Mawar Senja Gugur Kelopaknya (1/2)

oleh Ema Kaysi

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Selembar surat bersampul biru muda jatuh di pangkuan Nur. Saat itu senja merona bersemburat cahaya jingga di ufuk barat. Sekelompok burung pipit terbang melintasi anjungan. Angin semilir meniup kelopak flamboyan, mahkotanya berhamburan mencium bumi.

Dulu, Nur paling benci bila dikatakan bagai flamboyan. Pohon yang tinggi tegar berbunga kecil yang mudah gugur, ibarat gadis angkuh yang mudah patah hati.

"Hush, tidak boleh mencela makhluk Tuhan." Si Mas bilang, "Mungkin kamu memandangnya dari sudut yang berbeda. Bagi saya, flamboyan itu memberi kesejukan. Coba kalau seisi taman dipenuhi mawar. Bagaimana kita bisa duduk sambil berteduh seperti hari ini."

Ah si Mas bisa saja. Biasanya Nur mendebat dengan berbagai argumen. Tapi ujungnya sama saja, si mas akan bilang "Saya kan tidak bilang kalau kamu seperti flamboyan." Biasanya lagi, Nur masih memprotes juga. "Jadi maumu apa?" tanya si Mas akhirnya. "Mawar" jawab Nur. Si Mas akan tertawa. "Mau ngomong mawar kok muter-muter soal flamboyan."

Tapi kali ini Nur tidak berminat untuk bercanda tentang flamboyan dan mawar. Selembar surat bersampul biru mengusik perhatiannya. Sudah belasan kali surat itu ia baca. Masih saja Nur tertegun mengikuti baris demi baris kalimat yang ditulisnya. Ada nafas berat yang dirasakannya dalam isi surat itu.

"Ibarat hari, saya ini sudah hampir senja dik Nur. Bukan saya tidak rela dengan takdir yang Maha Kuasa, namun saya pun sebenarnya ingin menemukan kesempurnaan dien ini dengan menjalankan yang separuhnya lagi. Apalagi sejak bapak dan ibu berpulang, saya tidak lagi mempunyai keluarga tempat kembali. Tiada tempat berbagi, terasa hidup ini seperti luka yang menganga."

Angan Nur melayang membayangkan sosok Kak Nurul di pedalaman, dalam kesendirian, bergulat dengan geliat masyarakat Bangkalan selama sepuluh tahun terakhir ini.

Kak Nurul yang dulu bagai sekuntum mawar merekah, lembut dan harum. Indah tanpa cela. Wanginya tertiup angin hingga ke pelosok kampus dan bilik-bilik masjid. Nur tahu banyak pria yang memandangnya di kejauhan, mengaguminya dalam diam.

Bukan sekali dua Nur terheran-heran mengapa para brothers itu tidak ada yang mau menikahinya. Apa salahnya menikahi wanita yang begitu "sempurna". Ataukah mereka hanya berani mengaguminya dari jauh namun takut untuk memetiknya. Takut tertusuk durikah?

Apakah kepintarannya yang menjadi penghalang, konon kaum pria takut menikahi wanita yang lebih cerdas dari dirinya. Ataukah kecantikannya yang dikhawatiri mendatangkan cemburu. Atau karena pribadi agungnya yang membuat para brothers merasa ciut di hadapannya.

Mungkinkah seluruh kelebihan yang bersatu dalam sosok wanita ini membuat para aktivis da'wah pun takut, takut dengan kesempurnaannya.

"Barangkali belum jodohnya, Dik. Insya Allah kalau sudah saatnya ada juga brother yang mau meminangnya." Begitu selalu jawaban mas Fatih, suami Nur. Namun saat yang dinantikan itu belum juga kunjung tiba. Hingga kak Nurul mendapat tawaran untuk membantu masyarakat Bangkalan, sepuluh tahun yang lalu. Iapun pergi meninggalkan kampus tempatnya mengajar. Sejak itulah mereka terpisahkan.

