|
PASAL X. KATA DAN MAKNA, HURUF DAN ROH
I. PENAFSIRAN HARFIAH
Saya ingin mengakhiri penyelidikan kita ini dengan
mempertimbangkan istilah-istilah "kalamiah" dan "harfiah,"
yang dipakai berhubungan dengan penafsiran Alkitab untuk
mengerti pemakaian istilah-istilah ini kita harus mengulangi
beberapa bahan-bahan yang sudah kita bicarakan. Ada beberapa
faedah dalam pengulangan yang demikian: kita tertolong dalam
mencapai ringkasan, kita mendapat penjelasan-penjelasan yang
lebih lengkap, dan kita kembali akhirnya kepada istilah
tradisional seperti "pengilhaman kalamiah," dan pada usaha
menemui rumusan terbaik mengenai status Alkitab untuk masa
kini.
Kita mulai dengan istilah "harfiah." Kata ini sering
muncul dalam pembicaraan tentang pemakaian Alkitab, namun
jarang dianalisa. Kalau kita menganalisanya, kita menyadari
bahwa istilah "harfiah" dipakai dalam dua arti yang
bertentangan, yang satu positif dan yang lain negatif.
1. "Harfiah" tidak identik dengan "fundamentalis,.'
a. Fundamentalisme lebih mementingkan
ketak-mungkinan-salah daripada keharfiahan
Biasanya istilah ,'harfiah" ada kaitannya dengan
fundamentalisme. Kalau dari kaum awam diminta definisi, apa
artinya "fundamentalis," biasanya dia menjawab bahwa itulah
orang yang menafsirkan Alkitab secara harfiah. Tetapi
definisi yang demikian tidak begitu teliti, karena pokok
perselisihan antara kaum fundamentalis dan orang non
fundamentalis bukanlah tentang soal keharfiahan, melainkan
tentang ketak-mungkinan-salah. Desakan pokok yang kedengaran
dari kaum fundamentalis bukanlah supaya Alkitab ditafsirkan
secara harfiah, melainkan supaya dia ditafsirkan sedemikian
rupa, hingga tidak ada kesan tentang adanya kesalahan di
dalamnya. Untuk menghindarkan kesan yang demikian, kaum
fundamentalis bolak-balik antara tafsiran harfiah dan
tafsiran non-harfiah, (simbolis, metaforis, dan sebagainya).
Sebagai contoh yang cukup terkenal: pendapat kaum
konservatif masa kini tidak mengikuti suatu penafsiran
harfiah tentang riwayat kejadian (penciptaan) dalam Kitab
Kejadian. Penafsiran harfiah menerima bahwa dunia diciptakan
dalam jangka waktu enam hari, (yaitu "hari" yang identik
dengan hari-malam yang kita alami masa kini). Tetapi kaum
konservatif modern biasanya menjelaskan bahwa keenam hari
itu merupakan enam periode teologis; atau menurut rumusan
lain, enam tahap perkembangan, bukan dalam proses penciptaan
itu sendiri, melainkan dalam proses penyataan kebenaran
penciptaan itu. Jadi kini hanya kaum fundamentalis yang
ekstrim sekali yang mewajibkan penafsiran harfiah-betul
tentang enam hari itu. Kebanyakan orang cenderung kepada
tafsiran simbolis atau alegoris.
Sebabnya mengapa mereka cenderung ke situ memang jelas;
yaitu karena suatu penafsiran yang betul-betul harfiah,
sukar diterima oleh akal modern, sehingga timbul kesan bahwa
Alkitab mengandung kesalahan. Demi menghindarkan kesan
demikian, penafsir konservatif beralih kepada suatu
penafsiran yang non-harfiah. Hanya dengan cara demikian dia
dapat menyelamatkan konsep ketak-mungkinan salah Alkitab.
Nampak suatu kepekaan terhadap persoalan ini dalam
teologia konservatif itu sendiri. Demikianlah D.M.
Beegle30
dalam suatu review tentang-karangan Harrison, Introduction
to the Old Testament:
"Suatu sebab-utama mengapa Harrison dapat menerima
istilah 'ketak-mungkinan-salah' ialah bahwa dia memanfaatkan
penafsiran simbolis, bilamana kesulitan-kesulitan timbul.
