|
PASAL II. BEBERAPA KONSEP YANG BERPENGARUH
I. PENGILHAMAN
1. "Pengilhaman" diartikan "bebas dari
kesalahan"
Mungkin istilah yang paling lazim dikenakan pada Alkitab
oleh kaum awam ialah bahwa Alkitab "diilhamkan" atau
"diwahyukan." Itu berarti bahwa Alkitab "berasal dari
Allah," sehingga isinya benar dan tidak mengandung unsur
ketidak-benaran. Tetapi antara para teolog, istilah
"pengilhaman" atau "keilhaman" tidak begitu lazim dipakai
pada jaman modern ini. Kalangan-kalangan yang masih
menggunakan istilah itu ialah teolog Katholik di satu pihak
dan kaum fundamentalis Protestan di lain pihak. Justru oleh
karena kata "keilhaman" itu dikaitkan dengan
fundamentalisme, maka aliran-aliran teologia yang
non-fundamentalis segan menggunakannya, sehingga jarang kita
ketemu dengan istilah itu pada masa kini.
a. Ditekankannya asal-mula Alkitab
Jikalau kita menggunakan istilah keilhaman, maka kita
cenderung untuk menekankan soal asal-mula Alkitab. Alkitab
berasal dari Allah, maka itulah yang membedakannya dari
karangan-karangan atau tulisan-tulisan lain yang semuanya
merupakan karya manusia. Tetapi timbul pertanyaan: "Dalam
arti bagaimanakah Alkitab itu dapat dikatakan berasal dari
Allah? Apa yang kita maksudkan kalau kita katakan bahwa
Allah mengilhamkan Alkitab?" Pertanyaan ini menunjukkan
persoalan yang termasuk paling kusut di antara konsep-konsep
yang berkenaan dengan penginspirasian Alkitab.
Usaha untuk menggariskan akar-akar dan perkembangan
konsep keilhaman itu adalah tidak sulit. Dapat dikatakan
bahwa konsep itu berasal dari kebiasaan Perjanjian Lama
untuk menggambarkan Allah sebagai "Allah yang berfirman."
Allah digambarkan memanfaatkan bahasa yang bermakna jelas
dan yang mempunyai kerangkaian (struktur) tata-bahasa, sama
seperti bahasa manusia. Tambahan pula, Perjanjian Lama
menegaskan bahwa bukan hanya Allah sendiri yang berbicara
dengan bahasa jelas; Dia juga memilih agen-agen
(perantara-perantara) yang berbicara atas NamaNya sedemikian
rupa, hingga menurut kepercayaan Israel, kata-kata yang
mereka ucapkan sungguh-sungguh menjadi kata-kata yang
diberikan Allah kepada mereka. Kelompok yang terpenting di
antara agen-agen Tuhan itu ialah para nabi. Dalam beberapa
tradisi ditekankan bahwa para nabi itu menerima Roh Allah,
maka oleh karena dipenuhinya dengan Roh itulah agen-agen
manusiawi ini mengutarakan ide-ide yang tidak berasal dari
mereka sendiri, melainkan mengungkapkan apa yang hendak
diutarakan Allah. Konsep-konsep semacam ini, yang memang
merupakan unsur penting dalam Alkitab, mungkin diperluas
dalam proses perkembangan pemikiran, sehingga dikenakan
kepada seluruh isi Alkitab. Namun istilah "diilhamkan",
walaupun memang terdapat dalam Alkitab sendiri, barulah
nampak sebenarnya dalam suatu bagian Alkitab yang termasuk
paling muda (II Timotius 3:16). Bahkan di situpun konteks
dan tata-kalimat memungkinkan berbagai interpretasi.
Misalnya ada yang menterjemahkan, begini: "segala skriptura
diberi dengan pengilhaman dari Allah, sehingga berfaedah
sebagai pelajaran"; sedangkan versi lain menterjemahkannya,
begini: "Tiap-tiap karangan skriptura yang diilhamkan oleh
Allah memanglah berguna sebagai sumber pelajaran." Adalah
masih merupakan persoalan terbuka, kitab-kitab atau
dokumen-dokumen manakah yang termasuk skriptura, menurut
pengertian pengarang II Timotius itu; pun adalah merupakan
pertanyaan terbuka, apakah yang dimaksudkan pengarang itu
dengan istilah "diilhamkan." Apa yang implisit (termasuk)
dalam konsep pengilhaman itu dan apa yang tidak termasuk?
