|
KONTROVERSI TRINITAS
1. Latar Belakang
Kontroversi Trinitas, yang menimbulkan pertentangan pendapat
antara Arius dan Athanasius berakar pada masa lampau.
Seperti diketahui bahwa para Bapak Gereja dulu, tidak
mempunyai konsepsi yang jelas tentang Trinitas. Sebagian di
antara mereka membenarkan Logos sebagai "akal nonmanusiawi"
(impersonal reason), yang menjadi manusiawi pada saat
penciptaan, sementara yang lain memandang Dia sebagai
manusia yang ko-eternal dengan Bapak yang memiliki sifat
esensi kekekalan, dan sebagian lagi memandangnya sebagai
suruhan (subordination) atau kedudukannya di bawah Bapak Roh
Kudus tidak mendapat tempat penting dalam pembicaraan
mereka. Mereka membicarakan Dia (Yesus Kristus) dalam
kaitannya dengan pekerjaan penebusan jiwa dan hidup manusia.
Sebagian orang memandang Dia sebagai "yang tunduk" bukan
hanya kepada Bapak tetapi juga kepada Anak. Tertullian
adalah orang pertama yang secara gamblang menyatakan
tri-personalitas Tuhan serta mempertahankan pendapat tentang
keesaan substansial ketiga person tersebut. Namun dia belum
mampu menerangkan dengan jelas tentang doktrin Trinitas.
Sementara itu muncullah aliran Monarkianisme yang menekankan
keesaan Tuhan dan sifat ketuhanan Kristus, yang meliputi
penyangkalan Trinitas (jadi Trinitas tidak diartikan seperti
yang terkandung dalam arti kata tersebut). Tertullian dan
Hippolytus memperjuangkan pandangan-pandangan mereka di
Barat sementara Origen menentangnya habis-habisan di Timur.
Mereka membela kedudukan kaum trinitarian sebagaimana
diperlihatkan dalam keyakinan rasul (Kisah Rasul). Walaupun
demikian, pandangan Origen tentang Trinitas tidak seluruhnya
memuaskan. Dia berkeyakinan kuat bahwa baik Bapak maupun
anak merupakan hipostases abadi (kekal) atau personal
subsistence di dalam Tuhan. Sementara dia adalah orang
pertama yang menerangkan hubungan Bapak dengan anak dengan
menggunakan ide eternaI generation, dia menganggap hal ini
meliputi subordinasi orang kedua (second person) terhadap
orang pertama (first person) dalam kaitannya dengan esensi.
Bapak berkomunikasi dengan anak dan anak adalah sebagai
spesies sekunder kekekalan, yang dinamakan Theos, tetapi
bukan Ho Theos. Bahkan anak kadang-kadang dipanggil sebagai
Theos Deuteros. Ini merupakan cacat paling radikal dalam
doktrin Origen tentang Trinitas dan memberikan batu loncatan
bagi Arius. Cacat lain yang terdapat dalam pendapatnya
bahwa, penciptaan anak bukanlah perbuatan perlu (necessary
act) dari Bapak tetapi bersumber pada kehendak-Nya yang
berdaulat. Akan tetapi dia tidak melontarkan ide suksesi
temporal. Dalam doktrinnya tentang Roh Kudus dia masih
mengesampingkan representasi Kitab Injil. Dia bukan nanya
menempatkan Roh Kudus sebagai "bawahan" terhadap anak,
tetapi dia juga mengartikannya sebagai ciptaan anak. Bahkan
salah satu pernyataannya berimplikasi bahwa Dia hanyalah
sebagai suata ciptaan belaka.