Misalnya, angka-angka dalam Kitab Keluaran dan Kitab
Bilangan tentang jumlah orang Israel yang keluar dari Mesir
ditafsirkannya sebagai 'simbol-simbol kuasa, kemenangan, dan
pentingnya kaum yang terlibat dalam peristiwa itu, sehingga
angka-angka tersebut tidak usah diartikan secara harfiah,
atau sebagai kesalahan yang tersisip dalam proses
penurunalihan nats.'"
Pokok inilah persis yang saya tekankan dalam alinea di
atas. Penafsiran konservatif memanglah biasanya harfiah,
tetapi dalam batas-batas tertentu. Kalau kita sudah sampai
kepada pokok di mana penafsiran harfiah akan menimbulkan
kesan bahwa Alkitab "salah," maka dengan tiba-tiba si
konservatif beralih kepada penafsiran yang non-harfiah.
Dengan demikian jelaslah bahwa penafsiran harfiah tidak
merupakan suatu ciri khas fundamentalisme yang universal.
Sebaliknya, mereka yang mendesak bahwa Alkitab "tidak usah
ditafsirkan secara harfiah" belum tentu jauh dari
fundamentalisme.
b. Fundamentalisme melawan
kritik-sumber-sumber Alkitabiah, yang berakar dalam
pendekatan harfiah
Masih ada sebab lain yang jarang diperhatikan, mengapa
penafsiran fundamentalis tidak selalu bersifat harfiah.
Teknik pengritikan sumber-sumber Alkitab, yaitu teknik yang
menganalisa sumber-sumber Y, E, D, dan P dalam Panca Jilid,
tentulah sangat tidak disenangi oleh kaum fundamentalis.
Namun metoda pengritikan sumber-sumber itu justru merupakan
akibat dari pendekatan harfiah terhadap nats Alkitab. Oleh
karena mereka menafsirkan nats secara harfiah, para pelopor
metoda itu berhasil menerobos sistim harmonisasi dan
alegorisasi yang tradisional, dan menelorkan hipotesa bahwa
ada berbagai sumber di belakang kitab-kitab Alkitabiah yang
kita kenal. Misalnya, jikalau kita membaca kitab Kejadian
secara "harfiah," kita rnendapat kesan bahwa Ismael
merupakan anak kecil waktu Hagar diusir dan rumah Abraham.
Abraham meletakkan Ismael di atas bahu Hagar (Kejadian
21:14), dan kemudian waktu Hagar capek, dia membuang anak
itu ke bawah semak-semak (21:15). Tetapi menurut Kejadian
17:25, Ismael sudah berumur 13 tahun sebelum Ishak lahir.
Maka jikalau nats-nats ini diartikan secara harfiah,
pembagian bahan-cerita atas sumber-sumber menjadi merupakan
pemecahan persoalan yang wajar. Bahan silsilah dalam
Kejadian 17 (yaitu sumber P) dikarang lepas dari riwayat
Hagar itu, dan sebenarnya tidak cocok dengan riwayat
tersebut. Dalam proses penyelidikan terdapat ratusan
ketidak-cocokan yang demikian. Maka setelah dikait-kaitkan
dengan sabar, selama periode yang cukup panjang, serta
dihargai sebagai bahan yang patut diartikan secara harfiah,
timbullah rekonstruksi berdasarkan metoda pengkritikan
sumber itu. Demi menghindarkan pembagian atas sumber-sumber
itu, penafsir-penafsir konservatif mengajukan penjelasan
yang bersifat apologetik, dengan maksud mempertahankan
kebenaran atau historisitas peristiwa yang diriwayatkan itu
(atau lebih tepat, mencocokkan kedua unit-cerita itu menjadi
satu riwayat yang harmonis). Maksud itu dicapainya dengan
jalan mengabaikan konsekwensi-konsekwensi penafsiran
harfiah. Metoda-tafsir Alkitab yang dipakai kaum
fundamentalis terpaksa menggunakan apologetik harmonisasi
itu sepanjang Alkitab, supaya ketidakcocokan-ketidakcocokan
yang timbul karena kepelbagaian sumber, dapat ditutupi. Dan
karena pengharmonisasian begitu menonjol dalam sistim tafsir
fundamentalis, maka kepekaan teologisnya berkurang sekali.
Jadi pendekatan harfiah tidak hanya merupakan ciri-khas
fundamentalisme, melainkan juga termasuk sebagai faktor
dalam pendekatan kritis-ilmiah. Fundamentalisme memberi
tempat-utama bukan kepada pendekatan harfiah, melainkan
kepada prinsip-prinsip ketidak-mungkinan-salah dan
harmonisasi.
