KEBANGKITAN ISLAM DAN PERSAMAAN HAK ANTAR WARGA NEGARA (1/4)

Oleh: Prof. Fahmi Huwaidi

 
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

KEBANGKITAN Islam merupakan wacana yang suram dalam pemikiran Islam kontemporer. Fenomena ini tidak sepenuhnya tampak jelas, tetapi sebaliknya tidak pula dapat dikatakan tidak jelas. Hal tersebut barangkali disebabkan oleh kesenjangan ijtihad-ijtihad fikih. Mungkin pula karena bayang-bayang sejarah sejak Perang Salib masih mendominasi pandangan sebagian kalangan hingga kini, atau karena aktivis-aktivis yang terlibat dalam persoalan ini pada umumnya adalah para da'i, bukan para politisi atau pakar hukum. Apalagi sebagian dari mereka menolak simbol-simbol fenomena Islam di zaman sekarang. Mereka adalah orang-orang yang berada pada tingkat menengah, bukan termasuk keluarga terkemuka atau terbelakang.

Sementara itu, problem metodologis yang esensial membutuhkan peneguhan sebelum memunculkan persoalan kebangkitan Islam, yakni masalah hak antar warga negara. Itulah sebabnya, struktur atau unsur-unsur kebangkitan juga membutuhkan batasan-batasan agar kita mengetahui pandangan-pandangan yang harus dipedomani dan ukuran yang harus digunakan untuk menilai pandangan tersebut. Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa seorang peneliti menghadapi berbagai kesulitan dalam menjelaskan fenomena pemikiran Islam secara objektif. Artinya, ketika kita mencoba mengungkapkan kondisi fenomena Islam dari perspektif persamaan hak antar warga negara, kita secara metodologis menghadapinya dengan dua pertanyaan mendasar, yakni "siapa" dan "apa."

Kebangkitan Islam: "Siapa" dan "Apa"?

Meski struktur fenomena keislaman atau unsur-unsurnya bukan topik studi ini, namun pembatasan struktur tersebut akan membantu dalam perumusan pembahasan. Begitu pula sumber yang dirujuk untuk keperluan studi ini dan merumuskan usulan-usulan adalah sangat penting, apalagi dalam wacana yang mengandung variasi pemikiran yang amat beragam mengenai kebangkitan Islam.

Variasi pemecahan permasalahan kebangkitan Islam selalu mempersoalkan berbagai kelompok atau sempalannya tanpa sikap kritis terhadap fakta bahwa tidak semua kelompok ini menempati posisi signifikan dalam kebangkitan. Anggapan bahwa semua kelompok itu signifikan mungkin disebabkan oleh rumusan yang kurang tepat mengenai kebangkitan, yakni mengasumsikan kebangkitan sebagai kemampuan suatu kelompok untuk mengadakan pergerakan.

Penulis akan mengungkapkan secara singkat mengenai konsep dasar dari masalah yang kita perbincangkan. Menurut penulis, ada empat kategori kelompok dalam Islam.

Pertama, kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh al-Ikhwan al-Muslimun (Mesir), al-Jihad wa at-Tahrir al-Islami, al-Jabhah al-Islamiyah al-Qaumiyah (Sudan), al-Ittijah al-Islami (Tunisia), dan al-Hizbut at-Tahrir al-Islami. Gerakan sejenis yang terdapat di luar Dunia Arab misalnya eksperimen di Iran (oleh kaum muslim Syi'i) dan program Jami'at Islami di India.

Kedua, kelompok-kelompok terorganisasi, tetapi tidak berpolitik. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh mayoritas kaum sufi dan Jamaah Tablig di India. Kelompok-kelompok ini mengalami perkembangan kegiatan hingga mencapai Dunia Arab pada tahun-tahun terakhir ini. Selain itu, para pengikut kelompok salaf juga termasuk dalam kategori ini. Mereka menekankan tauhid dan memerangi bid'ah. Dan yang terakhir adalah para pendukung sunnah Nabi saw. yang banyak bermunculan di Mesir.

