DELAPAN
PERANG 1973
Serangan-serangan pada 1973 yang dilancarkan Mesir dan
Syria terhadap angkatan bersenjata Israel dikenal sebagai
Perang Oktober atau Ramadhan atau Perang Yom Kippur. Seperti
dalam Perang Atrisi sebelumnya, tujuan negara-negara Arab
adalah mendapatkan kembali wilayah yang diduduki oleh Israel
sejak Perang 1967. Negara-negara Arab itu gagal, namun
bencana politik yang disebabkan oleh perang tersebut
mengakibatkan terjadinya kehebohan dalam aktivitas
diplomatik oleh Amerika Serikat yang berakhir pada 1979
dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Israel
dan Mesir. Perang itu berlangsung dari 6 Oktober hingga 25
Oktober 1973.
OMONG KOSONG
"Sejak Perang [1967] tidak ada
perubahan besar yang terjadi dalam penolakan Pemerintahan
negara-negara Arab, yang diketuai oleh Mesir, untuk
mencapai suatu perjanjian perdamaian dengan kita."
--Golda Meir, perdana menteri Israel,
19721
FAKTA
Dalam waktu tiga bulan setelah menjadi presiden Mesir
pada musim gugur 1970 setelah kematian Gamal Abdel Nasser,
Anwar el-Sadat mengirim sebuah pesan rahasia yang mendesak
kepada Presiden Nixon: "Saya menginginkan perdamaian;
cepatlah bergerak."2
Gedung Putih mengabaikan pesan itu, terutama karena
penasihat keamanan nasional Henry Kissinger sepakat dengan
perkiraan Israel bahwa Sadat bukanlah seorang pemimpin yang
serius dan tidak akan lama bertahan di pucuk
kekuasaan.3
Sepanjang 1971 Sadat secara terbuka dan berulang kali
meminta penarikan mundur Israel, dengan memperingatkan bahwa
itu merupakan "tahun penentuari' --Israel akan mundur dengan
damai atau dipaksa untuk mundur. Israel secara
terang-terangan mencemooh ancaman-ancaman Sadat dan tanpa
segan-Began menyatakan: "Israel tidak akan mundur ke
perbatasan sebelum 5 Juni 1967."4
Pada 1972 Sadat mengambil langkah dramatis dengan mengusir
para penasihat Soviet dari Mesir. Meskipun Uni Soviet adalah
pendukung utama Mesir, Sadat berharap dapat memperoleh
bantuan Washington untuk mencapai perdamaian dengan Israel.
Namun Kissinger tidak dapat memahami keseriusan Sadat dan
menganggap isyaratnya sebagai tanda
ketidaksabaran.5
Pada awal 1973 Sadat memprakarsai pembicaraan rahasia antara
Kissinger dengan seorang pejabat tinggi Mesir untuk
mendapatkan solusi damai. Namun Kissinger masih meragukan
kemampuan-kemampuan Sadat dan tidak melakukan gerakan apa
pun hingga berlangsungnya pemilihan di Israel, yang
dijadwalkan berlangsung pada 30
Oktober.6
Akibat adanya jalan buntu yang panjang ini maka dikenal
periode tidak-perang/tidak-damai, seperti yang diinginkan
Israel. Sebagaimana dikemukakan Kissinger, salah satu tujuan
utama Perdana Menteri Golda Meir adalah "mengulur waktu,
sebab semakin lama tidak terjadi perubahan dalam status quo,
semakin mantap pemilikan Israel atas wilayah-wilayah
pendudukan."7
Kissinger cukup senang mendukung Israel untuk mencapai
tujuannya ini sebab dia percaya bahwa suatu jalan buntu akan
menimbulkan tekanan pada negara-negara Arab agar membuat
kelonggaran-kelonggaran.8
Analis William Quandt, yang bekerja sebagai ahli Timur
Tengah dalam pemerintahan Carter di Dewan Keamanan Nasional,
menyimpulkan: "Sepanjang tahun 1972, kebijaksanaan Timur
Tengah Amerika Serikat memberikan lebih sedikit dari sekadar
dukungan terbuka untuk Israel... Diperlukan sebuah Perang
Oktober [1973] untuk mengubah kebijaksanaan Amerika
Serikat."9
OMONG KOSONG
"Mesir tidak mempunyai pilihan
militer sama sekali." Yigal Allon, wakil perdana
menteri Israel, 197310
FAKTA
Kesombongan orang-orang Israel terhadap bangsa Arab telah
menyesatkan bukan hanya dunia melainkan juga diri mereka
sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian, Israel mengalami
salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika
is tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir-Syria
terhadap pasukan pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973.
Bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan
orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan
negara-negara Arab.
Menteri Pertahanan Moshe Dayan, kurang dari dua bulan
sebelum perang, berkata pada staf umum: "Keseimbangan
kekuatan terlalu menguntungkan kita sehingga hal itu akan
menetralkan pertimbangan-pertimbangan dan motif-motif Arab
untuk memperbarui permusuhan."11
Dan jenderal Ariel Sharon menyatakan bahwa "tidak ada
sasaran antara Baghdad dan Khartoum, termasuk Lybia, yang
tidak dapat direbut oleh angkatan bersenjata kita." Dia
meyakinkan orang-orang Israel bahwa "dengan
perbatasan-perbatasan kita sekarang ini, kita tidak
menghadapi masalah keamanan."12
Begitu besarnya rasa percaya diri Israel sehingga pada 15
Juli is memutuskan memotong tiga bulan masa wajib militer
yang berlangsung tiga tahun, sejak
tahun13
berikutnya.
Kegagalan intelijen Israel adalah akibat kepercayaan diri
yang berlebihan pada kekuatan sendiri serta sikapnya yang
meremehkan semangat Arab. Sejak akhir perang 1967, pasukan
Israel telah menduduki wilayah Arab, dan menolak untuk
menarik diri di bawah ketentuan Resolusi
PBB 242. Dalam suatu kunjungan ke Gedung Putih bersama
Presiden Nixon pada Maret 1973, Perdana Menteri Israel Golda
Meir berkata: "Kami belum pernah berada dalam keadaan yang
begitu baik." Meir berkata bahwa dia bersedia mengadakan
pembicaraan damai namun meninggalkan kesan kuat bahwa dia
tidak tergesa-gesa untuk melihat adanya suatu inisiatif
diplomatik. Ketika Meir kembali ke tanah air, dia berkata
"tidak ada dasar atau alasan untuk mengubah kebijaksanaan
kita."14
Menteri Pertahanan Moshe Dayan mendesak orang-orang
Israel agar menetap di wilayah-wilayah pendudukan sebab
tidak ada harapan akan adanya perundingan-perundingan
Arab-Israel dalam waktu "sepuluh hingga lima belas
tahun."15 Pada
waktu yang hampir bersamaan, sebuah poll menunjukkan bahwa
mayoritas orang Israel tidak bersedia mengembalikan sebagian
besar wilayah-wilayah pendudukan.16
Pada April 1973, Sadat secara terbuka memberi peringatan
dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan
semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan
keputusasaan... Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di
muka saya oleh Israel --dengan restu Amerika... Telah tiba
waktunya untuk sebuah kejutan... Segalanya di negeri ini
sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran
yang kini tak terelakkan lagi."17
Namun tidak ada pejabat tinggi di Israel atau Amerika
yang menaruh perhatian.
OMONG KOSONG
"Kami memenangkan Perang Yom
Kippur." ---Golda Meir, perdana menteri Israel,
197518
FAKTA
Israel "memenangkan" perang 1973 sebagaimana Lyndon
Johnson "memenangkan" Tet Offensive pada 1968 di Vietnam
yang membawa bencana. Negara-negara Arab mendapatkan kembali
sebagian besar kehormatan diri mereka dari hasil-hasil awal
mereka di medan perang. Ini benar terutama dalam kaitannya
dengan tindakan Mesir yang secara spektakuler melintasi
Terusan Suez, yang oleh hampir semua tokoh militer di
seluruh dunia diyakini tidak mungkin dapat dilakukan
mengingat kubu Israel yang demikian kuat sepanjang tepi
timur terusan.19
Tentu saja pasukan Israel berjaya, meski semudah yang
mereka katakan di kemudian hari. Namun besarnya perang dan
ujungnya yang menimbulkan konfrontasi langsung yang
menegangkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa
perhatian dunia beralih pada pertanyaan-pertanyaan mendasar
yang melandasi konflik Arab-Israel. Hampir dengan suara
bulat masyarakat dunia menyimpulkan bahwa Mesir dan Syria
berhak untuk merebut kembali tanah mereka yang hilang dan
bahwa Israel telah melakukan kesalahan karena mengabaikan
Resolusi PBB 242 dan menolak
untuk menyerahkan wilayah taklukannya pada 1967.