Singkatnya, ditekankannya arti harfiah tidaklah identik
dengan fundamentalisme. Dalil ini membebaskan kita, sehingga
kita boleh memikirkan secara terbuka apa isinya konsep
penafsiran harfiah dan kalamiah itu.
2. Penafsiran harfiah yang langsung
menyelidiki obyek-obyek yang disinggung dalam nats (Sudut A
dalam segitiga)
Penggunaan istilah "harfiah" dapat dianalisa sebagai
berikut. Biasanya pemakaian harfiah adalah termasuk
pendekatan sudut A dalam segitiga kita. Itu berarti bahwa
perhatian dipusatkan kepada eksistensi-eksistensi yang
disinggung dalam nats. Mengartikan nats itu secara harfiah,
berarti bahwa obyek yang disinggung dalam nats itu
bereksistensi persis sebagaimana digambarkan menurut
pengertian nats yang langsung. Ditekankannya eksistensi
obyek nats, itulah yang dibayangkan, bila orang berkata
bahwa kaum fundamentalis "membaca Alkitab secara harfiah."
Jikalau dikatakan dalam nats bahwa Yesus berjalan di atas
air, maka pastilah Dia berjalan di atas air juga. Jikalau
nats mengatakan bahwa Metusalah hidup 969 tahun lamanya,
maka pastilah dia hidup 969 tahun lamanya. Istilah-istilah
seperti "berjalan di atas," "hidup selama," "air" dan
"tahun" diberi arti yang identik dengan arti-kamus biasa.
a. "Harfiah" lawan "alegoris"
"Harfiah" dalam arti demikian dapat dikontraskan
(dipertentangkan) dengan "alegoris." Alegori patutlah
ditempatkan juga pada sudut A dalam segitiga kita. Tetapi
perbedaan alegori, dibandingkan dengan pengertian harfiah,
ialah bahwa dalam alegori obyek yang sebenarnya adalah
berlainan dengan obyek yang langsung dikenal melalui bahasa
nats itu; karena obyek yang sebenarnya hanya dapat dikenal
melalui suatu proses-tidak-langsung, yaitu berdasarkan
simbol-simbol dan tanda-tanda yang bersembunyi dalam bahasa
nats. Sebagai contoh, Alkitab menceritakan bahwa Abraham
keluar dari Urkasdim; mungkin si-penafsir mengartikannya
demikian, bahwa sang jiwa berangkat dari dunia daging. Maka
dengan demikian obyek yang disinggung dalam nats itu ialah
keberangkatan jiwa. Pendekatan terhadap nats itu masih
mengutamakan obyek atau eksistensi yang disinggung tetapi
obyek yang ditemui melalui proses penafsiran, sudah
berlainan. Bila nats yang ditafsirkan itu bersifat historis,
maka hasil penafsiran harfiah dapat juga disebut
makna-historis nats. Dalam contoh tentang keberangkatan
Abraham itu, kebanyakan kita masa kini akan menganggap bahwa
pengertian harfiah dan historis itulah yang benar. Maka
ditekankannya arti harfiah dan historis, sebagai tafsiran
yang utama dalam ayat-ayat seperti ini, telah sangat memberi
pengaruh ke arah membebaskan bahan Alkitab dari
belenggu-belenggu tafsiran alegoris. Fakta ini sering
dilupakan atau diabaikan oleh mereka yang mendesak bahwa
kita "tidak boleh mengartikan Alkitab secara harfiah."
Namun dapat dikatakan bahwa alegori seperti contoh yang
dikutip di atas ini hampir tidak laku lagi di gereja. Yang
lebih sering ditemui pada masa kini ialah suatu penafsiran
yang memang terarah kepada obyek yang disinggung nats, namun
pengertiannya tentang kebereksistensian obyek itu samar dan
kabur. Diakui misalnya bahwa ada obyek di belakang cerita
seperti kenaikan atau kebangkitan Tuhan Yesus, --
eksistensi-eksistensi dan peristiwa-peristiwa yang real.
Diakui pula bahwa eksistensi-eksistensi tersebut merupakan
makna-dasar dan nilai cerita-cerita itu. Tetapi dirasakan
juga bahwa obyek itu tidak persis sama seperti kesan yang
diperoleh dari pengartian bahasa-nats itu secara langsung.
