PENDAHULUAN
Cerita-cerita yang mengandung ajaran ini, dikenal dalam
masyarakat dan dalam bentuk bagian dari kegiatan luar
(fisik) para darwis. Dimaksudkan untuk meletakkan dasar dari
pengetahuan tentang Sufisme dan metode-metode penalaran
(berpikir) yang khas tersebut. Jarang sekali digunakan untuk
tujuan-tujuan didaktis.
'Dimensi batiniah' dari cerita-cerita ajaran,
bagaimanapun, dipertahankan untuk membuat mereka mampu
membuka pikiran, sesuai dengan tahap perkembangan murid, ke
tahap-tahap perkembangan yang makin signifikan.
Teori ini adalah bahwa 'orang mungkin bekerja atas dasar
yang berbeda terhadap materi yang sama', yang tidak lazim
bagi orang banyak, yang cenderung lebih suka mengatakan
bahwa cerita mempunyai satu pesan, satu manfaat.
ORANG DERMAWAN
Alkisah ada seorang yang sangat kaya dan murah hati
(dermawan) di Bukhara. Karena memiliki tingkatan yang tinggi
dalam hirarki yang tak tampak, dia dikenal sebagai Pemimpin
Dunia. Dia telah membuat suatu persyaratan mengenai
pemberian dermanya. Setiap hari ia memberi emas kepada satu
kategori orang-orang dalam masyarakat --seperti orang sakit,
janda, dan sebagainya. Tetapi tidak satu pun diberikan
kepada orang yang menuntut ('membuka mulutnya').
Tidak semua orang dapat bertahan untuk 'menutup
mulut'.
Suatu hari, giliran para pengacara yang mendapatkan
bagian mereka untuk menerima hadiah. Salah seorang diantara
mereka tidak dapat mengendalikan diri dan meminta lebih
banyak.
Tidak satu pun yang diberikan kepadanya.
Bagaimanapun, ini bukan akhir dari usahanya. Hari
berikutnya, saat orang-orang cacat dibantu oleh sang
Dermawan, maka ia (si Pengacara) berpura-pura bahwa
lengannya patah.
Tetapi sang Dermawan mengetahuinya, dan dia pun tidak
mendapatkan apa-apa.
Hari berikutnya, ia berpura-pura, dalam samaran lain,
'menutupi' wajahnya, sesuai dengan orang-orang dari kategori
lain. Namun ia dikenali lagi dan diusir.
Lagi dan lagi, pengacara itu tak henti-hentinya mencoba,
bahkan menyamar menjadi seorang perempuan; dan lagi-lagi
tanpa hasil.
Akhirnya, pengacara tersebut menemukan seorang penggali
kubur dan meminta agar menutup dirinya dengan papan. "Ketika
sang Dermawan melewatinya, mungkin ia akan mengira bahwa ini
adalah jenazah. Dia mungkin akan melemparkan beberapa keping
uang ke 'kubur'-ku, dan aku akan memberimu sebagian!"
Rencana itu dilaksanakan. Sepotong emas dari tangan sang
Dermawan jatuh di atas jenazah. Si pengacara menangkapnya,
takut kalau-kalau penggali kubur itu akan mengambilnya lebih
dulu. Kemudian ia berbicara pada sang Dermawan; "Engkau
telah menolakku atas hadiahmu. Lihat Bagaimana aku
mendapatkannya!"
"Tidak ada satu pun yang dapat kau miliki dariku," jawab
sang Dermawan, "hingga engkau mati. Inilah makna dari sebuah
ungkapan bijak: 'Manusia harus mati sebelum kematiannya.'
Hadiah ini datang setelah 'kematian' bukan sebelumnya. Dan
'kematian' ini, bahkan, tidak mungkin tanpa bantuan."
PERUSAKAN SEBUAH KOTA
Seorang Sufi suatu saat berseru, di dalam keadaan
lengang: "Aku akan menjadi sebab kerusakan kota ini."
Orang-orang telah mengira dia gila, atau sekadar mencoba
menakut-nakuti masyarakat. Mereka tidak mengganggunya.
Mereka juga tidak sedikit pun menaruh perhatian dengan apa
yang dia katakan. Bagaimanapun, ia hanya seorang yang lemah
dan tidak memiliki suatu kedudukan sosial.
Suatu hari, sang Sufi memanjat sebuah pohon dan jatuh.
Tubuhnya menimpa dan mematahkan dinding waduk di bawahnya.
Banjir yang diakibatkan oleh pecahnya dinding waduk
tersebut, telah merusakkan dan menenggelamkan kota.
