Jalan Sufi
Reportase Dunia Ma'rifat

Idries Shah

BAGIAN KELIMA: CERITA-CERITA AJARAN

PENDAHULUAN

Cerita-cerita yang mengandung ajaran ini, dikenal dalam masyarakat dan dalam bentuk bagian dari kegiatan luar (fisik) para darwis. Dimaksudkan untuk meletakkan dasar dari pengetahuan tentang Sufisme dan metode-metode penalaran (berpikir) yang khas tersebut. Jarang sekali digunakan untuk tujuan-tujuan didaktis.

'Dimensi batiniah' dari cerita-cerita ajaran, bagaimanapun, dipertahankan untuk membuat mereka mampu membuka pikiran, sesuai dengan tahap perkembangan murid, ke tahap-tahap perkembangan yang makin signifikan.

Teori ini adalah bahwa 'orang mungkin bekerja atas dasar yang berbeda terhadap materi yang sama', yang tidak lazim bagi orang banyak, yang cenderung lebih suka mengatakan bahwa cerita mempunyai satu pesan, satu manfaat.

ORANG DERMAWAN

Alkisah ada seorang yang sangat kaya dan murah hati (dermawan) di Bukhara. Karena memiliki tingkatan yang tinggi dalam hirarki yang tak tampak, dia dikenal sebagai Pemimpin Dunia. Dia telah membuat suatu persyaratan mengenai pemberian dermanya. Setiap hari ia memberi emas kepada satu kategori orang-orang dalam masyarakat --seperti orang sakit, janda, dan sebagainya. Tetapi tidak satu pun diberikan kepada orang yang menuntut ('membuka mulutnya').

Tidak semua orang dapat bertahan untuk 'menutup mulut'.

Suatu hari, giliran para pengacara yang mendapatkan bagian mereka untuk menerima hadiah. Salah seorang diantara mereka tidak dapat mengendalikan diri dan meminta lebih banyak.

Tidak satu pun yang diberikan kepadanya.

Bagaimanapun, ini bukan akhir dari usahanya. Hari berikutnya, saat orang-orang cacat dibantu oleh sang Dermawan, maka ia (si Pengacara) berpura-pura bahwa lengannya patah.

Tetapi sang Dermawan mengetahuinya, dan dia pun tidak mendapatkan apa-apa.

Hari berikutnya, ia berpura-pura, dalam samaran lain, 'menutupi' wajahnya, sesuai dengan orang-orang dari kategori lain. Namun ia dikenali lagi dan diusir.

Lagi dan lagi, pengacara itu tak henti-hentinya mencoba, bahkan menyamar menjadi seorang perempuan; dan lagi-lagi tanpa hasil.

Akhirnya, pengacara tersebut menemukan seorang penggali kubur dan meminta agar menutup dirinya dengan papan. "Ketika sang Dermawan melewatinya, mungkin ia akan mengira bahwa ini adalah jenazah. Dia mungkin akan melemparkan beberapa keping uang ke 'kubur'-ku, dan aku akan memberimu sebagian!"

Rencana itu dilaksanakan. Sepotong emas dari tangan sang Dermawan jatuh di atas jenazah. Si pengacara menangkapnya, takut kalau-kalau penggali kubur itu akan mengambilnya lebih dulu. Kemudian ia berbicara pada sang Dermawan; "Engkau telah menolakku atas hadiahmu. Lihat Bagaimana aku mendapatkannya!"

"Tidak ada satu pun yang dapat kau miliki dariku," jawab sang Dermawan, "hingga engkau mati. Inilah makna dari sebuah ungkapan bijak: 'Manusia harus mati sebelum kematiannya.' Hadiah ini datang setelah 'kematian' bukan sebelumnya. Dan 'kematian' ini, bahkan, tidak mungkin tanpa bantuan."

PERUSAKAN SEBUAH KOTA

Seorang Sufi suatu saat berseru, di dalam keadaan lengang: "Aku akan menjadi sebab kerusakan kota ini."

Orang-orang telah mengira dia gila, atau sekadar mencoba menakut-nakuti masyarakat. Mereka tidak mengganggunya. Mereka juga tidak sedikit pun menaruh perhatian dengan apa yang dia katakan. Bagaimanapun, ia hanya seorang yang lemah dan tidak memiliki suatu kedudukan sosial.