Ketiga, kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi, tetapi memainkan peran aktif dalam membentuk intelektualitas Islam dewasa ini. Misalnya: Syekh Ali ath-Thantawi, Syekh M. Mutawalli asy-Sya'rawi, Syekh Abdul Hamid Kisyik, Syekh Ahmad al-Makhlawi, dan Syekh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Guru Besar Fakultas Syari'ah di Damaskus yang sebagian karyanya tersebar di kalangan agamawan Mesir, meskipun tokoh ini kurang dikenal masyarakat umum.

Keempat, kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang dalam proses pertumbuhan keimanan. Akhir-akhir ini mereka memenuhi masjid-masjid serta melaksanakan ibadah 'umrah dan haji, sedangkan kaum wanitanya mengenakan jilbab secara sukarela. Lapisan ini berkembang cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan. Akan tetapi, mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman Islam. Memang harus diakui, banyak jalan menuju keridhaan Allah SWT.

Penulis memandang bahwa kelompok yang disebut terakhir merupakan fondasi real bagi kebangkitan Islam yang tidak direkayasa, apalagi mereka merupakan sumber pijakan bagi kelompok-kelompok lain, baik yang moderat dan ekstrem, maupun yang a-politis.

Berdasarkan konsep ini, maka tidak cukup mencari solusi ideal dan komprehensif mengenai masalah persamaan hak antar warga negara hanya dengan menganalisis berbagai kelompok dan aliran kebangkitan Islam. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah memahami psikomassa dan pengaruhnya.

Hal yang terkait dengan pertanyaan "apa" yang disodorkan di awal tulisan adalah kelompok yang pernah bereaksi disebabkan kesenjangan pemikiran dengan aliran-aliran atau kelompok-kelompok lain. Bukti paling jelas dari bentuk-bentuk yang terorganisasi itu adalah al-Ikhwan al-Muslimun, kelompok Islam yang terbesar pada zaman sekarang dengan catatan perjalanannya yang dinamis. Penulis pikir, permasalahan penting ini membutuhkan pembahasan yang lebih mendetil, apalagi persoalan ini akan merangsang dialog terhadapnya.

Hasan al-Banna: Persamaan Hak Penuh

Dalam berbagai tulisan Hasan al-Banna, dapat ditarik pandangan yang jelas tentang persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim. Tokoh kharismatis pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini membahasnya dalam tulisan Nahwan Nuur (Menuju Cahaya) yang pada dasarnya ditujukan pada penguasa dan pejabat tinggi Mesir selama kurang lebih setengah abad. Karya itu berjudul Al-Islam Yahmiil 'Aqalliyyaati wa Yashuunu Huqunqal Ajaanib (Islam Menjaga Kelompok Minoritas dan Memelihara Hak-hak Orang Lain). Dalam buku itu dinyatakan, "Islam menyucikan persatuan manusia secara universal... kemudian mensucikan persatuan agama secara universal pula ketika terjadi fanatisme. Islam mengharuskan para pemeluknya untuk mengimani seluruh agama samawi." Kemudian Hasan al-Banna menegaskan, "Inilah Islam yang dibangun di atas sikap moderat dan kesadaran tinggi, tidak mungkin diikuti oleh pemecah belah persatuan yang terpadu ini. Namun sebaliknya, kesucian agama yang mampu mempersatukan manusia ini terkadang dijadikan alat legitimasi kepentingan tertentu".1

Dalam tulisannya yang bertajuk Musykilaatunaa fi Dhau'in-Nizhaam il-Islaami (Problematika Kita dalam Perspektif Sistem Islam), Hasan al-Banna menyatakan dengan jelas, "Minoritas nonmuslim yang menjadi warga negara ini diajari kesempurnaan ilmu tentang bagaimana mencapai ketenangan hidup, keamanan, keadilan, dan persamaan hak secara penuh dalam menjalankan seluruh ajaran agamanya."

