|
Bab V. Yesus Kristus Mantap Dalam Kebudayaan
Baru (abad VII-XIX)
1. Peralihan
Boleh dikatakan bahwa dengan konsili Konstantinopolis III
(th. 680/681) selesailah rangkaian konsili Gereja yang
menentukan bagaimana umat Kristen, demi kesetiaannya pada
awal, memikirkan dan membahasa-kan imannya kepada Yesus
Kristus. Dengan syahadat-syahadat yang di-rumuskan
konsili-konsili itu diberikan semacam "tata bahasa iman"
kepada umat. Memang masih menyusullah konsili Nikea II (th.
787) yang membela dan menjelaskan peranan "gambar" (seni
rupa. seni lukis) dalam penghayatan iman Kristen. Cara
tertentu pendirian konsili Nikea II itu hanya merupakan
konsekuensi dari inkarnasi, seperti dijelaskan oleh
konsili-konsili sebelumnya. Konsili Konstantinopolis IV (th.
869/870) yang membereskan skisma antara Gereja di kawasan
timur dan Gereja di kawas-an barat, yang disebabkan batrik
Konstantinopolis Photius, tidak pernah diterima sebagai
konsili ekumenik. Konsili berikutnya baru diadakan pada
tahun 1123 dan merupakan perkara Gereja barat (latin)
melulu. Rangkaian konsili yang menyusul konsili Lateran I
itu tidak lagi menyangkut kristologi. Konsili-konsili itu
merepotkan diri dengan hal-hal lain, yang umumnya bersifat
praktek dan hukum melulu. Apa yang dibereskan dan ditolak
oleh konsili-konsili itu pun umumnya berkenaan dengan
kelakuan (moral) dan eklesiologi, bukan kristologi.
Sekaligus menjadi nyata bahwa pusat Gereja pindah dari timur
ke barat dan alam pikiran Roma-Latin me-nyingkirkan alam
pikiran Yunani Timur.
Suasana umum antara abad VII dan XII memang tidak
menguntung-kan pemikiran teologis. Di kawasan timur negara
Konstantinopolis serta kebudayaan Yunani terus dapat
mempertahankan diri sampai tahun 1453. Tetapi kawasan itu
terjepit oleh serbuan dari pihak kerajaan Persia dan
ber-bagai suku lebih kurang primitif dari sebelah utara yang hanya
dengan susah payah dapat ditangkis. Dan kemudian kawasan itu
terus diserbu oleh kaum musli-min dan para Mongol (abad
XIII). Sebaliknya di kawasan barat baik negara maupun
kebudayaan Yunani-Romawi hancur berantakan oleh serbuan
suku-suku biadab dari sebelah utara (pada tahun 410 Roma
sudah direbut dan dibakar oleh Alarik, pemimpin suku Got;
pada tahun 452 uskup Roma, Leo I, terpaksa berunding dengan
Atilla, pemimpin suku Hun, untuk me-nyelamatkan Roma).
Satu-satunya struktur yang sedikit banyak dapat
mempertahankan diri dalam kekacauan umum ialah struktur
Gereja Kristen Latin yang semakin terasing dari Gereja di
kawasan timur.
Gereja di kawasan barat sedikit banyak menyelamatkan
kebudayaan Yunani-Romawi dan dengan sisa itu beserta dengan
unsur-unsur dari suku-suku baru lama-kelamaan, sejak abad
VIII, mulai dibangun sebuah masyarakat dan kebudayaan baru,
kebudayaan Eropa Barat di zaman pertengahan.