Hanya setelah peristiwa tersebut, ketika tubuhnya
ditemukan, kata-katanya diingat orang.
KUDA AJAIB
Seorang raja mempunyai dua putra. Si sulung, membantu
masyarakat dengan bekerja demi mereka, dalam cara yang
mereka pahami. Sedang putra kedua, disebut 'Pemalas' karena
ia seorang pemimpi, sejauh yang dapat dilihat orang.
Putra pertama mendapat penghargaan tinggi di negerinya.
Anak kedua, memperoleh kuda kayu dari tukang kayu dan
menaikinya. Namun kuda kayu tersebut adalah kuda ajaib.
Membawa penunggangnya, kalau ia bersungguh-sungguh, sesuai
keinginan hatinya.
Menuruti hasrat hatinya, suatu hari sang pangeran muda
menghilang bersama kuda ajaibnya. Ia menghilang dalam waktu
yang lama. Setelah mengalami banyak petualangan, ia kembali
bersama putri cantik dari Negeri Cahaya. Ayahnya sangat
gembira karena ia kembali dengan selamat, serta mendengarkan
cerita tentang kuda ajaib.
Kuda tersebut dibuat, disediakan untuk siapa pun yang
menginginkannya. Tetapi sebagian besar orang lebih suka
memanfaatkan yang nyata, yang telah dibuktikan dengan
tindakan oleh pangeran pertama kepada mereka, karena bagi
mereka kuda kayu tersebut tampak seperti mainan. Mereka
tidak menangkap atau mengerti di luar (melampaui) penampilan
fisik kuda tersebut, yang memang tidak mengesankan -- hanya
seperti mainan.
Ketika raja mangkat, 'pangeran yang suka bermain dengan
mainan kanak-kanak' tersebut, karena harapan ayahnya,
menjadi raja. Tetapi masyarakat pada umumnya membenci atau
memandang rendah padanya. Mereka lebih suka pada
kegembiraan, dan tertarik pada penemuan serta kegiatan
praktis sang pangeran pertama.
Kalau tidak mendengar pangeran 'pemalas', kita tidak akan
mengerti di luar penampilan fisik kuda kayu tersebut, baik
dia mendapatkan seorang putri dari Negeri Cahaya atau tidak.
Bahkan jika kita menyukai kuda, bukanlah bentuk luarnya yang
dapat membantu kita bepergian hingga ke tujuan kita.
AYUNAN
Seorang anak lahir, dan sang ayah pergi ke tukang kayu
memintanya untuk membuatkan sebuah ayunan untuknya.
Tukang kayu mengatakan agar ia kembali dalam seminggu
untuk mengumpulkannya.
Tetapi ketika ia kembali, ternyata pesanannya belum
selesai.
Laki-laki tersebut kembali minggu demi minggu dan tetap
saja ayunan yang dipesannya belum juga terlihat.
Akhirnya si anak tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa.
Pada gilirannya ia menikah dan istrinya melahirkan seorang
anak.
Ayahnya berkata padanya, "Pergilah menemui tukang kayu
dan tanyakan kepadanya, apakah ayunan yang kupesan untukmu
dulu sudah siap."
Maka laki-laki muda itu pergi ke toko tukang kayu dan
mengingatkannya tentang ayunan (pesanan ayahnya)
tersebut.
"Ini kesempatan bagimu," katanya, "untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut. Aku sekarang mempunyai seorang anak
laki-laki, dan ayunan itu cocok untuknya."
"Pergilah!" ujar tukang kayu, "Aku menolak didesak-desak
dalam pekerjaanku hanya karena engkau dan keluargamu
dihantui pikiran oleh apa yang mereka inginkan!"
TIGA ORANG TULI DAN DARWIS BISU
Pada suatu ketika, hidup seorang penggembala miskin.
Setiap hari ia membawa domba-domba ke bukit mencari rumput
segar, memandangi desa di mana ia tinggal dengan
keluarganya. Ia tuli, tetapi hal itu tidak menjadi masalah
baginya. Suatu hari, istrinya lupa mengirim bungkusan makan
siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk
membawakannya, sebagaimana berlalunya waktu, kiriman itu
tetap terlupakan, bahkan saat matahari sudah di atas
kepala.
"Aku akan pulang dan mengambilnya," pikir si penggembala.