2. Hakikat Kontroversi
a. Arius dan Arianisme
Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir Trinitas
adalah kontroversi pandangan Arius, karena
pandangan-pandangan "anti-trinitas" yang dilontarkan Arius,
seorang presbyter Alexandrux yang daya debatnya besar
walaupun jiwanya atau imannya diragukan. Ide dominan Arius
adalah asas monoteistis aliran Monarkianisme bahwa hanya ada
satu Tuhan (tidak mempunyai anak). Ada yang tidak mempunyai
asal usul, tanpa keberadaan sebelumnya. Dia membedakan
antara Logos yang tetap ada di dalam Tuhan, yang merupakan
kekuatan yang kekal dengan Anak atau Logos yang pada
akhirnya berinkarnasi. Anak atau Logos terakhir ini
diciptakan oleh Bapak yang dalam pandangan Arius berarti
bahwa dia diciptakan. Dia diciptakan sebelum alam semesta
ini diciptakan, dan dengan alasan ini berarti dia bukanlah
esensi yang kekal. Dia hanyalah yang terbesar dan pertama di
antara ciptaan-ciptaan lainnya dan melalui dialah alam
semesta ini diciptakan. Karena itu dia dapat diganti, tetapi
dia dipilih Tuhan demi keselamatan umat manusia, dan dia
dinamakan anak Tuhan. Dalam pengangkatannya sebagai anak
dialah yang disembah oleh manusia.
Dalam mendukung pandangan-pandangannya, Arius mencari;
sejumlah ayat Alkitab yang memperlihatkan anak berkedudukan
di bawah atau inferior terhadap Bapak seperti "Prov 8:22,
Mateus 28:18, Markus 13:32, Lukas 18:19, Johannes
5:19;14:28,1 Korintus 15:28."
b. Bantahan terhadap Arianisme
Arius mendapat bantahan pertama dari bishop Alexander yang
meyakini sifat ketuhanan yang sesungguhnya dimiliki anak dan
dalam waktu yang sama mempertahankan doktrin anak kekal yang
diciptakan. Akan tetapi sesuai dengan perjalanan waktu,
penentangnya ternyata adalah uskup Alexandria sendiri, yakni
Athanasius, yang dalam sejarah dikenal sebagai tokoh
kebenaran yang tegar, kukuh, dan tidak pernah ragu-ragu,
Seeberg mengemukakan tiga kekuatan atau kelebihan utama
Athanasius, yakni:
1. Keteguhan dan keaslian atau kemurnian karakternya;
2. Landasannya yang pasti di atas mana dia susun konsepsi
tentang keesaan Tuhan;
3. Kebijaksanaannya dalam menerangkan kepada umatnya agar
mengakui hakikat dan makna Kristus.
Dia berpendapat bahwa memandang Kristus sebagai ciptaan sama
dengan menyangkal pandangan bahwa iman terhadap dia membawa
keselamatan bagi umat manusia.
Dia sangat menekankan keesaan Tuhan dan mau mengakui doktrin
Trinitas yang tidak membahayakan konsep keesaan ini.
Sementara bapak dan anak sama-sama memiliki sifat atau
esensi kekekalan yang sama, sesungguhnya tidak ada pembagian
atau pemisahan dalam The essential being of God, dan adalah
salah bila disebutkan Theos Deuteros. Tetapi di samping
menekankan keesaan Tuhan, dia juga mengakui adanya tiga
hipostases dalam Tuhan. Dia menolak untuk meyakini "Anak
yang diciptakan sebelum yang lain diciptakan" seperti yang
dianut Arius dan mempertahankan eksistensi kekal dan
independen anak. Dalam waktu yang sama dia berpendapat bahwa
ketiga hipostases dalam Tuhan jangan dilihat sebagai hal
yang sendiri-sendiri, karena jika demikian, bisa bermuara
kepada politeisme. Menurut dia, keesaan Tuhan maupun
perbedaan-perbedaan dalam keberadaan-Nya paling tepat
dinyatakan dengan "keesaan esensi." Ini berarti bahwa anak
mempunyai substansi sama dengan substansi Bapak, tetapi juga
berarti bahwa keduanya bisa berbeda dalam aspek lain,
misalnya dalam personal subsistensinya. Seperti Origen, dia
mengajarkan bahwa anak adalah hasil penciptaan (begotten by
generation), tetapi berbeda dari Origen, dia menerangkannya
penciptaan ini merupakan tindakan kerahasiaan Tuhan, bukan
sebagai tindakan yang semata-mata bergantung kepada
kedaulatan Tuhan.
