|
BAB 7: PERKAWINAN SEBAGAI PENDORONG ATAU
PENGHALANG DALAM KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Perkawinan memainkan peran yang besar dalam kehidupan
manusia, sehingga ia perlu diperhitungkan dalam membahas
soal kehidupan keagamaan dan dibicarakan dalam dua aspeknya,
yaitu keuntungan dan kerugiannya.
Mengetahui bahwa Allah, sebagaimana kata al-Qur'an,
"Hanya menciptakan manusia dan jin untuk beribadah," maka
keuntungan yang pertama dan nyata dalam perkawinan adalah
bahwa para penyembah Allah menjadi makin banyak jumlahnya.
Oleh karena itu, para ahli ilmu kalam telah menyusun seuntai
pepatah: lebih baik tersibukkan dalam tugas-tugas perkawinan
daripada dalam ibadah-ibadah sunnah. Keuntungan lain
daripada perkawinan adalah sebagaimana disabdakan oleh Nabi:
"Doa anak-anak bermanfaat bagi orang tuanya jika orang
tuanya itu telah meninggal, dan anak-anak yang meninggal
sebelum orang tuanya akan memintakan ampun bagi mereka di
Hari Pengadilan." Sabda Nabi pula: "Ketika seorang anak
diperintahkan untuk masuk surga, dia menangis dan berkata,
"Saya tak akan memasukinya tanpa ayah dan ibu saya." Juga,
suatu hari Nabi dengan keras menarik lengan baki seseorang
ke arah dirinya sambil bersabda, "Demikianlah anak-anak akan
menarik orang tuanya ke surga." Beliau menambahkan,
"Anak-anak berkumpul berdesak-desakan di pintu gerbang surga
dan menjerit memanggil ayah dan ibunya, hingga keduanya yang
masih berada di luar diperintahkan untuk masuk dan bergabung
dengan anak-anak mereka."
Diriwayatkan dari seorang Wali yang termasyhur bahwa
suatu kali ia bermimpi bahwa Hari Pengadilan telah tiba.
Matahari telah mendekat ke bumi dan orang-orang mati karena
kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kian kemari memberi
mereka air dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika
sang Wali meminta air, ia ditolak, dan salah seorang anak
itu berkata kepadanya, "Tidak salah seorang pun di antara
kami ini anak-anak anda." Segera setelah sang Wali bangun ia
berencana untuk kawin.
Keuntungan lain dari perkawinan adalah bahwa duduk
bersama dan bersikap baik terhadap istri adalah suatu
perbuatan yang memberikan rasa santai kepada pikiran setelah
asyik mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Dan setelah santai
seperti itu seseorang bisa kembali beribadah dengan semangat
baru. Demikianlah Nabi saw. sendiri, ketika merasakan beban
turunnya wahyu menekan terlalu berat atasnya, ia menyentuh
istrinya Aisyah dan berkata: "Berbicaralah padaku wahai
'Aisyah, berbicaralah padaku!" Dilakukannya hal ini karena
dari sentuhan kemanusiaan yang hangat itu bisa mendapatkan
kekuatan untuk menerima wahyu-wahyu baru. Untuk alasan yang
sama ia biasa meminta Bilal untuk mengumandangkan azan dan
kadang-kadang ia juga membaui wawangian yang harum. Salah
satu haditsnya yang terkenal adalah: "Saya mencintai tiga
hal di dunia ini: wewangian, wanita dan penyegaran kembali
dengan shalat." Suatu kali Umar bertanya kepada Nabi tentang
hal-hal yang paling penting untuk dicari di dunia ini.
Beliau saw. menjawab: "Lidah yang selalu berzikir kepada
Allah, hati yang penuh rasa syukur dan istri yang
amanat."
Keuntungan lain dari perkawinan adalah adanya seseorang
yang memelihara rumah, memasak makanan, mencuci piring,
menyapu lantai dan sebagainya. Jika seoran glaki-laki sibuk
dengan pekerjaan-pekerjaan itu, maka ia tak bisa mencari
ilmu, menjalankan perdagangannya atau melakukan
ibadah-ibadahnya dengan sepatutnya. Untuk alasan ini Abu
Sulaiman berkata: "Istri yang baik bukan saja rahmat di
dunia ini, tetapi juga di akhirat, karena ia memberikan
waktu senggang kepada suaminya untuk berpikir tentang
akhirat." Dan salah satu di antara ucapan Khalifah Umar
adalah: "Setelah iman, tidak ada rahmat yang bisa menyamai
istri yang baik."
