|
42. Lembah Kelima atau Lembah
Keesaan
Hudhud melanjutkan, "Kau seterusnya harus melintasi
Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah
berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala yang
menegakkan kepala di sini menegakkan kepala dari kerah yang
satu itu juga. Meskipun kau seakan melihat wujud yang
banyak, namun pada hakikatnya hanyalah satu. Semua merupakan
esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang
kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak
sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu
mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan
keabadian sebagai yang dulu dan yang kemudian, dan karena
kedua keabadian ini telah lenyap, jangan lagi
membicarakannya. Bila segala yang tampak menjadi tiada,
apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?"
Jawaban Si Gila Tuhan
Seseorang bertanya pada seorang arif, "Apakah dunia ini?
Dengan apa dapat dibandingkan?" Jawabnya, "Dunia ini, paduan
dari kengerian dan kejahatan ini, ialah bagai pohon-palma
dari lilin dihiasi dengan seratus warna. Bila kauremas pohon
itu, ia pun menjadi segumpal lilin; karena itu warna-warna
dan bentuk-bentuk yang kaukagumi tidaklah berharga se-obol
pun. Jika ada keesaan tak mungkin ada keduaan; baik 'Aku'
maupun 'Engkau' tidaklah penting.
Tetapi apakah gunanya kata-kataku, meskipun itu timbul
dari lubuk jiwaku, kalau kau tak merenungkannya. Bila kau
telah tercebur ke dalam lautan kehidupan lahiriah, seperti
ayam hutan dengan sayap dan lar yang tak dapat menopangnya,
maka jangan sekali-kali berhenti memikirkan bagaimana
mencapai pantai."
Syaikh Bu Ali Dakkah
Seorang perempuan tua menyerahkan sekeping emas pada Bu
Ali sambil berkata, "Terimalah ini dariku." Jawab Bu Ali,
"Aku hanya dapat menerima apa-apa dari Tuhan." Perempuan tua
itu menjawab dengan tepat, "Dari mana anda belajar melihat
ganda? Anda bukan orang yang dapat menyimpul-uraikan.
Sekiranya anda tak bermata juling, akan dapatkah anda
melihat beberapa benda serempak?"
Tiadalah Ka'bah maupun Pagoda. Pelajarilah dari mulutku
ajaran yang benar -adanya Wujud yang abadi. Kita jangan
melihat siapapun yang lain kecuali Dia. Kita ada dalam Dia,
karena Dia, dan bersama Dia. Kita mungkin pula berada di
luar keadaan-keadaan ini. Siapa pun yang tak berendam dalam
Lautan Keesaan tidaklah layak sebagai umat manusia.
Akan datang hari ketika Matahari akan menyingkapkan cadar
yang menyelubunginya. Selama kau terpisah, baik dan buruk
akan timbul dalam dirimu, tetapi bila kau meniadakan dirimu
sendiri dalam Matahari Hakikat Keilahian, baik dan buruk itu
akan teratasi oleh cinta. Selagi kau berlambat-lambat di
jalan, kau akan tertahan oleh kesalahan-kesalahan dan
kelemahan. Belumkah kau menyadari bahwa dalam dirimu ada
kesombongan, kecongkakan, kebanggaan-diri, cinta-diri dan
sifat-sifat lain yang kotor! Meskipun ular dan kalajengking
mungkin mati tampaknya dalam dirimu, namun mereka hanya
tidur; dan bila mereka tersentuh, mereka pun akan bangun
dengan kekuatan seratus naga. Dalam masing-masing diri kita
ada neraka ular. Bila kau dapat menyelamatkan dirimu dari
makhluk-makhluk kotor ini, kau akan tinggal tenang; bila
tidak, mereka akan menyakitkanmu dengan bisa meski kau di
debu kubur sekalipun hingga hari perhitungan kelak.
Dan kini, o Attar, tinggalkan pembicaraanmu yang penuh
ibarat dan kembalilah pada pemerian tentang lembah Keesaan
yang penuh rahasia itu.
Hudhud pun melanjutkan, "Bila musafir ruhani memasuki
Lembah ini, ia akan lenyap dan hilang dari pandangan, karena
Wujud Tak Berbanding itu menampilkan dirinya; musafir itu
akan diam karena Wujud ini akan bersabda.
Bagian akan menjadi keseluruhan, atau lebih tepat, tak
akan ada lagi bagian maupun keseluruhan. Dalam kelompok
Rahasia ini akan kaulihat ribuan orang dengan pengetahuan
kecerdasan pikiran, bibir mereka ternganga diam. Apakah
artinya pengetahuan kecerdasan pikiran di sini. Ia terhenti
di ambang pintu seperti bocah yang buta. Ia yang menemukan
sesuatu dari Rahasia ini memalingkan mukanya dari kerajaan
kedua dunia itu. Wujud yang kubicarakan itu ada tidak secara
terpisah; segalanya ialah Wujud ini; ada dan tiada ialah
Wujud ini."
Doa Lukman Sarkhasi
Lukman Sarkhasi berkata, "O Tuhan, hamba sudah tua, dan
pikiran hamba rusuh; hamba telah tersesat dari Jalan itu.
Bagi seorang abdi yang tua orang-orang biasa memberikan
surat kebebasan. Dalam pengabdian hamba padamu, o Raja
hamba, rambut hamba yang hitam sudah menjadi putih salju.