Dengan nada menyatukan, Hasan al-Banna menambahkan, "Sejarah panjang yang membentangkan hubungan baik dan mulia antara warga negara muslim dan nonmuslim, cukuplah bagi kita sebagai bekal. Kita perlu mencatat prestasi para warga negara yang mulia itu karena mereka menjunjung tinggi makna-makna ini pada setiap kesempatan, menjadikan Islam sebagai makna nasionalismenya, meskipun hukum-hukum dan ajaran-ajarannya tidak berasal dari akidah mereka (akidah non-Islam, --peny.) sendiri."2

Dalam rumusannya mengenai prinsip-prinsip dasar sistem sosial islami sebagaimana dipedomani al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna menawarkan sebelas prinsip dalam tulisannya Bainal-Amsi wal-Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini). Salah satu prinsip tersebut adalah "Mengumandangkan persaudaraan antar manusia, kebangkitan pria dan wanita secara bersama, solidaritas dan persamaan hak antara pria dan wanita, serta merumuskan tugas masing-masing secara terinci dan mendetail."3

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan ini adalah bahwa tawaran Hasan al-Banna tersebut lahir sebagai respon terhadap kondisi umum di Mesir saat itu. Pemimpin umat ini berusaha keras merumuskan instrumen-instrumen untuk melepaskan diri dari kondisi sulit tersebut. Itulah sebabnya, ia menamakan prinsip-prinsip tersebut al-Munjiyaatul-'Asyr (Sepuluh Hal yang Menyelamatkan). Beberapa prinsip tersebut dapat penulis sebutkan, misalnya: persatuan, kebebasan, menjalankan syariat Islam, dan menegakkan hukum-hukum pidana masing-masing pada urutan pertama, kedua, keenam, dan kedelapan.4

Konsep yang diajukan al-Ikhwan al-Muslimun ini --yang kemudian dijadikan rujukan oleh banyak organisasi sesudahnya-- mengalami dinamika aktualisasinya dari waktu ke waktu di bawah panduan "Sang Mursyid" (Hasan al-Banna). Organisasi dakwah ini berupaya memperjelas dinamika perjalanannya secara terperinci melalui dialog terbatas antara Hasan al-Banna dengan sahabat-sahabat terdekatnya.5 Di bawah ini akan dipaparkan esensi dialog tersebut.

Pertama, Hasan al-Banna sejak semula telah berusaha keras menarik kekuatan orang-orang Qibthi Mesir ke dalam barisannya. Keinginannya untuk bekerja sama dengan mereka didasarkan atas persepsi bahwa masing-masing golongan merupakan bagian dari umat dan mempunyai hak untuk dihormati dan dicintai. Muhammad Hamid Abu Naser menceritakan bahwa Hasan al-Banna pernah memintanya untuk mengumumkan kepada warga Ashiuth --salah satu wilayah utama Qibthi Mesir-- bahwa tujuan dakwah Hasan al-Banna adalah membangun masyarakat beragama. Masyarakat diarahkan untuk berpegang teguh pada agama, termasuk orang-orang Kristen. Keagungan dakwah inilah yang mendorong Mathran Qana --pejabat sesudah Muhammad Hamid Abu Naser-- untuk mendukung Hasan al-Banna dan misi dakwahnya secara terbuka.

Kedua, menjalin ikatan dengan orang yang mempunyai hubungan personal dengan simbol-simbol Qibthiyah. Bahkan Hasan al-Banna pernah mengundang salah seorang rekannya, Luis Fanus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat wilayah Abnub, untuk berbincang-bincang bersamanya dan jamaah al-Ikhwan al-Muslimun dalam forum mingguan hari Selasa. Fanus sering menyertai Hasan al-Banna dalam perjalan mengunjungi kota-kota di Mesir.

Ketiga, Hasan al-Banna bekerja sama dengan Luis Fanus dan tokoh-tokoh Qibthi lainnya seperti Wahid Dous dan Karim Tsabit dalam organisasi politik dari seksi Penyuluh Anggota.