Mengingat situasi itu dapat dipahami bahwa di kawasan
barat selama abad VII-XII teologi, termasuk kristologi,
hanya dapat memelihara dan meneruskan apa yang selama lima
abad sebelumnya berkembang dan menjadi mantap. Praktis,
penghayatan iman menjadi dangkal dan formal saja, bercampur
dengan pelbagai unsur "kafir" dan takhayul, dan disesuaikan
dengan perkembangan suku-suku yang baru menetap di wilayah
Eropa Barat. Suku-suku itu tentu saja menyerap banyak unsur
dari kebudayaan Yunani-Romawi dahulu, yang mereka temukan di
daerah itu. Dalam suatu proses lamban tapi tidak terbendung
semua suku itu dengan rela atau lebih kurang terpaksa masuk Kristen
dan mengadopsi kepercayaan Kristen versi "Katolik"
Barat.
Kristologi/soteriologi yang diwariskan kepada Gereja di
kawasan timur ialah kristologi seperti dirumuskan oleh
konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III, kalaupun para
nestorian dan para monophysit masih lama tersebar luas dan
cukup berbobot juga. Teologi para pujangga Gereja kawasan
timur berperan sebagai "tafsiran" atas apa yang dirumuskan
konsili-konsili dahulu. Teologi itu disistematisasikan oleh
Yohanes dari Damsyik. Karyanya "De Fide orthodoxa"
berabad-abad lamanya menjadi buku pedoman teologi di kawasan
timur yang selalu sangat menekankan kesetiaan pada tradisi
para leluhur dari zaman awal. Itu berarti bahwa gambaran
Yesus Kristus ialah suatu gambaran Yunani dengan tekanan
pada keilahian. Kristologi Yunani itu tentu saja menyerap
beberapa unsur dari kristologi Latin, khususnya melalui
konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III. Dari segi
soteriologisnya kristologi itu melihat penyelamatan terutama
secara positif, sebagai pengilahian manusia. Prinsip dasar
ialah: Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat menjadi
ilahi dan menjadi peserta dalam kebakaan dan ketidakfanaan
Allah, bebas dari pembusukan. Tekanan itu sesuai dengan
kerinduan manusia Yunani. Tentu saja dosa dan kedosaan
manusia tidak disangkal atau diremehkan, tetapi keadaan itu
tidak mendapat banyak tekanan. Nilai penyelamatan hal ihwal
Yesus Kristus, sengsara dan kematian-Nya tentu saja
dipertahankan, tetapi diletakkan dalam rangka keseluruhan
inkarnasi yang menjadi pangkal segala sesuatu. Hal ihwal
Yesus Kristus terutama diartikan sebagai: Anak Allah, Firman
Allah menjadi senasib dengan manusia, supaya manusia menjadi
senasib dengan Kristus ilahi.
Kawasan barat, yang semakin kurang mengerti bahasa
Yunani, mendapat kristologi/soteriologinya terutama dari
Augustinus, uskup Hippo di Afrika Utara (± th. 430).
Pujangga yang mahabesar itu sampai abad XII secara tunggal
menguasai teologi Gereja Latin. Produksi literer Augustinus
memang mengagumkan dan di kawasan barat terus disalin dan
dipelajari. Karya-karyanya yang paling penting ialah: De
Tritate; Tractatus (124) in Johanis Evengelium; Tractatus
(10) in Epistolam Johannis I; De Correptione et Gratia;
Enchiridion sive de Fide, Spe et Caritate; De Civitate Dei;
De Gratia et libero Arbitrio; De Praedestinatione Sanctorum;
De Dono Perseverantiae; De Gratia Christi et de Peccato
Originali; De Vera Religione.
Kristologi Augustinus, yang pada dasarnya adalah
"Logos-Anthropos" kristologi, melanjutkan kristologi seperti
berkembang dalam Gereja Latin (Tertullianus, Hilarius,
Ireneus) dan sehaluan dengan kristologi seperti dirumuskan
oleh konsili Nikea, Efese, Khalkedon dan Konstantinopo-lis
III. Kristologi konsili-konsili itu sendiri menyerap
kristologi Latin itu pula (Leo I, Agatho).