b. Ketak-mungkinan-salah Alkitab
Sebagaimana telah saya katakan di atas, istilah
"keilhaman" telah menjadi suatu istilah-pokok di kalangan
fundamentalisme Protestan. Di kalangan tersebut yang
ditekankan adalah asal-mulanya skriptura. Meskipun demikian,
patut diragukan apakah kaum fundamentalis mempunyai gambaran
yang lebih jelas, dibandingkan dengan golongan-golongan
lain, tentang cara pengilhaman itu terjadi. Menurut pola
pemikiran fundamentalis, konsep keilhaman itu dikaitkan
secara erat dengan konsep "ketak-mungkinan-salah."
Ringkasnya, karena Alkitab berasal dari Allah, maka itu
berarti bahwa ia tak mungkin mengandung kesalahan, dan tak
mungkin mengantar pembaca ke dalam pendapat yang salah.
-- "bebas dari kesalahan historis" dan "bebas dari
kesalahan teologis."
"Kesalahan" dalam konsep demikian mempunyai dua arti,
yaitu: kesalahan historis, dan kesalahan teologis. Berarti
bahwa kalau Alkitab melaporkan sesuatu sebagai fakta
historis, maka pastilah peristiwa yang diceriterakan itu
sungguh-sungguh historis. Misalnya, kalau Alkitab
menguraikan tentang seorang yang bernama Daniel yang hidup
pada jaman Nebukadnesar dan pada jaman Darius, maka pastilah
ada oknum Daniel yang memang hidup pada periode itu, dan
yang langsung melakukan hal-hal yang termuat dalam
riwayatnya itu. Pandangan kritik-historis, yang menjelaskan
bahwa kitab Daniel dikarang jauh kemudian dari pada periode
raja Nebukadnesar dan raja Darius, patutlah ditolak; karena
konsekwensi dari pendapat itu ialah bahwa cerita-cerita
tentang Daniel adalah sebagian besar merupakan legenda.
Arti kedua dari "kesalahan" itu ialah bahwa tidak ada
kesalahan teologis dalam Alkitab. Apa yang diajarkan Alkitab
tentang keimanan dan moral adalah mutlak benar dan wajib
diterima. Ya, tentunya ada perbedaan nilai antara unsur
dengan unsur di dalam Alkitab; karena ternyata bahwa kaum
Kristen fundamentalis pun tidak menganggap tiap-tiap unsur
dalam Alkitab itu sebagai bahan yang sama-sama mengikat.
Kaum fundamentalis menghadapi persoalan-persoalan tafsir,
sama seperti orang-orang Kristen yang lain-lain. Akan tetapi
setelah mencatat ketidak-seimbangan yang terdapat antara
bagian dengan bagian dalam Alkitab, maka kaum fundamentalis
berprinsip bahwa Alkitab secara keseluruhan mengandung
ketak-mungkinan-salah secara teologis. Mungkin kita belum
sanggup memastikan tafsiran yang tepat untuk bagian
tertentu, tetapi pada prinsipnya kita tahu bahwa kalau nanti
tafsiran yang tepat itu sudah ditemukan, maka nats tersebut
dengan tafsirannya yang tepat itu adalah mutlak benar.
Adalah termasuk ciri-khas fundamentalisme bahwa kedua unsur
itu, yaitu unsur historis dan unsur teologis dianggap saling
bergantung. Orang fundamentalis menyangkal bahwa ada
kesalahan historis dalam Alkitab. Hal itu dia tekankan
karena dia merasa bahwa kalau diakui adanya kesalahan
historis dalam Alkitab, maka pengakuan itu akan membuka
jalan kepada pengakuan adanya kesalahan teologis juga.
Argumentasi yang sering dia pakai ialah begini: "Di mana
proses (mencari kesalahan itu) berhenti?" Kalau Alkitab
dinyatakan salah tentang umur Ismail, waktu dia beserta
ibunya diusir dari perkemahan Abraham, atau tentang
eksistensi-historis oknum Daniel, maka mungkin Alkitab dapat
dibuktikan "salah" juga tentang kasih Allah atau tentang
prinsip pembenaran oleh karena "iman." Kita tidak akan
mengejar argumentasi itu di sini. Maksud saya hanyalah untuk
menunjukkan bahwa pemakaian kata "keilhaman" itu secara
fundamentalis sudah begitu tersebar-luas, sehingga orang
yang mendengar kata keilhaman, langsung menafsirkannya dalam
arti "ketak-mungkinan-salah," atau "seratus persen bebas
dari salah."
