|
BAB 6: PEMERIKSAAN DIRI DAN ZIKIR KEPADA
ALLAH
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa di dalam al-Qur'an
Tuhan telah berfirman, "Akan Kami pasang satu timbangan yang
adil di Hari Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya
dalam segala hal. Siapa pun yang telah menempa satu butir
kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan melihatnya."
Di dalam al-Qur'an juga tertulis, "Setiap jiwa akan melihat
apa yang diperbuat sebelumnya pada Hari Perhitungan."
Khalifah Umar pernah berkata, "Tuntutlah pertanggungjawaban
dari dirimu sebelum dituntut pertanggungjawabanmu." Dan
Tuhan berfirman, "Wahai kaum mukminin, bersabar dan
berjuanglah melawan nafsu-nafsumu dan kemudian
beristiqamahlah." Semua wali paham bahwa mereka datang ke
dunia ini untuk menyelenggarakan suatu lalu-lintas ruhaniah.
Perolehan ataupun kerugian yang menjadi akibatnya adalah
surga atau neraka. Oleh karena itu, mereka selalu menatap
dengan pandangan waspada kepada badan mereka yang
berkhianat, bisa menyebabkan mereka menderita kerugian
besar. Oleh karena itu, hanya orang-orang bijaksana sajalah
yang setelah shalat subuhnya menghabiskan satu jam penuh
untuk mengadakan perhitungan ruhaniah dan berkata kepada
jiwanya, "Wahai jiwaku, engkau hanya mempunyai satu hidup.
Tidak satu pun saat yang telah lewat bisa dikembalikan,
karena dalam perbendaharaan Allah jumlah nafas bagianmu
sudah tertentu dan tidak bisa ditambah. Ketika kehidupan
telah berakhir, tidak ada lagi lalu-lintas ruhaniah yang
mungkin kau peroleh. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan,
kerjakanlah sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa
seakan-akan hidupmu telah kau habiskan sama sekali dan bahwa
hari ini adalah hari tambahan yang dianugerahkan kepadamu
oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekeliruan apa lagi yang
lebih besar daripada menyia-nyiakannya?"
Pada Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh
jam-jam hidupnya terjajar seperti satu deret lemari
perbendaharaan. Pintu salah satu lemari itu akan terbuka dan
akan tampak penuh dengan cahaya. Hal itu mencerminkan saat
yang dihabiskan untuk melakukan kebaikan. Hatinya akan
dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian besar sehingga
sebagian daripadanya saja sudah akan membuat penghuni neraka
melupakan api itu. Pintu lemari yang kedua akan terbuka; di
dalamnya gelap pekat dan dari dalamnya terpancar bau tidak
enak, yang menyebabkan setiap orang menutup hidungnya. Itu
mencerminkan saat-saat yang dihabiskan untuk berbuat
maksiat. Ia akan merasakan takut yang sedemikian besar
sehingga sebagian daripadanya saja sudah akan segera membuat
penghuni surga gelisah dan memohon rahmat. Pintu lemari yang
ketiga pun terbuka; di dalamnya tampak kosong, tak ada
cahaya tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat yang
tidak dipakai untuk melakukan kebaikan maupun maksiat. Waktu
itu ia akan merasa sangat menyesal dan bingung laksana
seorang yang memiliki harta banyak, tapi menyia-nyiakannya
atau membiarkannya lepas begitu saja dari genggamannya.
Jadi, seluruh rangkaian saat-saat hidupnya akan
dipertunjukkan satu demi satu di depan matanya. Lantaran
itu, seseorang mesti berkata kepada jiwanya setiap pagi:
"Allah telah memberimu khazanah dua puluh empat jam.
Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun di
antaranya, karena engkau tidak akan mampu menahan penyesalan
yang akan mengikuti kerugian seperti itu."
