|
Bab I. Fenomena Yesus
Yesus yang antara lain diberi gelar dan nama "Kristus"
dan yang menjadi sasaran iman kepercayaan Kristen,
diandaikan saja bahwa sungguh-sungguh seorang tokoh yang
pernah tampil di panggung sejarah. Dikatakan kenyataan itu
diandaikan saja oleh iman kepercayaan itu. Sebab apa yang
paling penting ialah: Yesus Kristus yang pernah ada, tetap
sampai sekarang dan hingga akhir zaman relevan dan bermakna.
Bukan misalnya "ajaran-Nya" melainkan orangnya. Dia itulah
yang menjadi sasaran iman kepercayaan.
Namun pra-andaian tersebut mahapenting. Sebab malah
dicantumkan dalam syahadat resmi umat Kristen. Sebab salah
satu butirnya berbunyi: "Yang menderita di masa pemerintahan
Pontius Pilatus." Pontius Pilatus, wali negara Roma di
Palestina pada tahun 26 - 36, masuk ke dalam syahadat iman
Kristen oleh karena dengan cara demikian umat Kristen mau
menyatakan bahwa Yesus Kristus, sasaran kepercayaannya,
memang seorang tokoh historis, yang tampil di panggung
sejarah pada saat tertentu, di tempat tertentu dalam
kerangka etno-politik tertentu juga. Secara negatif
penegasan itu berarti bahwa sasaran iman kepercayaan Kristen
bukan sebuah dongeng atau mitos, ciptaan manusia. Secara
positif ditegaskan bahwa kepercayaan Kristen terikat pada
saat tertentu dan pada tokoh tertentu dalam sejarah umat
manusia. Dan semuanya itu demi isi real seluruh iman
kepercayaan Kristen. Keselamatan umat manusia bergantung
pada kejadian real di muka bumi ini dan bukanlah pada ajaran
tertentu atau pada buah khayal dan pikiran manusia
sendiri.
Namun demikian hanya relatif sedikit dapat diketahui
tentang tokoh historis itu secara terinci. Kesaksian tentang
tokoh Yesus itu hampir saja secara eksklusif ditemukan dalam
karangan-karangan umat yang percaya kepada-Nya.
Karangan-karangan itu kemudian terkumpul dalam Perjanjian
Baru. Di mana lingkup umat Kristen sendiri hampir saja tidak
ada berita. Dan dengan demikian jelaslah tampilnya tokoh itu
tidak terlalu menghebohkan dunia di masanya. Baiklah
disadari bahwa tidak satupun dari karangan-karangan Kristen
tersebut bermaksud memberi laporan tentang Yesus orang
Nazareth. Semuanya memberi kesaksian tentang iman
kepercayaan orang Kristen kepada Yesus Kristus. Tidak
dilaporkan apa yang dapat diamati setiap orang yang hadir di
zaman itu dan sempat bertemu dengan Yesus itu. Semua
karangan itu berdasarkan keyakinan bahwa Yesus itu pernah
ada, tetapi tidak sengaja merepotkan diri dengan kenyataan
itu. Karangan itu tidak memberitakan apa yang diamati,
melainkan apa yang diimani orang Kristen dua-tiga generasi
pertama, antara tahun ±40 - 100. Dengan mengumpulkan
karangan-karangan itu menjadi Kitab Sucinya, umat Kristen
mengakui kesaksian karangan-karangan itu sebagai kesaksian
yang benar-benar mengenai sasaran iman kepercayaan umat,
tetapi bukan sebagai laporan mengenai Yesus orang Nazareth.
Itu diandaikan saja, tak perlu ditegaskan, apalagi
dibuktikan.
Namun demikian melalui kesaksian iman Kristen itu orang
toh masih dapat secara umum melihat sedikit Yesus yang
bagaimana dapat diamati oleh orang sezamannya. Rekonstruksi
berikut ini sebagian besar hipotesis. Nas-nas yang dikutip
sukar dipastikan bobot historisnya. Maka gambaran Yesus yang
disajikan di sini bukanlah suatu "potret," tapi kurang tebih
mendekati kenyataan sejarah.
