| |
|
Dalam topik ini, Syekh Yusuf Qardhawi menekankan bahwa kalangan nonmuslim memperoleh kebebasan bekerja dan berusaha dengan cara menjalin hubungan dengan kalangan lain, memberi mereka peluang untuk memilih profesi secara bebas, dan mempersilakan mereka menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Jadi, kesempatan-kesempatan yang diberikan kepada warga nonmuslim sama dengan yang diberikan kepada umat Islam (hlm: 21). Bahkan ulama besar ini menegaskan pula bahwa ahlu dzimmah mempunyai hak dalam mengurus pemerintahan sebagaimana kaum muslimin, kecuali hal-hal yang melibatkan mayoritas kelompok Islam, seperti kepemimpinan negara, kepala angkatan bersenjata (sebab posisi ini berkaitan dengan jihad yang merupakan puncak ibadah dalam pandangan Islam), dan peradilan untuk umat Islam. Yang disebut terakhir ini tidak boleh dijalani oleh nonmuslim, sebab hukum harus sejalan dengan syariat Islam, sehingga tidak mungkin nonmuslim diminta menghukumi sesuatu dengan hukum Islam yang tidak mereka imani (hlm. 23). Syekh Yusuf Qardhawi mensarikan kewajiban-kewajiban ahlu dzimmah menjadi tiga butir, yaitu: membayar upeti dan pajak, berkomitmen terhadap hukum undang-undang Islam dalam hubungan kebendaan dan lain-lain, serta menghormati simbol-simbol dan perasaan kaum muslimin. Terdapat kemungkinan untuk membebani pajak lebih besar kepada ahlu dzimmah bila mereka menguasai sejumlah besar sumber-sumber ekonomi di berbagai sektor. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan hal ini pada penafsiran surat at-Taubah yang mengandung ungkapan: "Ésehingga mereka (mau) memberikan pajak dari tangan (mereka), sedang mereka adalah kecil." Menurut pendapat sebagian ulama, penggunaan kata "kecil" bukan dimaksudkan untuk merendahkan ahlu dzimmah, melainkan mempunyai konotasi "Menyerah dan meletakkan senjata serta tunduk pada hukum negara Islam" (hlm. 32). Coba diperhatikan bahwa konteks yang dimaksud ayat ini adalah dalam kondisi perang. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan pula pandangannya pada pemikiran bahwa pajak besar itu dibayarkan sebagai ganti pembiayaan angkatan bersenjata yang hanya diwajibkan bagi kaum muslimin. Dengan pembayaran pajak itu, ahlu dzimmah terbebas dari tugas-tugas kemiliteran (hlm. 34). Syekh Yusuf Qardhawi mengingatkan bahwa kaum muslimin dikenai pengeluaran yang justru lebih besar untuk pembiayaan zakat. Dalam kitab-kitab fikih mazhab Maliki tertera ketentuan bahwa diundangkannya hukum pajak bagi ahlu dzimmah sebagai imbangan hukum zakat bagi kaum muslimin. Ulama produktif ini menunjukkan dalam kitabnya Fiqhuz Zakat bahwa diperbolehkan mengambil pajak dari ahlu dzimmah agar sama dengan orang-orang Islam dalam kewajiban mengeluarkan harta, meskipun pajak tersebut tidak disebut zakat. Pajak ini juga tidak harus disebut jizyah (upeti) bila ahlu dzimmi keberatan dengan istilah tersebut. Umar bin Khattab r.a. pernah memungut pajak dari orang-orang Kristen Bani Taghlab dengan istilah shadaqah, bukan jizyah, untuk menggembirakan mereka. Yang perlu ditekankan adalah esensinya, bukan nama atau istilah (hlm. 56). Membahas ayat mengenai pengangkatan pemimpin dari kalangan nonmuslim oleh kaum muslimin yang pernah ditafsirkan Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa larangan Al-Qur'an itu diberlakukan bila di satu sisi umat Islam siap melakukannya dan di sisi lain bila diketahui kaum nonmuslim akan menyakiti kaum muslimin serta jelas-jelas memusuhi Allah dan Rasul-Nya (hlm. 67). Ia mengatakan bahwa jika Islam telah memperbolehkan kaum muslimin menikahi Ahli Kitab, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak ada persoalan dalam hal kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim (hlm. 68). Pemikiran Sayyid Quthub: Pemisahan TotalBuku-buku Sayyid Quthub dan Syekh Sa'id Hawwa mencoba memandang persoalan hubungan sosial muslim-nonmuslim dari perspektif dan logika yang berbeda dengan dua penulis yang telah dibahas sebelumnya. Sayyid Quthub merumuskan pandangan berdasarkan komentarnya terhadap ayat berikut.
Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas sebagai berikut. "Sesungguhnya ayat ini dan berikutnya merupakan bentuk umum, baik redaksi maupun arti yang dikehendaki. Maksudnya untuk seluruh Ahli Kitab di semenanjung Arab dan wilayah lain di dunia. Hal tersebut merupakan hukum-hukum final, meliputi pertimbangan-pertimbangan esensial mengenai kaidah-kaidah yang melandasi hubungan-hubungan sebelumnya antara masyarakat Islam dan Ahli Kitab, khususnya orang-orang Kristen ... Pertimbangan yang amat jelas mengenai hukum-hukum baru ini adalah perintah untuk memerangi Ahli Kitab yang menyeleweng dari agama Allah sampai mereka mengeluarkan pajak kepala (jizyah) dengan tunduk dan patuh É Perjanjian dan seluruh hubungan dengan mereka tidak dapat dilaksanakan kecuali didasarkan pada prinsip ini. Dinyatakan bahwa ahlu dzimmah memiliki hak-hak dalam masa perjanjian serta dilaksanakannya perdamaian antara mereka dengan orang-orang Islam. Bila mereka hendak memeluk Islam secara teologis, maka peluklah. Dengan demikian mereka termasuk kelompok kaum muslimin." Sayyid Quthub menambahkan, "Mereka tidak benci untuk memeluk Islam secara teologis sebab prinsip Islam dengan tegas menyatakan "tidak ada paksaan dalam beragama." Akan tetapi, mereka tidak meninggalkan agamanya kecuali jika mereka mengeluarkan pajak kepala dan tegak di antara mereka agama masyarakat muslim yang menjanjikan prinsip ini."10 Mengomentari ayat tentang pengangkatan pemimpin ("Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali..."), Sayyid Quthub tidak menyetujui tesis yang menyatakan bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin adalah orang nonmuslim yang sewenang-wenang terhadap Islam dan golongan yang memerangi Islam saja. Ia mengajukan tesisnya bahwa yang dilarang diangkat sebagai pemimpin oleh kaum muslimin adalah seluruh pemeluk Yahudi dan Nasrani di mana saja dan kapan saja. "Di belahan bumi mana pun sampai Hari Kiamat kelak," tegas pemikir-ideolog ini. Ia menggarisbawahi, "Sesungguhnya Al-Qur'an mendidik individu muslim agar mereka murni memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta akidah dan kelompok Islam. Selain itu, Kitab Suci terakhir dan paripurna ini juga mengharuskan pemisahan diri secara total dari barisan yang tidak sejalan dengan prinsip ini, serta seluruh barisan yang tidak menegakkan panji-panji Allah, tidak mengikuti kepemimpinan Rasulullah saw., dan tidak bergabung dalam kelompok yang mewakili hizbullah (tentara Allah).11 Ia menegaskan bahwa loyalitas yang dilarang adalah saling menolong dan memadu janji setia dengan Yahudi dan Nasrani. "Mereka berkedok sebagai orang-orang Islam dalam perkaranya, lalu mereka beranggapan bahwa sikap seperti itu diperbolehkan bagi mereka berdasarkan apa yang terjadi dari kompleksitas penanganan hal-hal yang baik bagi umum," papar Sayyid Quthub. Ia berkomentar, "Orang Islam dituntut bertoleransi terhadap Ahlu Kitab, tetapi dilarang memberikan loyalitas kepada mereka dalam konotasi saling menolong dan memadu janji setia bersama mereka ... Tidak layak bagi seorang muslim untuk mengganjal muslim lain yang berupaya memisahkan hubungan secara total dengan semua orang yang memilih jalan selain Islam." Sayyid Quthub mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan antara seruan Islam agar pemeluknya bersikap toleran dalam bermuamalah dengan Ahli Kitab serta bersikap baik kepada mereka dalam masyarakat Islam yang hidup damai bersama ahlu dzimmah, dengan loyalitas yang tidak boleh dilakukan seorang muslim kecuali kepada Allah, Rasul, dan kelompok Islam. Ia tidak memberikan batasan mengenai bagaimana gambaran masyarakat Islam yang bertoleransi dan memberikan hak-hak tertentu kepada Ahli Kitab, tetapi di sisi lain memisahkan diri dari mereka. Bila dilihat dari pengertian yang dimaksud oleh ungkapan-ungkapannya, hampir tidak ada ruang bagi kerja sama dan saling memahami antara kaum muslimin dan Ahli Kitab, baik