Suatu hari, sang Sufi memanjat sebuah pohon dan jatuh. Tubuhnya menimpa dan mematahkan dinding waduk di bawahnya. Banjir yang diakibatkan oleh pecahnya dinding waduk tersebut, telah merusakkan dan menenggelamkan kota.

Hanya setelah peristiwa tersebut, ketika tubuhnya ditemukan, kata-katanya diingat orang.

KUDA AJAIB

Seorang raja mempunyai dua putra. Si sulung, membantu masyarakat dengan bekerja demi mereka, dalam cara yang mereka pahami. Sedang putra kedua, disebut 'Pemalas' karena ia seorang pemimpi, sejauh yang dapat dilihat orang.

Putra pertama mendapat penghargaan tinggi di negerinya. Anak kedua, memperoleh kuda kayu dari tukang kayu dan menaikinya. Namun kuda kayu tersebut adalah kuda ajaib. Membawa penunggangnya, kalau ia bersungguh-sungguh, sesuai keinginan hatinya.

Menuruti hasrat hatinya, suatu hari sang pangeran muda menghilang bersama kuda ajaibnya. Ia menghilang dalam waktu yang lama. Setelah mengalami banyak petualangan, ia kembali bersama putri cantik dari Negeri Cahaya. Ayahnya sangat gembira karena ia kembali dengan selamat, serta mendengarkan cerita tentang kuda ajaib.

Kuda tersebut dibuat, disediakan untuk siapa pun yang menginginkannya. Tetapi sebagian besar orang lebih suka memanfaatkan yang nyata, yang telah dibuktikan dengan tindakan oleh pangeran pertama kepada mereka, karena bagi mereka kuda kayu tersebut tampak seperti mainan. Mereka tidak menangkap atau mengerti di luar (melampaui) penampilan fisik kuda tersebut, yang memang tidak mengesankan -- hanya seperti mainan.

Ketika raja mangkat, 'pangeran yang suka bermain dengan mainan kanak-kanak' tersebut, karena harapan ayahnya, menjadi raja. Tetapi masyarakat pada umumnya membenci atau memandang rendah padanya. Mereka lebih suka pada kegembiraan, dan tertarik pada penemuan serta kegiatan praktis sang pangeran pertama.

Kalau tidak mendengar pangeran 'pemalas', kita tidak akan mengerti di luar penampilan fisik kuda kayu tersebut, baik dia mendapatkan seorang putri dari Negeri Cahaya atau tidak. Bahkan jika kita menyukai kuda, bukanlah bentuk luarnya yang dapat membantu kita bepergian hingga ke tujuan kita.

AYUNAN

Seorang anak lahir, dan sang ayah pergi ke tukang kayu memintanya untuk membuatkan sebuah ayunan untuknya.

Tukang kayu mengatakan agar ia kembali dalam seminggu untuk mengumpulkannya.

Tetapi ketika ia kembali, ternyata pesanannya belum selesai.

Laki-laki tersebut kembali minggu demi minggu dan tetap saja ayunan yang dipesannya belum juga terlihat.

Akhirnya si anak tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa. Pada gilirannya ia menikah dan istrinya melahirkan seorang anak.

Ayahnya berkata padanya, "Pergilah menemui tukang kayu dan tanyakan kepadanya, apakah ayunan yang kupesan untukmu dulu sudah siap."

Maka laki-laki muda itu pergi ke toko tukang kayu dan mengingatkannya tentang ayunan (pesanan ayahnya) tersebut.

"Ini kesempatan bagimu," katanya, "untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Aku sekarang mempunyai seorang anak laki-laki, dan ayunan itu cocok untuknya."

"Pergilah!" ujar tukang kayu, "Aku menolak didesak-desak dalam pekerjaanku hanya karena engkau dan keluargamu dihantui pikiran oleh apa yang mereka inginkan!"

TIGA ORANG TULI DAN DARWIS BISU

Pada suatu ketika, hidup seorang penggembala miskin. Setiap hari ia membawa domba-domba ke bukit mencari rumput segar, memandangi desa di mana ia tinggal dengan keluarganya. Ia tuli, tetapi hal itu tidak menjadi masalah baginya. Suatu hari, istrinya lupa mengirim bungkusan makan siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk membawakannya, sebagaimana berlalunya waktu, kiriman itu tetap terlupakan, bahkan saat matahari sudah di atas kepala.

