| |
|
IV. FUNGSI1. Keuntungan-keuntungan dalam memakai konsep "fungsi"Di sini kita persoalkan kemungkinan untuk memusatkan perhatian bukan kepada kewibawaan Alkitab, melainkan kepada suatu analisa tentang fungsi-fungsi Alkitab. Pendekatan yang demikian itu membawa beberapa keuntungan, sebagai berikut: a. Memungkinkan pendekatan yang konkret atau mendetail/terperinciDengan menggunakan konsep fungsi-fungsi itu, maka persoalan tentang tempat Alkitab dalam agama menjadi terbagi-bagi atas beberapa persoalan yang masing-masing harus dibicarakan sendiri-sendiri, sesuai dengan fungsi-fungsi yang berlain-lainan yang diberikan kepada Alkitab. Misalnya, dapat dibeda-bedakan soal-soal tersendiri seperti:
Boleh disimpulkan bahwa hubungan antara Alkitab dan persoalan-persoalan yang disebut di atas itu adalah berlain-lainan dalam tiap-tiap kasus, sehingga persoalan-persoalan konkrit itu akan terkena distorsi, kalau kepada semuanya dikenakan satu konsep umum tentang kewibawaan Alkitab. Atau sedikit-dikitnya, konsep umum itu harus dikonkritkan secara khusus berkenaan dengan tiap-tiap kasus, satu persatu. b. Memusatkan perhatian kepada proses-proses penafsiran dan penerapanPokok b ini mungkin hanya merupakan variasi dari Pokok a di atas. Agaknya persoalan tentang Alkitab terutama telah menjadi persoalan tentang proses-proses, yaitu: proses-proses manakah yang tepat dalam menafsirkan nats Alkitab, dan proses-proses yang patut dipakai dalam mengkaitkan nats Alkitab dengan persoalan-persoalan modern. Kesimpulan ini sesuai dengan kenyataan yang kita catat di atas, yaitu bahwa keragu-raguan yang timbul belakangan ini tentang status Alkitab, menyusul atas diskusi tentang penafsiran Alkitab yang telah berlangsung, baik di kalangan Dewan Gereja-gereja sedunia maupun secara umum di dalam gereja-gereja. Jikalau proses-proses penafsiran itu memang begitu menentukan dalam hal memastikan arti nats-nats Alkitab, maka jelaslah bahwa pusat persoalan ada terletak dalam pengertian akan proses-proses itu, dan bukan dalam soal kewibawaan Alkitab. Dengan perkataan lain, soal kewibawaan Alkitab menjadi masalah sekunder dibandingkan dengan soal proses-proses penafsiran itu, entah kewibawaan Alkitab itu dianggap kenyataan yang mendahului berlangsungnya proses-proses itu (pengertian yang "keras" tentang kewibawaan), atau sesuatu yang baru disadari sesudah proses-proses itu selesai berlangsung (pengertian yang "lunak" tentang kewibawaan). Proses-proses tersebut dapat dijelaskan sebagai fungsi-fungsi yang dijalankan oleh oknum-oknum tertentu dalam tugasnya berkenaan dengan Alkitab; misalnya, fungsi para ahli sejarah, fungsi para ahli teologia Alkitabiah, fungsi para ahli teologia sistematik, fungsi para pengkhotbah, dan sebagainya. Pemerincian dan pengkhususan fungsi-fungsi yang demikian menjadi salah satu ciri-khas yang menyolok dalam diskusi-diskusi teologia modern. Dalam bidang teologia, sebagaimana juga dalam bidang-bidang pengetahuan lainnya, bahan ilmiah dan teknik-teknik spesialis yang harus dikuasai adalah makin lama makin kompleks, sehingga ilmu teologia makin menjurus kepada spesialisasi-spesialisasi tertentu. Maka kepelbagaian fungsi-fungsi itu kadang-kadang menimbulkan ketegangan, bahkan perselisihan, dalam bidang teologia modern pada umumnya. Padahal seharusnya fungsi-fungsi yang berbeda-beda itu saling melengkapi: Riset terhadap sejarah perkembangan agama, penafsiran Alkitab, keahlian dalam bidang linguistik, dan teologis, tidak merupakan kotak-kotak yang tertutup mutlak, sehingga si ahli harus membatasi diri kepada salah satu dari antara kotak-kotak tersebut. Sebaliknya, orang Kristen yang bersungguh-sungguh harus berusaha untuk memasuki lebih dari satu di antara bidang-bidang itu. Tetapi penguasaan penuh atas