Ada unsur kesamaan, tetapi ada juga unsur perbedaan; dan
letaknya kesamaan dan perbedaan tersebut adalah agak kabur.
Bandingkan tafsiran harfiah, yang menuntut suatu kesejajaran
yang nyata, antara bahasa yang dipakai dalam laporan-laporan
Alkitabiah dan eksistensi atau peristiwa yang dilaporkan.
b. "Harfiah" berarti "mendetail"
Suatu bentuk-variasi persoalan ini ialah ketegangan
antara tafsiran yang lebih mendetail dan tafsiran yang lebih
bersifat umum. Kita ambil contoh sekali lagi dari riwayat
penciptaan: Pengartian cerita secara "harfiah," pada
kenyataannya sering merupakan pengartian yang mendetail;
yaitu tiap-tiap tahap dalam proses kejadian dunia, tiap-tiap
hari beserta karya-karya yang berlangsung pada hari itu
dianggap masing-masing sebagai obyek tersendiri, yang
terjadi persis seperti urutannya dalam cerita Alkitabiah
tersebut. Sedangkan penafsiran yang lebih bersifat umum
beranggapan bahwa cerita penciptaan itu berfungsi secara
keseluruhan, serta menguraikan proses penjadian dunia secara
menyeluruh. Detail-detail yang nampak dalam cerita dianggap
hanya perhiasan-perhiasan kesusasteraan yang bertujuan
menguatkan kesan umum, yaitu bahwa pencipta dunia ialah
Allah.
Persoalan yang agak sama timbul juga dalam penafsiran
perumpamaan-perumpamaan dalam kitab Injil. Sebagai contoh
kita ambil cerita tentang orang Samaria yang murah hati.
Apakah cerita itu secara keseluruhan menyinggung satu obyek
saja; ataukah tiap-tiap detail, termasuk keledai, penjaga
penginapan, uang yang dibayarkan kepadanya, masing-masing
mempunyai obyeknya sendiri?
Masih ada dua pokok yang patut ditambahkan di sini:
c. Dua catatan tambahan
i. Alegori juga sering terikat kepada
detail-detail nats
Istilah-istilah "harfiah" dan "alegoris" dapat
dikontraskan, dan sepatutnya demikian. Tetapi penafsiran
alegoris sering berjalan sejajar dengan perhatian kepada
seluk-beluk bentuk-kalamiah nats. Dari detail-detail nats
itulah terdapat kunci-kunci untuk pengertian alegoris;
sehingga pengalegorisasian sering dipraktekkan oleh para
penafsir yang cenderung kepada doktrin "keilhaman kalamiah."
ii. Alasan-alasan memilih pendekatan
harfiah atau non-harfiah
Ada macam-macam sebab, mengapa orang memilih penafsiran
harfiah, dibandingkan dengan yang non-harfiah. Misalnya:
iia. Kepekaan terhadap pentingnya sejarah:
sungguh berarti bahwa Abraham berangkat dari Ur, secara
fisik.
iib. Persoalan-persoalan dalam bidang apologetik:
keberatan bahwa sebenarnya manusia tak sanggup berjalan di
atas air.
iic. Persoalan-persoalan teologis-moral: tak mungkin
Allah melakukan apa yang dilaporkan menurut arti-harfiah
nats itu; sehingga perlu kita cari suatu penjelasan yang
bersifat non-harfiah. Argumen yang demikian itu sering
ditemukan dalam karangan ahli-ahli alegori, seperti
Origenes.
iid. Kepekaan terhadap faktor-faktor hukumiah-etis: Allah
tidak be. gitu saja memerintahkan manusia mengerjakan
sesuatu. Melainkan perintah Allah itu merupakan tanda dari
maksud Allah yang lebih mendalam, yaitu maksudNya untuk
mendidik serta membangun.
3. Pendekatan harfiah, bila Alkitab
dianggap naskah-teologia kesusasteraan (Sudut B dan C dalam
segitiga)
Jadi kita melihat bahwa pada taraf pencarian obyek nats
itu pun, pengertian dan penilaian istilah "harfiah" adalah
sangat kompleks. Tetapi kalau kita beralih kepada
penyelidikan sudut B (yaitu, maksud pengarang), dan sudut C
pada segitiga kita (yaitu, nats sebagai dokumen
kesusasteraan) muncullah suatu seri perbedaan yang baru.