Keempat, ketika pemerintahan Husain Siri Pasya pindah dari Kairo ke Qana --pada waktu itu Hasan al-Banna masih menjadi guru-- maka orang yang segera meminta tanggapan dalam parlemen mengenai sebab-sebab perpindahan tersebut adalah Taufiq Dous Pasya, seorang Qibthi Mesir. Selain Ightil (yang ikut mengantarkan jenazah Hasan al-Banna ke pemakaman), Hasan al-Banna juga menjalin hubungan dengan seorang Qibthi lainnya, Makram Abid Pasya.

Kelima, sebagian orang Qibthi ikut memberikan sumbangan kepada jamaah al-Ikhwan al-Muslimun dalam rangka membeli wilayah baru untuk para jamaah di Halabiyah Jadidah (Halabi Baru). Setelah pindah, al-Ikhwan al-Muslimun menerbitkan buku kecil yang mengungkapkan rasa terima kasih atas partisipasi orang-orang Qibthi.

Keenam, Hasan al-Banna mengatakan bahwa sebagian tokoh Qibthi mengajukan diri kepadanya untuk bergabung bersama al-Ikhwan al-Muslimun, karena menurut mereka organisasi ini merupakan "saudara orang-orang Mesir." Salah seorang tokoh Qibthi juga pernah menghadiri seminar yang digelar oleh al-Ikhwan al-Muslimun di Thantha.

Ketujuh, Ahmad Adil Kamal, penulis buku an-Nuqath Fauqa-Huruuf (Titik di atas Huruf) menjelaskan bahwa ketika Hasan al-Banna mencalonkan dirinya dalam pemilihan parlemen di Mesir (1944) dari daerah Ismailiyah, maka yang menjadi wakilnya di kota Thur di tepi Sinai adalah orang Kristen Yunani yang namanya dimesirkan menjadi Ulu Kharisto. Ahmad Adil mengatakan bahwa sikap Hasan al-Banna itu diambil berdasarkan pertimbangan praktis. Ketika Hasan al-Banna berhadapan dengan kekuatan politik kelompok sekular, mereka berusaha menjadikannya terbaratkan (westernized) dan menolak keberadaannya (hlm. 91).

Setelah wafatnya Hasan al-Banna, terjadilah kesenjangan ijtihad di tubuh al-Ikhwan al-Muslimun. Kelompok ini terbagi atas pihak yang pro dan kontra dengan jalan (metode) yang lama. Dua kecenderungan tersebut dapat dicermati pada pemikiran beberapa tokoh al-Ikhwan al-Muslimun yang mewakili dua kecenderungan yang berbeda ini.

Pertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali, At-Ta'ashshub wat-Tasaamuh bainal-Masihiyyah wal-Islam (Fanatisme dan Toleransi di antara Kristen dan Islam)6 dan buku Syekh Yusuf Qardhawi, Ghairul-Muslimiin fil-Mujtama'il-Islaami (Yang Bukan Kaum Muslimin dalam Masyarakat Islam).7 Kedua buku ini merepresentasikan kontinuitas garis pemikiran Hasan al-Banna mengenai kedudukan kaum nonmuslim.

Kedua, pemikiran yang menyimpang dari jalan pertama yang diwakili oleh Sayyid Quthub dengan bukunya Fizdilaal il-Qur'an (Di Bawah Lindungan Al-Qur'an)8 dan Syekh Sa'id Hawwa dengan bukunya Al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun (Pintu Masuk Dakwah al-Ikhwan al-Muslimun).9

Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi: di Atas Jejak Hasan al-Banna

Pada intinya, keempat buku tersebut berisi pandangan-pandangan berikut.

Pertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali --yang mengalami cetak ulang untuk ketiga kali pada 1965-- tidak memberi penekanan pada hak-hak nonmuslim, melainkan dari perspektif sejarahnya saja. Akan tetapi, ia mempunyai arti penting dalam menjawab tuduhan-tuduhan sebagian kalangan mengenai sikap Islam terhadap nonmuslim (hlm. 4).

Pada permulaan bukunya, ia menegaskan bahwa Kitabullah mewajibkan kita untuk merealisasikan keadilan, menyadarkan semua orang tentang kondisi umum yang dihadapi, dan tidak menghiraukan persahabatan atau permusuhan dengan si kaya atau si miskin (hlm. 33). Syekh Muhammad al-Ghazali mendasarkan pandangan itu pada ayat di bawah ini.