Orang Yahudi yang bernama Yesus itu berasal dari sebuah
desa, bernama Nazareth (Kis 10:37), di daerah Palestina yang
bernama Galilea (Mrk 1:9), suatu daerah Yahudi tetapi dengan
cukup banyak penghuni yang tidak berbangsa dan tidak
beragama Yahudi (Mat 4:15). Di Nazareth itu Yesus rupanya
menjadi tukang (kayu?) (bandingkan dengan Mrk 6:3). Jadi
Yesus berasal dari lapisan rendah masyarakat, tetapi tidak
dari kalangan proletariat. Boleh diandaikan bahwa Yesus
menempuh pendidikan yang lazim bagi anak Yahudi pada lapisan
masyarakat itu. Boleh dikatakan bahwa berkat pendidikan itu
Yesus tahu membaca dan menulis (hal itu memang biasa di masa
itu sehubungan dengan peranan penting yang dipegang Kitab
Suci dalam agama Yahudi). Yesus pasti juga tahu sedikit
banyak tentang isi Alkitab dan tradisi keagamaan Yahudi,
meskipun Yesus bukan "ahli kitab atau ahli tradisi"
(bandingkan dengan Yoh 7:15). Boleh jadi Yesus juga tahu
sedikit bahasa Yunani, sebab di masa itu bahasa Yunani
menjadi bahasa kedua amat banyak orang, apa pula di Galilea
tempat agak banyak penduduk berbahasa Yunani.
Waktu berumur ± 30 tahun (Luk 3:23) Yesus tampil ke
depan dengan meninggalkan tempat asal-Nya, famili dan mata
pencaharian-Nya (Mrk 3:31-35.21; Luk 4:23). Mungkin Yesus
terpengaruh oleh seorang tokoh lain, bernama Yohanes dan
bergelar Pembaptis, yang pada masa itu tampil di daerah
Yudea (Yoh 4:1-3). Yohanes yakin bahwa penghakiman Allah
mendekat dan orang hanya bisa terluput dengan bertobat dan
menjalani pembasuhan sebagai tandanya di sungai Yordan
(bandingkan dengan Mrk 1:4-5; Mat 3:7-12). Mirip dengan
Yohanes Yesus sambil berkeliling khususnya di Galilea, mulai
memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:14-15).
Gagasan "Kerajaan Allah" suatu gagasan yang tradisional pada
bangsa Yahudi (bandingkan dengan Yes 52:7; Mi 2:12-13;
4:6-8; Zef 3:14-15; Za 14:9.16-17; Yes 24:23; Dan 4:34).
Istilah itu berarti bahwa Allah (di masa mendatang) akan
membuat kuasa-Nya menjadi nyata di bumi bagi umat-Nya dan
itu menjadi keselamatan umat - asal menerima dan mengakui
kuasa Allah itu - (segi itu ditekankan Yesus) atau
penghakiman, kebinasaan (segi itu ditekankan Yohanes).
Penyataan kuasa Allah itu diharapkan untuk masa mendatang
dan, dalam aliran apokaliptis, pada akhir zaman. Baik
Yohanes (Mat 3:2) maupun Yesus (Mat 4:17) memberitakan bahwa
Kerajaan Allah dan dengan demikian akhir zaman sudah dekat
dan orang mesti siap mengakui dan menerimanya. Tidak akan
ada lagi suatu penyataan lain lagi. Yang dekat itu sungguh
yang terakhir (bandingkan dengan Mrk 9:1; Luk 10:9-11;
9:27).
Sama seperti Yohanes Yesus pun tidak hanya yakin bahwa
penyataan kuasa Allah, Kerajaan-Nya, sudah dekat, tetapi
juga mutlak perlu. Dua-duanya yakin bahwa situasi religius
umat Israel, yang diakui sebagai umat pilihan Allah, buruk
sekali (Luk 11:29; Luk 13:1-5; Mrk 8:12; 7:6). Dari segi
umat manusia, malah situasi itu tanpa harapan. Tentu saja
diterima, sesuai dengan tradisi umat yang tercantum dalam
Alkitab, bahwa Allah dahulu sudah melimpahkan karunia dan
belas kasih-Nya kepada umat (Mat 8:12; 15:24; 10:6), tetapi
ternyata bahwa itu tidak cukup. Kalau hanya itu umat hanya
dapat jatuh binasa (Luk 21:23; Mat 23:33). Mesti terjadi
sesuatu yang lain, suatu penyataan kuasa Allah yang baru.
Dan penyataan itu benar-benar yang terakhir dan kini sudah
amat dekat.