2. Pengilhaman kalamiah/harfiah
a. Di kalangan fundamentalis
Asosiasi kedua yang timbul bagi banyak orang, kalau
mereka mendengar istilah keilhaman, ialah bahwa istilah itu
mengandung ditekankannya penafsitan harfiah. Istilah
"keilhaman-harfiah" sering kedengaran, walaupun maknanya
tidak selalu seratus persen jelas. Namun agaknya dalam
istilah itu terkandung suatu konsep bahwa Alkitab tidak
hanya diilhamkan dalam garis-garis besarnya, yaitu tidak
hanya dalam ide-ide atau berita yang terkandung di dalamnya,
melainkan juga bahwa bentuk-harfiah Alkitab itu, baik
urutan-kata maupun urutan-kalimatnya, diilhamkan oleh Allah
secara teliti. Maka dengan demikian disimpulkan bahwa
Alkitab seratus persen bebas dari kesalahan. Satu tanda yang
menunjuk kepada pengertian demikian di antara kaum
fundamentalis ialah bahwa mereka begitu mencintai
pengalimatan Alkitab secara harfiah, sehingga dalam
diskusinya mereka mendasarkan argumentasinya kepada
urutan-kata-kata secara teliti. Dengan demikian terciptalah
kesan bahwa kata-kata Alkitab dalam rumusannya yang "sah"
itu dapat dikenakan secara langsung, sebagai jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan dalam bidang iman dan etika. Memang
harus diakui bahwa antara kaum fundamentalis sendiri
terdapat berbagai variasi pendapat tentang batas-batas
pengilhaman harfiah itu, atau tentang konsep pengilhaman
yang tidak seratus persen harfiah namun yang mendekati yang
harfiah itu. Nanti kita akan kembali kepada pokok ini,
tetapi untuk sementara waktu cukuplah kita mencatat bahwa
menurut pengertian umum, istilah keilhaman mengandung
implikasi adanya konsentrasi pada bentuk-harfiah, dan pada
seluk-beluk Alkitab.
b. Di kalangan Katholik
i. Alkitab dan tradisi
Sebagaimana kita catat di atas, konsep keilhaman itu
banyak dipakai di kalangan Katholik, selain di kalangan
konservatif Protestan. Tetapi penggunaan yang di kalangan
Katholik itu adalah lebih bersifat kreatif dan lebih
flexibel. Hal itu agaknya disebabkan karena dalam teologia
Katholik itu Alkitab merupakan salah satu dari kedua
norma-dasar yang dipakai dalam teologia. Yaitu bahwa di
samping Alkitab, ada lagi tradisi gereja. Sedangkan di
kalangan Protestan, Alkitab merupakan norma yang
satu-satunya. Itu berarti bahwa pada prinsipnya teologia
Katholik Roma lebih terbuka dalam cara menggunakan istilah
keilhaman. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu demikian.
Selama abad ke sembilan belas, kaum Protestan mengalami
ketegangan dan pergumulan karena konflik antara
metode-metode baru (yaitu pendekatan kritik-historis
terhadap bahan Alkitab) dengan dogma tradisional tentang
keilhaman Alkitab. Selama periode itu sebenarnya tidak ada
apa-apa yang menghalangi gereja Katholik Roma untuk membuka
diri buat menerima jenis-jenis pengetahuan yang baru itu.
Dapat dia mengambil sikap bahwa pendekatan-pendekatan baru
tersebut tidak akan merugikan tradisi-dasar teologia gereja.
ii. Kekonservatifan Katholik
Tetapi pada kenyataannya gereja Katholik Roma pada waktu
itu dipengaruhi oleh aliran konservatif, sehingga dia pun
merumuskan sikapnya terhadap soal keilhaman secara ketat dan
konservatif sekali. Maka sampai pada masa kini,
rumusan-rumusan yang konservatif itu menjadi beban dan
halangan yang menghambat proses teologia Katholik. Hans
Kung3
menguraikan di mana letaknya soal, begini: Dekretum
Tridentium tidak menyinggung ketak-mungkinan-salah Alkitab
sebagai akibat keilhaman. Hanya di kalangan Protestan saja,
teori keilhaman-harfiah itu dipertahankan secara ketat-ketat
dan diperkembangkan secara sistematis. Barulah pada akhir
abad ke sembilan belas para Paus, sebagai reaksi terhadap
exegesis yang kritis negatif, mengambil-alih teori
keilhaman-harfiah yang sudah dirumuskan oleh keorthodoxan
Protestan. Padahal pada waktu pengambil-alihan itu, rumusan
dogmatis seperti itu tidak cocok lagi dengan suasana jaman.
Sejak masa jabatan Paus Leo XIII, dan terutama selama krisis
modernisme, konsep ketak-mungkinan-salah skriptura secara
lengkap dan mutlak, dipertahankan secara eksklusif dan
secara sistematis dalam surat-surat keputusan yang
diterbitkan oleh para Paus.
3. "Pengilhaman" tidak identik dengan
"Ketak-mungkinan-salah"
Itu berarti bahwa dalam prakteknya pengkaitan-erat antara
keilhaman dengan ketak-mungkinan-salah, yang telah menjadi
ciri-khas teologia Protestan, telah muncul juga dalam
teologia Katholik Roma. Namun kemungkinannya besar bahwa
kalau ada teologia yang ingin menghidupkan kembali
penggunaan istilah keilhaman di gereja modern, dia akan
cenderung bersandar kepada tradisi Katholik itu daripada
kepada tradisi fundamentalis Protestan. Tetapi apakah
sebenarnya istilah keilhaman itu masih tepat untuk dipakai
teologia modern? Kalau memang akan dipakai,
sedikit-dikitnyalah hubungan antara istilah keilhaman dan
konsep ketak-mungkinan-salah itu harus dibuang. Dan
dipandang dari segi teologis, pengkaitan itu memang dapat
ditiadakan juga. Karena siapakah yang berani mengatakan
bahwa tak mungkin Allah mengilhamkan suatu skriptura yang
tokh mengandung kesalahan-kesalahan, atau bahwa Allah tidak
sanggup berkomunikasi dengan manusia melalui skriptura yang
mengandung kesalahan-kesalahan? Bandingkanlah kenyataan
bahwa kitab-kitab Injil sendiri penuh dengan
perumpamaan-perumpamaan, yaitu cerita-cerita buatan.
Argumentasi-argumentasi seperti itu memang dapat diajukan.
Tetapi ditinjau dari segi penggunaan bahasa, adalah sulit
untuk membuang asosiasi yang rasanya sudah begitu erat
antara konsep keilhaman dengan konsep ketak-mungkinan-salah
itu.
4. Pengilhaman di bidang kesusasteraan
Masih ada arti yang lain lagi untuk kata "keilhaman" yang
dapat kita manfaatkan, kalau kita berhasrat
merehabilitasikan (memulihkan) penggunaan istilah itu dalam
bidang teologia. Kata pengilhaman selain penggunaannya dalam
teologia, juga dipakai dalam bidang puisi dan kesusasteraan.
Pengilhaman dalam arti demikian tldak berarti bahwa bahan
kesusasteraan tersebut adalah bebas dari kesalahan historis
atau teologis, sehingga mengandung ketak-mungkinan-salah,
melainkan istilah pengilhaman dalam bidang kesusasteraan itu
mengandung arti keluhuran, pemikiran yang sangat mendalam,
dinamika yang mengkomunikasikan perasaan dan pengertian, dan
sebagainya. Ada seorang sastrawan Inggris, bernama
Coleridge, yang berkata, demikian:
"Barang sesuatu yang kena pada jiwaku,
membuktikan diri sebagai barang yang berasal dari salah satu
roh kudus."
Kalimat itu merupakan contoh penggunaan istilah
pengilhaman dalam arti yang lebih lunak. Bahkan dapat
dicatat bahwa arti istilah "pengilhaman" secara
kesusasteraan itu hampirlah selalu termasuk latarbelakang
umum dari apa yang kita maksudkan, kalau istilah itu dipakai
secara teologis. Namun dalam prakteknya, penggunaan kata
keilhaman dalam bidang teologia biasanya jauh melampaui
artinya dalam bidang kesusasteraan. Sehingga kebanyakan
orang tidak lagi menyadari hubungan antara kedua arti
keilhaman itu. Nanti kita akan kembali lagi kepada pokok
ini, sewaktu kita membahas tentang Alkitab sebagai bahan
kesusasteraan, dan tentang isi Alkitab sebagai keterangan.