Tambahan lagi, perkawinan masih memiliki keuntungan yang
lain, yaitu bersikap sabar dengan tetek-bengek kewanitaan -
memberikan kebutuhan-kebutuhan istri dan menjaga mereka agar
tetap berada di jalan hukum - adalah suatu bagian yang amat
penting dari agama. Nabi saw. bersabda; "Memberi nafkah
kepada istri lebih penting daripada memberi sedekah."
Suatu kali, ketika Ibnu Mubarak sedang berpidato di
hadapan orang-orang kafir, salah seorang sahabatnya bertanya
kepadanya: "Adakah pekerjaan lain yang lebih memberikan
ganjaran daripada jihad?" "Ya," jawabnya, "Yaitu memberi
makan dan pakaian kepada istri dan anak dengan sepatutnya."
Waliyullah yang termasyhur Bisyr Hafi berkata: "Lebih baik
bagi seseorang untuk bekerja bagi istri dan anak daripada
bagi dirinya sendiri." Di dalam hadits diriwayatkan bahwa
beberapa dosa hanya bisa ditebus dengan menanggung beban
keluarga.
Berkenaan dengan seorang wali, diriwayatkan bahwa
istrinya meninggal dan ia tak bermaksud kawin lagi meski
orang-orang mendesaknya seraya berkata bahwa dengan begitu
akan lebih mudah baginya untuk memusatkan diri dan
pikirannya di dalam uzlah. Pada suatu malam ia melihat dalam
mimpinya pintu surga terbuka dan sejumlah malaikat turun,
lalu mendekatinya dan salah satu di antara mereka bertanya:
"Inikah orang yang celaka yang egois itu?" dan
rekan-rekannya menjawab: "Ya, inilah dia." Wali itu
sedemikian terperangahnya sehingga tidak sempat bertanya
tentang siapakah yang mereka maksud. Tetapi tiba-tiba
seorang anak laki-laki lewat dan ia pun bertanya kepadanya.
"Andalah yang sedang mereka bicarakan," jawab sang anak,
"baru minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik anda dicatat
di surga bersama dengan wali-wali yang lain, tetapi sekarang
mereka telah menghapuskan nama anda dari buku catatan itu."
Setelah terjaga dengan pikiran penuh tanda tanya, dia pun
segera membuat rencana untuk kawin. Dari semua hal di atas,
tampak bahwa perkawinan memang diinginkan.
Sekarang akan kita bicarakan kerugian-kerugian
perkawinan. Salah satu di antaranya adalah adanya suatu
bahaya, khususnya di masa sekarang ini, bahwa seorang
laki-laki mesti mencari nafkah dengan sarana-sarana yang
haram untuk menghidupi keluarganya, padahal tidak ada
perbuatan-perbuatan baik yang bisa menebus dosa ini. Nabi
saw. bersabda bahwa pada Hari Kebangkitan akan ada laki-laki
yang membawa tumpukan perbuatan baik setinggi gunung dan
menempatkannya di dekat Mizan. Kemudian ia ditanya; "Dengan
cara bagaimana engkau menghidupi keluargamu?" Ia tak bisa
memberikan jawaban yang memuaskan, maka semua perbuatan
baiknya pun akan dihapuskan dan suatu pernyataan akan
dikeluarkan berkenaan dengannya: "Inilah orang yang
keluarganya telah menelan semua perbuatan baiknya!"
Kerugian lain dari perkawinan adalah bahwa memperlakukan
keluarga dengan baik dan sabar dan menyelesaikan
masalah-masalah mereka hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki tabiat baik. Ada bahaya besar jika seorang
laki-laki memperlakukan keluarganya dengan kasar atau
mengabaikan mereka, sehingga menimbulkan dosa bagi dirinya
sendiri. Nabi saw. bersabda: "Seseorang yang meninggalkan
istri dan anak-anaknya adalah seperti budak yang lari.
Sebelum ia kembali kepada mereka, puasa dan shalatnya tidak
akan diterima oleh Allah." Ringkasnya, manusia memiliki
sifat-sifat rendah, dan sebelum ia bisa mengendalikan
sifatnya itu, lebih baik ia tidak memikul tanggungjawab
utnuk mengendalikan orang lain. Seseorang bertanya kepada
Wali Bisyr Hafi, kenapa ia tidak kawin. "Saya takut," ia
menjawab, "akan ayat al-Qur'an: 'hak-hak wanita atas
laki-laki persis sama dengan hak-hak laki-laki atas
wanita'."
Kerugian ketiga dari perkawinan adalah bahwa mengurus
sebuah keluarga seringkali menghalangi seseorang dari
memusatkan perhatiannya kepada Allah dan akhirat. Dan boleh
jadi, kecuali kalau ia berhati-hati, hal itu akan
menyeretnya kepada kehancuran, karena Allah telah berfirman:
"Janganlah istri-istri dan anak-anakmu memalingkanmu dari
mengingat Allah." Orang yang berpikir, bahwa dengan tidak
kawin ia bisa memusatkan perhatiannya lebih baik pada
kewajiban-kewajiban keagamaannya, lebih baik ia tetap
sendirian; dan orang-orang yang takut untuk terjatuh ke
dalam dosa jika ia tidak kawin, lebih baik ia kawin.
Sekarang kita sampai pada sifat-sifat yang mesti dicari
dalam diri seorang istri. Pertama, yang paling penting di
antaranya, adalah kesucian akhlak. Jika seseorang mempunyai
istri yang berakhlak tidak-baik dan ia tetap diam, ia
mendapatkan nama jelek dan terhambat kehidupan keagamaannya.
Jika ia angkat bicara, hidupnya menjadi rusak. Dan bila ia
ceraikan istrinya, ia akan menderita kepedihan perpisahan.
Seorang istri yang cantik tapi berakhlak buruk adalah
bencana yang sedemikian besar, sehingga lebih baik bagi
suaminya untuk menceraikannya. Nabi saw. bersabda; "Orang
yang mencari istri demi kecantikannya atau kekayaannya akan
kehilangan keduanya."
Sifat baik kedua dalam diri seorang istri adalah tabiat
yang baik. Istri yang bertabiat buruk - tidak berterima
kasih, suka bergunjing atau angkuh - membuat hidup tak
tertanggungkan dan merupakan halangan besar untuk menjalin
kehidupan takwa.
Sifat ketiga yang harus dicari adalah kecantikan, karena
hal ini akan menimbulkan cinta dan kasih sayang. Oleh karena
itu, seseorang mesti melihat seorang wanita sebelum
mengawininya. Nabi saw. bersabda; "Wanita-wanita dari suku
ini dan itu memiliki cacat di mata-mata mereka. Seorang yang
ingin mengawini seseorang di antara mereka mesti melihatnya
dulu." Orang bijak berkata bahwa seseorang yang mengawini
seorang wanita tanpa melihatnya lebih dulu, pasti akan
menyesal kelak. Memang benar bahwa seseorang tidak
seharusnya kawin demi kecantikan, tetapi hal ini tidak
berarti bahwa kecantikan mseti dianggap tidak penting sama
sekali.
Hal penting keempat tentang seorang istri adalah bahwa
besarnya mahar dibayarkan oleh seorang laki-laki kepada
istrinya mesti dalam jumlah pertengahan. Nabi saw. bersabda:
"Wanita yang paling baik untuk diperistri adalah yang
maharnya kecil dan nilai kecantikannya besar." Beliau
sendiri memberi mahar kepada beberapa calon istrinya sekitar
sepuluh dirham, dan mahar putri-putri beliau sendiri tidak
lebih daripada empat ratus dirham.
Sifat-sifat lain yang harus dimiliki seorang istri yang
baik adalah: berasal dari keturunan baik-baik, belum kawin
sebelumnya dan tidak terlalu dekat dalam hubungan
kekeluargaan dengan suaminya.
Hal-hal yang Harus Dikerjakan dalam Perkawinan
Pertama; karena perkawinan adalah suatu lembaga
keagamaan, maka ia mesti diperlakukan secara keagamaan. Jika
tidak demikian, pertemuan antara laki-laki dan wanita itu
tidak lebih baik daripada pertemuan antar hewan. Syariat
memerintahkan agar diselenggarakan perjamuan dalam setiap
perkawinan. Ketika Abdurrahman bin 'Auf merayakan
perkawinannya Nabi saw. berkata kepadanya: "Buatlah suatu
pesta perkawinan, meskipun hanya dengan seekor kambing."
Ketika Nabi saw. sendiri merayakan perkawinannya dengan
Shafiyyah, beliau membuat pesta perkawinan dan menghidangkan
kurma dan gandum saja. Demikian pula, perkawinan sebaiknya
dimeriahkan dengan memukul rebana dan memainkan musik,
karena manusia adalah mahkota penciptaan.
