Membuka Hijab (2/9)

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti didalam firman Allah:

"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (Qs Fushilat, 41:54)

"Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (Qs Al baqarah, 2: 115)

Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala sesuatu, dilanjutkan surat Albaqarah, 2: 115 ... dimana saja engkau menghadap disitu wajah-Ku berada! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.

Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah nanti di alam syurga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah, bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.

Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas masalah surat Fushilat, 41: 54, ... Allah meliputi segala sesuatu ... adalah ilmu atau kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat &endash;nya.

Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat- Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu, saya huznudzan mema-hami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan membatasi pemikiran para awam.

Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah:

"Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka, sembahlah "Aku" (Qs Thoha, 20: 14)

Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat ... sembahlah "Aku". Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada wajah Dzat yang maha mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh dihadapan sosok- Nya yang sangat dekat.

Ungkapan tentang tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat ... sifat menyertai nama ... nama menandai af'al. Hubungan&endash;hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.

Uraian diatas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan af'al tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kalimat ... Allah meliputi segala sesuatu (Qs Fushilat 54) adalah kesempurnaan ... dzat, sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa? Jelas akan bergantung kepada peribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai objek ibadah kita, maka kita telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang maha mutlak itu sendiri.

Semua selain Allah adalah hudust (baru), karena "adanya" sebagai akibat adanya sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis tergantung kepada adanya " madu".

Apakah Dzat itu, ... seperti apa?
Apakah ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya?

Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang tuhan. Untuk bisa memahami tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri! Karena itu kita punya pengertian tentang tuhan, "tuhan konsepsi saya dan tuhan konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar konsepsi saya". Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimna kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata- kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir), Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst ...

Kenyataan tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid 'laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu). Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha mutlak tidak bisa di jangkau oleh yang relatif.

Subject: [dzikrullah] Membuka Hijab 2/9
Date: Thu, 29 Jun 2000 09:30:44 -0000
From: "sangkan " <patrap1@yahoo.com>

(sebelum, sesudah)


"Ya Allah, Ajari Kami Untuk Selalu Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah" (Al Hadits)


Dengan menjadi anggota keluarga Majelis Dzikrullah memahami seluruh artikel: Perjalanan Menuju Ilahi, Syari'at, Etika Islam, Hakikat Manusia, Jiwa, Hati, Berguru Kepada Allah, Membuka Hijab, Patrap/Dzikir, tanggapan & artikel lainnya ... Insya Allah anda akan mampu melaksanakan peribadatan secara kusyu' dalam kehidupan sehari-hari.

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team