Para wali telah berkata, "Sekalipun, misalnya, Allah akan
mengampuni anda yang menyia-nyiakan kehidupan, anda tidak
akan bisa mencapai tingkatan orang-orang saleh dan mesti
akan menyesali kerugian anda. Oleh karena itu, awasilah
dengan ketat lidah anda, mata anda dan segenap anggota rubuh
anda, karena masing-masing daripadanya mungkin menjadi pintu
gerbang menuju neraka. Ucapkanlah pada badan anda, 'Jika
engkau memberontak, sesungguhnya aku akan menghukummu'
karena meskipun badan itu keras kepala, ia mampu menerima
perintah dan bisa dijinakkan dengan keprihatinan." Itulah
tujuan pemeriksaan diri, dan Nabi saw. telah berkata,
"Kebahagiaan itu bagi orang yang sekarang mengerjakan
amal-amal yang akan memberikan keuntungan baginya setelah
mati."
Sekarang sampailah kita pada dzikrullah yang berarti
ingatnya seseorang bahwa Allah mengamati seluruh tindakan
dan pikirannya. Orang-orang hanya melihat penampilan luar,
sementara Allah melihat keduanya; yang di luar maupun yang
di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar mempercayai
hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun
wujud-dalamnya. Jika ia menyangkal hal ini, maka ia adalah
seorang kafir; dan jika sementara mempercayainya dia
bertindak bertentangan dengan kepercayaannya itu, maka dia
telah melakukan kesalahan berupa bersikap angkuh yang paling
parah.
Suatu hari seorang Habsy datang kepada Rasulullah dan
berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah melakukan banyak
dosa. Mungkinkah tobat saya bisa diterima?" Nabi menjawab,
"Ya." Kemudian sang Habsy berkata, "Wahai Rasulullah, setiap
saya melakukan dosa, adakah Tuhan benar-benar melihatnya?"
"Ya," jawab beliau. Sang Habsy pun melontarkan pekikan dan
kemudian jatuh tak sadar. Sebelum seseorang benar-benar
yakin akan kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam
pengamatan Allah, tidak mungkin ia bertindak di jalan yang
benar.
Seorang Syaikh suatu kali mempunyai seorang murid yang ia
sayangi lebih dari yang lain, sehingga membangkitkan rasa
iri mereka. Suatu hari sang Syaikh memberi masing-masing
muridnya seekor unggas dan memerintahkan mereka untuk pergi
dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada yang bisa
melihat. Sesuai dengan itu, setiap muridnya membunuh
unggasnya di tempat yang tersembunyi dan membawanya kembali,
kecuali murid Syaikh yang paling disayanginya itu. Ia
membawa kembali unggas itu dalam keadaan hidup seraya
berkata, "Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena
Allah selalu melihatku di mana-mana." Sang Syaikh pun
berkata kepada muridnya yang lain, "Sekarang kamu tahu
tingkatan anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat selalu
mengingati Allah."
Ketika Zulaikha menggoda Yusuf, ia menutupkan kain ke
atas wajah berhala yang biasa disembanya. Yusuf berkata
kepadanya, "Wahai Zulaikha, engaku malu di hadapan
seonggokan batu, maka tidakkah aku mesti malu di hadapan Dia
yang menciptakan tujuh langit dan bumi." Satu kali seseorang
datang kepada Wali Junaid dan berkata, "Saya tidak bisa
menahan pandangan mata saya dari melihat hal-hal yang
menggairahkan. Apa yang mesti saya perbuat?" Jawab Junaid,
"Dengan mengingat bahwa Allah melihatmu jauh lebih jelas
daripada kamu melihat orang lain." Di dalam hadits qudsi
tertulis bahwa Allah berfirman, "surga itu bagi orang-orang
yang sempat berkeinginan untuk mengerjakan dosa tapi
kemudian ingat bahwa mataKu ada di atas mereka dan kemudian
mereka menahan diri."
Abdullah bin Dinar meriwayatkan, bahwa suatu kali ia
berjalan bersama Khalifah Umar di dekat Makkah ketika
bertemu seorang anak laki-laki penggembala sedang
menggembalakan sekawanan domba. Umar berkata kepadanya,
"Juallah seekor domba padaku." Anak laki-laki itu menjawab,
"Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku." Kemudian
untuk mengujinya, Umar berkata, "Engkau kan bisa berkata
kepadanya bahwa seekor srigala telah menyambar salah satu di
antaranya, dan dia tidak akan tahu apa-apa mengenai hal
itu?" "Tidak, memang dia tak akan tahu," kata anak itu,
"tapi Allah akan mengetahuinya." Umar pun menangis dan
mendatangi majikan anak laki-laki itu untuk membelinya dan
kemudian membebaskannya sambil berkata, "Ucapanmu itu telah
membuatmu bebas di dunia ini akan akan membuatmu bebas pula
di akhirat."
