|
Bab III. Yesus Kristus Mencari Tempat di
Dunia Yunani (abad II-III)
1. Situasi pada awal abad II
Menjelang akhir abad I Masehi kepercayaan Kristen sudah
tersebar luas. Di mana-mana terbentuk jemaah-jemaah Kristen.
Menurut petunjuk yang dapat digali dari karangan-karangan
yang terkumpul dalam Perjanjian Baru, refleksi umat Kristen
atas fenomena Yesus dan pengalaman umat sendiri semakin
terpengaruh oleh alam pikiran Yunani. Para penerus Paulus
(penulis Ef, Kol, surat pastoral), penulis 2Ptr, Yud, Kis,
Ibr, sudah bergerak dalam alam pikiran yang ciri Yunaninya
menyolok. Demikian pun karangan-karangan yang berasal dari
tradisi Yohanes. Pengaruh kebudayaan Yahudi mundur.
Tradisi awal yang berpangkal pada Yesus sendiri dan pada
jemaah semula mulai dibukukan dalam karangan-karangan yang
kemudian disebut "Injil-injil sinoptik." Tentu saja tradisi
itu pun sudah diolah dan pengolahan itu terpengaruh oleh
kebudayaan Yunani. Di samping karangan-karangan itu serta
karangan-karangan lain yang kemudian terkumpul dalam
Perjanjian Baru, tercipta dan beredar karangan-karangan
lain. Sebagian dari karangan-karangan itu pada abad XVII
terkumpul menjadi "Patres Apostolici" (Bapa-bapa rasuli).
Jumlah karangan yang dimasukkan ke dalam kumpulan itu tidak
selalu sama. Boleh disebutkan "Didakhe," ialah "Pengajaran
kedua belas Rasul" (disusun sekitar th. 90/100). Didakhe itu
merupakan suatu Tata tertib Gereja/Jemaah. Ada sebuah
karangan yang disebut "Surat Klemens Romanus," ialah sepucuk
surat yang dialamatkan oleh jemaah di Roma kepada jemaah di
Korintus. Ditulis sekitar tahun 100. Lagi sebuah karangan
yang disebut "Surat Barnabas" yang ditulis sekitar tahun
120. Ada tujuh surat yang oleh Ignatius, uskup Antiokhia di
Siria, sekitar tahun 107 dikirim kepada sejumlah jemaah di
Asia Depan, Roma dan uskup Smirna, Polykarpus. Polykarpus
ini sekitar tahun 107 menulis sepucuk surat kepada jemaah di
Filipi. Selama abad II sejumlah besar karangan lain beredar.
Hanya saja sukar dipastikan kapan persis karangan-karangan
itu disusun. Tetapi di antaranya (Misalnya: Injil yang
disebut Injil Tomas) ada yang menjelang akhir abad I atau
pada awal abad II digubah, sehingga sezaman dengan beberapa
karangan yang tercantum dalam Perjanjian Baru.
Seperti terbukti oleh karangan-karangan Perjanjian Baru
dan lain-lain karangan, maka umat Kristen pada awal abad II
jauh dari seragam, baik dalam organisasinya maupun dalam
pengungkapan iman kepercayaannya. Sebuah Kitab Suci Kristen
belum ada. Satusatunya Kitab Suci yang diterima ialah Kitab
Suci Yahudi, Perjanjian Lama yang dibaca dan ditafsirkan
dengan kaca mata Kristen, ialah pengalaman umat Kristen
dengan Yesus dan Roh Kudus. Tetapi sudah terbentuk beberapa
rumus pendek yang meringkaskan pokok-pokok inti kepercayaan
Kristen (Ibr 5:12; 6:1-2). Beberapa dari rumus itu tercantum
dalam Perjanjian Baru (1Kor15:3-5; 1Tes 4:14; Rm 1:3-4;
4:25; 10:9-10; 1Ptr3:18-19; 1Tim 3:16; 2:5; Kis 8:37). Hanya
baiklah diingat bahwa rumus-rumus itu tidak sama di
mana-mana dan karangan-karangan yang tercantum dalam
Perjanjian Baru cukup terbatas lingkup peredarannya dan
boleh jadi dicurigai (2Ptr 3:15-16).
Meskipun tidak ada suatu "pusat" umum, mirip dengan Roma
yang di kemudian hari menjadi pusat Gereja (Katolik), ada
beberapa tempat yang luas pengaruhnya. Yerusalem sebagai
pangkal dan awal mula segala-galanya tetap penting. Tetapi
di samping itu berkembanglah beberapa pusat lain: Antiokhia
di Siria, Efese di Asia Depan, Roma dan kiranya juga
Aleksandria di Mesir (1Kor 1:12; 16:12; Kis 18:12, 24;
28:15).
Kekristenan yang tidak seragam itu toh sudah menjadi dua
cabang, masing-masing dengan cirinya sendiri. Tentu saja
tidak jelas terpisah dan kadang kala tumpang tindih, namun
ada dua arus dalam kekristenan. Ada kekristenan Yahudi,
yaitu jemaah-jemaah yang terutama terdiri atas orang yang
berbangsa Yahudi. Pusat jemaah-jemaah itu tentu saja
Yerusalem, tetapi mereka toh terutama tersebar di Diaspora
dan terpengaruh oleh alam pikiran dan sinkretisme Yunani.
Rupanya jemaah-jemaah Kristen-Yahudi itu terutama terdapat
di Palestina, Siria, Asia Depan dan Mesir. Dan ada
kekristenan Yunani, ialah jemaah-jemaah yang secara
eksklusif atau terutama terdiri atas orang yang tidak
berbangsa Yahudi dan seluruhnya berkebudayaan Yunani.
Karangan-karangan Perjanjian baru, khususnya
karangan-karangan Paulus, membuktikan bahwa antara kedua
cabang kekristenan itu ada ketegangan yang juga menyangkut
caranya Yesus Kristus dipikirkan dan dinilai. Paulus memang
berbangsa Yahudi, tetapi toh tampil sebagai suara
jemaah-jemaah Yunani. Dan jelaslah antara Paulus dan jemaah
di Yerusalem, pusat kekristenan Yahudi, ada ketegangan dan
malah permusuhan (Kis 15:1, 39; Gal 2:4, 12; 6:13;
1Kor11:21; Flp 3:2-3; Rm :30-31). Dan kekristenan Yahudi
selama abad II terus bermusuhan dengan Paulus, yang dinilai
sebagai "pengkhianat" dan "murtad".
Tiap-tiap cabang kekristenan, Yahudi, dan Yunani,
menempuh perkembangannya sendiri. Dan perkembangan yang
berbeda itu pun menyangkut refleksi atas fenomena Yesus.
Muncullah "kristologi" yang berbeda.
|