"Aku tidak dapat tinggal di sini sepanjang waktu sampai
matahari turun tanpa sepotong makanan." Tiba-tiba ia
memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia
menghampirinya dan berkata, "Saudaraku, tolong jaga
domba-domba ini dan awasi jangan sampai tersesat atau
berkeliaran, karena istriku begitu bodoh melupakan makan
siangku, dan aku harus kembali ke desa untuk itu." Pemotong
rumput itu juga tuli, dan ia tidak mendengar satu kata pun
yang diucapkan, dan sama sekali salah paham terhadap maksud
si penggembala.
Jawabnya, "Mengapa aku harus memberimu rumput yang
kupotong untuk binatang piaraanku sendiri? Aku mempunyai
seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah, dan aku harus
pergi jauh dan luas demi mencari makanan untuknya. Tidak,
tinggalkan aku. Aku tidak berurusan dengan orang sepertimu,
ingin mengambil milikku yang cuma sedikit."
Dan ia menggerakkan tangannya dalam sikap mengejek,
tertawa kasar. Si penggembala tidak mendengar apa yang
dikatakan, dan menjawab, "Oh, terima kasih, teman baik, atas
kesediaanmu. Aku akan sesegera mungkin kembali. Semoga
keselamatan dan berkah atas dirimu, engkau telah meringankan
pikiranku." Ia berlari ke desa menuju pondok sederhananya.
Di sana ia mendapati istrinya sakit demam, dirawat oleh para
istri tetangga. Ia mengambil bungkusan makanan dan berlari
kembali ke bukit. Dia menghitung domba-dombanya dengan
cermat, dan semuanya masih lengkap.
Si pemotong rumput masih sibuk dengan pekerjaannya, dan
si penggembala itu berkata pada dirinya sendiri, "Mengapa,
betapa luar biasa pribadi pemotong rumput yang dapat
dipercaya ini! Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidak
terpencar, dan tidak mengharapkan terima kasih untuk
pelayanan tersebut! Aku akan memberinya domba pincang ini
yang semula memang akan kusembelih. Hal itu akan menjadi
makanan lezat baginya dan keluarganya nanti malam." Maka
sambil memanggul domba pincang di atas bahunya, dia berlari
menuruni bukit serta berteriak, "Hai, saudaraku, ini hadiah
dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku
pergi. Istriku yang malang menderita demam, dan itu
menjelaskan semuanya. Pangganglah domba ini untuk makan
malam nanti; lihat, ia mempunyai kaki yang pincang dan
memang akan kusembelih!"
Tetapi di lain pihak si pemotong rumput tidak mendengar
kata-katanya dan berteriak marah, "Penggembala busuk! Aku
tidak pernah melihat apa yang telah terjadi selama kau
pergi, bagaimana aku dapat bertanggung jawab atas kaki
pincang dombamu! Aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu
bagaimana hal itu terjadi! Pergilah, atau aku akan
memukulmu!"
Si penggembala itu amat heran melihat sikap marah orang
tersebut, tetapi ia tidak dapat mendengar apa yang
dikatakannya, maka ia memanggil seorang yang tengah melintas
menunggang seekor kuda yang bagus. "Tuan yang mulia, aku
mohon katakan padaku apa yang diucapkan pemotong rumput ini.
Aku mengalami tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolak
pemberianku berupa seekor domba, dengan kekesalan seperti
itu!'
Si pengembala dan pemotong rumput mulai berteriak pada
musafir tersebut, yang kemudian turun dari kudanya dan
menghampiri mereka. Sang musafir yang ternyata adalah
pencuri kuda dan sama tulinya, ia pun tidak mendengar apa
yang mereka berdua katakan. Ia tersesat dan bermaksud
bertanya di mana dirinya berada saat itu. Tetapi ketika
melihat sikap mengancam dari kedua orang tersebut, ia
berkata, "Benar saudara, aku telah mencuri kuda. Aku
mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian.
Maafkan aku, karena aku cepat tergoda dan telah bertindak
tanpa berpikir!"
"Aku tidak tahu apa-apa terhadap pincangnya domba ini!"
teriak pemotong rumput.
"Suruh ia mengatakan kepadaku, mengapa menolak
pemberianku," desak si pengembala, "aku hanya ingin
memberikannya sebagai penghargaan!"
"Aku mengaku mengambil kuda," ujar pencuri "tetapi aku
tuli, dan aku tidak tahu siapa diantara kalian pemilik kuda
ini."
Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang darwis tua,
berjalan sepanjang jalan berdebu ke arah menuju desa. Si
pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubahnya dan
berkata:
"Darwis yang mulia, aku orang tuli yang tidak dapat
mengerti ujung pangkal dari apa yang dibicarakan dua orang
ini. Aku mohon dengan kebijaksanaan Anda, adili dan jelaskan
apa yang mereka teriakkan masing-masing."