3. Dewan Nicaea
Dewan Nicaea dibentuk tahun 325 untuk memecahkan
pertentangan pandangan ini. Persoalan atau kontroversi ini
diperjelas agar pembahasannya lebih mudah. Pengikut Arius
menolak pandangan tentang penciptaan eternal (penciptaan
yang bebas dari dimensi waktu), sementara Athanasius
mempertahankannya. Pengikut Arius mengatakan bahwa anak
diciptakan dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan
bahwa dia diciptakan dari esensi Bapak. Pengikut Arius
berpendapat bahwa anak tidak sama substansinya dengan Bapak
sementara Athanasius berpendapat bahwa anak adalah
homoousios dengan Bapak.
Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak
tengah yang merupakan mayoritas yang dipimpin oleh ahli
sejarah gereja, yakni Eusebius dari Caesarea, dan juga
dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan pandangannya
adalah asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong
kepada pihak Arius dan menentang doktrin bahwa anak sama
substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan
suatu pernyataan yang telah diketengahkan Eusebius, yang
menyerahkan segala sesuatunya kepada pihak Alexander dan
Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin di atas;
dan menyatakan bahwa istilah homoousios hendaknya diganti
dengan homoiousios; jadi mereka mengajarkan bahwa anak sama
substansinya dengan Bapak. Setelah melalui perdebatan yang
panjang akhirnya pihak Athanasius berhasil memenangkannya.
Dewan Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya
kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang Mahabisa, Pencipta yang
tampak maupun tidak tampak. Dan percaya pada satu tuhan
Yesus Kristus yang sama substansinya (homoousios) dengan
Bapak dan seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas,
dimana esensi anak dinyatakan identik dengan esensi Bapak;
sama tingginya dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai
autotheos.
4. Akibat-akibatnya
a. Dampak negatif keputusan tersebut
Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea tidak menyelesaikan
kontroversi Trinitas, bahkan ternyata merupakan awal dari
kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan Gereja
dengan dukungan kerajaan tidaklah memuaskan dan juga
diragukan tidak akan bertahan lama. Hal ini berakibat
penentuan keimanan orang Kristen bergantung kepada
pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan bahkan bergantung
kepada intrik-intrik pengadilan. Athanasius sendiri,
walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau
metode pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti
itu. Dia cenderung berusaha meyakinkan para penentangnya
dengan kekuatan argumen-argumen yang diajukan karena dari
kenyataan di atas nyatalah bahwa pergantian kaisar atau
raja, perubahan suasana, bisa mengubah seluruh aspek
kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan sekarang bisa
menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian
hari oleh kerajaan. Dan inilah yang sering terjadi dalam
sejarah selanjutnya.
b. Para penganut temporer semi-arianisme dalam Gereja
Timur
Figur sentral terbesar dalam masalah kontroversi Trinitas
pasca-Nicaea adalah Athanasius. Dia merupakan tokoh terbesar
pada zaman tersebut; dia seorang cendekiawan yang pintar,
karakternya teguh, dan teguh terhadap keyakinannya, serta
rela mati atau menderita demi kebenaran. Gereja semakin
cenderung menerima pandangan Arianisme, tetapi masih
didominasi pandangan semi-arianisme, dan penguasa (kerajaan)
biasanya berpihak kepada pandangan kaum mayoritas, sehingga
akibatnya timbullah pernyataan atau desas-desus Unus
Athanasius contra orbem yang artinya "Satu Athanasius
melawan dunia." Lima kali hamba Tuhan ini mendapat hukuman
pengasingan serta mendapat perlakuan-perlakuan buruk, serta
dikucilkan dari gereja.
Tantangan terhadap Pernyataan Nicaea (Nicene Creed) berasal
dari beberapa pihak yang berbeda. Ujar Cunningham: "Para
pengikut Arius yang lebih ekstrim mengatakan bahwa anak
adalah heteroousios, substansinya tidak sama dengan
substansi Bapak; yang lain menyatakan bahwa anak adalah
anomoios, tidak seperti Bapak, dan sebagian lagi, yang
biasanya dinamakan semi-arianisme menyatakan bahwa: dia
adalah homoiousios, artinya substansinya mirip substansi
Bapak; tetapi mereka semuanya menolak fraseologi Nicaea
karena mereka menentang doktrin Nicaea tentang ketuhanan
anak dan mereka melihat serta berkeyakinan bahwa fraseologi
tersebut secara akurat dan tegas menyatakan hal itu,
walaupun mereka kadang-kadang menambah-nambahkan keberatan
lain terhadap pemakaian fraseologi tersebut (lihat
Historical Theology I halaman 290). Aliran semi-arianisme
mendapat pengikut di daerah Timur wilayah Gereja. Akan
tetapi, daerah Barat mempunyai pandangan yang berbeda
tentang masalah tersebut, dan mereka setia kepada Dewan
Nicaea. Hal ini terutama dapat kita lihat dari kenyataan
bahwa sementara Gereja Timur didominasi oleh pandangan
Origen bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, Gereja Barat
sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan Tertullian serta
mengembangkan suatu jenis teologi yang lebih serasi dengan
pandangan-pandangan yarg diperjuangkan oleh Athanasius. Akan
tetapi, di samping itu persaingan atau rivalitas antara Roma
dan Konstantinopel hendaknya diperhitungkan juga. Pada waktu
Athanasius diusir dari Timur, dia diterima dengan tangan
terbuka di Barat; dan Dewan Roma (341) dan Sardica (343)
secara tanpa syarat mengesahkan doktrin yang diperjuangkan
oleh Athanasius.
Akan tetapi, kehadirannya di Barat diperlemah serta dihambat
oleh naiknya posisi Marcellus dan Ancyra dalam tokoh-tokoh
teologi Nicaea. Dia kembali meyakini perbedaan antara
eternal Logos dan impersonal Logos yang terdapat dalam
hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan
kekal (divine energy) dalam pekerjaan penciptaan, dan Logos
menjadi personal pada saat reinkarnasi; menyangkal bahwa
istilah generation (kelahiran) dapat diterapkan terhadap
Logos yang tidak ada sebelumnya (pre-existent Logosi) dan
karena itu membatasi penggunaan nama "Anak Tuhan" hanya
kepada Logos yang berinkarnasi; dan berkeyakinan bahwa pada
akhir masa hidup inkarnasinya, Logos akan kembali kepada
hubungan premundanenya (premundane relation) dengan Bapak.
Teorinya ini jelas membenarkan tindakan para pengikut atau
penganut paham Origenis atau Eusebius dalam menghadapi
pandangan sabellianisme, dan karena itu juga merupakan
faktor yang memperlebar perbedaan antara Barat (Roma) dengan
Timur (Konstantinopel).
Ada berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat atau perselisihan tersebut. Berbagai
Dewan telah mengadakan persidangan di Antiokia; yaitu
dewan-dewan yang mengakui definisi-definisi yang dikeluarkan
Dewan Nicaea, walaupun dengan dua pengecualian penting.
Mereka mengakui konsepsi homoiousios dan kelahiran anak
sebagai perbuatan kehendak Bapak. Hal ini, sudah tentu tidak
memuaskan pihak Barat. Sinode-sinode dan Dewan-dewan lain
mengikut, di mana pengikut Eusebius mencari pengakuan Barat
akan deposisi Athanasius, dan membentuk mazhab-mazhab lain
sebagai perantara. Tetapi, semua usaha ini sia-sia sampai
naiknya Constantius sebagai kaisar tunggal dan dengan
berbagai taktik cerdik dalam menarik para bishop Barat ke
garis Eusebius pada Sinode di Arles dan Milan (355).
c. Pembalikan pasang
Sekali lagi terbukti bahwa kemenangan adalah hal yang
berbahaya jika landasan kemenangan itu adalah keburukan.
Ternyata hal serupa merupakan sinyal atau pertanda bagi
kekacauan pihak anti-Nicene (penentang doktrin Nicaea).
Unsur-unsur heterogen yang membentuk pihak ini, dipersatukan
oleh sikap menentang mereka terhadap pihak Nicene (Nicaea).
Tetapi, segera setelah tekanan-tekanan dari luar mereda,
kelemahannya; yakni tidak adanya kesatuan intern menjadi
semakin nyata dan menonjol. Penganut paham Arianisme dan
semi-arianisme mulai berselisih, sementara kelompok terakhir
ini sendiri tidak mampu bersatu. Pada Dewan Sirmium (357)
ada usaha untuk mempersatukan semua pihak dengan
mengesampingkan masalah-masalah penggunaan istilah-istilah
tertentu seperti ousia, homoousios, dan homoiousios, dengan
menyatakannya sebagai di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Tetapi perpecahan sudah terlanjur terjadi. Para penganut
Arianisme sejati mulai memperlihatkan belangnya, dan mereka
memaksa penganut semi-arianisme yang paling konservatif ke
dalam kamp Nicene.
