|
43. Lembah Keenam, Lembah Keheranan dan
Kebingungan
Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan
Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan.
Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan
pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang
menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api,
namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan.
Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan
perjalanan? Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun
lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia
ditanya, "Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa
ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi?
Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan
kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa.
Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam
bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh
dan sekaligus juga hampa cinta."
Puteri yang Mencintai Hambanya
Seorang raja, dengan kerajaannya yang membentang hingga
ke ufuk-ufuk jauh, mempunyai seorang puteri secantik bulan.
Di hadapan kecantikannya, bahkan peri-peri pun merasa malu.
Dagunya yang berlekuk serupa dengan sumur
Yusuf,1 dan ikal
rambutnya melukai seratus hati. Kedua alisnya busur kembar.
Dan bila dilepaskannya panah-panah dari busur itu, ruang di
antaranya pun menyanyikan pujian-pujian untuknya. Matanya,
yang sayu bagai kembang narsis, melemparkan duri-duri bulu
matanya di jalan para arif. Wajahnya bagai matahari ketika
menggantikan keperawanan bulan. Malaikat Jibril tak dapat
mengalihkan matanya dari mutiara-mutiara dan manikam-manikam
mulutnya. Senyum bibirnya mengeringkan air hayat yang
memandangnya, yang masih mengemis sedekah dari bibir itu
juga. Siapa memandang dagunya akan jatuh terjungkir ke
sumber air yang berbuih-buih.
Raja itu juga mempunyai seorang hamba, orang muda yang
begitu tampan sehingga matahari pun menjadi pucat dan cahaya
bulan suram. Bila orang muda itu berjalan di jalan-jalan dan
di pasar, orang banyak pun berhenti hendak memandangnya.
Kebetulan pada suatu hari puteri raja melihat hamba itu,
dan segera ia pun jatuh hati. Pikiran hilang dan cinta pun
menguasainya. Menarik diri dari kawan-kawannya, puteri itu
merenung-renung. Dan dengan merenung-renung dan
membayangkan, ia mulai terbakar cinta. Maka dipanggilnya
kesepuluh dayang kehormatannya yang muda-muda. Mereka
pemusik-pemusik ulung, pemain alat-alat tiup dan seruling;
suara mereka seperti suara bulbul, dan nyanyian mereka, yang
mencabik-cabik jiwa, sebanding dengan nyanyian Daud. Setelah
menyuruh mereka berkumpul di sekelilingnya, ia pun
menceritakan keadaan dirinya dengan mengatakan bahwa ia
bersedia mengorbankan nama, kemuliaan dan hidupnya demi
cintanya terhadap orang muda itu: sebab bila orang begitu
tenggelam dalam cinta, ia canggung bagi hal-hal yang lain.
"Tetapi," katanya, "bila kukatakan padanya tentang cintaku,
tak sangsi lagi dia akan melakukan sesuatu yang kurang
pikir. Jika diketahui orang bahwa aku telah bermesraan
dengan seorang hamba, maka dia maupun aku tentu akan
menderita. Sebaliknya, bila ia tak memiliki aku, aku akan
mati merana di balik tirai sanastri. Aku telah membaca
seratus buku tentang kesabaran, namun aku tetap tak memiliki
kesabaran itu. Apa dayaku! Aku harus mendapatkan jalan untuk
menikmati cinta dari pohon saru yang lampai ini, sehingga
gairah jasmaniku akan sejalan dengan kerinduan jiwaku - dan
ini harus dilakukan tanpa setahu dia."
Kemudian dayang-dayang yang bersuara merdu itu berkata,
"Janganlah Tuanku Puteri bersedih. Malam nanti kami akan
membawa dia ke mari tanpa setahu siapa pun, bahkan dia
sendiri tak akan tahu sedikit pun tentang itu."