a. Bentuk-harfiah nats membuka
pengertian tentang latar belakang atau pemikiran pengarang
Dalam menyelidiki pemikiran, maksud, dan teologia
pengarang Alkitab, (sebagaimana kita catat di atas) kita
menggunakan cara tersendiri. Dalam pendekatan itu,
bentuk-kalamiah nats dipakai sebagai bahan bukti untuk
merekonstruksi pemikiran dan keadaan hidup para pengarang
dan para penyusun tradisi. Pertimbangan-pertimbangan yang
mungkin sah kalau dipakai dalam pendekatan A (yang mencari
obyek di belakang nats itu), sering terbalik atau bahkan
menjadi irelevan dalam pendekatan sudut B. Persoalan-pokok
pada sudut B bukanlah soal, apakah Yesus berjalan di atas
air, melainkan: mengapa tradisi menggambarkan Yesus berjalan
di atas air itu? Persoalan-pokok bukanlah apakah Metusalah
hidup 969 tahun lamanya, melainkan: mengapa pengarang kitab
Kejadian begitu tertarik kepada pribadi Metusalah, dan
mengapa dia mencatat bahwa umurnya waktu meninggal adalah
969 tahun? (Atau, detail yang lain: mengapa naskah
Ibrani-Samaritan mencatat umur Metusalah sebagai 720
tahun?). Persoalan-pokok bukanlah soal, apakah Yesus naik ke
Sorga, melainkan peranan kenaikan itu dalam teologia
pengarang yang menyinggungnya.
b. Ditekankannya "pemikiran pengarang"
meningkatkan peranan detail-detail nats
Kalau kita mendekati nats dari segi itu, kita segera
sadar bahwa bentuk-kalamiah nats nampak penting sekali. Kita
melihat tadi bahwa memang sebagai sumber keterangan tentang
obyek yang disinggungnya, bentuk kalamiah itu jauh lebih
penting dari yang biasanya diduga; misalnya dalam membela
pendekatan historis dan mencegah pendekatan alegoris
terhadap nats, pula dalam mengusahakan rekonstruksi
kritis-historis. Tetapi di sudut B pada segitiga kita,
(penyelidikan terhadap maksud pengarang), ditekankannya
bentuk-kalamiah nats adalah lebih penting lagi. Misalnya,
pengarang kitab Kejadian agaknya mengikuti pola tertentu
dalam memakai kata-kerja "menciptakan," (bara) dan "membuat"
('asah) secara berganti-ganti; Dia sengaja menyusun skema
riwayat penciptaan dalam satu minggu yang memuncak pada hari
Sabat, dan mengatur detail-detail tiap-tiap hari penciptaan
dengan sengaja; Dia begitu menaruh perhatian kepada umur
Metusalah, sehingga memberikan keterangan yang mendetail:
Maka dalam semuanya ini si pengarang pastilah mempunyai
maksud tertentu; dan maksud itu pastilah merupakan bagian
integral dari teologianya, (bahkan suatu unsur yang berakar
dalam tabiatnya sebagai pengarang). Maka bolehlah kita yakin
juga bahwa detail-detail itu merupakan kunci-kunci yang
satu-satunya yang dapat membukakan teologianya (dan
tabiatnya sebagai pengarang) untuk kita.
Fakta inilah yang merupakan sebab-utama, mengapa para
ahli Alkitab begitu menaruh perhatian kepada detail-detail
bahasa Alkitab. Misalnya mereka menggali-gali tatabahasa
IbNrani dan Yunani, menyusun konkordansi-konkordansi dan
kamus-kamus, mengarang monograf-monograf yang mendiskusikan
panjang-lebar pola-pola persejajaran dan struktur puisi,
mengadakan perhitungan frekwensi kata-kata, dan sebagainya.
Segala kesibukan itu berdasarkan prinsip bahwa bahan
bukti-kalamiah itu membuka jalan yang mengantar kepada
pengertian pemikiran pengarang.