Tetapi dari segi soteriologis terjadilah suatu
penggeseran cukup penting, kalaupun dalam banyak hal
sehaluan dengan soteriologi timur. Karena polemiknya dengan
ajaran Mani (manikheisme), dengan penganut Donatus
(Donatisme) dan pengikut Pelagius (Pelagianisme dan semi
pelagianisme) dan kiranya juga berdasarkan pengalaman
pribadi dalam petualangan rohaninya dahulu, Augustinus
sangat menekankan hasil aktual karya penyelamatan. Masalah
pokok Augustinus ialah: bagaimana manusia (perorangan) yang
berdosa "dibenarkan," dibebaskan dari dosa dan dikuduskan.
Tekanan terletak pada "rahmat" (gratia) Allah bagi manusia
durhaka. Augustinus mempunyai pandangan cukup pesimis
terhadap situasi nyata manusia, yang didominasi oleh dosa
(massa damnala) dan yang sama sekali tidak mampu.
Augustinuslah yang mengembangkan ajaran tentang "dosa asal,"
bahkan dalam pendekatannya suatu "dosa warisan," yang secara
mendalam membusukkan manusia. Berlawanan dengan dosa ialah
"rahmat." Sebab berdasarkan karya penebusan Yesus Kristus
dan dengan perantaraan-Nya Allah dengan cuma-cuma
membenarkan orang-orang pilihan-Nya. Dan itu terjadi melalui
"rahmat." Tanpa rahmat itu manusia tidak dapat apa-apa. Maka
pusat soteriologi Augustinus ialah manusia dan situasi
malangnya beserta dengan "rahmat" yang dikurniakan Allah.
"Penebusan" aktual itu agak terlepas dari Yesus historis dan
"rahmat" kehilangan ciri personalnya, menjadi semacam
"pengaruh" dan menjurus kepada "benda." Dasarnya memang
kematian Yesus Kristus di salib. Kematian Yesus itu terutama
dilihat sebagai "korban" pemulih, penghapus dosa manusia,
sebab Kristus mati sebagai pengganti orang berdosa.
Suatu rangkuman kristologi/soteriologi Augustinus
ditemukan dalam Ench. 41 dan 108. Bunyinya sebagai
berikut:
"Oleh karena Ia tidak dibenihkan ialah diperkandung
melalui keinginan daging, maka Ia sekali-kali tidak terkena
dosa asal. Dan oleh karena berkat rahmat Allah, Ia secara
mengagumkan dan tak terperikan digabungkan dan ditumbuhkan
dalam kesatuan Diri dengan Firman Bapa, yang adalah Anak
bukan karena rahmat melainkan karena kodrat, maka Ia sendiri
pun tidak berdosa. Namun demikian, karena keserupaan daging
berdosa, yang ke dalamnya Ia datang, maka Ia sendiri telah
disebutkan "dosa" dan Ia perlu dipersembahkan untuk
menghapus dosa-dosa ... Sebab (sang Rasul) berkata: Dia yang
tidak mengenal dosa, ialah Kristus, dijadikan dosa demi
untuk kita (2Kor 5:21) oleh Allah, yang dengan-Nya kita
mesti didamaikan. Artinya ialah: Ia dijadikan korban untuk
dosa-dosa dan oleh korban itu kita dapat didamaikan. Maka
Dia itu (menjadi) dosa, supaya kita (menjadi) kebenaran
(justitia), bukanlah kebenaran kita sendiri, melainkan
(kebenaran/justitia) Allah; bukanlah di dalam kita,
melainkan di dalam Dia, sama seperti Dia itu "dosa,"
bukanlah dosanya sendiri, melainkan dosa kita" (Ench.
41).