Dan memang demikian. Pada masa Yohanes dan Yesus situasi
umat Israel amat jelek. Dari segi sosio-politis (yang tidak
terpisah dari segi religius) bangsa Yahudi sudah lama
menjadi daerah penjajahan Roma (sejak th. 62 SM) yang
hanya berusaha menarik untung sebesar-besarnya, kerap kali
dengan pertolongan penguasa setempat, seperti di Palestina
Raja Herodes Agung serta keturunannya dan
pendukung-pendukungnya. Dan di masa Yohanes dan Yesus negeri
terus dilanda kerusuhan sosio-poiltis yang dengan kekerasan
ditumpas para penguasa (Kis 5:36-37; 21:38). Dari segi
religius pun situasi umat Israel tidak menggembirakan. Ada
berbagai aliran keagamaan yang tidak hanya berbeda tetapi
juga berlawanan satu sama lain. Ada aliran Farisi (dengan
berbagai cabang) yang dengan sistem peraturan yang semakin
teliti berusaha, supaya Hukum Taurat tetap dilaksanakan
dalam hidup sehari-hari. Ada golongan imam, khususnya dari
kalangan atas (Saduki) yang meletakkan tekanan pada ibadat,
upacara korban dalam Bait Allah di Yerusalem, yang dengan
meriah diselenggarakan. Ada aliran apokaliptis (dengan
berbagai varian), yang tidak punya harapan lagi sehubungan
dengan keadaan nyata, dan bermimpi tentang akhir zaman yang
pasti membawa keselamatan bagi para pengikut mereka, padahal
bagi yang lain hanya tersedia kebinasaan. Dan ada lagi
kelompok-kelompok dan aliran yang berdasarkan keyakinan
religius dengan kekerasan senjata berusaha menumbangkan
sistem sosio-politis yang ada. Tentu saja masih ada banyak
orang yang sungguh takwa dan saleh, tetapi pada umumnya iman
kepercayaan lama (yang terungkap dalam Alkitab, khususnya
para nabi) sudah merosot menjadi suatu sistem keagamaan
(hukum Taurat dan ibadat) yang dianggap dapat menjamin
keselamatan manusia dengan dilaksanakan secara saksama. Baik
Yohanes maupun Yesus menilai situasi itu serba salah (Mat
3:9; 5:20). Allah sendiri sajalah yang masih dapat menjadi
andalan (Luk 7:29), satu-satunya yang masih mampu mengubah
situasi itu. Dan oleh karena yakin tentang kesetiaan Allah,
maka Yohanes dan Yesus yakin pula bahwa tidak lama lagi
Allah akan menyatakan kuasa-Nya untuk kali terakhir.
Meskipun mirip satu sama lain, namun Yohanes Pembaptis
dan Yesus dalam pemberitaan mereka tentang Kerajaan Allah
toh berbeda sedikit juga.
Yohanes memberitakan bahwa penghakiman Allah dekat dan
sungguh menjadi ancaman bagi seluruh umat (Mat 3:7-10,12;
Luk 3:7-9). Tentu saja orang masih dapat luput dari
penghakiman itu dan sesudah itu turut serta dalam
keselamatan yang dikerjakan Allah. Tetapi mutlak perlu orang
bertobat dahulu dan segera bertobat. Bertobat berarti
berubah haluan hidup, seluruh cara berpikir dan menilai,
tentang dirinya dan situasinya. Nyatanya bertobat berarti:
tidak percaya pada apa saja, kecuali pada Allah semata-mata,
sebab dari segi umat tidak ada dasar apa saja untuk
mengharapkan keselamatan dari Allah. Agama seadanya tidak
memberi harapan, sejarah penyelamatan dahulu tidak memberi
harapan, kepilihan Israel tidak memberi harapan. Hanya Allah
saja yang masih dapat menyelamatkan orang yang mengakui
situasi tanpa harapan itu (Luk 3:17;Mat 3:12). Tentu saja
orang hanya dapat bertobat atlas dasar belas kasihan Allah
semata-mata. Tobat itu diperagakan dengan pembasuhan dalam
sungai Yordan, yang melambangkan penghakiman Allah. Dan
mereka yang bertobat dengan cara demikian akan terluput dari
murka Allah dan ikut serta dalam keselamatan terakhir,
Kerajaan Allah. Kerajaan itu kini belum ada tapi nanti
menyusul penghakiman.
Yesus di lain pihak tidak hanya memberitakan bahwa
Kerajaan Allah, penyataan kuasa Allah Penyelamat, sudah
dekat. Sebaliknya: Kerajaan Allah itu sedang terjadi, sudah
mulai menyatakan diri, menembus ke dalam situasi tanpa
harapan (Mat 12:28; Lpk 11:20; 10:21; Mat 13:16-17; Luk
10:23-24). Allah tidak menunggu sampai orang bertobat,
tetapi sebaliknya sudah merangkul orang berdosa, umat dalam
situasi buruknya. Bila dalam pemberitaan Yohanes penghakiman
mendahului Kerajaan Allah, pada Yesus Kerajaan Allah
mendahului penghakiman. Tentu saja Yesus pun memberitakan
penghakiman (Mat 11:22-24; 12:41-42; 10:15). Tetapi
penghakiman ilu menyusul penyataan Kerajaan Allah yang sudah
dimulai. Dalam pendekatan Yohanes halnya dipikirkan sebagai
berikut: Kini ada zaman yang serba buruk. Segera Allah
melaksanakan penghakiman-Nya, lalu Kerajaan penyelamatan
menjadi nyata. Yesus melihat halnya secara lain. Allah dalam
zaman yang buruk itu sudah menyatakan Kerajaan
penyelamatan-Nya (Luk 19:42; Mrk2:18-22; Mat 16:3). Atas
dasar itu orang dapat dan harus bertobat dan tetap menjadi
peserta dalam Kerajaan Allah itu, mengalami keselamatan-Nya
(Mrk 9:43-47; Mat 22:11-13). Tetapi apa yang kini sudah
mulai di dalam dunia yang buruk ini nanti akan diselesaikan
(Mat 24:32-35; Luk 21:29-31). Dan penyelesaian itu akan
didahului penghakiman terakhir (Mat 7:24-27).
