadi kehidupan manusia. Dalam pendekatan tersebut pemikiran seolah-olah turun dari Allah menuju manusia. Titik tolaknya ialah Allah yang menghubungi manusia, lalu bertindak dalam sejarah. Dan itu terjadi dengan Yesus, orang Nazareth, yang menjadi penampakan aktif Allah dalam sejarah dan di bumi. Maka yang tampak sebagai manusia Yesus orang Nazareth, sungguh unik, Anak Tunggal Allah dengan tidak ada taranya dan bandingnya. Dan Allah dalam Yesus Kristus berupa kekuatan, Roh-Nya, tetap tinggal aktif hadir dalam sejarah manusia sampai akhir. Manusia - asal percaya - menjadi peserta dalam daya kekuatan Allah, dalam kehidupan Allah yang pernah tampak dalam Yesus. Pendekatan dari atas, yang "menurun" itu, tentu saja Sangat menolong untuk mengkonsepsualkan dan membahasakan keunggulan Yesus, kedudukan dan peranan tunggal-Nya. Tetapi konsep dan bahasa itu agak mitologis dan menjadi agak kaburlah bagaimana dan sejauh mana Yesus Kristus masih seorang manusia di tengah-tengah manusia lain dengan segala keterbatasan. Kalau juga jelas bahwa Yesus itu Anak Tunggal, tetapi bagaimana ia masih juga anak Maria! Cara memikirkan Yesus itu agak cocok dengan alam pikiran Yunani yang gemar akan dewa-dewi yang turun dari surga dan menjelma sebagai manusia. Hanya dewa/dewi itu sebenarnya bukan manusia, tetapi terlebih "bertopeng" manusia. Tetapi Yesus jangan dipikirkan sebagai dewa yang bertopeng manusia. Dan justru itulah bahaya yang terkandung dalam pendekatan dari atas dan yang menurun itu. Pada awal abad II tersedia dua pendekatan tersebut dan kedua-duanya tercantum dalam karangan-karangan yang menjadi Perjanjian Baru. Dan justru itulah tandanya bahwa kedua pendekatan itu perlu dipertahankan. Dua-duanya berat sebelah dan dua-duanya bisa mencetuskan pikiran yang mengubah Yesus Kristus yang mesti tetap sama, kemarin, hari ini untuk selama-lamanya. Kedua pendekatan itu seharusnya saling melengkapi dan saling mengimbangi. Tetapi memang sukar sedikit menyelaraskan kedua pendekatan itu. Dua-duanya berusaha lebih jauh menjelaskan Yesus Kristus, sasaran iman kepercayaan umat Kristen. Tetapi Yesus Kristus toh terus meluputkan diri dari pemahaman tuntas manusia. Tidak tersedia konsep dan bahasa yang sungguh dapat mengungkapkan Yesus Kristus, Anak Maria, Anak Allah, Tuhan dan Juru Selamat. |
|
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2001. |