| |
|
RENDRA, ADAWIAH DAN BIMA (1/2) Ketika pertama kali suhu Bangau Putih, Subur Rahardja, datang ke Bengkel Teater, pendekar itu heran, mengapa Rendra mengajarkan anak buahnya latihan tenaga dalam "Tenaga dalam apa?" Rendra ganti heran. Ia memang tak bermaksud memberikan latihan tenaga dalam seperti itu. Tapi di Bengkel Teater memang ada latihan khusus untuk kembali membangkitkan naluri-naluri primitif yang cenderung melemah atau mungkin sudah mati, dalam diri manusia modern. Di tengah hujan lebat, pada malam hari yang gelap misalnya, segenap anggota Bengkel Teater harus menempuh jarak tertentu. Sambil telanjang kaki (tak peduli menabrak batu, duri atau beling) mereka tempuh kegelapan itu. Insting dan segenap naluri untuk bertahan hidup merupakan "obor" satu-satunya yang menerangi kegelapan itu. Ini salah satu contoh olah batin anggota Bengkel yang diberikan oleh sang mahatma resi Rendra kepada anak buahnya di luar "studio". Di dalam "studio" ada lagi corak laku batin yang lain. Namanya nggrayang rogo. Maksudnya menyentuh segenap unsur jaringan raga kita dengan rasa. Bagian-bagian dalam jaringan itu, sampai pada titik yang paling halus sekali pun (Rendra fasih seperti dokter menyebutkan nama-namanya) disentuh dengan rasa untuk suatu program revitalisasi. Jaringan yang loyo "diurut" dengan rasa. Dan dengan itu bangkit segar bugar kembali. Prinsipnya latihan ini buat kepentingan "fitness." Pemain drama harus tetap prima. Apalagi Rendra memang sering mementaskan lakon-lakon panjang yang mensyaratkan kondisi prima itu. Ketika seorang teman memberi komentar atas latihan itu, dengan mengatakan bahwa mungkin lebih baik jika latihan itu tidak tertuju semata pada usaha penyembuhan dan penyehatan badan, melainkan "penyembahan" pada yang Ilahiah, artinya segenap unsur dalam jaringan disentuh dengan rasa, dibangunkan agar mereka serentak ikut dzikir memuji kebesaran-Nya, Rendra setuju "Itu lebih dahsyat," katanya "Di dunia tarekat, latihan seperti itu memang ada. Di bawah pimpinan kiai, jamaah dibimbing berdzikir qolbi, mengerahkan segenap rasa sehingga praktis semua jaringan tubuh kita bersujud, memuji dan bersyukur pada Allah. Semua berbisik, mengakui betapa kecil mereka dan betapa mahabesar Allah. Pada taraf pengerahan rasa yang prima, yang paling mutlak (utuh berserah diri). Kita seperti telah menceburkan diri dalam lautan cahaya Ilahi. Segenap pori-pori tertembus cahaya cemerlang itu." "Pengerahan rasa kita memang tertuju bukan pada usaha penyehatan dan penyembuhan, melainkan pada penyembahan," kata seorang kiai. "Kalau tujuannya penyembuhan," kata kiai itu lagi, "kita bisa saja sembuh berkat kemurahan Allah. Tapi kita cuma sembuh, dan belum melakukan sembah. Kalau tujuannya buat penyembahan, yakni buat berserah diri secara mutlak kepada Allah, kita mendapatkan dua-duanya: sembuh dapat, sembah juga dapat." Rendra telah lama mengamalkan laku batin seperti itu. Ia sendiri harus mengulang dan mengulang, sebagian alasannya karena ada saja anak buahnya yang baru. Amalannya itu tentu saja membawanya pada maqom yang jauh lebih tinggi daripada anak buahnya yang paling senior sekali pun. Dengan begitu, jika dilihat dari prosedur dalam dunia tarekat, mungkin Rendra sudah sampai pada maqom tertinggi: ia sudah bisa langsung mencebur dan larut, menyatu dalam cahaya Ilahi. Pencarian Rendra lebih jauh dalam Islam (beraudensi dengan Tuhan di Tanah Suci, Mekah, ketika dua kali munggah kaji itu) mungkin merupakan salah satu seri lakon "Manunggaling Rendra dengan Gusti" dalam bentuk lain, selain lakon "Dewa Ruci" yang kita kenal itu. Laku batin yang ditempuh Rendra sebenarnya tidak sangat unik dalam dunia sastra. Warna mistisisme dalam sastra seperti itu tidak khas milik Rendra. Artinya, dalam berbagai karya sastra lain, gejala yang sama juga ditemukan. Hal yang perlu diungkap, dirangkai dan dijelaskan hingga kita memperoleh gambaran tentang kehadiran mistisisme (di Islam disebut sufisme) dalam sastra ialah, getaran jiwa macam apa yang menggerakkan para sastrawan (novelis, penyair, dramawan) merambah dunia batin yang tak kasat mata dan menghadirkan corak pengalaman batin seperti itu pada para pembacanya? Dugaan saya, (ini bisa saja salah), bahwa kecenderungan itu merupakan sebuah usaha untuk menukik jauh dalam proses pencarian makna hidup yang lebih hakiki. Kehidupan ini tak sekadar sebagaimana nampaknya, seperti kata Robert K. Merton. Hakikat harus ditemukan melalui usaha terus-menerus untuk menyelam dalam dan terbang tinggi, intens dan total; barangkali seperti cerminan hidup Mas Danarto, Sutardji, Chairil Anwar, atau Taufiq Ismail. Puncak perjalanan rohani seperti itu berupa penyerahan diri secara utuh, dan mutlak kepada dzat Ilahi. Penyair sufi wanita, Rabiah Al Adawiah dari Basrah yang kondang itu, merupakan contoh mengenai totalitas penyerahan seorang hamba pada Tuhannya, Allah yang Maha Murah. Segenap geraknya, juga tiap tarikan napasnya, merupakan gambaran penyerahan itu. Ia telah tenggelam di dalam cinta Ilahi. Dan seperti layaknya cinta terhadap sesuatu yang lain, yang bendawi sifatnya, cinta Ilahi ini pun membuat mabok. Tak ada yang terasa getarnya, tak ada yang terdengar suaranya, selain getar dan suara Ilahiah itu sendiri. Ia berkata dalam sajaknya: Ketika kudengar suara azan Yang kudengar hanyalah panggilan kiamat Ketika kulihat salju Yang kuingat ialah bulu beterbangan Ketika kulihat belalang Yang teringat hanyalah hari perhitungan Baginya, hidup tak lagi diwarnai pamrih atau kepentingan apa pun selain buat penyerahan diri. Ia bahkan juga bersumpah, bahwa jika ia beribadah semata karena takut siksaan neraka, lebih baik ia dibakar di api neraka itu. Ia beribadah tidak karena mengharap hadiah surga. Jika terbetik dalam batinnya itikad seperti itu, ia bersumpah, lebih baik ia dicampakkan jauh-jauh dari surga. Ibadah ya ibadah: ini dilakukan demi ketulusan cinta, untuk berserah, untuk menyatu, manunggal dalam rasa dan karsa, dengan Allah. Dalam sastra Jawa(?) yang mengambil bentuk pertunjukan wayang kita temukan lakon perjalanan mistik seorang Bima ketika oleh Pandita Durna, sang guru, ia disuruh menemukan "banyu suci perwita sari" (air kehidupan), di dalam laut. Seperti disebutkan oleh Sri Mulyono, lakon "Manunggaling Bima dengan Dewa Ruci" secara simbolis menjelaskan bahwa dalam hidup, orang harus punya guru (Bima berguru pada Durna). Dan bahwa seorang murid harus patuh, taat tanpa bertanya dan tanpa ragu-ragu dalam melaksanakan ajaran sang guru. (Etika Timur nampaknya menganggap Guru itu pasti benar dan tak boleh dibantah. Lain dari etika dalam dunia pendidikan Barat). Bima menghancurkan hutan Tebrasara dan menyingkirkan segenap penghalang di jalan. Bima juga meruwat Dewa Bayu dan Dewa Indra yang muncul sebagai dua raksasa. Tindakan ini dinilai sebagai sejenis amal saleh. Kemudian Bima terjun ke tengah samodra (tanpa ragu melaksanakan perintah guru), melambangkan terjunnya seorang murid dalam merambah ilmu makrifat. Di dasar samodra itu Bima membunuh seekor naga raksasa, simbol dari kemampuan Bima menahan dan mengendalikan segenap nafsu dan hasrat meraih kenikmatan duniawi yang ada dalam dirinya. Orang bisa memberi corak tafsir lain atas lakon Dewa Ruci itu. Tapi apa pun kata orang, satu hal nampak pasti bahwa pertemuan Bima dengan Dewa Ruci (bentuk miniatur dari dirinya sendiri) itu, melambangkan bahwa di dalam dunia kesufian, sejauh-jauh orang merambah alam roh yang gaib itu, ia sebenarnya tidak akan sampai ke mana-mana. Dengan kata lain, seperti pernah dikatakan dalam salah satu tulisan Mas Danarto, orang bertualang jauh hanya untuk sampai pada dirinya sendiri. Ini tentu saja tidak begitu aneh karena medan laga pergaulan kesufian terbatas dalam jagat kecil kita sendiri. Perlombaan dalam hal itu, jika ada, ialah perlombaan melawan dirinya sendiri. (bersambung 2/2) ----------------------- KANG SEJO MELIHAT TUHAN Mohammad Sobary GM 204 93.692 Cetakan ketiga: Juli 1995 Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jln. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |