|
BAB 5: TENTANG MUSIK DAN TARIAN SEBAGAI PEMBANTU
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah
batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh
musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang
lain, di samping dirinya. Harmoni-harmoni ini adalah gema
dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia
ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia
tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan
asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk
menerangkannya. Pengaruh musik dan tarian amat dalam,
menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati - cinta yang
bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat
ketuhanan dan ruhaniah.
Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli
teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah,
berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan
dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia
bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah. Mereka
berkata bahwa manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang
termasuk dalam spesiesnya. Jia ia "benar-benar" merasakan
sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik, kata
mereka hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka,
atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau
suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk. Musik dan tarian,
menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk,
dan karenanya haram dala mkegiatan keagamaan. Jika kita
tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang
diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu
berarti ketaatan dan ibadah. Kesalahan ini akan kita sanggah
pada bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat
ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa
musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya
tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi
yang tertidur. Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah
di dalam hati yan gdiperintahkan oleh syariat itu sama
sekali dibolehkan. Malah ikut serta dala mkegiatan-kegiatan
yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika
hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya
akan menambahnya; karena itu, terlarang baginya. Sementara
itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan
belaka, maka hukumnya mubah. Karena, sekadar kenyataan bahwa
musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram,
sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau
melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan.
Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan
sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadis shahih
yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:
Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi
menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau
melihatnya?" Aku jawab, "Ya". Lantas aku diangkatnya
dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku
menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih
dari sekali beilau berkata, "Belum cukupkah?"
Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke
rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan
berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba
Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia
berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi
menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu
Bakar, hari ini adalah hari raya."
Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan
tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur
di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang
menunjukkan mereka sama sekali halah. Misalnya nyanyian
orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang
merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan
demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik
yang membangkitkan semangat perang di dara para pendengarnya
dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang
kafir. Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan
kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam
kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya
musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan
karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam
al-Qur'an: "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu." Di
pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti
perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan,
hukumnya halal.
Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian
yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan
musik untuk membangkitkan cinta yan glebih besar kepada
Allah dalam diri mereka, dean dengannya mereka seringkali
mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani. Dalam keadaan
ini hati mereka menjadi sebersih perak yan gdibakar dalam
tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan
pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau
seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian
sadar akan hubungannya dengan dunia ruhani, sehingga mereka
kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali
kehilangan kesadaran inderawinya.
Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil
bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh
atau guru ruhani)nya. Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim
Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk
ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: "Jalani
puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka
memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian
engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh ikut."
Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum
seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi - meskipun
mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur
tasawwuf - mesti dilarang oleh syaikhnya untuk ambil bagian
dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan
lebih banyak mendatangkan mudharat daripada
mashlahatnya.
Orang-orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan
pengalaman-pengalaman ruhani para sufi, sebenarnya hanya
mengakui kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan mereka
saja. Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena
mempercayai hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara
pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan
menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta,
atau bagi seorang anak untuk mengerti kenikmatan
melaksanakan pemerintahan. Karenanya seorang bijak, meskipun
ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman tentang
keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya.
Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang
yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri
belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam
al-Qur'an: "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan
berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'."
Sedang mengenai puisi erotis yang dibaca pada
pertemuan-pertemuan para sufi - yang banyak orang merasa
keberatan terhadapnya - mesti kita ingat bahwa jika dalam
puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau
persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi - yang amat
cinta pada Allah - menggunakan ungkapan semacam itu untuk
menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia. Demikian
pula, "jalan-jalan buntuk yang gelap" dipakai untuk
menjelaskan kegelapan kekafiran; "kecerahan wajah" untuk
cahaya keimanan; dan "mabuk" sebagai ekstase (kegairanan)
sang sufi. Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi
berikut ini:
- Mungkin sudah kuatur anggur
- beribu takaran
- Tapi, sampai 'kau habis mereguknya
- tiada kegembiraan kaurasakan
Dengan itu penulisnya bermaksud untuk mengatakan bahwa
kenikmatan agama yang sejati taka akan bisa diraih lewat
perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik dan keinginan.
Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis
tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi
sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu
tak bermanfaat baginya. Jadi, orang-orang yang mencari-cari
kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut sangat
terpengaruh - bahkan sampai mencapai ekstase - oleh
bait-bait seperti itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak
toleran. Onta sekalipun kadang-kadang terpengaruh oleh
lagu-lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia
akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai akhirnya
tersungkur kelelahan.
Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair pada
sufi berada dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan
syair-syair yang didengarnya itu untuk Allah. Misalnya,
ketika ia dengar syair seperti "Engkau berubah dari
kecenderungan-semulamu", ia tak boleh menerapkannya untuk
Allah - yang tak boleh berubah - melainkan untuk dirinya dan
ragam suasana hatinya sendiri. Allah bagaikan mentari yang
selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya
terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan
Dia.
Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase
sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah.
Demikian halnya dengan Syaikh Abul-Hasan Nuri yang ketika
mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan
ekstase dan menerobos ke dalam ladang yan gpenuh dengan
batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari
sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak
lama sesudah itu. Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa
orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke
dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar
dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama
kali melihat bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia
telah tersatukan dengan cermin itu, atau bahwa warna-warni
merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah sifat-sifat
bawaan cermin itu.
Keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam,
sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni
cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan sebagainya.
Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai
seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat
al-Qur'an, tetapi juga syair yang merangsang. Sementara
orang keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga
al-Qur'an, pada kesempatan-kesempatan seperti itu. Tapi
mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat al-Qur'an dimaksudkan
untuk membangkitkan emosi - seperti misalnya, perintah bahwa
seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk
ibunya dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa
seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu
empat bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain.
Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang
bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat
seperti itu.
Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga
ayat-ayat al-Qur'an, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini
adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan
al-Qur'an, banyak di antaranya bahkan telah menghafalnya,
sehingga pengaruh pembacannya telah sedemikian ditumpulkan
oleh perulangan yang berkali-kali. Seseorang tidak bisa
selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang
bisa dilakukan dengan syair. Suatu kali ketika beberapa
orang Arab Badul mendengarkan al-Qur'an untuk pertama
kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar
berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu,
tetapi sekarang hati kami telah mengeras," berarti bahwa
al-Qur'an telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas
orang-orang yang akrab dengannya. Dengan alasan yang sama,
Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke
Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya.
"Karena," katanya, "saya khawatir, jika kalian menjadi
terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian
terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian."
Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik -
sepreti seruling dan genderang - secara tak berbobot dan
sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan
al-Qur'an tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan
hal-hal seperti ini. Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi
saw. memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang
gadis-penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai
mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau. Beliau
dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena
puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk
diperlakukan demikian. Akan timbul pula bahaya jika
ayat-ayat al-Qur'an dipergunakan secara khusus, sehingga
pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran
mereka sendiri, dan hal ini terlarang. Di pihak lain, tak
ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris
syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang
diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan
yang diberikan oleh penulisnya.
Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan
melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian.
Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni,
maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya.
Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok
disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan
belaka. Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang
mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa
wajib untuk memberikan penyaluran kepada
perasaan-perasannya. Diriwayatkan bahwa seorang murid Syaikh
Juaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan
para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik
dalam keadaan ekstase. Junaid berkata kepadanya: "Jika
kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku
lagi." Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk
menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya
sedemikian kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan
lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan
dan kemudian mati.
Kesimpulannya, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan
semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan
waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak
patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut serta di
dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat,
menundukkan kepala - sebagaimana dalam shalat - dan
memusatkan pikiran mereka kepada Allah. Setiap orang mesti
waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke
dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun
yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi
jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam
keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti
bangkit pula bersamanya, dan jika ada sorban seseorang yang
tanggal, maka orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.
Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak
diterima dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak
semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara
langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, shalat
Tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah
Umar. Nabi saw. bersabda: "Hiduplah dengan setiap orang
sesuai dengan kebiasaan dan wataknya." Oleh karena itu, kita
dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi
menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan
menyakitkan hati mereka. Memang benar bahwa para sahabat
tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi saw.
masuk, karena mereka tidak menyukai praktek ini; tetapi di
daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan seperti ini, dan
tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa tidak senang,
lebih baik berkompromi dengannya. Orang-orang Arab punya
kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan
Allah tahu mana yang paling baik.
(sebelum, sesudah)
|