Namun si darwis itu bisu dan tidak dapat menjawab, tetapi
ia mendatangi mereka dan memandangi ketiga orang tuli
tersebut dengan penuh selidik, yang sekarang telah
menghentikan pembicaraan mereka.
Ia memandangi demikian lama dan dengan tajam, satu per
satu, hingga mereka mulai merasa tidak enak. Mata hitamnya
yang berkilau menusuk ke dalam mata mereka, mencari
kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan
petunjuk pada situasi itu. Tetapi masing-masing mulai merasa
takut kalau-kalau ia akan menyihir mereka, atau
mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si pencuri meloncat
ke atas kuda dan melarikannya dengan kencang sekali. Begitu
pula dengan si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya
dan menggiring jauh ke atas bukit. Si pemotong rumput, tidak
berani menatap mata si darwis, mengemasi rumputnya ke dalam
kantong dan mengangkatnya di atas bahu, berjalan menuruni
bukit menuju rumahnya.
Darwis itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri
bahwa kata-kata kadang merupakan bentuk komunikasi yang
tidak berguna, bahwa orang mungkin lebih baik tidak pernah
mengucapkannya!
SITI FATIMAH DAN BINATANG
Terdapatlah seorang gadis kecil yang tumbuh berkembang
bersama orangtuanya, semua di dalam hutan. Suatu hari ia
menemukan ayah dan ibunya meninggal, dan dia harus menjaga
dirinya sendiri. Orangtuanya meninggalkan Mihrab, sebuah
ornamen ukiran yang aneh seperti kusen jendela, yang terus
tergantung di dinding pondok.
"Sekarang aku sendirian," ujar Fatimah, "dan harus
bertahan di hutan yang hanya didiami binatang ini, akan
lebih baik jika aku dapat berbicara dan mengerti bahasa
mereka."
Maka ia menghabiskan hari-hari baiknya dengan menyebut
keinginannya ke kusen di dinding, "Mihrab, berilah aku
kekuatan untuk memahami dan berbicara dengan binatang."
Setelah cukup lama, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya
dapat berbicara dengan burung, binatang-binatang lain bahkan
ikan. Maka ia pergi ke dalam hutan untuk mencobanya.
Segera ia menuju ke kolam. Di atas air ada sejenis lalat
kolam, melompat-lompat di permukaan dan tidak pernah masuk
ke air. Bermacam ikan berenang di dalamnya, dan menempel di
dasar kolam terdapat banyak siput.
Fatimah berkata untuk memulai percakapan, "Lalat, mengapa
kau tidak masuk ke air?"
"Untuk apa, menganggap hal itu mungkin, padahal tidak?"
tanya lalat.
"Karena kau akan aman dari burung-burung yang akan
menyambar dan memakanmu."
"Bukankah aku belum dimangsanya?" jawab lalat.
Dan itu akhir percakapan.
Kemudian Fatimah berbicara pada ikan, "Wahai, ikan,"
katanya menembus air, "mengapa kau tidak berusaha keluar
dari air, sedikit demi sedikit? Kudengar ada beberapa jenis
ikan yang dapat melakukannya."
"Sama sekali tidak mungkin," ujar ikan, "tidak ada satu
pun yang melakukan itu dan bertahan hidup. Kami dibesarkan
untuk percaya bahwa itu adalah suatu dosa serta bahaya yang
mematikan." Ikan itu kembali menyelam ke bayangan, tidak mau
mendengar omong-kosong tersebut.
Lalu Fatimah menegur siput, "Hai, siput, kau dapat
merayap keluar dari air dan mendapatkan daun-daunan segar
untuk dimakan. Aku telah mendengar bahwa ada siput-siput
yang dapat benar-benar melakukannya."
"Sebuah pertanyaan paling baik dijawab dengan pertanyaan
apabila seekor siput yang bijak mendengarnya," ujar
siput.
"Barangkali akan cukup baik jika engkau bersedia
mengatakan padaku, mengapa engkau demikian tertarik dengan
kesejahteraanku? Orang harus menjaga diri mereka
sendiri."
"Baiklah," ujar Fatimah, "Aku menganggapnya karena jika
seseorang dapat lebih memperhatikan orang lain, ia ingin
membantunya mencapai puncak-puncak yang lebih tinggi."
"Tampaknya hal itu merupakan suatu gagasan yang asing
bagiku," jawab siput, dan merayap ke bawah sebuah batu
menjauhi jarak pendengaran.