Sementara itu muncullah suatu pihak baru di Nicene, yang
terdiri atas orang-orang yang merupakan murid Mazhab
Origenis, tetapi cenderung dikelompokkan sebagai pengikut
Athanasius dan Nicene Creed (Pernyataan Nicaea) karena
mereka mempunyai interpretasi yang lebih sempurna tentang
kebenaran. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Tiga Bersaudara
yaitu: Cappadocians, Basil yang Agung, Gregory dari Nyssa,
dan Gregory dari Nazianzus. Mereka melihat sumber
kesalahpahaman di dalam pemakaian istilah hipostases;
istilah ini dianggap sinonim dengan ousia (esensi) maupun
prosopon (person), dan karena itu mereka membatasi
penggunaan istilah ini hanya untuk arti personal subsistence
dari Bapak dan anak (personal subsistence of Father and
Son). Tidak seperti Athanasius yang mengambil titik tolak
keesaan ousia abadi dari Tuhan (one divine ousia of God),
mereka mencari titik tolak dari ketiga hipostases (person)
dalam ada-kekal (divine being), dan mereka berusaha
memasukkannya di dalam konsepsi ousia kekal atau ousia abadi
(divine ousia). Gregory memperbandingkan hubungan ketiga
person dalam Godhead dengan ada-kekal dengan hubungan ketiga
orang tersebut dan dengan humanitasnya.
Dengan penekanan mereka terhadap ketiga hipostases dalam
ada-kekal nyatalah bahwa mereka membebaskan doktrin Nicaea
dari noda Sabellianisme di mata pengikut Eusebius, dan bahwa
personalitas Logos adalah cukup jelas. Bersamaan dengan itu
dipertegas dan dipertahankannya ide keesaan ketiga person
tersebut di dalam Godhead serta mengilustrasikan pengertian
ini dengan berbagai cara.
d. Perselisihan tentang roh kudus
Hingga kini, roh kudus belum banyak mendapat perhatian dan
pembahasan, walaupun telah muncul berbagai opini yang
simpang-siur tentang subyek tersebut. Arius berpendapat
bahwa roh kudus adalah sesuatu yang pertama diciptakan oleh
anak, suatu pendapat yang dalam banyak hal sesuai dengan
pandangan Origen. Athanasius berpendapat bahwa esensi roh
kudus sama dengan esensi Bapak tetapi pernyataan Nicene
hanya mengeluarkan satu pernyataan yang tidak pasti tentang
hal ini, "Dan (saya percaya) di dalam roh kudus." Kelompok
Cappadocian mengikuti atau menganut opini atau pandangan
Athanasius dan dengan penuh semangat mempertahankan opini
yang menyatakan homoousios roh kudus. Hilary dari Poitiers
di Barat berpendapat bahwa roh kudus sebagai pencarian ke
dalam Tuhan, bukanlah sesuatu yang di luar esensi kekal
(divine essence). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh
Macedonius, bishop Kota Konstantinopel, yang menyatakan
bahwa roh kudus adalah suatu ciptaan yang lebih rendah
(subordinate) daripada anak (tunduk terhadap anak), akan
tetapi pendapat ini pada umumnya dianggap heretik (berbau
murtad), dan para pengikutnya digelari aliran Pneumatokis
(pneuma = spirit, machomai = ucapan iblis). Pada waktu Dewan
Umum Konstantinopel mengadakan pertemuan pada tahun 381,
dewan ini mengumumkan bahwa mereka mengakui pernyataan
Nicaea, yang dipimpin Gregory dari Nazianzus menerima
perumusan berikut tentang roh kudus: "Dan kami percaya di
dalam roh kudus, Tuhan Pemberi Kehidupan, yang berasal dari
Bapak yang akan dimenangkan oleh Bapak dan anak, dan yang
berbicara melalui para nabi."