Dengan demikian Allah yang diberitakan Yesus berbeda
sedikit dengan Allah yang diberitakan Yohanes. Yohanes
melihat Allah penyelamat terutama sebagai hakim. Melalui
penghakiman Allah menyelamatkan orang yang bertobat.
Sebaliknya, Yesus melihat Allah sebagai Allah yang kini
sebagai Bapa (Mat 7:11; 6:8, 26-32; Luk 12:32) mendekati
orang malang untuk menyelamatkan mereka tanpa memasang
syarat apa saja. Hanya bagi orang yang setelah mengalami
Allah sebagai Bapa yang merangkulnya tanpa syarat toh
menolak-Nya, Allah menjadi hakim yang menolak mereka yang
menolak-Nya (Mrk 12:1-9; Mat 22:1-7). Bila dalam pendekatan
Yohanes Allah Hakim menjadi Bapa bagi mereka yang bertobat,
maka dalam pendekatan Yesus Allah Bapa menjadi Hakim bagi
mereka yang tidak bertobat.
Dan Yesus bertindak seolah-olah kuasa penyelamatan Allah,
Kerajaan-Nya, sebenarnya sudah menjadi nyata melalui Yesus
sendiri, melalui perbuatan dan pemberitaan-Nya.
Secara demonstratif Yesus menyatakan banwa perwujudan
Kerajaan Allah tidak bergantung pada pelaksanaan hukum agama
yang berlaku (Mat 11:12-13). Atas dasar keyakinan itu Yesus
tidak segan melanggar hukum agama, bila itu perlu untuk
mendekati orang yang malang. Yesus tidak segan menyingkirkan
hukum Sabbat (Mrk 2:27; 3:4; Mat 12:11-12) yang dengan keras
melarang orang "bekerja," kecuali dalam keadaan darurat
seperti ditetapkan oleh ahli Taurat. Yesus tidak begitu saja
melanggar hukum Sabbat itu, tetapi Ia sendiri menentukan
kapan itu tidak berlaku lagi dan selalu demi kepentingan
orang lain. Yesus tidak segan menyingkirkan hukum agama
mengenai najis dan tahir, halal dan haram, oleh karena hati
orang jauh lebih penting daripada aturan lahiriah (Mrk 7:15;
Luk 11:38). Dan Yesus tidak segan "memperbaiki" hukum lama
(Mat 5:21-22, 27-28, 31-32, 33-37) dengan mendasarkan diri
pada tata penciptaan (Mat 5:43-45; 19:4-6) yang mendahului
hukum Musa.
Tetapi dengan berlaku demikian Yesus bertindak
seolah-olah lebih berwewenang daripada Musa (Mat 12:8), yang
dalam tradisi Yahudi paling berwewenang, utusan dan kuasa
Allah sendiri. Yesus berlaku seolah-olah melalui diri-Nya
Allah memulai sesuatu yang baru, yang lain dari yang
sudah-sudah (Mrk 1:27; 2:21-22).
Yesus pun secara menyolok bergaul dan berkerabat, makan
bersama dengan orang yang menurut agama justru terkucil dari
umat Allah, dari ibadat dan dengan demikian terkucil dari
keselamatan Allah (Mrk 2:15; Luk 7:34). Yesus berkerabat
dengan "orang berdosa," pemungut cukai dan pelacur, mereka
yang tidak ambil pusing tentang hukum agama, hukum Allah
(Mat 11:19; Luk 15:2; 5:30; 19:1-2). Yesus tidak menunggu
dan tidak menuntut mereka "bertobat" dahulu, kembali ke
jalan lurus sesuai dengan hukum (Luk 19:7; 7:36-40.49-50).
Begitu saja Ia mendekati mereka. Kelakuan itu semacam
"perumpamaan." Dengan tindakan-Nya Yesus sebenarnya
menyatakan tindakan Allah, Kerajaan-Nya yang mendatangi
orang malang, orang berdosa, tanpa prasyarat apa pun.