segala-galanya tidak mungkin lagi dicapai seorang individu; bahkan menguasai satu bidang saja secara penuh adalah merupakan hasil yang gemilang. Bidang Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru pun sudah menjadi terlalu luas untuk dikuasai oleh satu orang. Perkembangan penspesialisasian perlu, namun menimbulkan bahaya yang mengancam kesatuan teologia, yaitu mengancam kesatuan pengertian tentang iman Kristen. Makin lama makin terasa adanya suatu persoalan dalam hal saling-pengertian antara para ahli. Bagaimana kita dapat mengerti berfungsinya proses-proses pemikiran dan interpretasi berkenaan dengan bidang keahlian rekan-rekan kita, meskipun kita sendiri tidak sempat menguasai bidang keahlian mereka? Dan bagaimana caranya kita menempatkan fungsi-fungsi yang asing bagi kita itu, dalam rangka pengertian kita tentang kesatuan teologia secara keseluruhan? Kepelbagaian fungsi-fungsi tersebut akan mendapat perhatian kita selama buku ini, yaitu dalam kita menyoroti Alkitab dari berbagai segi. c. Memungkinkan penilaian yang lebih flexibel terhadap berbagai jenis bahan AlkitabSuatu persoalan yang timbul berulang kali dalam penginterpretasian Alkitab ialah bahwa agaknya ada perbedaan-nilai antara bagian dengan bagian di dalam Alkitab. Kita telah melihat di atas ini bahwa adanya perbedaan-perbedaan demikian itu sukar ditanggapi dalam rangka konsep "kewibawaan Alkitab." Kalau dikatakan bahwa bagian tertentu kurang berwibawa dibandingkan dengan bagian yang lain, maka sudahlah jelas bahwa dengan demikian kita sudah menurunkan derajat bagian yang dinilai kurang itu. Menanggapi persoalan ini dengan jalan mempertimbangkan kepelbagaian fungsi bahan Alkitabiah itu, agaknya adalah merupakan pendekatan yang lebih flexhbel. Misalnya, dapat dikatakan barangkali bahwa di dalam iman Kristen, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mempunyai kewibawaan, hanya fungsinya berbeda; atau bahwa fungsi kesusasteraan hikmat kebijaksanaan berbeda dengan kitab-kitab para nabi, atau bahwa fungsi surat-surat kiriman berbeda dibandingkan dengan Kitab-kitab Injil. d. Konsep "fungsi" lebih flexibel daripada konsep "kewibawaan"Pernah kita catat di atas bahwa istilah "keilhaman" pada umumnya tidak terpakai lagi, karena terlalu dikaitkan erat dengan konsep fundamentalis. Maka istilah kewibawaan dipakai karena terasa bahwa istilah itu lebih flexibel berhadapan dengan persoalan-persoalan tentang status Alkitab. Tetapi kita sekarang harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa istilah kewibawaan pun menimbulkan keberatan-keberatan, sama seperti istilah keilhaman. Istilah kewibawaan itu memuaskan penganut teologia moderat, tetapi terasa kurang flexibel lagi, kurang kreatip, kalau dipakai dalam diskusi dengan kaum fundarnentalis. Suatu diskusi tentang fungsi-fungsi Alkitab, atau tentang proses-proses di mana isi Alkitab itu tepat (relevan) untuk iman dan kegiatan Kristen, mungkin bisa membuka jalan-maju ke depan. 2. Keberatan-keberatan terhadap konsep "fungsi"Demikianlah beberapa keuntungan yang mungkin kita peroleh, kalau kita membicarakan status Alkitab dari segi fungsi-fungsinya, dan bukan dari segi kewibawaannya. Tetapi apakah ada juga kelemahan-kelemahan dalam pendekatan yang demikian? a. Konsep "fungsi" menghasilkan pendekatan yang bersifat deskriptif meluluMungkin akan timbul kesan bahwa pendekatan melalui fungsi-fungsi itu bersifat deskriptif melulu, yaitu, terbatas kepada penggarisan status-quo tentang caranya Alkitab berfungsi antara kaum Kristen masa kini, tanpa usaha untuk menentukan, bagaimana seharusnya Alkitab berfungsi. Ada kesan bahwa istilah "fungsi" menunjuk kepada suatu pendekatan yang bersifat netral dan fenomenologis, atau mungkin kepada suatu penggarisan sosiologis; sedangkan