Kecaman-kecaman datang dari negara-negara di seluruh dunia,
termasuk negara-negara Eropa, Afrika, Asia-hampir semuanya
kecuali Amerika Serikat.20
Meskipun Israel dan para pendukungnya menyatakan bahwa
masyarakat dunia dimotivasi oleh kekhawatiran akan boikot
minyak Arab --atau, kalau tidak, oleh sentimen
anti-Semitisme yang "kuno" itu-- kenyataannya kebanyakan
pengamat yang objektif menganggap Israel lebih tertarik
untuk mempertahankan tanah-tanah Arab daripada
berdamai.21
Kini jelaslah bahwa negara-negara Arab terjun ke medan
perang dikarenakan kenekatannya untuk mendapatkan kembali
tanah mereka, bukan, sebagaimana dikatakan Israel, untuk
menghancurkan negara Yahudi. Yang sering dilupakan adalah
kenyataan bahwa perang 1973 berlangsung, seperti juga
Perang Atrisi sebelumnya, hanya di
tanah Arab yang diduduki. Tidak ada pertempuran yang terjadi
di dalam wilayah Israel.
Bahkan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin telah
mengakui: "Perang Yom Kippur tidak dilancarkan oleh Mesir
dan Syria untuk mengancam eksistensi Israel. Itu adalah
upaya habis-habisan dari kekuatan militer mereka untuk
mencapai suatu tujuan politik terbatas. Yang diinginkan
Sadat dengan melintasi terusan adalah mengubah realitas
politik dan, dengan cara demikian, memulai suatu proses
politik dari titik yang lebih menguntungkan baginya daripada
yang sekarang. Dalam hal ini, dia
berhasil."'22
Atau, dalam kata-kata Sadat, "Kami hanya tidak bisa
membiarkan situasi berlanjut seperti sebelum Oktober --tidak
ada perdamaian, tidak ada perang. Kedua adidaya membekukan
pertikaian Timur Tengah dan menyimpannya di dalam kulkas.
Orang-orang Amerika melihat kami sebagai mayat beku sejak
perang enam hari pada 1967. Ini lebih buruk daripada
perang."23
Catatan kaki:
1 Pernyataan kepada
Knesset, 26 Juli 1972; lihat Medzini, Israel's Foreign
Relations, 998.
2 Quandt, Decade of
Decisions, 133-34. Juga lihat Rubinstein, Red Star on
the Nile, 135.
3 Neff, Warriors
against Israel, 42.
4 Quandt, Decade of
Decisions, 136.
5 Kissinger, White
House Years, 1296.
6 Kissinger, Years of
Upheaval, 220.
7 Ibid., 221.
8 Kissinger, White
House Years, 354.
9 Quandt, Decade of
Decisions, 147, 164.
10 Dipublikasikan pada
4 Juni 1973; lihat Eban, An Autobiography, 489.
11 Dupuy, Elusive
Victory, 406.
12 Eban, An
Autobiography, 488.
13 Facts on File
1973, 654.
14 Neff, Warriors
against Israel, 107.
15 Facts on File
1973, 267.
16 Ibid., 346.
17 Newsweek, 9
April 1973.
18 Meir, My
Life, 420.
19 Neff, Warriors
Against Israel, 116.
20 O'Brien, The
Siege, 530-31.
21 Lihat, misalnya,
Henry Kissinger, "The Path to Peaceful Coexistence in the
Middle East;" Washington Post rubrik Outlook, 2
Agustus 1992. Kissinger melacak apa yang disebutnya setengah
abad "penangguhan" Israel dalam proses perdamaian.
22 Viorst, Sands of
Sorrow,120.
23 Rubinstein, Red
Star on the Nile, 283.
|