Yesus juga mendekati orang malang pada umumnya, mereka
yang cacat, sakit, dianggap kerasukan roh najis (Mat 4:23;
8:16; 9:35; 15:30; 21:14), Dan Ia terutama mendekati rakyat
jelata, mereka yang secara sosio-ekonomis dan politis tidak
berdaya (Luk 4:18-19; 6:20-26; 7:22-23). Meskipun semua
ceritera terinci yang tercantum dalam keempat Injil tidak
boleh dinilai sebagai "laporan" tentang kejadian nyata,
namun dalam ceritera-ceritera itu terungkap sebuah kesan
umum yang ditinggalkan Yesus pada orang sekitar-Nya. Dan
justru semua orang tak berdaya itu dengan satu dan lain cara
juga secara religius dinilai kurang memadai, kurang
diberkati oleh Allah. Orang cacat, sakit, kerasukan roh
jahat dianggap tidak mengambil bagian dalam berkat Allah
perjanjian, Allah umat Israel (Im 21:18-20; Ul 23:1-2; Im
20:27; 13:45-46). Meskipun dalam tradisi Israel, seperti
tercantum dalam Perjanjian Lama (Yes 56:3-7; Mzm 146; Keb
3:13-14; 4:7), sudah ada pandangan lain, pandangan itu tidak
berhasil menjadi suatu pandangan umum. Dan bagaimanapun juga
selalu toh mesti ada "takwa," kesalehan, ketaatan kepada
Allah dan hukum-Nya. Dan semuanya itu oleh Yesus seolah-olah
tidak diperhitungkan.
Seluruh kelakuan Yesus tersebut yang menyimpang dari yang
lazim dalam rangka masyarakat dan agama Yahudi di zamannya
sebenarnya semacam perumpamaan. Yesus memperagakan dan
begitu memperlihatkan dan mewujudkan kelakuan Allah seperti
Ia memahami-Nya, yang mendekati orang malang, orang berdosa
dan orang yang di segala bidang tidak berdaya sama sekali.
Begitu diperlihatkan bahwa Kerajaan Allah yang diberitakan
Yesus sebenarnya sudah mulai mewujudkan diri. Bila Yesus
mengutamakan orang miskin, rakyat jelata, orang cacat dan
sakit serta yang dianggap kerasukan roh jahat yang
bermusuhan dengan Allah, maka mereka tidak diutamakan justru
oleh karena miskin, sakit, berdosa dan sebagainya, tetapi
oleh karena pada merekalah paling nyata dan paling tampak
betapa parah keadaan seluruh umat di hadapan Allah. Bila
tindakan Yesus boleh disebut semacam "perumpamaan" tindakan
dan sikap Allah, maka orang malang itu merupakan semacam
"perumpamaan" situasi umat, situasi dunia, manusia yang
nyata.
Kelakuan dan tindakan Yesus didukung oleh pewartaan-Nya.
Dalam cara mengajar Yesus sudah berbeda dengan "guru-guru
agama" lain di zaman-Nya (Mat 7:29; Mrk 1:27). Yesus tidak
mendasarkan diri dan ajaran-Nya pada tradisi, pada Alkitab
Yahudi dan tafsirannya. Begitulah cara para "ahli agama"
Yahudi mengajar. Mereka tidak mau "mengajar sesuatu yang
baru." Selalu mesti ada dukungan dari Alkitab atau tradisi
"nenek moyang" (Mat 15:2; Mrk 7:3-5) dahulu. Bahkan kalau
sebenarnya ada sesuatu yang baru, maka dengan macam-macam
cara toh dicari dasarnya dalam Alkitab dan tafsirannya.
Sebaliknya Yesus mengajar seolah-olah mempunyai wewenang
khusus (Mat 15:17-20), melebihi wewenang Musa dan wewenang
Alkitab (Yoh 5:45-46; Mat 19:7), sehingga nampaknya menghaki
wewenang Allah sendiri (Mat 19:17-21). Dan itulah sebabnya
Yesus malah memberanikan diri mencabut hukum agama yang
tercantum dalam Alkitab (Mat 5:33-34). Secara baru Yesus
menyatakan kehendak Allah sendiri (Mat 6:33.20), kehendak
Allah semula dan murni, kehendak Allah yang belum
"diperlunak" demi "kekerasan hati manusia" (Mrk 10:5).
Dengan wewenang-Nya sendiri Yesus menentukan mana intipati
hukum Allah (Mrk 12:28-31).
Dalam mewartakan Kerajaan Allah dan kehendak Allah Yesus
menggunakan pelbagai cara, seperti tradisional di
lingkungan-Nya. Ia memakai "pepatah," "teka-teki," "petuah,"
wejangan dan sebagainya. Tetapi Ia terutama menggunakan
jenis sastra yang disebut "perumpamaan." Di satu pihak dalam
hal itu Yesus berdekatan dengan para ahli kitab yang juga
gemar akan perumpamaan. Tetapi ada perbedaan yang cukup
menyolok. Para ahli Taurat Yahudi menggunakan perumpamaan
untuk menjelaskan dan menafsirkan Alkitab dan hukum Musa.