Kedua; seorang suami istri mesti terus bersikap
baik terhadap istrinya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak
boleh menyakitinya, melainkan sebaiknya menanggung dengan
sabar semua perasaan tidak enak yang diakibatkan oleh
istrinya, baik itu karena ketidak-masukakalan sikap istrinya
atau sikap tidak-berterimakasihnya. Wanita diciptakan lemah
dan membutuhkan perlindungan; karenanya ia mesti
diperlakukan dengan sabar dan terus dilindungi. Nabi saw.
bersabda: "Seseorang yang mampu menanggung ketidakenakan
yang ditimbulkan oleh istrinya dengan penuh kesabaran akan
memperoleh pahala sebesar yang diterima oleh Ayub a.s. atas
kesabarannya menanggung bala (ujian) yang menimpanya." Pada
saat-saat sebelum wafatnya, orang mendengar pula Nabi saw.
bersabda: "Teruslah berdoa dan perlakukan istri-istrimu
dengan baik, karena mereka adalah tawanan-tawananmu." Beliau
sendiri selalu menanggung dengan sabar tingkah laku
istri-istrinya. Suatu hari istri Umar marah dan
mengomelinya, ia berkata kepadanya: "Hai kau yang berlidah
tajam, berani kau menjawabku?" Istrinya menjawab, "Ya,
penghulu para nabi lebih baik daripadamu, sedangkan
istri-istrinya saja mendebatnya." Ia menjawab: "Celakalah
Hafshah (Purti Sayidina Umar, istri Nabi saw.) jika ia tidak
merendahkan dirinya sendiri." Dan ketika ia berjumpa
Hafshah, ia berkata, "Awas, kau jangan mendebat Rasul." Nabi
saw. juga berkata: "Yang terbaik di antaramu adalah yang
terbaik sikapnya kepada keluarganya sendiri, dan akulah yang
terbaik sikapnya terhadap keluargaku."
Ketiga; seorang suami istri mesti berkenan
terhadap rekreasi-rekreasi dan kesenangan-kesenangan
istrinya dan tidak mencoba menghalanginya. Nabi saw. sendiri
pada suatu waktu pernah berlomba lari dengan istrinya,
'Aisyah. Pada kali pertama Nabi saw. mengalahkan 'Aisyah dan
pada kali kedua, 'Aisyah mengalahkannya. Di waktu lain,
beliau menggendong 'Aisyah agar ia bisa melihat beberapa
orang Habsy menari. Pada kenyataannya akan sulitlah untuk
menemukan seseorang yang bersikap sedemikian baik terhadap
istri-istrinya seperti yang dilakukan Nabi saw. Orang-orang
bijak berkata: "Seorang suami mesti pulang dengan tersenyum
dan makan apa saja yang tersedia dan tidak meminta apa-apa
yang tidak tersedia." Meskipun demikian, ia tidak boleh
berlebihan agar istrinya tidak kehilangan penghargaan
atasnya. Jika ia melihat sesuatu yang nyata-nyata salah
dilakukan oleh istrinya, ia tidak boleh mengabaikannya,
melainkan harus menegurnya. Atau jika tidak, ia akan menjadi
sekadar bahan tertawaan saja. Dalam al-Qur'an tertulis:
"Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita," dan Nabi saw.
berkata: "Celakalah laki-laki yang menjadi budak istrinya."
Seharusnya istrinyalah yang menjadi pelayannya. Orang-orang
bijak berkata; "Berkonsultasilah dengan wanita dan
berbuatlah yang bertentangan dengan apa yang mereka
nasehatkan." Memang ada suatu sikap suka melawan dalam diri
wanita; dan jika mereka diizinkan meskipun sedikit, mereka
akan sama sekali lepas dari kendali dan sulitlah untuk
mengembalikannya kepada sikap yang baik. Dalam urusan dengan
mereka, seseorang mesti berusaha menggunakan gabungan antara
ketegasan dan rasa kasih sayang dengan kasih sayang sebagai
bagian yang lebih besar. Nabi saw. berkata: "Wanita
diciptakan seperti sepotong tulang iga yang bengkok. Jika
kaucoba meluruskannya, kau akan mematahkannya; jika kau
biarkan demikian, ia akan tetap bengkok. Karena itu
perlakukanlah ia dengan penuh kasih sayang."
Keempat; dalam hal pelanggaran susila, seorang
suami harus sangat berhati-hati agar tidak membiarkan
istrinya dipandang atau memandang seorang asing, karena awal
dari seluruh kerusakan itu adalah dari mata. Sebisa-bisanya
jangan izinkan ia untuk keluar rumah, berdiri di loteng
rumah atau berdiri di pintu. Meskipun demikian, anda mesti
hati-hati agar tidak cemburu tanpa alasan dan bersikap
terlalu ketat. Suatu hari Nabi saw. bertanya kepada anaknya,
Fathimah: "Apakah yang terbaik bagi wanita?" Ia menjawab:
"Mereka tidak boleh menemui orang-orang asing, tidak pula
orang-orang asing boleh menemui mereka." Nabi saw. senang
mendengar jawaban ini dan memeluknya seraya berkata;
"Sesungguhnya engkau adalah sebagian dari hatiku." Amirul
Mu'minin Umar berkata: "Jangan memberi wanita
pakaian-pakaian yang baik, karena segera setelah mereka
mengenakannya mereka berkeinginan untuk keluar rumah." Pada
masa hidup Nabi, wanita-wanita diizinkan pergi ke masjid dan
tinggal di barisan paling belakang. Tapi secara bertahap hal
ini dilarang.