yang tunduk ataupun yang oposan, meskipun mereka tetap konsisten membayar pajak kepala. Berdasarkan pernyataan Sayyid Quthub, pembaca dapat melihat betapa berbedanya pemikiran tokoh ini dengan Hasan al-Banna dan kontinuitas pemikirannya yang dielaborasi oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dan Syekh Yusuf Qardhawi. Persoalannya adalah jika pembicaraan tentang persamaan hak, kerja sama, atau bahkan kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim tidak mengacu pada pemikiran Sayyid Quthub, maka pelaksanaan hubungan sosial muslim-nonmuslim akan dibayangi keragu-raguan besar. Ini karena tidak ada tempat bagi hubungan positif apapun antara muslim dan nonmuslim dalam konsep "pemisahan total"-nya Sayyid Quthub. Kesimpulan penulis tampaknya dikuatkan oleh pernyataan Sayyid Quthub sendiri. "Bentuk pemisahan ini pada dasarnya tidaklah final, tidak pula benar-benar kaku antara kaum muslimin di Madinah dan sebagian Ahli Kitab... Pada waktu itu masih terdapat hubungan loyalitas dan janji setia, hubungan ekonomi, kerja sama, hubungan tetangga, dan persahabatan... Akan tetapi, hubungan tersebut akhirnya membuka peluang bagi Yahudi untuk memainkan strategi liciknya terhadap Islam dan pemeluknya... Maka turunlah ayat untuk meneguhkan kesadaran di kalangan kaum muslimin dalam masalah ini guna mewujudkan pendekatan baru Al-Qur'an tentang realitas kehidupan dan menumbuhkan dalam hati umat Islam kemauan untuk berpisah secara total dengan kaum yang tidak berafiliasi dengan kelompok Islam (hlm. 910). Setelah menguraikan pandangan Sayyid Quthub, marilah kita simak pemikiran Syekh Sa'id Hawwa tentang pandangan Islam mengenai kaum nonmuslim. Ia menggagas pemikiran tersebut dalam bukunya, al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun, sebagai berikut. "Perbincangan para fuqaha mengenai keberadaan nonmuslim berbelit-belit antara yang terlalu mempersulit dan terlampau mempermudah. Di satu sisi, mereka melarang Ahlu dzimmah bekerja dalam tugas-tugas kenegaraan, namun di sisi lain sebagian fuqaha membolehkan Ahlu dzimmah berpartisipasi hingga level kementerian. Secara prinsipil, kita memposisikan diri untuk bekerja sama dengan nonmuslim sejalan dengan pernyataan minimal para fuqaha. Berdasarkan pandangan itu, kita mengajak nonmuslim di berbagai belahan bumi untuk mengadakan transaksi kerja, dan mereka harus mengakui bahwa penguasaan berada pada Islam dan kaum muslimin. Mereka mempunyai hak dalam kementerian negara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan jumlah mereka. Mereka berhak mendirikan sekolah-sekolah khusus dan diperbolehkan memasuki sekolah-sekolah umum. Mereka mempunyai hak dalam peradilan dan boleh menggunakan jasa peradilan sesuai hukum yang diyakini. Hak-hak tanggungan sosial mereka dilindungi dan kegiatan keagamaannya dijaga." Syekh Sa'id Hawwa menambahkan, "Mengenai pajak kepala, mereka berhak memilih antara membayarnya dan dengan itu terbebas dari tugas pengabdian secara paksa atau terlibat dalam tugas tersebut." Ia juga mengatakan, "Ungkapan yang digunakan selama berabad-abad terhadap Ahlu Dzimmah adalah bagi mereka kebaikan yang ada pada kita dan bagi mereka pula keburukan yang menimpa kita bila mereka tetap konsisten bersama kita. Hal itulah yang meneguhkan hubungan kita dengan seluruh warga negara nonmuslim di atas bumi Islam." "Sesungguhnya umat Islam tidak akan meninggalkan agamanya. Sejarah dan realitas menyaksikan bahwa pada gilirannya nonmuslim diberi hak memilih, yaitu meninggalkan negara Islam atau mengadakan transaksi bersama kaum muslimin di atas asas keadilan. Jika mereka menghendaki pilihan yang ketiga, yakni agar kaum muslimin meninggalkan agamanya, maka hal ini tertolak," tegas Syekh Sa'id Hawwa. Ulama ini pun menyatakan, "Semua orang hendaklah mengetahui bahwa Islam harus menegakkan hukum. Karenanya, hendaklah mereka bergegas dari sekarang untuk meneliti redaksi transaksi dengan kaum