Segera salah seorang gadis remaja itu pergi dengan
diam-diam mendapatkan hamba itu, dan seperti bermain-main,
dimintanya hamba itu membawa dua piala anggur. Ke dalam
salah satu piala itu dimasukkannya obat, sambil
dicari-carinya akal agar hamba itu mau meminumnya. Segera
hamba itu pun tertidur, sehingga si dayang dapat
melaksanakan rencananya, dan orang muda yang berdada perak
itu tetap tak kabarkan dirinya.
Ketika malam tiba, dayang-dayang kehormatan itu datang
mengendap-endap ke tempat si hamba terbaring, lalu menaruh
orang itu di atas tandu dan membawanya ke tempat tuan
puteri. Kemudian mereka dudukkan hamba itu di atas
singgasana kencana dan mereka kenakan rangkaian mutiara di
kepalanya. Pada tengah malam, masih sedikit terbius oleh
obat itu, si hamba membuka mata dan melihat istana seindah
sorga, sedang di sekelilingnya tempat-tempat duduk dari
kencana. Tempat itu diterangi dengan sepuluh lilin besar
yang diberi wangian damar-harum, sedang kayu cendana yang
semerbak terbakar dalam bejana-bejana. Dara-dara itu mulai
menyanyi dengan lagu-lagu yang demikian merdu sehingga
pikiran seakan mengucapkan selamat tinggal pada jiwa, dan
jiwa pada raga. Kemudian matahari anggur pun berputar-putar
sekeliling nyala lilin-lilin itu. Bingung karena kegembiraan
di seputarnya dan silau karena kecantikan puteri raja, orang
muda itu kehilangan kesadarannya. Ia benar-benar tidak lagi
ada di atas dunia ini dan tidak pula di dunia lain. Dengan
hati penuh cinta, dan raga dikuasai gairah damba, di tengah
segala keriangan ini ia pun tenggelam dalam haru-gembira.
Matanya terpancang pada kecantikan puteri raja itu dan
telinganya pada bunyi seruling-seruling bambu. Lubang
hidungnya menghirup wangian damar harum, dan anggur di
mulutnya menjadi serupa api cair. Puteri raja itu
menciumnya, dan si hamba mengucurkan air mata kegirangan,
sementara sang puteri menyatukan airmatanya dengan air mata
hamba itu. Kadang sang puteri menekankan ciuman manis di
mulut si hamba, kadang ciuman itu dibumbui rasa garam;
kadang sang puteri mengusutmasaikan rambut si hamba yang
panjang itu, kadang kehilangan dirinya sendiri di mata si
hamba. Hamba itu memiliki sang puteri; dan demikianlah
mereka lewatkan waktu itu hingga fajar terbit di Timur.
Ketika sepoi pagi berembus, hamba muda itu merasa sedih,
tetapi mereka buat lagi dia tidur lalu mereka bawa kembali
ke tempat kawan-kawannya.
Ketika dia yang berdada perak itu sadar, tanpa tahu
kenapa, dia pun menangis. Orang boleh mengatakan bahwa
peristiwa itu sudah selesai, maka apa gunanya diratapi.
Hamba itu merobek-robek pakaiannya, menarik-narik rambutnya
dan mengotori kepalanya dengan tanah. Mereka yang ada di
sekelilingnya menanyakan kenapa ia berbuat demikian, dan apa
yang telah terjadi. Kata hamba itu, "Tak mungkin
menggambarkan apa yang telah kulihat, tiada orang lain yang
mungkin pernah melihatnya kecuali dalam mimpi, karena apa
yang telah terjadi padaku tak mungkin pernah terjadi pada
siapa pun sebelumnya. Tiada lagi rahasia yang lebih
menakjubkan."
Seorang kawannya berkata, "Bangunlah dan ceritakan pada
kami setidak-tidaknya satu dari seratus peristiwa yang
terjadi itu." Jawab si hamba, "Aku bingung sebab apa yang
kulihat itu kualami dengan tubuh lain. Selagi tak mendengar
apa-apa, aku mendengar segalanya; selagi tak melihat
apa-apa, aku melihat segalanya."