Hamba seorang abdi, yang merasa sedih berilah kiranya hamba
kini surat kebebasan."
Sebuah suara dari dunia batin menjawab, "Kau, yang
terutama telah diperkenankan ke tempat suci ini, ketahuilah
bahwa ia yang menghendaki kebebasan dari penghambaan, harus
membuang pikirannya dan tidak membiarkan dirinya diliputi
kecemasan dan ketakutan."
Lukman berkata, "O Tuhan hamba, hanya Engkau yang hamba
dambakan, dan hamba tahu bahwa hamba tak boleh membiarkan
diri dipengaruhi angan-angan atau kecemasan dan ketakutan."
Setelah Lukman meninggalkan semua itu, ia pun berkata, "Kini
hamba tak tahu siapa hamba. Hamba bukan abdi, tetapi
siapakah hamba? Kedudukan hamba sebagai abdi sudah berakhir,
tetapi kebebasan hamba tidak menggantikannya dalam hati
hamba tiada suka maupun duka. Hamba tanpa sifat, namun hamba
tak kehilangan sifat, Hamba seorang perenung, namun hamba
tak punya renungan. Hamba tak tahu apakah Engkau hamba atau
hamba Engkau; hamba telah menjadi tiada dalam Engkau dan
keduaan pun lenyaplah."
Seorang Pencinta Menyelamatkan
Kekasihnya dari Sungai
Seorang wanita muda jatuh ke dalam sungai, dan
pencintanya pun terjun hendak menyelamatkannya. Ketika si
pencinta itu dapat meraihnya, wanita itu berkata, "Oh,
mengapa kau pertaruhkan hidupmu karena aku?" Jawab si
pencinta, "Bagiku tiada orang lain kecuali kau. Bila kita
bersama, maka sungguh aku ini kau, dan kau aku. Kita berdua
ini satu. Kedua diri-kita satu, itu saja."
Bila keduaan lenyap, keesaan ditemukan.
Cerita Lain tentang Mahmud dan
Ayaz
Ada diceritakan bahwa suatu kali Faruk: dan Masud hadir
pada pameran barisan tentara Mahmud yang terdiri dari gajah,
kuda dan pasukan perajurit yang tak terhitung banyaknya,
sehingga bumi pun seakan tertutup dengan semut dan belalang.
Ayaz dan Hassan menyertai Mahmud yang duduk di suatu tempat
yang tinggi.
Ketika bala tentara yang hebat itu berjalan dalam barisan
melalui mereka, raja besar itu dengan begitu saja berkata
pada Ayaz, "Anakku, segala gajah, kuda dan perajuritku ini
kini menjadi milikmu, karena cintaku padamu sedemikian rupa
sehingga kupandang kau sebagai raja." Meskipun kata-kata itu
diucapkan oleh Mahmud yang termasyhur itu, namun Ayaz tampak
tak peduli dan tak bergerak; tiada ia berterimakasih pada
raja maupun memberikan ulasan. Dengan heran, Hassan pun
berkata padanya, "Ayaz, seorang raja telah memberikan
kehormatan padamu, seorang hamba biasa, dan kau tak sedikit
juga memperlihatkan tanda berterimakasih; kau pun tak pula
membungkuk maupun bersujud sebagai tanda hormat." Ayaz
sedikit berpikir dan kemudian katanya, "Mesti kuberikan dua
jawaban atas celaanmu: yang pertama ialah bahwa bila aku,
yang tak punya ketetapan dan kedudukan ini, hendak
menunjukkan pengabdianku pada raja, maka aku hanya dapat
menjatahkan diri pada debu di hadapannya dalam semacam
kehinaan diri atau jika tidak demikian, menyanyikan
pujian-pujian untuknya dengan suara melolong-lolong. Antara
berbuat berlebih-lebihan dan berbuat kelewat sedikit, lebih
baik tak berbuat apa-apa. Hamba ini hamba raja, dan hormatku
pada raja dianggap sebagai sudah semestinya. Adapun tentang
kehormatan yang telah dianugerahkan raja yang berbahagia ini
kepadaku, seandainya kedua dunia mesti menyatakan
pujian-pujian untuknya, kesaksian keduanya itu pun tak akan
sebanding dengan kebaikan raja. Kalau aku tak menunjukkan
kelakuan yang berlebihan, dan tak menyatakan kesetiaanku,
adalah karena aku merasa diriku tak layak berbuat
demikian."
Hassan berkata, "O Ayaz, aku tahu sekarang bahwa kau
merasa berterima kasih dan aku menaruh percaya padamu karena
kau layak mendapat seratus karunia." Kemudian tambahnya,
"Kini katakan padaku jawaban yang kedua." Tetapi Ayaz
berkata, "Tak dapat aku bicara dengan bebas di hadapanmu;
itu hanya dapat kulakukan kalau aku sendirian saja dengan
raja. Kau bukan mahram rahasia itu." Maka raja pun minta
agar Hassan meninggalkan mereka, dan ketika tak ada lagi
"kita" atau "aku", maka Ayaz pun berkata, "Ketika raja
berkenan melemparkan pandangan pada diri hamba, ia
memusnahkan adaku dengan kegemilangan cahayanya. Karena
dalam cahaya mataharinya yang gemilang itu aku tak ada lagi,
bagaimana aku akan bersujud diri? Ayaz ialah
bayang-bayangnya, hilang dalam matahari wajahnya."
(sebelum,
sesudah)
|