istilah "kewibawaan" memberi kesan bahwa Alkitab menantang, serta memperhadapkan tuntutan-tuntutan-existensiil dan keharusan-keharusan-etis kepada kita. Dalam menanggapi kesan yang demikian timbul dua pertanyaan. Yang pertama: betulkah pendekatan melalui fungsi itu merupakan pendekatan yang bersifat netral dan deskriptif melulu? Dan kedua: Sekiranya demikian, apakah pendekatan netral dan deskriptif terhadap Alkitab itu perlu dinilai secara negatif? i. Ada keuntungan dalam pendekatan "netral" Kita mulai dengan pertanyaan kedua. Memang sudah lama sekali segala persoalan tentang kewibawaan Alkitab itu dibebani dengan pertimbangan-pertimbangan moral, existensial, dan emosional. Maka oleh karena itu ada baiknya barangkali kalau, sebagai titik tolak baru, kita mulai dengan pendekatan yang bersifat netral. Saudara pembaca pastilah dapat merasakan desakan moral dan emosional yang terdapat dalam pertanyaan-pertanyaan yang berikut: "Apakah kamu tidak menerima pengajaran Alkitab?" "Apakah usulmu itu sungguh-sungguh Alkitabiah?" atau, "Bagaimana pendapatmu itu dapat kamu cocokkan dengan perkataan Rasul Paulus, pasal sekian ayat sekian?" Memang pertanyaan yang agak emosional itu hampir selalu menguntungkan pihak konservatif; maka mengingat bahwa diskusi yang emosional seperti itu sudah berlangsung selama beberapa abad dan tokh belum menghasilkan persetujuan umum, ada baiknya kalau kita mengusahakan pendekatan baru. ii. Pendekatan melalui "fungsi" tidaklah bersifat deskriptif melulu Jawaban pertama itu memang berdasarkan suatu "andaikata"; --seandainya pendekatan melalui fungsi itu sungguh-sungguh merupakan pendekatan yang bersifat netral. Tetapi belum tentu bahwa pendekatan yang demikian itu betul-b etul bersifat netral. Karena yang kita usulkan adalah bukan sekedar deskripsi tentang caranya Alkitab berfungsi pada masa kini, melainkan suatu uraian teologis yang agak kritis tentang fungsi-fungsi Alkitab (yang mengandung unsur penilaian, baik yang positif maupun yang negatif). b. Konsep "fungsi" agaknya tidak membantu penentuan normaMungkin timbul keberatan bahwa pendekatan melalui fungsi tidak akan mencapai sasaran. Karena problema yang sebenarnya ialah bagaimana caranya menentukan patokan atau norma itu dalam bidang kepercayaan dan ethika. Pendekatan melalui kepelbagaian fungsi mungkin hanya merupakan muslihat untuk mengelakkan diskusi yang esensial tentang norma-norma itu. c. Kurang nampak adanya perbedaan prinsipial antara konsep "fungsi" dan konsep "kewibawaan"Mungkin ada yang beranggapan bahwa pendekatan kepada soal status Alkitab melalui fungsi-fungsinya, pada prinsipnya tidak begitu berbeda dengan pendekatan melalui konsep kewibawaan. Kita mengganti istilahnya, tetapi persoalan dan jawaban terhadap persoalan itu pada prinsipnya tetap sama saja. V. PENUTUPSaya tidak akan berusaha menjawab persoalan-persoalan ini di sini. Karena maksud pasal 2 ini adalah untuk membuka kemungkinan-kemungkinan buat menunjukkan betapa beraneka-ragamnya konsep-konsep yang pernah terpakai untuk membahas soal status Alkitab dalam iman Kristen. Seandainya kita tidak mulai dengan survai semacam ini, maka ada bahaya bahwa kita akan menggunakan istilah-istilah yang tradisionil tanpa menyadari adanya kemungkinankemungkinan lain. Mudah-mudahan saya berhasil menjelaskan bahwa peristilahan yang bermacam-macam tentang status Alkitab itu mempunyai isi atau lapangan-makna yang berlain-lainan pula, sehingga kita harus agak seksama dalam memilih mana yang akan kita pakai. Mudah-mudahan dalam uraian kita selanjutnya akan kita pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang beraneka ragam itu, sehingga semakin jelas manakah yang paling sesuai dengan kebutuhan masa kini. |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |