Kang Sejo Melihat Tuhan

oleh Mohammad Sobary

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

RENDRA, ADAWIAH DAN BIMA                               (1/2)
 
Ketika pertama  kali  suhu  Bangau  Putih,  Subur  Rahardja,
datang ke Bengkel Teater, pendekar itu heran, mengapa Rendra
mengajarkan anak buahnya latihan tenaga dalam
 
"Tenaga dalam  apa?"  Rendra  ganti  heran.  Ia  memang  tak
bermaksud  memberikan latihan tenaga dalam seperti itu. Tapi
di Bengkel Teater memang ada latihan  khusus  untuk  kembali
membangkitkan  naluri-naluri primitif yang cenderung melemah
atau mungkin sudah mati, dalam diri manusia modern.
 
Di tengah hujan lebat, pada malam hari yang gelap  misalnya,
segenap   anggota   Bengkel   Teater  harus  menempuh  jarak
tertentu. Sambil telanjang kaki (tak peduli  menabrak  batu,
duri  atau  beling) mereka tempuh kegelapan itu. Insting dan
segenap  naluri  untuk  bertahan  hidup   merupakan   "obor"
satu-satunya yang menerangi kegelapan itu.
 
Ini  salah  satu  contoh  olah  batin  anggota  Bengkel yang
diberikan oleh sang mahatma resi Rendra kepada anak  buahnya
di  luar  "studio".  Di  dalam  "studio" ada lagi corak laku
batin yang lain. Namanya nggrayang rogo. Maksudnya menyentuh
segenap  unsur jaringan raga kita dengan rasa. Bagian-bagian
dalam jaringan itu, sampai  pada  titik  yang  paling  halus
sekali   pun   (Rendra   fasih  seperti  dokter  menyebutkan
nama-namanya)  disentuh  dengan  rasa  untuk  suatu  program
revitalisasi.  Jaringan  yang loyo "diurut" dengan rasa. Dan
dengan itu bangkit segar bugar kembali.
 
Prinsipnya latihan ini buat  kepentingan  "fitness."  Pemain
drama  harus  tetap  prima.  Apalagi  Rendra  memang  sering
mementaskan lakon-lakon panjang  yang  mensyaratkan  kondisi
prima itu.
 
Ketika  seorang  teman  memberi  komentar  atas latihan itu,
dengan mengatakan bahwa mungkin lebih baik jika latihan  itu
tidak  tertuju  semata pada usaha penyembuhan dan penyehatan
badan, melainkan "penyembahan" pada  yang  Ilahiah,  artinya
segenap   unsur   dalam   jaringan   disentuh  dengan  rasa,
dibangunkan  agar  mereka  serentak   ikut   dzikir   memuji
kebesaran-Nya, Rendra setuju
 
"Itu lebih dahsyat," katanya
 
"Di  dunia tarekat, latihan seperti itu memang ada. Di bawah
pimpinan kiai, jamaah dibimbing berdzikir qolbi, mengerahkan
segenap  rasa  sehingga  praktis  semua  jaringan tubuh kita
bersujud, memuji dan bersyukur pada Allah.  Semua  berbisik,
mengakui  betapa  kecil  mereka  dan betapa mahabesar Allah.
Pada taraf pengerahan rasa yang prima,  yang  paling  mutlak
(utuh  berserah  diri).  Kita seperti telah menceburkan diri
dalam  lautan  cahaya  Ilahi.  Segenap  pori-pori  tertembus
cahaya cemerlang itu."
 
"Pengerahan  rasa  kita  memang  tertuju  bukan  pada  usaha
penyehatan dan  penyembuhan,  melainkan  pada  penyembahan,"
kata  seorang kiai. "Kalau tujuannya penyembuhan," kata kiai
itu lagi, "kita bisa saja  sembuh  berkat  kemurahan  Allah.
Tapi  kita  cuma  sembuh,  dan belum melakukan sembah. Kalau
tujuannya buat penyembahan, yakni buat berserah diri  secara
mutlak  kepada  Allah,  kita  mendapatkan dua-duanya: sembuh
dapat, sembah juga dapat."
 
Rendra telah lama mengamalkan laku  batin  seperti  itu.  Ia
sendiri  harus  mengulang  dan mengulang, sebagian alasannya
karena ada saja anak buahnya yang baru. Amalannya itu  tentu
saja  membawanya  pada maqom yang jauh lebih tinggi daripada
anak buahnya yang paling senior sekali pun.  Dengan  begitu,
jika  dilihat  dari  prosedur  dalam  dunia tarekat, mungkin
Rendra sudah sampai pada  maqom  tertinggi:  ia  sudah  bisa
langsung  mencebur  dan  larut,  menyatu dalam cahaya Ilahi.
Pencarian Rendra lebih jauh dalam Islam  (beraudensi  dengan
Tuhan  di  Tanah  Suci,  Mekah, ketika dua kali munggah kaji
itu) mungkin merupakan salah satu seri  lakon  "Manunggaling
Rendra  dengan  Gusti" dalam bentuk lain, selain lakon "Dewa
Ruci" yang kita kenal itu.
 
Laku batin yang ditempuh Rendra sebenarnya tidak sangat unik
dalam  dunia  sastra.  Warna mistisisme dalam sastra seperti
itu tidak khas milik Rendra. Artinya, dalam  berbagai  karya
sastra lain, gejala yang sama juga ditemukan.
 
Hal  yang  perlu  diungkap,  dirangkai dan dijelaskan hingga
kita memperoleh gambaran tentang  kehadiran  mistisisme  (di
Islam  disebut  sufisme)  dalam  sastra  ialah, getaran jiwa
macam  apa  yang  menggerakkan  para   sastrawan   (novelis,
penyair,  dramawan) merambah dunia batin yang tak kasat mata
dan menghadirkan corak pengalaman  batin  seperti  itu  pada
para pembacanya?
 
Dugaan  saya, (ini bisa saja salah), bahwa kecenderungan itu
merupakan sebuah  usaha  untuk  menukik  jauh  dalam  proses
pencarian  makna  hidup yang lebih hakiki. Kehidupan ini tak
sekadar  sebagaimana  nampaknya,  seperti  kata  Robert   K.
Merton.  Hakikat harus ditemukan melalui usaha terus-menerus
untuk menyelam dalam dan terbang tinggi, intens  dan  total;
barangkali  seperti  cerminan  hidup  Mas Danarto, Sutardji,
Chairil Anwar, atau Taufiq Ismail. Puncak perjalanan  rohani
seperti  itu  berupa penyerahan diri secara utuh, dan mutlak
kepada dzat Ilahi.
 
Penyair sufi wanita, Rabiah  Al  Adawiah  dari  Basrah  yang
kondang  itu, merupakan contoh mengenai totalitas penyerahan
seorang hamba pada Tuhannya, Allah yang Maha Murah.  Segenap
geraknya,  juga  tiap  tarikan  napasnya, merupakan gambaran
penyerahan itu. Ia telah tenggelam di dalam cinta Ilahi. Dan
seperti  layaknya  cinta  terhadap  sesuatu  yang lain, yang
bendawi sifatnya, cinta Ilahi ini pun membuat mabok. Tak ada
yang  terasa  getarnya,  tak  ada  yang  terdengar suaranya,
selain getar dan suara Ilahiah itu sendiri. Ia berkata dalam
sajaknya:
 
     Ketika kudengar suara azan
     Yang kudengar hanyalah panggilan kiamat
     Ketika kulihat salju
     Yang kuingat ialah bulu beterbangan
     Ketika kulihat belalang
     Yang teringat hanyalah hari perhitungan
 
Baginya, hidup tak lagi diwarnai pamrih atau kepentingan apa
pun  selain  buat penyerahan diri. Ia bahkan juga bersumpah,
bahwa jika ia beribadah semata karena takut siksaan  neraka,
lebih  baik ia dibakar di api neraka itu. Ia beribadah tidak
karena mengharap hadiah surga. Jika terbetik dalam  batinnya
itikad  seperti itu, ia bersumpah, lebih baik ia dicampakkan
jauh-jauh dari surga. Ibadah ya ibadah: ini  dilakukan  demi
ketulusan  cinta,  untuk  berserah, untuk menyatu, manunggal
dalam rasa dan karsa, dengan Allah.
 
Dalam  sastra  Jawa(?)  yang  mengambil  bentuk  pertunjukan
wayang  kita  temukan  lakon  perjalanan mistik seorang Bima
ketika oleh Pandita Durna, sang guru, ia  disuruh  menemukan
"banyu suci perwita sari" (air kehidupan), di dalam laut.
 
Seperti  disebutkan  oleh  Sri  Mulyono, lakon "Manunggaling
Bima dengan Dewa Ruci"  secara  simbolis  menjelaskan  bahwa
dalam  hidup,  orang  harus  punya  guru  (Bima berguru pada
Durna). Dan bahwa seorang  murid  harus  patuh,  taat  tanpa
bertanya  dan tanpa ragu-ragu dalam melaksanakan ajaran sang
guru. (Etika Timur nampaknya menganggap Guru itu pasti benar
dan   tak  boleh  dibantah.  Lain  dari  etika  dalam  dunia
pendidikan Barat).
 
Bima menghancurkan hutan Tebrasara dan menyingkirkan segenap
penghalang  di  jalan.  Bima juga meruwat Dewa Bayu dan Dewa
Indra yang muncul sebagai dua raksasa. Tindakan ini  dinilai
sebagai  sejenis  amal saleh. Kemudian Bima terjun ke tengah
samodra   (tanpa   ragu   melaksanakan    perintah    guru),
melambangkan  terjunnya  seorang  murid  dalam merambah ilmu
makrifat. Di dasar samodra itu  Bima  membunuh  seekor  naga
raksasa,    simbol   dari   kemampuan   Bima   menahan   dan
mengendalikan segenap nafsu  dan  hasrat  meraih  kenikmatan
duniawi yang ada dalam dirinya.
 
Orang  bisa  memberi  corak tafsir lain atas lakon Dewa Ruci
itu. Tapi apa pun kata orang, satu hal  nampak  pasti  bahwa
pertemuan  Bima  dengan  Dewa  Ruci  (bentuk  miniatur  dari
dirinya sendiri) itu,  melambangkan  bahwa  di  dalam  dunia
kesufian, sejauh-jauh orang merambah alam roh yang gaib itu,
ia sebenarnya tidak akan sampai ke  mana-mana.  Dengan  kata
lain,  seperti pernah dikatakan dalam salah satu tulisan Mas
Danarto, orang  bertualang  jauh  hanya  untuk  sampai  pada
dirinya  sendiri.  Ini  tentu  saja tidak begitu aneh karena
medan laga pergaulan kesufian  terbatas  dalam  jagat  kecil
kita  sendiri.  Perlombaan  dalam  hal  itu, jika ada, ialah
perlombaan melawan dirinya sendiri.
 
                                            (bersambung 2/2)
 
-----------------------
KANG SEJO MELIHAT TUHAN
Mohammad Sobary
GM 204 93.692
Cetakan ketiga: Juli 1995
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Jln. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270

Indeks Islam | Indeks Sufi | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team