c. Detail-detail menyõnggung pemikiran
pengarang secara langsung, dan menyinggung obyek nats secara
tidak-langsung
Kembali kita kepada contoh riwayat penciptaan itu. Dari
bahan riwayat penciptaan itu timbul sedikit-dikitnya dua
persoalan yang berbeda. Persoalan pertama ialah: apa yang
dapat kita proklamasikan tentang terjadinya dunia? (yaitu
segi-segi keterangan yang dapat kita berikan). Sedangkan
soal kedua ialah: apakah maksud-teologis pengarang kitab
Kejadian? Kalau kita mau menyelidiki soal kedua itu dengan
seksama, kita harus menaruh perhatian kepada berbagai faktor
yang tidak mutlak perlu dibahas berkenaan dengan soal
pertama. Misalnya, kita harus memperhatikan betul-betul
skema enam hari itu. Karena jelas bahwa skema tersebut
memainkan peranan yang penting sekali dalam maksud
pengarang. Tetapi memberi perhatian demikian itu belumlah
tentu berarti bahwa kita yakin akan terjadinya (di dunia,
atau di sejarah ekstern) peristiwa-peristiwa atau proses
secara obyektif persis seperti dalam skema itu. Dengan
perkataan lain, ada banyak hal dalam Alkitab yang perlu
sekali sebagai bahan tafsir, namun tidak biasa dianggap
sebagai eksistensi atau peristiwa ekstern obyektif. Bahkan
pada masa kini, pemikiran kita biasanya tidak bertolak dari
nats Alkitab langsung menuju obyek-obyek yang disebut dalam
nats; melainkan kita melangkah dari nats Alkitab kepada
faktor-faktor teologis yang menjadi perhatian para
pengarang. Barulah dari itu, secara tidak langsung, kita
mendekati eksistensi-eksistensi obyektif yang disinggung
dalam nats itu. Jadi, pola penafsiran modern jarang (atau
bahkan tidak pernah) merupakan hubungan langsung antara nats
dengan eksistensi-eksistensi yang disinggung di dalamnya.
4. Masalah pokok bukanlah "penafsiran
harfiah" melainkan "penafsiran yang mendetail"
Maka dalam rangka pola penafsiran modern, ide bahwa kita
tidak usah "menanggapi Alkitab secara harfiah" menjadi
anjuran yang anakronistis. Dalam konteks modern, anjuran
tersebut termasuk pemikiran fundamentalis-harfiah. Orang
yang berkata "kita tidak menafsirkan Alkitab secara harfiah"
biasanya memaksudkan bahwa Alkitab memang memberi
keterangan-l;eterangan yang tepat, cuma keterangan itu hanya
dapat ditemukan kalau bahasa Alkitab diartikan secara tidak
langsung. Tetapi rumusan yang lebih tepat mungkin sbb.:
pengertian kita tentang maksud pengarang Alkitab adalah
bergantung kepada detail-detail bahasa natsnya itu. Tetapi
soal keyakinan kita pribadi merupakan pokok tersendiri, yang
menuntut suatu rentetan pertimbangan yang lebih kompleks
lagi.
Ringkasnya: penafsiran harfiah terhadap nats tidak
menyangkut sikap kolot, melainkan malah makin diperlukan
oleh penyelidikan modern. Karena penafsiran modern sangat
menaruh perhatian kepada maksud dan teologia
pengarang-pengarang Alkitab, dan kepada tradisi yang menjadi
latar belakangnya (sudut B dalam segitiga kita). Di fihak
lain, perhatian modern juga ditujukan kepada bentuk-bentuk,
pola-pola, dan simbol-simbol yang terkandung dalam nats
(sudut C dari segitiga kita). Maka kedua-dua pendekatan
tersebut mementingkan penyelidikan dan pemeriksaan seksama
terhadap bentuk-linguistik nats itu. Jadi persoalan-pokok
ialah perbedaan antara penafsiran nats Alkitab yang bersifat
umum dan yang bersifat mendetail. Saya sendiri dengan segaja
memihak kepada penafsiran yang mendetail itu. Sebagaimana
kita sebutkan dalam argumentasi di atas, keberatan-keberatan
tentang penafsiran harfiah dapat dibenarkan kalau dibatasi
kepada bahan-bahan sudut A dalam segitiga kita, (yaitu
penyelidikan terhadap unsur keterangan obyektif dalam nats).
Akan tetapi kalau keberatan-keberatan tersebut dikenakan
kepada penafsiran modern, akibatnya ialah semacam penafsiran
yang bersifat umum. Detail-detail dalam nats digeser sebagai
bahan-bahan yang tidak penting, dan diganti dengan
rumusan-rumusan umum tentang makna nats secara keseluruhan.