Nur memandangi wajah mas Fatih. Di bawah cahaya senja yang merona, ...ah makin tampan saja ia dengan garis ketuaan yang mulai menggurat di wajahnya.

"Bagaimana mas?" tanya Nur untuk ketiga kalinya. Wajah yang teduh itu tak bergeming.

"Kau serius agaknya, dik" jawabnya.

"Benar. Saya sudah lama memikirkannya" sahut Nur.

"Tapi saya bukan orang yang tepat untuk itu. Saya tidak cukup adil untuk itu."

"Tak ada yang bisa bersikap adil kalau soal perasaan" Nur memotong.

"Secara materi, kau sendiri dan anak-anak pun lebih banyak menahan diri bukan?" si Mas balik bertanya.

"Saya insya Allah bisa membantumu. Saya bisa mengajar atau kembali seperti dulu." Jawab Nur.

Melihat Nur bersikukuh, mas Fatih melembut, "bagaimana kalau kita istikharah dulu." Diusapnya kain yang menutup rambut indah milik Nur.

Hari-hari pun berlalu dalam kepatuhan mengikuti hukum alam. Malam siang datang silih berganti. Makhluk Allah menapaki hidupnya di bawah naungan sunatuLlah. Susah-senang hilang timbul bak gelombang laut, datang bergulung lalu pecah di pantai.

Satu musim lewatlah sudah. Di sebuah dini hari yang bening, Nur berjalan mengendap ke ruang kerja mas Fatih. Lampunya menyala. Berarti semalaman mas Fatih tidak tidur. Lamat-lamat terdengar suara lirih mas Fatih membaca al Qur'an. Nur beranjak mendekat, namun malang kakinya tersandung kabel lampu. Ugh ! Ia jatuh terpelanting.

Mas Fatih menghentikan bacaannya.

"Kamu nggak apa-apa dik?" tanya mas Fatih, cemas menghampiri Nur. Yang dihampiri tersenyum menahan malu dan nyeri.

"Makanya jangan suka mengintip." Mas Fatih menggodanya, seraya menggosok kaki Nur yang memar. Pipi Nur bersemu dadu saat mas Fatih membantunya duduk di kursi kayu.

Menarik nafas sebentar, lalu Nur membuka percakapan.

"Kopornya sudah saya siapkan, Mas. Jangan lupa sampaikan salam saya buat kak Nurul."

Mas Fatih terdiam. Nur memandangi wajah yang senantiasa nampak ikhlas ini. Mas Fatih tersenyum lembut.

"Dik, semoga pengorbananmu yang mulia ini membawamu ke tempat terbaik di sisi-Nya. Tolong doakan agar mas mampu berbuat adil terhadapmu dan anak-anak."

Mata Nur membasah. "Terhadap kak Nurul juga...," ujarnya. "Saya rela,mas, janganlah khawatir. Saya tahu tidak semua wanita beruntung seperti saya, hidup di sisi orang sebaikmu." Nur berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, " Membagi kemurahan Allah tidak akan mengurangi rahmat-Nya."

Hari itu mas Fatih akan berangkat menuju Bangkalan. Dengan air mata menggenang, diciumnya kedua anaknya.

"Ayah akan kembali dalam seminggu. Jaga Bunda baik-baik." pesan mas Fatih kepada kedua balitanya yang masih terlena dibuai mimpi. Nur memberi isyarat dengan tangannya.

"Jangan janjikan mereka dengan sesuatu yang sulit bagimu untuk memenuhinya." ujarnya setengah berbisik.

"Saya akan memenuhinya, insya Allah" mas Fatih berbalik, menggenggam tangan Nur. Nur berjalan mengantarnya hingga pagar rumah.

"Jaga diri baik-baik ya dik," pesan mas Fatih.

"Mas juga." Jawab Nur. Tersenyum dengan sepenuh kerelaan hatinya.

****

(Bagian 2)


Date: Mon, 2 Oct 2000 18:22:15 EDT From: Kaysi99@aol.com To: lamotta@yogya.wasantara.net.id (Djoko Luknanto)

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team