Tetapi Yesus tidak menjelaskan dan menafsirkan Alkitab dan
hukum Taurat. Yesus memberitakan Kerajaan Allah yang sudah
dekat dan mulai menembus ke dalam dunia ini (Mat 13:5-9).
Melalui perumpamaan Yesus justru menggambarkan Kerajaan
Allah yang mendekat dan sedang terjadi. Bagaimana jadinya
dengan manusia yang menerima pewartaan Yesus dan terangkul
oleh Allah yang berdaulat itu (Mat 13:44-46). Diperlihatkan
bagaimana Kerajaan Allah, kasih Allah yang dialami mengubah
diri manusia dan kehidupannya. Dan juga dalam pewartaan
Yesus itu Kerajaan Allah dengan daya kekuatan-Nya mendekati
dan mengubah manusia serta kehidupannya (Mat 13:33; Luk
16:1-8). Dalam pewartaan-Nya pun Yesus "penuh kuasa." Dan
kalau Kerajaan Allah yang melalui pemberitaan Yesus
mendekati manusia ditolak, maka Kerajaan penyelamatan itu
berubah menjadi penghakiman (Mat 22:1-13). Hanya sedangkan
Kerajaan itu sekarang sudah terjadi, penghakiman nanti baru
akan menyusul, meskipun rupanya Yesus yakin bahwa tidak lama
lagi penghakiman itu akan berlangsung bertepatan dengan
penyelesaian Kerajaan Allah dan kedatangan Anak manusia
sebagai hakim (Mat 10:23; Mrk 13:29).
Seluruh pewartaan Yesus serta kelakuan-Nya yang sesuai
berdasarkan suatu pengalaman pribadi. Bekas pengalaman itu
kiranya terdapat dalam Luk 10:18. Di sana Yesus menegaskan
bahwa la pernah melihat "Iblis jatuh seperti kilat dari
langit." Dalam alam pikiran apokaliptis dunia seadanya
memang dalam genggaman Iblis (Mat 4:9; Yoh 12:31). Tetapi
Yesus "melihat" tahta "raja dunia ini" sudah tertumbang.
Iblis sudah dikalahkan dan dicabut kekuasaannya (Mrk 3:27).
Dan hanya Allah dapat menumbangkan Iblis itu. Maka Allah
sudah mulai "meraja," mengganti Iblis. Pengalaman itulah
yang membuat Yesus memberitakan Kerajaan Allah sebagai
sesuatu yang sedang terjadi. Dan Yesus sendiri menjadi
utusan Allah yang mewujudkannya di bumi ini (Luk 10:23-24;
Mat 11:5-6; Luk 11:29-32) sebagai awal penyelesaiannya
nanti.
Melalui karangan Perjanjian Baru, khususnya keempat
Injil, yang tidak mau "melapor" apa yang sesungguhnya
terjadi, orang masih juga dapat merasakan betapa tampilnya
Yesus, pewartaan dan kelakuan-Nya menggegerkan mereka yang
menyaksikannya. Umumnya Yesus menjadi teka-teki bagi mereka.
Tercetuslah pertanyaan: Siapa gerangan orang ini? (Mat 8:27;
21:23; Mrk 6:2). Ia tidak memadai tokoh-tokoh yang dikenal
tradisi Yahudi. Ia dapat dinilai sebagai seorang nabi (Mat
16:14; Luk 7:16; Mat 21:11) atau pun dicurigai sebagai
tukang sihir dan nabi gadungan (Mrk 3:22; 14:65).
Kadang-kadang orang berkesan Yesus punya ambisi menjadi
"mesias" yang tampilnya diharapkan sementara orang Yahudi
(Yoh 6:15; Mrk 11:9-10). Oleh karena sering "mengajar" Yesus
mirip seorang rabi (Luk 12:13), tetapi baik cara mengajar
maupun ajaran-Nya toh berbeda juga. Bahkan bagi mereka yang
mendukung-Nya dan menaruh harapan pada Yesus Ia menjadi
teka-teki yang sukar dipahami sepenuhnya (Mrk 8:18; 9:32).
Sudah pasti Yesus mendapat sejumlah pendukung yang secara
khusus dibimbing-Nya, yang menjadi teman dan pembantu-Nya.
Dalam hal ini Yesus juga mirip dengan rabi-rabi pada bangsa
Yahudi. Tetapi Yesus toh tidak sama juga. Guru-guru Yahudi
mengumpulkan sejumlah murid yang menghafalkan ajaran sang
rabi. Lalu mereka sendiri dapat menjadi guru dan rabi pada
gilirannya. Tetapi Yesus mengumpulkan sejumlah orang dan
mengikat mereka pada diri-Nya. Mereka menjadi senasib dengan
Yesus, tidak datang untuk menghafalkan ajaran-Nya. Dan
mereka tidak pernah "tamat." Dan apa yang dituntut Yesus
dari mereka yang mau bergabung dengan diri-Nya atas
panggilan Yesus amat radikal dan jauh melebihi tuntutan
pribadi yang bisa dibebankan seorang rabi Yahudi (Mrk
10:21.28-30; Mat 10:37-38; Luk 9:57-62). Ikatan pribadi
macam itu tidaklah lazim. Maka Yesus dengan kelompok-Nya
tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu aliran atau mazhab
yang ada pada bangsa Yahudi di zamannya. Kadang-kadang Yesus
tampaknya mirip dengan kalangan Farisi (Mat 23:2-3), lain
kali dengan kalangan para apokaliptik (Luk 17:22-37),
seperti misalnya yang bermukim di Qumram, dan apa yang
dikatakan Yesus kadang-kadang mirip dengan apa yang
dikatakan golongan orang yang mencita-citakan dan
memperjuangkan pembebasan dari kuasa Roma dan antek-anteknya
(Mat 10:34; Luk 22:36-38). Hanya dengan para imam kalangan
atas (Saduki) tidak ada kemiripan. Dan selalu di samping
kemiripan ada kelainan. Yesus terasa sebagai sesuatu yang
baru, meskipun masih juga dalam tradisi bangsa Yahudi. Dan
akhirnya Yesus selalu tinggal sebuah teka-teki untuk
lingkungan-Nya.
Yesus tidak hanya menggegerkan masyarakat Yahudi dan
menjadi teka-teki besar, tetapi Ia juga memancing
perlawanan. Perlawanan itu tidak datang pertama-tama dari
pihak penguasa politik (Roma, Herodes, keturunan dan
pendukungnya), tetapi dari pihak pemimpin religius bangsa
Yahudi (Mrk 3:6,22; 8:11; 12:12, 13; 14:1). Baiklah diingat
bahwa di masa itu "agama" dan "negara" belum terpisah.
Segala gerakan religius mempunyai dimensi politik dan
gerakan politik mempunyai dimensi religius (Luk 9:7-9;
13:31).
Yesus ternyata mengakui bahwa umat Israel memang umat
Allah yang terpilih. Seluruh kegiatan-Nya secara eksklusif
tertuju kepada umat itu (bandingkan dengan Mat 10:6; 15:24).
Hampir pasti bahwa Yesus tidak pernah mengarahkan
pewartaan-Nya dan perbuatan-Nya kepada orang bukan Yahudi,
meski penduduk Galilea sekali pun. Hanya menurut keyakinan
Yesus umat Allah seadanya tidak menjadi sasaran berkat Allah
melainkan sasaran kemurkaan-Nya (Luk 21:23; Mrk 11:13-14).
Seluruh sistem agama yang dianggap berasal dari Musa dan
bahkan dari Allah oleh Yesus dinilai sebagai sesuatu yang
kini dan seadanya tidak berguna untuk keselamatan umat (Mat
15:9,13). Nyatanya Yesus menyingkirkan pelaksanaan hukum
Taurat sebagai jalan penyelamatan (Mrk 7:5,8), seperti
diyakini para pemimpin Yahudi. Bait Allah (Mrk 13:2) serta
ibadatnya pun oleh Yesus dinilai tidak berguna (bandingkan
dengan Mat 9:13; 15:8-9; Mrk 12:33; 14:58), padahal
khususnya para imam (Yoh 11:48) menilai ibadat itu sebagai
sarana penyelamatan, yang diberikan oleh Allah sendiri.
Yesus tidak hanya memberitakan bahwa akhir zaman dan
Kerajaan Allah sudah dekat, tetapi juga bahwa Kerajaan Allah
kini sudah terjadi dan tidak hanya merangkul orang benar,
tetapi justru orang berdosa. Dan dengan demikian Yesus tidak
sesuai dengan keyakinan para apokaliptisi di zaman-Nya.
Yesus menegaskan bahwa semua umat mesti "bertobat" setelah
dirangkul kuasa penyelamatan Allah. Dan setelah umat
bertobat dan menjadi peserta dalam keselamatan bangsa-bangsa
lain pun akan turut serta dalam keselamatan (Mat 8:11),
seperti dikatakan sementara nabi dahulu tetapi oleh banyak
orang Yahudi di zaman Yesus tidak dapat diterima. Semua
bangsa kafir hanya sasaran kemurkaan Allah, begitu keyakinan
populer.