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri sendiri afau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (an-Nisa': 135)

Syekh Muhammad al-Ghazali juga mengupas tiga ayat yang sering menjadi perdebatan berkepanjangan, yaitu:

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir, menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin." (Ali Imran: 28)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)..." (al-Ma'idah: 51).

"Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak... " (at-Taubah: 8).

Syekh Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa ia menguatkan argumennya dengan ayat-ayat tersebut karena adanya anggapan di kalangan masyarakat muslim mengenai perlunya pemutusan hubungan dengan nonmuslim serta membenci mereka. Anggapan tersebut muncul karena kekeliruan memahami konteks ayat. Padahal ayat-ayat tersebut turun dalam konteks orang-orang nonmuslim yang berbuat sewenang-wenang terhadap Islam dan memerangi kaum muslimin. Memang, dalam kondisi semacam ini, kaum muslimin diharuskan menjauhi orang-orang nonmuslim tersebut dan tidak boleh mengangkat mereka sebagai pemimpin umat (hlm. 40).

Bagi Syekh Muhammad al-Ghazali, ayat-ayat tersebut melarang kaum muslimin memilih pemimpin nonmuslim yang zalim, yang sengaja menghinakan Islam, mengotori sejarahnya, dan menjatuhkan pemeluknya (hlm. 44). Ulama terpandang ini juga mengingatkan bahwa hubungan sosial muslim dan nonmuslim telah dilakukan sejak periode awal berdasarkan landasan otentik ketika diskusi tentang prinsip ini belum dijadikan topik umum. Tidak terdapat ketegangan yang berarti dalam realisasi hubungan ini dari masa ke masa, kecuali pada momen-momen tertentu pada masa belakangan. Landasan ini didasarkan atas pandangan "Bagi mereka apa (kebaikan) yang ada pada kami dan bagi mereka apa (keburukan) yang menimpa diri kami" (hlm. 48).

Syekh Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa Islam memandang kelompok-kelompok yang mengikat perjanjian bersama orang-orang Islam, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, secara politis dan kebangsaan sebagai "orang-orang muslim" juga. Karenanya, mereka mempunyai hak dan kewajiban meskipun secara individual mereka tetap berpegang pada akidah, ibadah, dan kondisi spesifiknya. Terlihat bahwa Islam membangun sistem sosial berdasarkan prinsip saling membahu dan bekerja sama. Islam tidak berpandangan sempit melalui pelarangan terhadap kaumnya untuk berhubungan dengan Ahli Kitab atau sebaliknya (hlm. 55). Dengan pendekatan ini, menurut penulis, Syekh Muhammad al-Ghazali telah berhasil merumuskan sikap yang jelas mengenai pemberian hak dan penghormatan terhadap nonmuslim.

Kedua, keberadaan buku Syekh Yusuf Qardhawi melengkapi buku yang pertama, meskipun buku ini diterbitkan pada sekitar dua puluh tahun setelah penerbitan buku Syekh Muhammad al-Ghazali. Karya Syekh Yusuf Qardhawi ini lebih memberi kejelasan mengenai rumusan hak-hak dan kewajiban nonmuslim.

Dalam pendahuluan bukunya, Syekh Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa prinsip pertama hubungan sosial ahlu dzimmah (warga nonmuslim) dalam wilayah Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak-hak seperti orang-orang Islam. Demikian pula mereka dibebani kewajiban-kewajiban seperti orang-orang Islam kecuali dalam hal-hal tertentu (hlm. 9).

Syekh Yusuf Qardhawi mencatat beberapa hak tersebut, yaitu:

  • Memperoleh perlindungan dari musuh, baik dari luar maupun dari dalam.
  • Memperoleh perlindungan jiwa, raga, harta, dan kehormatan.
  • Mendapatkan keamanan dalam kondisi lemah, tua, dan kemiskinan.
  • Kebebasan beragama.
  • Kebebasan bekerja dan berusaha.

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team