Kelima; seorang suami mesti memberi nafkah
secukupnya kepada istrinya dan tidak bersifat kikir
kepadanya. Memberi nafkah yang selayaknya kepada istri lebih
baik daripada memberi sedekah. Nabi saw. bersabda: "Misalkan
seorang laki-laki menghabiskan satu dinar untuk berjihad,
satu dinar lagi untuk menebus seorang buda, satu dinar lagi
untuk sedekah dan memberikan satu dinar juga kepada
istrinya, maka pahala pemberian yang terakhir ini melebihi
jumlah pahala ketiga pemberian lainnya."
Keenam; seorang suami tidak boleh makan sesuatu
yang lezat sendirian; atau kalaupun ia telah memakannya, ia
mesti diam dan tidak memujinya di depan istrinya. Jika tidak
ada tamu, lebih baik bagi pasangan suami istri untuk makan
bersama, karena Nabi saw. bersabda: "Jika mereka melakukan
hal itu, Allah menurunkan rahmatNya atas mereka dan para
malaikat pun berdoa untuk mereka." Hal yang paling penting
adalah bahwa nafkah yang diberikan kepada istri itu harus
didapatkan dengan cara-cara halal.
Jika istri bersikap memberontak dan tidak taat, pertama
sekali suami mesti menasehatinya dengan lemah lembut. Jika
hal ini tidak cukup keduanya mesti tidur di kamar terpisah
untuk tiga malam. Jika hal ini juga tidak berhasil, maka
suami boleh memukulnya, tetapi tidak di mulutnya, tidak pula
terlalu keras hingga bisa melukainya. Jika istri lalai dalam
tugas-tugas keagamaannya, suami mesti menunjukkan sikap
tidak senang kepadanya selama sebulan penuh, sebagaimana
pernah dilakukan oleh Nabi kepada istri-istrinya.
Selalulah bertindak hati-hati agar perceraian bisa
dihindari; karena, meskipun perceraian diizinkan, Allah
tidak menyukainya. Perkataan cerai saja sudah mengakibatkan
penderitaan bagi seseorang wanita, dan bagaimana bisa
dibenarkan seseorang menyakiti orang lain? Jika perceraian
terpaksa sekali dilakukan, maka ucapan itu tidak boleh
diulangi tiga kali sekaligus, tetapi harus pada tiga waktu
yang berlainan. Seorang perempuan mesti dicerai baik-baik,
tidak dengan kemarahan ataupun penghinaan, tidak pula tanpa
alasan. Setelah perceraian, seorang laki-laki mesti
memberikan pemberian (mut'ah) kepada bekas istrinya, dan
tidak menceritakan kepada orang lain alasan-alasan atau
kesalahan-kesalahan yang dilakukan istrinya sehingga mereka
bercerai. Dari seorang suami yang hendak menceraikan
istrinya, diriwayatkan bahwa orang-orang bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau menceraikannya?" Ia menjawab: "Saya tak akan
membongkar rahasia-rahasia istri saya." Ketika akhirnya ia
benar-benar menceraikannya, ia ditanya lagi dan berkata;
"Dia sekarang orang asing bagiku; saya tidak lagi berurusan
dengan soal-soal pribadinya."
Sejauh ini telah kita bahas hak-hak istri atas suaminya,
tetapi hak-hak suami atas istrinya lebih mengikat lagi. Nabi
saw. bersabda: "Jika saja dibolehkan untuk menyembah sesuatu
selain Allah, akan aku perintahkan agar para istri menyembah
suami-suami mereka."
Seorang istri tidak boleh menggembar-gemborkan
kecantikannya di depan suaminya, tidak boleh membalas
kebaikan sang suami dengan perasaan tidak terima kasih.
Istri tidak boleh berkata kepada suaminya: "Kenapa
kauperlakukan aku begini dan begitu?" Nabi saw. bersabda:
"Aku melihat ke dalam neraka dan menampak banyak wanita di
sana. Kutanyakan sebab-sebabnya dan mendapat jawaban, karena
mereka berlaku tidak baik kepada suami-suami mereka dan
tidak berterima kasih kepadanya."
(sebelum, sesudah)
|