Dikatakan misalnya, bahwa "secara keseluruhan" nats itu
berarti demikian; atau "pada prinsipnya" perikop tersebut
mengandung satu pokok saja. Kita biasa mendengar penafsiran
yang berbau umum itu dalam khotbah-khotbah.
a. Keuntungan-keuntungan dalam
penafsiran yang mendetail
Faktor-faktor yang mendorong saya memihak kepada
penafsiran yang mendetail ialah sebagai berikut:
i. Ciri-ciri tiap pengarang mendapat
perhatian
Argumen kita sepanjang buku ini telah menekankan betapa
pentingnya perbedaan-perbedaan pengarang yang satu dengan
pengarang yang lain, antara tradisi yang satu dengan tradisi
yang lain dalam Alkitab. Perbedaan-perbedaan itulah yang
menampakkan warna-khas dan keanekaragaman bahan-bahan
Alkitab. Peristiwa yang satu diceritakan oleh Matius,
Markus, dan Lukas dengan perbedaan-perbedaan pengalimatan
yang cuma sedikit; namun perbedaan-perbedaan yang kecil itu
menjadi tanda bahwa peristiwa tersebut dipakai oleh
masing-masing penginjil dalam rangka teologia yang unik.
ii. Kemajemukan lapis-tradisi mendapat
perhatian
Tiap-tiap perikop yang mengandung beberapa lapis tradisi
dapat ditafsirkan dengan cara-cara yang berbeda-beda,
menurut taraf tradisi yang manakah yang kita soroti. Bahan
yang berlapis-lapis itu begitu kaya isinya, sehingga sulit
sekali diuraikan dengan rumusan-rumusan yang bersifat umum
saja.
iii. Keanekaragaman bahan Alkitab
menjadi sumber makanan rohani
Keaneka-ragaman bahan Alkitabiah ini merupakan sumber
makanan rohani untuk gereja, yang tak akan habis-habisnya.
Tentulah rumusan-rumusan teologis yang lebih teliti dapat
disusun, tetapi rumusan-rumusan tersebut tidak dapat
menggeser Alkitab dari fungsinya dalam ibadat.
iv. Kesimpulan-kesimpulan umum
sepatutnyalah berdasarkan pembahasan detail-detail
Saya tidak menganjurkan supaya rumusan-rumusan umum
tentang Alkitab (atau tentang bagian-bagian Alkitab)
dilarang. Karena rumusan-rumusan umum itu memang penting
tetapi hanya berfaedah kalau didasarkan atas suatu
peninjauan-baru tentang ciri-ciri-mendetail nats.
Kesan-kesan umum tentang arti perikop-perikop tertentu yang
diturun-alihkan turun-temurun, menghalangi usaha untuk
sungguh-sungguh mencari makna-nats yang sebenarnya.
v. Pembedaan detail yang bermakna dan
detail yang kurang
Barangkali diajukan keberatan bahwa ditekankannya
detail-detail nats membuka pintu untuk suatu sikap
kefanatikan terhadap detail-detail yang tidak bermakna.
Sebenarnya tidaklah demikian. Maksud saya bukanlah bahwa
tiap-tiap detail pasti bermakna secara teologis. Tentulah
ada detail yang bersifat kebetulan saja. Tetapi kefanatikan
tersebut timbul bukan karena perhatian terhadap
detail-detail nats melainkan karena detail-detail tersebut
tidak ditempatkan dalam kerangkaian yang tepat atau karena
tanpa pikir tiap-tiap detail diberi makna yang seimbang.
Pembedaan antara detail yang bermakna dengan detail yang
tidak bermakna itu tidak tercapai dengan menyusun suatu
penggambaran yang umum saja, melainkan dengan meningkatkan
keahlian dan pengalaman dalam menangani detail-detail itu.
Soal ini mengantar kita kepada dua pokok teologis yang
penting, yang sebenarnya merupakan pusat persoalan kita.
b. Alkitab tidak mengutarakan
Kecenderungan kepada penafsiran yang bersifat umum itu
termasuk kepada cara pemikiran yang selalu berusaha
merumuskan prinsip-prinsip teologis dan moral yang bersifat
universal. Akan tetapi apresiasi modern terhadap Alkitab
dengan tepat menekankan bahwa pola pemikiran dan penguraian
yang dipakai Alkitab adalah jarang sesuai dengan
rumusan-rumusan yang universal itu.