Ada dua tingkatan DZIKRULLAH ini.
Tingkatan PERTAMA adalah tingkatan para wali yang
pikiran-pikirannya seluruhnya terserap dalam perenungan dan
keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan lagi ruang
di hati mereka untuk hal-hal lain. Inilah tingkatan zikir,
yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap
dan anggota-anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh
hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari
tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama sekali
tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap
dosa-dosanya. Terhadap zikir seperti inilah Nabi saw.
berkata, "Orang yang bangun dipagi hari hanya dnegan Allah
di dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia ini
maupun di akhirat."
Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut
dalam ingatan akan Dia, sehingga, mereka tidak mendengarkan
orang yang bercakap dengan mereka, tidak melihat orang
berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung-huyung
seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali meriwayatkan
bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang
mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ,
seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya dan mencoba
mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, 'Mengingat Allah
lebih baik daripada bercakap.' Saya berkata, 'Tidakkah anda
kesepian?" 'Tidak,' jawabnya, 'Allah dan dua malaikat
bersama saya.' Sembari menunjuk kepada para pemanah saya
bertanya, 'Mana di antara mereka yang telah berhasil
menggondol gelar juara?' 'Orang yang telah ditakdirkan Allah
untuk menggondolnya,' jawabnya. Kemudian saya bertanya,
'Jalan ini datang dari mana?" Terhadap pertanyaan ini dia
mengarahkan matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi
seraya berkata, "Ya Rabbi, banyak mahlukMu
menghalang-halangi orang dari mengingatMu.' "
Wali Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri.
Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang
sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli
pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar
mempraktekkan ketenangan tafakur seperti itu?" Tsauri
menjawab, "Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di
depan lobang tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih
tenang daripada yang saya lakukan."
Ibnu Hanif meriwayatkan, "Kepada saya diberitakan bahwa
di kota Sur seorang syaikh dengan seorang muridnya selalu
duduk dan larut di dalam dzikrullah. Saya berangkat ke sana
dan mendapati mereka berdua duduk dengan wajah menghadap ke
Makkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi
mereka tidak menjawab. Saya berkata, "Saya meminta dengan
sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya." Yang
lebih muda mengangkat kepalanya dan menjawab, "Wahai Ibnu
Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu yang singkat saja.
Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih
tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut
agar kami membalas salam anda." Ia kemudian menundukkan
kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan
haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya
seakan lupa diri. Saya bersembahyang 'Ashar dan Maghrib
bersama mereka, kemudian meminta mereka memberi
nasehat-nasehat ruhaniah. Yang muda menjawab, "Wahai Ibnu
Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah
untuk memberikan nasehat." Saya tetap berdiri di sana tiga
hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun terlontar dari
kami dan tak seorang pun tidur. Kemudian saya berkata dalam
hati, "Saya minta mereka dengan sangat, demi Allah, untuk
memberi saya beberapa nasehat." Yang muda mengkasyaf pikiran
saya, kemudian sekali lagi mengangkat kepalanya, "Pergi dan
carilah seseorang yang dengan mengunjunginya akan membuat
anda mengingati Allah, dan menanamkan rasa takut akan Dia di
dalam hati anda, dan yang akan memberi anda nasehat melalui
diamnya, bukan lewat cakapnya."
Itu semua adalah zikir para wali, yaitu berada dalam
keadan terserap keseluruhan dalam perenungan akan Allah.