Maka oleh seluruh pimpinan religius-politik bangsa Yahudi
di masa itu Yesus mesti dirasakan sebagai suatu ancaman
terhadap seluruh sistem sosio-religius yang mereka pimpin,
pertahankan dan bela (Yoh 11:48). Dan ketegangan yang
semakin hebat antara Yesus dan para pemimpin bangsa Yahudi
akhirnya mengakibatkan kematian Yesus. Oleh pimpinan Yahudi,
entahlah siapa persis, Yesus akhirnya diserahkan kepada
kuasa politik Roma. Di masa itu kuasa, yang dipegang oleh
wali negeri Pontius Pilatus dan Raja Herodes di Galilea itu,
sangat peka terhadap segala macam kerusuhan dalam masyarakat
(Luk 23:2,5), Dan dalam situasi nyata juga suatu gerakan
religius, seperti berkembang sekitar Yohanes Pembaptis dan
Yesus, selalu mempunyai dimensi politik dan sosial. Maka
langsung atau tak langsung menjadi ancaman terhadap kuasa
politik Roma. Maka kuasa politik Roma itu akhirnya
bertindak. Yesus dinilai dan dieksekusi sebagai pengacau,
perusuh dan pemberontak (Mrk 15:26).
Menjelang akhir hidup-Nya Yesus sendiri pun hampir pasti
memfirasatkan bahwa jalan hidup-Nya akan berakhir dalam
celaka (Luk 9:44; Mrk 9:31a; Mat 23:37a). Dan oleh karena
mau setia kepada tugas-Nya, maka Yesus rela menempuh nasib
malang, kalau menjadi suatu kenyataan. Itu dapat dinilai-Nya
sebagai konsekuensi terakhir dari keyakinan-Nya dan akibat
kesetiaan-Nya kepada Allah (Luk 13:32-33). Dan karena tidak
dapat ragu-ragu tentang kesetiaan Allah dan kekuasaan-Nya
Yesus dapat yakin bahwa Allah Penyelamat yang
diberitakan-Nya toh akan menyatakan kuasa-Nya baik sebagai
Penyelamat maupun sebagai Hakim umat-Nya. Kematian Yesus
sendiri pasti tidak bisa menghalangi Allah untuk
menyelesaikan apa yang sudah dimulai-Nya dengan Yesus
sendiri, yaitu mewujudkan Kerajaan-Nya secara definitif (Mrk
14:25). Dan dengan demikian Yesus dapat menilai
kematian-Nya, kalau terjadi, sebagai termasuk ke dalam
tugas-Nya dan sesuai dengan kehendak Allah, Penyelamat dan
Hakim sekaligus. Dan kematian-Nya malah dapat dinilai Yesus
sebagai awal dari penghakiman Allah menjelang akhir zaman
(Luk 12:50), yang membawa keselamatan terakhir bagi mereka
yang setia kepada Allah. Tidak dapat diragukan bahwa Yesus
yakin bahwa Ia sendiri menjadi peserta dalam keselamatan
terakhir itu (bandingkan dengan Luk 22:29-30).
Tidak dapat tidak nasib malang Yesus di salib
membingungkan para pengikut-Nya dahulu. Tampaknya kehidupan
Yesus berakhir dalam kegagalan belaka. Apakah Yesus keliru
dalam pewartaan dan kelakuan-Nya? Kalau Yesus dahulu sudah
menjadi suatu teka-teki yang tidak bisa ditebak secara
tuntas, apa pula sekarang. Nasib malang Yesus hanya
memperbesar teka-teki itu. Kalau Yesus menjelang akhir
hidup-Nya dapat memahami nasib-Nya dan barangkali
menjelaskannya kepada pengikut-pengikut-Nya, tidakkah dalam
hal itu pun Yesus keliru? Apakah semuanya yang dahulu
terjadi masih dapat dinilai sebagai tanda dan awal Kerajaan
Allah? Benarkah dalam kehidupan Yesus kuasa Allah Penyelamat
terakhir menjadi nyata? Yesus malah tidak dapat dinilai
sebagai "pahlawan nasional," sebab oleh pemimpin bangsa-Nya
sendiri Ia ditolak dan diserahkan kepada kuasa Roma.
Kebingungan para pengikut Yesus, yang dapat diduga, masih
ada bekasnya dalam Injil Lukas (24:19-21). Yesus dahulu
dinilai sebagai nabi dari Allah dan bakal pembebas umat
Israel, tetapi kepercayaan itu kini diragu-ragukan dan
pengharapan dahulu padam sama sekali. Tidak dapat diketahui
persis apa yang dibuat pengikut-pengikut Yesus dahulu.
Tetapi rupanya mereka pulang saja ke tempat asalnya, ke
Galilea. Mungkin akhir Injil Matius (28:16) dan akhir Injil
Yohanes (21:1-3) masih memelihara ingatan akan hal itu
setelah Mrk 14:50 menegaskan bahwa semua murid Yesus lari,
entah kemana.
|