Cukuplah di sini, kalau kita mencatat bahwa ada arti kata
keilhaman yang demikian.
Perlu ditekankan bahwa, lepas dari persoalan apakah kata
keilhaman itu dapat dihidupkan kembali, sehingga dapat
digunakan secara relevan di gereja modern, sudahlah jelas
bahwa makna dibelakang istilah itu tetap perlu, kalau kita
mau menguraikan tentang status Alkitab dalam iman Kristen.
Karena dalam istilah itu terkandung pengertian yang diyakini
oleh hampir semua orang Kristen, yaitu bahwa pastilah
Alkitab berasal dari Allah, - walaupun kita mengalami
kesulitan dalam menjelaskan secara persis, dalam arti yang
bagaimanakah hal itu terjadi. Allah pastilah memainkan
peranan dalam asal-mulanya Alkitab itu. Dan pastilah ada
hubungan-erat antara cara Allah berkomunikasi dengan manusia
di satu pihak dan proses pembentukan karangan-karangan yang
merupakan Alkitab itu di lain pihak.
5. Keberatan-keberatan terhadap konsep
pengilhaman
Jadi adalah perlu sekali bahwa kita sungguh-sungguh
menggumuli persoalan ini: Dalam arti yang bagaimanakah patut
dikatakan bahwa Allah mengilhamkan skriptura? Kita masih
kabur tentang hal ini. Bahkan kaum fundamentalis pun
mengalami keragu-raguan dalam memperinci soal ini; sedangkan
kebanyakan orang Kristen modern mengaku-kalah, kalau disuruh
merumuskannya. Kita sulit membayangkan caranya Allah secara
langsung bisa merumuskan pemikiran-pemikiran dan
kalimat-kalimat, serta mengkomunikasikannya kepada manusia.
Karena kita sendiri tidak pernah mengalami hal yang
demikian. Atau patutkah kita bayangkan bahwa para pengarang
Alkitab itu merenungkan pemikirannya sendiri, dan bahwa
barulah kemudian Allah --katakanlah melalui RohNya,--
membimbing proses perumusannya?
Orang-orang modern mengalami kesulitan dalam merumuskan
konsep pengilhaman, menurut pola-pola tradisional. Yang saya
maksudkan dengan pola-pola tradisional itu ialah:
a. bahwa ada cara khusus, di mana Allah
langsung mengkomunikasikan kalimat-kalimat secara terumus
kepada orang-orang pilihanNya, misalnya para nabi.
b. bahwa cara berkomunikasi yang khusus itu sudah
berhenti sewaktu kanon Alkitab sudah tertutup.
6. Kesimpulan
Menurut keyakinan saya, kita orang modern berkeyakinan
(dan bahkan tepat berkeyakinan) bahwa caranya Allah
berkomunikasi dengan orang-orang pilihanNya di jaman
alkitabiah itu pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan
caranya Dia berkomunikasi dengan umatNya pada masa kini.
Kalau demikian, istilah keilhaman berarti bahwa Allah yang
kita sembah itu, mengadakan hubungan dengan umatNya pada
jaman dulu seperti yang kita alami dalam ibadat kita pada
masa kini: Allah hadir dalam situasi-situasi konkrit yang
mereka alami, menurut pola-pola dan taraf-taraf pemikiran
pada waktu itu, Dia hadir dalam proses pembentukan tradisi
mereka dan dalam proses kristalisasi tradisi itu menjadi
skriptura. Maka cara kehadiranNya pada jaman itu tidak
berbeda secara prinsip dengan cara yang masih digunakan
Tuhan dalam memperkenalkan diri kepada manusia. Agaknya
belum begitu banyak ahli teologia modern yang merumuskan
pendapatnya tentang hal ini secara konkrit. Tetapi menurut
pendapat saya, tidak ada kesimpulan lain tentang pokok ini
yang dapat memuaskan masa kini.
Kita akan kembali nanti kepada persoalan-persoalan ini.
Maksud kita dalam pasal ini hanyalah untuk mensurvai
(memeriksa) konsep-konsep yang pernah dipakai dalam
merumuskan soal status-Alkitab. Kita telah menyelidiki
beberapa konteks, di mana istilah keilhaman dipakai.
Sekarang kita beralih kepada konsep berikut, yaitu konsep
tentang Firman Allah.
|