Tingkatan KEDUA dari dzikrullah adalah zikir "golongan
kanan" (ashabul-Yamin). Orang-orang ini sadar bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu tentang mereka dan merasa malu
dalam kehadiranNya. Meskipun demikian, mereka tidak larut
dalam pikiran tentang keagungan-keagunganNya, melainkan
tetap sepenuhnya sadar diri. Keadaan mereka seperti
seseorang yang tiba-tiba terperangah di dalam keadaan
telanjang dan dengan terburu-buru menutupi dirinya. Kelompok
tingkatan pertama tadi menyerupai seseorang yang tiba-tiba
mendapati dirinya di hadapan seorang raja dan merasa bingung
serta kaget. Kelompok tingkatan kedua menyelidiki dengan
teliti semua hal yang terlintas dalam pikiran mereka, karena
pada hari akhir tiga pertanyaan akan ditanyakan berkenaan
dengan setiap tindakan: kenapa engkau melakukannya?;
bagaimana kamu melakukannya; apa tujuanmu melakukannya? Yang
pertama ditanyakan karena seorang semestinya bertindak
berdasarkan dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan
setan atau badaniah belaka. Jika pertanyaan ini dijawab
dengan baik, maka pertanyaan kedua akan menguji tentang
bagaimana pekerjaan itu dilakukan secara bijaksana atau
ceroboh dan lalai. Dan yang ketiga, pekerjaan itu dilakukan
hanya demi mencari ridha Tuhan ataukah demi memperoleh
pujian manusia. Jika seseorang memahami arti
pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan menjadi sangat awas
terhadap kadaan hatinya dan terhadap bagaimana ia berpikiran
sebelum akhirnya bertindak. Memperbedakan pikiran-pikiran
itu adalah hal yang sulit dan musykil dan orang yang tidak
mampu melakukannya mesti mengaitkan dirinya pada seorang
pengarah ruhani yang bisa menerangi hatinya. Ia mesti
benar-benar menghindar dari orang-orang terpelajar yang
sepenuhnya bersikap duniawi. Mereka itu agen setan. Allah
berfirman kepada Daud a.s. "Wahai Daud, jangan bertanya
tentang orang-orang terpelajar yang teracuni oleh cinta
dunia, karena ia akan merampok kecintaanKu darimu." Dan Nabi
saw. bersabda, "Allah mencintai orang yang cermat dalam
meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan
akalnya dikuasai oleh nafsunya." Nalar dan pembedaan
berkaitan erat, dan orang yang di dalam dirinya nalar tidak
mengendalikan nafsu tidak akan cermat melakukan
penyelidikan.
Di samping beberapa peringatan tentang penelitian sebelum
bertindak, seseorang juga mesti dengan ketat menuntut
pertanggungjawaban dirinya atas tindakan-tindakan masa
lampaunya. Setiap malam ia mesti memeriksa hatinya berkenaan
dengan apa yang telah ia kerjakan., demi melihat telah
beruntung ataukah merugi ia dalam modal ruhaninya. Inilah
yang lebih penting, karena hati itu seperti rekanan dagang
yang khianat yang selalu siap untuk menipu dan mengelabui.
Kadang-kadang ia menampakkan perasaan
mementingkan-diri-sendirinya dalam bentuk ketaatan kepada
Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang menyangka bahwa ia
telah beruntung padahal sebenarnya ia merugi.
Seorang wali bernama Amiya, berumur enam puluh tahun,
menghitung hari-hari dalam hidupnya dan ia dapati bahwa
hari-harinya itu berjumlah 21.600 hari. Ia berkata kepada
dirinya sendiri, "Celaka aku, sekiranya aku melakukan satu
dosa saja setiap harinya, bagaimana aku bisa melarikan diri
dari timbunan 21.600 dosa?" Ia pun memekik dan rubuh ke
tanah. Ketika orang-orang datang untuk membangunkannya,
mereka dapati ia telah mati.