Yang lain berkata, "Adakah kau telah kehilangan
kesadaranmu atau adakah kau telah bermimpi?" "Ah," kata
hamba itu, "aku tak tahu apakah aku mabuk atau sadar ketika
itu. Apakah lagi yang lebih membingungkan daripada sesuatu
yang tak tersingkap dan juga tak tersembunyi. Apa yang telah
kulihat itu tak mungkin akan kulupakan, namun aku tak dapat
membayangkan di mana peristiwa itu terjadi. Selama semalam
suntuk aku bersuka-suka dengan seorang puteri jelita yang
tiada bandingnya. Siapa dan apakah sebenarnya dia itu, aku
tak tahu. Hanya cinta yang tinggal, itu saja. Tetapi Tuhan
mengetahui yang sebenarnya."
Si Ibu dan Anaknya Perempuan yang
Meninggal
Seorang yang sedang lewat, yang melihat seorang ibu
sedang menangisi kubur anaknya perempuan, berkata, "Wanita
ini lebih unggul daripada kami laki-laki, sebab ia tahu
siapa yang telah hilang daripadanya dan dengan siapa dia
telah berpisah. Beruntunglah perempuan, atau laki-laki, yang
tahu siapa yang telah hilang daripadanya, dan siapa yang dia
tangisi. Akan halnya diriku, meskipun aku duduk meratap dan
airmataku mengucur bagai hujan, namun aku tak tahu siapa
yang kutangisi. Perempuan ini menggondol bola keunggulan
dari ribuan orang macam aku ini, sebab ia telah menemukan
wangian makhluk yang telah hilang daripadanya."
Kunci yang Hilang
Seorang Sufi mendengar orang berseru, "Adakah yang
menemukan kunci? Pintuku terkunci dan aku berdiri di debu
jalanan. Bila pintuku tinggal tertutup, apa yang mesti
kulakukan?"
Sufi itu berkata padanya, "Mengapa kau risau? Karena
pintu itu pintumu, tinggal saja di dekatnya, meskipun
tertutup. Bila kau punya kesabaran untuk menunggu cukup lama
tentulah seseorang akan membukakan pintu itu bagimu.
Keadaanmu lebih baik dari keadaanku, sebab aku tak punya
pintu maupun kunci. Doakan saja pada Tuhan semoga aku dapat
menemukan pintu, yang terbuka ataupun tertutup.
Orang selalu hidup dalam angan-angan, dalam mimpi; tiada
yang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Kepada dia
yang mengatakan padamu, "Apa yang mesti kulakukan?"
katakanlah padanya, "Jangan lakukan apa yang sudah biasa kau
lakukan selama ini; jangan berbuat apa yang sudah biasa kau
perbuat selama ini." Ia yang memasuki Lembah Keheranan ini
cukup sedih memikirkan seratus dunia. Bagi diriku, aku
bingung dan tersesat. Ke mana aku akan melangkah? Doakan
pada Tuhan semoga aku tahu! Tetapi ingat, ratapan insan akan
menurunkan kerahiman.
Murid yang Melihat Gurunya dalam
Mimpi
Seorang murid pada suatu malam melihat almarhum gurunya
dalam mimpi dan berkata padanya, "Macam mana kiranya keadaan
di tempat Tuan berada sekarang? Sepeninggal Tuan, murid Tuan
ini telah terjerat dalam kebingungan dan merana karena
duka."
Sang guru menjawab, "Aku dalam keheranan sedemikian rupa
sehingga aku hanya dapat menggigit punggung tanganku. Aku
ada dalam lubang penjara, diam tercengang-cengang; dan aku
lebih merasa terkejut daripada yang pernah kualami dalam
hidup."
Catatan kaki:
1 Lekuk dagu sering
dikiaskan dengan sumur atau mata air.
(sebelum,
sesudah)
|