"Aku akan pulang dan mengambilnya," pikir si penggembala. "Aku tidak dapat tinggal di sini sepanjang waktu sampai matahari turun tanpa sepotong makanan." Tiba-tiba ia memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia menghampirinya dan berkata, "Saudaraku, tolong jaga domba-domba ini dan awasi jangan sampai tersesat atau berkeliaran, karena istriku begitu bodoh melupakan makan siangku, dan aku harus kembali ke desa untuk itu." Pemotong rumput itu juga tuli, dan ia tidak mendengar satu kata pun yang diucapkan, dan sama sekali salah paham terhadap maksud si penggembala.

Jawabnya, "Mengapa aku harus memberimu rumput yang kupotong untuk binatang piaraanku sendiri? Aku mempunyai seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah, dan aku harus pergi jauh dan luas demi mencari makanan untuknya. Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak berurusan dengan orang sepertimu, ingin mengambil milikku yang cuma sedikit."

Dan ia menggerakkan tangannya dalam sikap mengejek, tertawa kasar. Si penggembala tidak mendengar apa yang dikatakan, dan menjawab, "Oh, terima kasih, teman baik, atas kesediaanmu. Aku akan sesegera mungkin kembali. Semoga keselamatan dan berkah atas dirimu, engkau telah meringankan pikiranku." Ia berlari ke desa menuju pondok sederhananya. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam, dirawat oleh para istri tetangga. Ia mengambil bungkusan makanan dan berlari kembali ke bukit. Dia menghitung domba-dombanya dengan cermat, dan semuanya masih lengkap.

Si pemotong rumput masih sibuk dengan pekerjaannya, dan si penggembala itu berkata pada dirinya sendiri, "Mengapa, betapa luar biasa pribadi pemotong rumput yang dapat dipercaya ini! Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidak terpencar, dan tidak mengharapkan terima kasih untuk pelayanan tersebut! Aku akan memberinya domba pincang ini yang semula memang akan kusembelih. Hal itu akan menjadi makanan lezat baginya dan keluarganya nanti malam." Maka sambil memanggul domba pincang di atas bahunya, dia berlari menuruni bukit serta berteriak, "Hai, saudaraku, ini hadiah dariku, karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku pergi. Istriku yang malang menderita demam, dan itu menjelaskan semuanya. Pangganglah domba ini untuk makan malam nanti; lihat, ia mempunyai kaki yang pincang dan memang akan kusembelih!"

Tetapi di lain pihak si pemotong rumput tidak mendengar kata-katanya dan berteriak marah, "Penggembala busuk! Aku tidak pernah melihat apa yang telah terjadi selama kau pergi, bagaimana aku dapat bertanggung jawab atas kaki pincang dombamu! Aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu bagaimana hal itu terjadi! Pergilah, atau aku akan memukulmu!"

Si penggembala itu amat heran melihat sikap marah orang tersebut, tetapi ia tidak dapat mendengar apa yang dikatakannya, maka ia memanggil seorang yang tengah melintas menunggang seekor kuda yang bagus. "Tuan yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yang diucapkan pemotong rumput ini. Aku mengalami tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolak pemberianku berupa seekor domba, dengan kekesalan seperti itu!'

Si pengembala dan pemotong rumput mulai berteriak pada musafir tersebut, yang kemudian turun dari kudanya dan menghampiri mereka. Sang musafir yang ternyata adalah pencuri kuda dan sama tulinya, ia pun tidak mendengar apa yang mereka berdua katakan. Ia tersesat dan bermaksud bertanya di mana dirinya berada saat itu. Tetapi ketika melihat sikap mengancam dari kedua orang tersebut, ia berkata, "Benar saudara, aku telah mencuri kuda. Aku mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku cepat tergoda dan telah bertindak tanpa berpikir!"

"Aku tidak tahu apa-apa terhadap pincangnya domba ini!" teriak pemotong rumput.

"Suruh ia mengatakan kepadaku, mengapa menolak pemberianku," desak si pengembala, "aku hanya ingin memberikannya sebagai penghargaan!"

"Aku mengaku mengambil kuda," ujar pencuri "tetapi aku tuli, dan aku tidak tahu siapa diantara kalian pemilik kuda ini."

Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang darwis tua, berjalan sepanjang jalan berdebu ke arah menuju desa. Si pemotong rumput lari menghampirinya, menarik jubahnya dan berkata:

"Darwis yang mulia, aku orang tuli yang tidak dapat mengerti ujung pangkal dari apa yang dibicarakan dua orang ini. Aku mohon dengan kebijaksanaan Anda, adili dan jelaskan apa yang mereka teriakkan masing-masing."

Namun si darwis itu bisu dan tidak dapat menjawab, tetapi ia mendatangi mereka dan memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh selidik, yang sekarang telah menghentikan pembicaraan mereka.

Ia memandangi demikian lama dan dengan tajam, satu per satu, hingga mereka mulai merasa tidak enak. Mata hitamnya yang berkilau menusuk ke dalam mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk pada situasi itu. Tetapi masing-masing mulai merasa takut kalau-kalau ia akan menyihir mereka, atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si pencuri meloncat ke atas kuda dan melarikannya dengan kencang sekali. Begitu pula dengan si penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiring jauh ke atas bukit. Si pemotong rumput, tidak berani menatap mata si darwis, mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya di atas bahu, berjalan menuruni bukit menuju rumahnya.

Darwis itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri bahwa kata-kata kadang merupakan bentuk komunikasi yang tidak berguna, bahwa orang mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!

SITI FATIMAH DAN BINATANG

Terdapatlah seorang gadis kecil yang tumbuh berkembang bersama orangtuanya, semua di dalam hutan. Suatu hari ia menemukan ayah dan ibunya meninggal, dan dia harus menjaga dirinya sendiri. Orangtuanya meninggalkan Mihrab, sebuah ornamen ukiran yang aneh seperti kusen jendela, yang terus tergantung di dinding pondok.

"Sekarang aku sendirian," ujar Fatimah, "dan harus bertahan di hutan yang hanya didiami binatang ini, akan lebih baik jika aku dapat berbicara dan mengerti bahasa mereka."

Maka ia menghabiskan hari-hari baiknya dengan menyebut keinginannya ke kusen di dinding, "Mihrab, berilah aku kekuatan untuk memahami dan berbicara dengan binatang."

Setelah cukup lama, tiba-tiba ia merasa bahwa dirinya dapat berbicara dengan burung, binatang-binatang lain bahkan ikan. Maka ia pergi ke dalam hutan untuk mencobanya.

Segera ia menuju ke kolam. Di atas air ada sejenis lalat kolam, melompat-lompat di permukaan dan tidak pernah masuk ke air. Bermacam ikan berenang di dalamnya, dan menempel di dasar kolam terdapat banyak siput.

Fatimah berkata untuk memulai percakapan, "Lalat, mengapa kau tidak masuk ke air?"

"Untuk apa, menganggap hal itu mungkin, padahal tidak?" tanya lalat.

"Karena kau akan aman dari burung-burung yang akan menyambar dan memakanmu."

"Bukankah aku belum dimangsanya?" jawab lalat.

Dan itu akhir percakapan.

Kemudian Fatimah berbicara pada ikan, "Wahai, ikan," katanya menembus air, "mengapa kau tidak berusaha keluar dari air, sedikit demi sedikit? Kudengar ada beberapa jenis ikan yang dapat melakukannya."

"Sama sekali tidak mungkin," ujar ikan, "tidak ada satu pun yang melakukan itu dan bertahan hidup. Kami dibesarkan untuk percaya bahwa itu adalah suatu dosa serta bahaya yang mematikan." Ikan itu kembali menyelam ke bayangan, tidak mau mendengar omong-kosong tersebut.

Lalu Fatimah menegur siput, "Hai, siput, kau dapat merayap keluar dari air dan mendapatkan daun-daunan segar untuk dimakan. Aku telah mendengar bahwa ada siput-siput yang dapat benar-benar melakukannya."

"Sebuah pertanyaan paling baik dijawab dengan pertanyaan apabila seekor siput yang bijak mendengarnya," ujar siput.

"Barangkali akan cukup baik jika engkau bersedia mengatakan padaku, mengapa engkau demikian tertarik dengan kesejahteraanku? Orang harus menjaga diri mereka sendiri."

"Baiklah," ujar Fatimah, "Aku menganggapnya karena jika seseorang dapat lebih memperhatikan orang lain, ia ingin membantunya mencapai puncak-puncak yang lebih tinggi."

"Tampaknya hal itu merupakan suatu gagasan yang asing bagiku," jawab siput, dan merayap ke bawah sebuah batu menjauhi jarak pendengaran.

Fatimah menyerah pada lalat, ikan dan siput, dan berkelana ke dalam hutan, mencari (sesuatu) yang lain untuk diajak bicara. Ia merasa bahwa dirinya harus menjadi orang yang bermanfaat untuk seseorang. Bagaimanapun, ia lebih banyak memiliki pengetahuan daripada penghuni hutan ini. Seekor burung misalnya, dapat diperingatkan agar menyimpan makanan untuk musim dingin, atau bersarang di dekat kehangatan pondok, sehingga tidak perlu ada kematian sia-sia. Tetapi ia tidak melihat seekor burung pun.

Sebagai gantinya, ia bertemu secara tidak sengaja dengan pondok seorang pembuat arang. Dia seorang laki-laki tua dan duduk di depan pintunya, membakar kayu untuk arang yang akan dibawanya ke pasar.

Fatimah, senang bertemu dengan manusia lain -- satu-satunya orang lain yang telah ditemuinya selain kedua orangtuanya -- segera berlari menghampirinya. Dia menceritakan pengalamannya hari itu.

"Jangan khawatir tentang hal itu, Anakku," ujar laki-laki tua yang baik tersebut, "Itulah hal-hal yang mana seorang manusia harus belajar, dan hal-hal itu berpengaruh sangat penting bagi kehidupan masa depannya."

"Hal-hal untuk dipelajari?" ujar Fatimah, "Dan apakah yang seharusnya aku inginkan dengan hal-hal untuk dipelajari itu, berdoa? Hal-hal itu hanya akan, sangat mungkin, mengubah sikap hidup dan cara berpikirku." Dan seperti lalat, ikan dan siput, ia pergi menjauhi si pembakar arang.

Fatimah, putri Waliah, telah menghabiskan waktu tigapuluh tahun berikutnya seperti halnya lalat, ikan dan siput sebelum ia mempelajari sesuatu sama sekali.

MUSA DAN PENGGEMBALA

Ini adalah penjelasan dari sebuah kutipan pendek yang penting dari Matsnawi, karya ar-Rumi, yang telah disampaikan oleh Khawja Fida'i dari Kars, dalam Meditations on the Couplet of Our Master Jalaludin ar-Rumi.

Menggambarkan perhatian terhadap tingkat-tingkat perbedaan pengertian dan pemahaman manusia, menegaskan bahwa manusia dapat mencapainya hanya melalui tataran (ruang lingkup) asosiasi yang dapat ia pikirkan.

Sebagian dari tugas setiap guru Sufi, bagaimanapun, adalah mempersiapkan murid-muridnya untuk persepsi (daya tangkap) 'paralelisme' yang lebih tinggi. Oleh karena itulah, dianggap sangat tidak benar hanya menekankan kemanfaatan-kemanfaatan materi atas Sufisme semata dalam sudut pandang (term) konvensional seluruhnya. Karenanya, Sufisme tidak dipresentasikan oleh guru-guru Sufi sebagai sebuah terapi atau obat untuk penyakit duniawi manusia.

Tidak ada manusia yang dapat memahami melebihi kapasitas pemikiran seluruhnya untuk mengerti; dan karena alasan ini dengan tepat dikatakan, "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan pemahaman (orang yang diajak bicara). " (Dianggap berasal dari Hadis Nabi Muhammad saw). Sebagaimana masing-masing manusia dapat mengetahui (menyadari), karenanya ia akan beruntung. Jika laki-laki atau perempuan hanya berada pada tingkat pemikiran yang rendah, maka akan mencari dan mendapat kepuasan melalui persepsi rendahnya.

Dikisahkan bahwa Musa a.s. memanggil seorang penggembala sederhana, pengumpat Tuhan, karena dia mendengar laki-laki miskin itu sedang menawarkan diri untuk menyisir rambut Tuhan, mencuci jubah-Nya, dan mencium tangan-Nya.

Tuhan memperingatkan Musa, secara tidak langsung mengajarnya dari pengalaman ini, bahwa penggembala itu tidak memiliki intelegensi atau pengalaman untuk memahami atau menyadari bahwa Musa a. s. berbicara mengenai Ketuhanan yang tidak berbadan, "Oleh karena itu, engkau harus menyeru penyembah-penyembah-Ku sedekat yang mereka mampu. Terdapat perubahan secara bertahap pada semua manusia; masing-masing akan menyadari (diketahui) apa yang dapat disadari, dan pada tahap dimana dia menyadarinya."

(sesudah)


Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat oleh Idries Shah
Judul asli: The Way of the Sufi, Penterjemah Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Sya'ban 1420H, November 1999
Jln. Ikan Mungging XIII/1, Surabaya 60177
Telp.(031) 3539440 Fax.(031) 3529800
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2000.
Hak cipta © dicadangkan.