Tetapi sebagian besar manusia bersifat lalai dan tidak
pernah berfikir untuk meminta pertanggungjawaban dirinya
sendiri. Jika bagi setiap dosa yang dilakukannya, seseorang
menempatkan sebutir batu di dalam sebuah rumah kosong,
segera saja akan ia dapati rumah itu penuh dengan batu. Jika
malaikat pencatat menuntut upah darinya bagi pekerjaan
menuliskan dosa-dosanya, maka semua uangnya akan cepat
sirna. Orang menghitung biji tasbih dengan rasa puas diri
setiap kali mereka selesai menyebut nama Allah, tetapi
mereka tidak mempunyai tasbih untuk menghitung kata-kata
sia-sia yang tak terbilang banyaknya yang telah mereka
ucapkan. Oleh karena itu, Khalifah Umar berkata, "Timbang
benar-benar kata-kata dan tindakan-tindakanmu sebelum
semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan nanti." Ia
sendiri sebelum beristirahat pada setiap malamnya biasa
memukul kakinya dengan disertai rasa ngeri kemudian berseru,
"Apa yang telah kau lakukan hari ini?" Abu Thalhah suatu
kali shalat di sebuah kebun korma ketika menampak seekor
burung indah yang melintas menyebabkannya salah hitung
jumlah sujud yang telah dilakukannya. Untuk menghukum
dirinya karena kelalaiannya ini, ia memberikan kebun
kormanya kepada orang lain. Wali-wali seperti itu tahu bahwa
sifat inderawi mereka cenderung untuk tersesat. Oleh karena
itu mereka mengawasi dengan ketat dan menghukumnya untuk
setiap kesalahan yang dilakukannya.
Jika seseorang mendapati dirinya bebal dan menolak sikap
cermat dan disiplin diri, ia mesti selalu bersama-sama
dengan seseorang yang cakap dalam praktek-praktek seperti
itu agar ia tertulari entusiasme sang ahli tersebut. Seorang
wali biasa berkata, "Jika saya ogah-ogahan dalam melakukan
disiplin diri, saya menatap Muhammad ibn Wasi, dan
memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali semangat
saya, paling tidak untuk seminggu." Jika seorang tidak bisa
menemukan teladan sikap cermat seperti itu di sekitarnya,
maka baik baginya utnuk mempelajari kehidupan para Wali. Ia
juga mesti mendorong jiwanya!
"Wahai jiwaku, kau anggap dirimu cerdas, dan marah jika
disebut tolol. Lalu sebetulnya kau ini apa? Kau persiapkan
pakaianmu untuk menutupi dirimu dari gigitan musim dingin,
tapi tidak kaupersiapkan diri untuk akhiratmu. Keadaanmu
seperti seseorang yang di tengah musim dingin berkata, 'Saya
tak akan mengenakan pakaian hangat, tetapi percaya pada
rahmat Tuhan untuk melindungi saya dari dingin.' Ia lupa
bahwa bersamaan dengan menciptakan dingin, Allah menunjuki
manusia cara membuat pakaian untuk melindungi diri darinya
dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian itu. Ingatlah
juga, wahai diri, bahwa hukumanmu di akhirat bukan karena
Allah marah pada ketidaktaatanmu, dan jangan berpikir:
"Bagaimana mungkin dosa saya mengganggu Allah?" Nafsumu
sendirilah yang akan menyalakan kobaran neraka dalam dirimu.
Makanan tidak sehat yang dimakan seseorang menimbulkan
penyakit pada tubuh orang itu, bukan karena dokter jengkel
kepadanya karena melanggar nasehat-nasehatnya.
"Celakalah 'kau, wahai diri, karena cintamu yang
berlebihan kepada dunia! Jika kau tidak percaya pada
surga dan neraka, bagaimana mungkin kau percaya pada mati
yang akan merenggut semua kenikmatan duniawi dirimu dan
menyebabkan kau menderita oleh perpisahan itu sebanding
dengan keterikatanmu pada kenikmatan duniawi itu. Kenapa
kau dicipta setelah dunia? Jika semuanya, dari timur
sampai barat, adalah milikmu dan menyembahmu, toh dalam
waktu singkat semuanya itu akan menjelma menjadi debu
bersama dirimu, dan pemusnahan akan menghapuskan namamu
sebagaimana raja-raja sebelummu. Tetapi sekarang,
mengingat bahwa kau hanyalah memiliki sebagian sangat
kecil dari dunia ini dan itu pun bagian yang kotor
daripadanya, akankah kau begitu gila untuk menukar
kebahagiaan abadi dengannya, permata yang mahal dengan
sebuah gelas pecah yang terbuat dari lempung dan
menjadikan dirimu bahan tertawaan orang-orang di
sekitarmu?"
(sebelum, sesudah)
|