"Waktu Adam dijadikan, yaitu manusia lurus (rectus), ia
tidak membutuhkan pengantara. Tetapi ketika umat manusia
oleh dosa-dosa dipisahkan jauh dari Allah, maka oleh
pengantara, satu-satunya yang tanpa dosa lahir, hidup dan
dibunuh, kita perlu didamaikan dengan Allah sampai dengan
kebangkitan daging menuju hidup kekal. Maksudnya: supaya
keangkuhan manusia ditegur dan disembuhkan oleh kerendahan
Allah dan supaya diperlihatkan betapa jauh manusia
memisahkan diri dari Allah dan supaya ia dipanggil kembali
oleh Allah yang menjadi daging. Dan juga oleh Manusia-Allah
diberikan teladan ketaatan kepada manusia yang keras kepala.
Dan oleh Anak Tunggal yang mengambil rupa manusia, yang
sebelumnya tidak berjasa sedikit pun, sumber rahmat
dibentangkan. Dan sebelumnya dalam Penebus sendiri
diperlihatkan kebangkitan daging yang dijanjikan kepada
mereka yang ditebus. Iblis dikalahkan dengan kodrat yang
sama, yang dengan gembira oleh Iblis dianggap tertipu
olehnya" (Ench. 108).
Tidak sukar menemukan dalam kedua nas tersebut semua
unsur kristologi dan soteriologi Augustinus. Yesus Kristus
ada manusia, seperti manusia lain (daging), senasib dengan
mereka kecuali dalam hal dosa. Manusia itu berkat rahmat
Allah dipersatukan dalam satu Diri dengan Firman, Anak
Tunggal Allah. Dengan demikian Yesus Kristus menjadi
pengantara. Ini suatu gagasan yang sangat digemari dan
diperkembangkan Augustinus (bandingkan dengan Civ. Dei
9.15). Dengan suatu pertukaran ajaib pengantara itu
membenarkan (justificatio) manusia, yang memang diciptakan
baik tetapi terjerat dalam dosa. Kematian Yesus di salib
merupakan korban pemulih dan penghapus dosa dan atas dasar
itu manusia dikurniai dengan kebenaran Allah. Dengan
demikian Kristus menjadi sumber rahmat dan menjamin
kebangkitan dan hidup kekal. Sekaligus Kristus menjadi
teladan ketaatan, berhadapan dengan ketidaktaatan dan
keangkuhan manusia (Adam). Keangkuhan manusia disembuhkan
oleh kerendahan Allah (kenosis). Tersinggung pula pikiran
tentang Iblis yang menipu manusia tetapi sendiri tertipu
oleh Kristus. Pikiran itu memang cukup laku pada para
pengkhotbah (Yohanes Khrisostomus, Hilarius, Ambrosius) dan
oleh Augustinus pun diurai-an (bandingkan dengan De
Trinitate 13,14-18).
Kristologi/soteriologi Augustinus itu diteruskan oleh
Fulgentius, uskup Ruspe di Afrika Utara (± th. 533).
Terpaksa oleh serbuan para Vandal di Afrika Utara Fulgentius
melarikan diri ke pulau Sardinia. Pikirannya tertuang dalam
sejumlah tulisan, antara lain "De Fide ad Petrum," suatu
rangkuman teologi Kristen Katolik, versi barat, khususnya
versi Augustinus.
Kristologi/soteriologi Augustinus dan penerusnya
diwariskan kepada Gereja di kawasan barat antara lain oleh
suatu pengakuan iman yang pada tahun 675 diresmikan oleh
suatu sinode uskup di Toledo (Spanyol). Penulisnya, ialah
uskup agung Quiricius, antara lain memanfaatkan tulisan
Augustinus dan Fulgentius. Pengakuan iman sinode di Toledo
itu (bandingkan dengan DS 525-541) antara lain mengatakan
tentang Yesus Kristus sebagai berikut:
"Anak yang sebelum segala zaman lahir dari hakikat
(substantial Bapa ... diimani sehakikat (unius substantiae,
homo-ousios) dengan Bapa ... yang karena kodrat (natura) dan
bukan karena pengangkatan (adoptio) adalah Anak Allah" (DS
525.526).