e. Penyempurnaan doktrin Trinitas
Pernyataan Dewan Konstantinopel ternyata tidak lengkap dalam
dua hal: pertama, istilah homoousios tidak digunakan,
sehingga konsubstansialitas roh dengan Bapak tidak
dipastikan secara langsung; kedua, hubungan roh kudus dengan
kedua person lain tidak didefinisikan. Pernyataan ini
berimplikasi bahwa roh kudus berasal dari Bapak, sementara
tidak ada sangkalan maupun pembenaran bahwa dia (roh kudus)
juga berasal dari anak. Tidak ada kesepakatan pendapat
tentang masalah ini. Mengatakan bahwa roh kudus berasal dari
Bapak saja, seakan-akan menyangkal keesaan anak dengan
Bapak; dan mengatakan roh kudus juga berasal dari anak,
bagaikan menempatkan roh kudus pada kedudukan yang lebih
dependen daripada kedudukan anak dan sekaligus merupakan
sangkalan akan sifat ketuhanan roh kudus itu sendiri.
Athanasius, Basil dan Gregory dari Nyssa meyakini
keberasalan roh kudus dari Bapak tanpa menentang doktrin
bahwa roh itu juga berasal dari anak. Tetapi Epiphanius dan
Marcellus dari Ancyra secara positif membenarkan doktrin
ini.
Ahli-ahli teologi Barat meyakini bahwa roh kudus berasal
dari Bapak dan anak; dan pada sinode di Toledo pada tahun
589, filioque yang terkenal itu ditambahkan ke dalam lambang
aliran Konstantinopel (Constantinopolitan Symbol). Di Timur,
perumusan akhir doktrin itu dibuat oleh Johannes dari
Damascus (John of Damascus). Menurut dia, hanya ada satu
esensi kekal (divine essence), tetapi ada tiga person atau
hipostases. Ketiga hipostases atau person ini dipandang
sebagai realitas dalam ada-kekal (divine being), tetapi satu
sama lain berhubungan tidak seperti tiga orang. Mereka
(ketiga orang) tersebut adalah satu dalam segala hal,
kecuali dalam cara penampakannya (pola eksistensinya). Bapak
dicirikan oleh non-generation, anak dicirikan oleh
generation dan roh kudus dicirikan oleh prosesi
(procession). Hubungan antarperson itu disebutkan sebagai
satu mutual interprenetation (circumincession). Dengan tidak
menyangkal penolakannya atas pandangan subordinasionisme,
Johannes dari Damascus masih menyebutkan Bapak sebagai
sumber Godhead, dan menggambarkan roh kudus sebagai yang
dianugerahkan Bapak melalui Logos. Ini masih tetap merupakan
subordinasionisme dalam tafsir Yunani. Gereja Timur tidak
pernah memberlakukan filioque Sinode Toledo. Inilah sumber
perbedaan pandangan antara gereja Timur dan Barat.
Konsepsi Barat tentang Trinitas mencapai fase akhir di
tangan Augustine melalui karya besarnya yang berjudul De
Trinitate. Dia juga menekankan atau menitikberatkan keesaan
esensi dan trinitas person tersebut. Masing-masing person
tersebut memiliki esensi keseluruhan dan sebegitu jauh
identik dengan esensi person lainnya. Mereka tidak seperti
tiga manusia, karena masing-masing manusia hanya memiliki
sebagian dari sifat generik manusia. Lebih lanjut, satu
person tidak, dan tidak akan pernah terpisah dari person
yang lain; hubungan kebergantungan di antara ketiga person
tersebut adalah hubungan mutual. Esensi kekal dimiliki
ketiga person itu dilihat dari sudut yang berbeda; yakni
sebagai yang menimbulkan, yang ditimbulkan, atau yang diberi
jiwa. Di antara ketiga hipostases tersebut terjalin suatu
hubungan interpenetrasi dan saling-pendiaman mutual. Istilah
person menurut Augustine tidak cocok untuk menyatakan
hubungan di mana ketiga person itu ada saling menempati; dia
tetap menggunakan istilah itu bukan untuk menggambarkan
hubungan itu, tetapi untuk tidak berdiam. Dalam konsepsi ini
tentang Trinitas, roh kudus diakui sebagai berasal
(proceeding) bukan hanya dari Bapak, tetapi juga dari anak.
|