Fatimah menyerah pada lalat, ikan dan siput, dan
berkelana ke dalam hutan, mencari (sesuatu) yang lain untuk
diajak bicara. Ia merasa bahwa dirinya harus menjadi orang
yang bermanfaat untuk seseorang. Bagaimanapun, ia lebih
banyak memiliki pengetahuan daripada penghuni hutan ini.
Seekor burung misalnya, dapat diperingatkan agar menyimpan
makanan untuk musim dingin, atau bersarang di dekat
kehangatan pondok, sehingga tidak perlu ada kematian
sia-sia. Tetapi ia tidak melihat seekor burung pun.
Sebagai gantinya, ia bertemu secara tidak sengaja dengan
pondok seorang pembuat arang. Dia seorang laki-laki tua dan
duduk di depan pintunya, membakar kayu untuk arang yang akan
dibawanya ke pasar.
Fatimah, senang bertemu dengan manusia lain --
satu-satunya orang lain yang telah ditemuinya selain kedua
orangtuanya -- segera berlari menghampirinya. Dia
menceritakan pengalamannya hari itu.
"Jangan khawatir tentang hal itu, Anakku," ujar laki-laki
tua yang baik tersebut, "Itulah hal-hal yang mana seorang
manusia harus belajar, dan hal-hal itu berpengaruh sangat
penting bagi kehidupan masa depannya."
"Hal-hal untuk dipelajari?" ujar Fatimah, "Dan apakah
yang seharusnya aku inginkan dengan hal-hal untuk dipelajari
itu, berdoa? Hal-hal itu hanya akan, sangat mungkin,
mengubah sikap hidup dan cara berpikirku." Dan seperti
lalat, ikan dan siput, ia pergi menjauhi si pembakar
arang.
Fatimah, putri Waliah, telah menghabiskan waktu tigapuluh
tahun berikutnya seperti halnya lalat, ikan dan siput
sebelum ia mempelajari sesuatu sama sekali.
MUSA DAN PENGGEMBALA
Ini adalah penjelasan dari sebuah kutipan pendek
yang penting dari Matsnawi, karya ar-Rumi, yang telah
disampaikan oleh Khawja Fida'i dari Kars, dalam
Meditations on the Couplet of Our Master Jalaludin
ar-Rumi.
Menggambarkan perhatian terhadap tingkat-tingkat
perbedaan pengertian dan pemahaman manusia, menegaskan
bahwa manusia dapat mencapainya hanya melalui tataran
(ruang lingkup) asosiasi yang dapat ia pikirkan.
Sebagian dari tugas setiap guru Sufi, bagaimanapun,
adalah mempersiapkan murid-muridnya untuk persepsi (daya
tangkap) 'paralelisme' yang lebih tinggi. Oleh karena
itulah, dianggap sangat tidak benar hanya menekankan
kemanfaatan-kemanfaatan materi atas Sufisme semata dalam
sudut pandang (term) konvensional seluruhnya. Karenanya,
Sufisme tidak dipresentasikan oleh guru-guru Sufi sebagai
sebuah terapi atau obat untuk penyakit duniawi
manusia.
Tidak ada manusia yang dapat memahami melebihi kapasitas
pemikiran seluruhnya untuk mengerti; dan karena alasan ini
dengan tepat dikatakan, "Berbicaralah kepada setiap orang
sesuai dengan pemahaman (orang yang diajak bicara). "
(Dianggap berasal dari Hadis Nabi Muhammad saw). Sebagaimana
masing-masing manusia dapat mengetahui (menyadari),
karenanya ia akan beruntung. Jika laki-laki atau perempuan
hanya berada pada tingkat pemikiran yang rendah, maka akan
mencari dan mendapat kepuasan melalui persepsi
rendahnya.
Dikisahkan bahwa Musa a.s. memanggil seorang penggembala
sederhana, pengumpat Tuhan, karena dia mendengar laki-laki
miskin itu sedang menawarkan diri untuk menyisir rambut
Tuhan, mencuci jubah-Nya, dan mencium tangan-Nya.
Tuhan memperingatkan Musa, secara tidak langsung
mengajarnya dari pengalaman ini, bahwa penggembala itu tidak
memiliki intelegensi atau pengalaman untuk memahami atau
menyadari bahwa Musa a. s. berbicara mengenai Ketuhanan yang
tidak berbadan, "Oleh karena itu, engkau harus menyeru
penyembah-penyembah-Ku sedekat yang mereka mampu. Terdapat
perubahan secara bertahap pada semua manusia; masing-masing
akan menyadari (diketahui) apa yang dapat disadari, dan pada
tahap dimana dia menyadarinya."
(sesudah)
|