"Dari ketiga Diri {persona) ilahi hanya diri Anak
mengambil manusia (homo) sejati tanpa dosa ... demi
pembebasan umat manusia" (DS 533).
"... Firman menjadi daging dan tinggal di antara kita
(Yoh 1:14). Tetapi Firman itu tidak diubah atau dialihkan
menjadi daging, seolah-olah berhenti sebagai Allah oleh
karena mau menjadi manusia. Tetapi Firman menjadi daging
sedemikian rupa, sehingga di sana tidak hanya ada Firman
Allah dan daging manusia, tetapi juga jiwa manusia yang
berakal. Dan keseluruhan itu disebut baik Allah karena
(memang) Allah dan manusia karena memang manusia. Kami
percaya bahwa dalam Anak Allah itu ada dua kodrat, yang satu
keilahian dan yang lain kemanusiaan, yang oleh Diri Kristus
yang satu dipersatukan di dalam diri-Nya begitu rupa,
sehingga keilahian tidak pernah dapat dipisahkan dari
kemanusiaan dan kemanusiaan tidak pernah dapat dipisahkan
dari keilahian. Maka Kristus yang satu dalam kesatuan Diri
(unitatepersonae) adalah Allah sepenuhnya dan manusia
sepenuhnya. Tetapi dengan mengatakan bahwa pada Anak ada dua
kodrat, kami tidak menyebabkan bahwa padanya ada dua Diri
(persona). ... Sebab Firman Allah tidak mengambil diri
manusia (persona hominis), tetapi kodrat dan dalam diri
keilahian yang kekal Ia mengambil hakikat daging (substantia
carnis)" (DS 534). "Maka (Anak Allah) mempunyai dalam
diri-Nya hakikat (substantia) rangkap, yaitu hakikat
keilahian-Nya dan hakikat kemanusiaan kita. Oleh karena
tanpa awal Ia keluar dari Allah Bapa, maka Ia dikatakan
hanya lahir, tidak dijadikan atau ditakdirkan; tetapi oleh
karena Ia lahir dari Maria Ia diimani sebagai yang lahir dan
dijadikan serta ditakdirkan" (DS 536). "Dalam rupa manusia
yang diambil-Nya Ia diimani diperkandung tanpa dosa, lahir
tanpa dosa dan mati tanpa dosa; sebab Ia hanya "menjadi
dosa" (2Kor 5:21) demi untuk kita, artinya: menjadi korban
bagi dosa-dosa kita. Namun penderitaan itu sendiri -
meskipun keilahian-Nya terluput - Ia tanggung demi untuk
kejahatan kita dan Ia dikatakan mati dan menderita kematian
daging yang sungguh-sungguh di salib. Pada hari ketiga Ia
dibangunkan oleh kekuatan-Nya sendiri dan bangkit dari
kubur" (DS 539). "Selesai kebangkitan suci yang menjadi
contoh (kebangkitan manusia), Tuhan dan Juru Selamat kita
yang sama naik kembali kepada tahta Bapa, yang dari-Nya Ia
tidak pernah pergi oleh karena keilahian-Nya. Dan di situ Ia
duduk di sebelah kanan Allah dan sebagai Hakim semua orang
hidup dan mati dinantikan di akhir zaman" (DS 540).
Jelaslah kristologi yang dibentangkan dalam pengakuan
iman itu ialah kristologi konsili Khalkedon yang diwarnai
sedikit oleh pendekatan Augustinus, Sebaliknya soteriologi,
yang cukup menekankan dosa dan realitas hal ihwal manusiawi
Yesus Kristus dan segi eskatologisnya, lebih bernada
soteriologi Augustinus daripada soteriologi yang tradisional
di kawasan timur. Keseluruhan tersebut, kristologi Khalkedon
yang menekankan keilahian Kristus dan soteriologi
Augustinus, itulah yang menjadi warisan bagi abad-abad
berikut.
|