c. Pembahasan prinsip: "Huruf
mematikan, roh menghidupkan"
Dapat diajukan keberatan yang mergutip bahasa Rasul
Paulus berikut: "Rumusan harfiah mematikan, tetapi roh
menghidupkan" (TB mengambil: hukum yang tertulis mematikan,
tetapi Roh menghidupkan), (2 Kor. 3:6). Tetapi perkataan itu
sama sekali tidak berarti bahwa Paulus menolak
bentuk-kalamiah nats, dan memilih rumusan-rumusan-makna yang
bersifat umum dan universal. Yang dibicarakan Paulus dalam
nats itu bukanlah perbedaan antara penafsiran harfiah dan
non-harfiah, atau berbedaan antara penafsiran yang mendetail
dan yang umum. Yang dia bicarakan ialah kontras antara
cara-bekerjanya hukum Tora dan cara-kerjanya Roh. Memang ada
tradisi yang menafsirkan kalimat Rasul Paulus ini sebagai
mandat untuk mengenakan berbagai macam penafsiran rohani
kepada nats Alkitab. Tetapi pengertian yang demikian adalah
salah. Sekiranya Paulus benar-benar bermaksud membicarakan
kontras antara penafsiran harfiah dan non-harfiah, pastilah
dia memilih rumusan:- "bentuk-harfiah itu menghidupkan."
Menurut hemat saya, "bentuk-kalamiah" Alkitab tidak dapat
dikontraskan dengan "makna" Alkitab, melainkan justru
merupakan penunjuk-makna nats tersebut. Atau rumusan yang
lebih bersifat teologis: "bentuk kalamiah itu tidak
bertentangan dengan Roh; karena Roh merupakan kehadiran
Allah sendiri yang menyertai proses pembacaan Alkitab. Itu
berarti bahwa bentuk harfiah pastilah sesuai dengan maksud
Roh itu."
Berdasarkan semua pertimbangan bahwa rumusan-rumusan
tentang bentuk-kalamiah atau bentuk-linguistik Alkitab,
dapat merupakan rumusan-rumusan teologis yang sah tentang
status Alkitab. Bentuk linguistik itu tidak bertentangan
"makna Alkitab yang sebenarnya," tersebut. Bentuk-kalamiah
menjadi ukuran yang dapat mengukur tepat-tidaknya segala
penafsiran yang berusaha merumuskan makna itu. Prinsip-dasar
dalam menafsirkan Alkitab ialah: mengapa bahan itu
dirumuskan dalam bentuk ini dan bukan dalam bentuk lain?
Bentuk-linguistik tidaklah merupakan suatu tumpukan
simbol-simbol yang mati yang harus disulap-sulapi, barulah
menghasilkan suatu makna, justru bentuk-linguistik itu
adalah penguraian makna.
d. Kesimpulan: "rumusan-kalamiah" tidak
bertentangan dengan "makna"
Jadi ada tepatnya juga ahli-ahli teologia dulu berbicara
tentang "keilhaman kalamiah," -- meskipun cara pemikiran
kita telah mengarah ke arah lain dari pada pemikiran mereka.
Istilah "keilhaman kalamiah" sering dipakai dahulu, bahwa
seolah-olah tiap-tiap kata langsung didiktekan oleh Allah
atau bahwa tiap-tiap kalimat adalah sempurna dan bebas dari
kesalahan dalam tiap-tiap detailnya. Cara pemikiran kita
masa kini adalah jauh dari pada itu. Tetapi justru karena
kita sudah menjauh dari pengertian itu, kita tidak usah
segan-segan lagi berbicara tentang bentuk-kalamiah Alkitab,
bila kita membicarakan status Alkitab sebagai keseluruhan.
Dalam mencari suatu rumusan yang dapat menjelaskan status
Alkitab dengan tepat, kita tidak usah kawatir lagi,
kalau-kalau kata "kalamiah" itu menyesatkan, atau
menimbulkan kesalah-pahaman. Dulu memang ada usaha mengganti
kata "kalamiah" dengan konsep-konsep seperti "keilhaman
penuh" (plenary inspiration), "pengilhaman ide-ide,"
"pengilhaman para pengarang Alkitab," "pengilhaman
teologia-inti," dan sebagainya. Tetapi usaha demikian tidak
perlu lagi. Para pengarang Alkitab, atau ide-ide dan
teologia-inti yang terkandung di dalam Alkitab
sebenarnyalahn hanya dapat diketahui dari bentuk-kalamiah
Alkitab itu. Sebagaimana halnya dengan karangan-karangan
kesusasteraan yang lain, bentuk-kalamiah merupakan wadah
untuk menyampaikan makna. Sekiranya bentuk-kalamiah Alkitab
itu lain, pastilah maknanya lain juga.
|