muslimin. Semua pihak mempunyai peluang untuk mengajukan keinginannya sebelum datang waktu ketika transaksi harus dibuat oleh satu pihak. Yang jelas, kebijakan ini tidak dimaksudkan kecuali demi kebaikan bersama" (hlm. 282-283). Pada bagian lain, Syekh Sa'id Hawwa mencantumkan apa yang dinamakan Daftar Latihan Moral bagi anggota al-Ikhwan al-Muslimun. Dalam daftar tersebut dirumuskan beberapa prinsip yang salah satunya adalah merendahkan diri (tawadhu') terhadap sesama mukmin dan merasa bangga di hadapan orang-orang kafir. Ia menjelaskan bagaimana merealisasikan rasa bangga tersebut, yakni dengan cara memupuk sikap lebih unggul melalui upaya-upaya pendekatan terhadap mereka atau berinteraksi dengan mereka dalam kemaslahatan, serta memiliki strategi yang matang (hlm. 346). Tidak dibutuhkan usaha keras untuk membuktikan bahwa pendapat Syekh Sa'id Hawwa berangkat dari ketidaksenangannya terhadap nonmuslim. Ia menerima mereka dengan sinis, bekerja sama dengan mereka di atas prinsip arogansi, dan memandang dengan kaca mata yang menang di atas yang kalah. Berdasarkan analisis ini, terlihat adanya dua perspektif tentang persamaan hak warga negara. Pandangan Jamaah Jihad: Islam Melarang Persamaan HakSecara sepintas, penulis ingin membahas pemikiran Sayyid Quthub mengenai pandangan Jamaah Jihad Mesir yang beranjak dari konsep "Kejahiliahan Masyarakat" (Jauhiliyyatul-Mujtama'). Konsep ini merupakan salah satu juru bicara karya-karya Sayyid Quthub sejak tahun 1950-an, khususnya tafsir Fii Dzilaalil-Qur'an dan Ma'alimun fith-Thariq (Tanda-tanda di Perjalanan). Melalui studi yang bertajuk Muhakamah an-Nizhaam as-Siyaasi al-Mishri (Mahkamah Perundang-undangan Politik Mesir) yang dipublikasikan dalam majalah rahasia Jamaah Jihad, Kalimah al-Haq (Kalimat Kebenaran), Jamaah Jihad menegaskan bahwa hukum dan kekuasaan dalam masyarakat Islam harus di tangan kaum muslimin tanpa diikuti oleh pihak lain. Dan masyarakat hanya dapat dikategorikan atas dua golongan, yaitu Hizbullah (yang diperintahkan untuk didirikan) dan Hizb Jama'atul-Muslimin. Selain dua golongan ini disebut Hizbusy-Syaithan yang dilarang didirikan. Jamaah Jihad menolak ide demokrasi. Seperti diketahui, salah satu pandangan demokrasi menghendaki persamaan hak antar seluruh warga negara yang dinyatakan sebagai berikut. "Dasar persamaan antar warga diteguhkan dengan mengesampingkan pertimbangan agama dan ketakwaan." Sayyid Quthub tentu saja menolak pandangan ini. Ia mengatakan, "Islam tidak menyetujui konsep ini. Islam menolak persamaan hak antara kaum muslimin dan kaum kafirin. Penolakan tersebut didasarkan atas ayat Al-Qur'an, 'Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimana kamu mengambil keputusan?' (al-Qalam: 35-36). Rangkaian ayat ini membincangkan kaum kafir Quraisy dan tempat berpulangnya di akhirat!" Sayyid Quthub melengkapi kajiannya tentang Jamaah Jihad, "...yang benar adalah bahwa persamaan hak terjadi antara orang-orang yang mempunyai kesamaan asal. Bila sekelompok orang memisahkan diri dari yang lain (semula beragama Islam, tetapi kemudian menjadi kafir), maka sia-sia belaka kita mengupayakan persamaan hak baginya. Kaum kafir tidak mempunyai hak wilayah, sehingga mereka harus membayar pajak kepala (jizyah) kepada negara Islam... dan keterangan lainnya sebagaimana telah dikenal oleh para fuqaha." Dalam kritiknya terhadap sistem parlemen, Sayyid Quthub mengusulkan dibentuk majelis bangsa Mesir yang berperan secara tasyri'. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip bahwa majelis tidak mempunyai hak tasyri', sebab negara Islam dituntut untuk menerapkan syariat Allah SWT sedangkan peran umat Islam hanya terbatas pada aspek penerapannya saja atau mengistinbathkan hukum. Menjawab pandangan bahwa parlemen berusaha menerapkan syariat Allah, Sayyid Quthub mengkritik syarat-syarat keanggotaan majelis dalam undang-undang Mesir yang tidak mengharuskan anggota beragama Islam. Sayyid Quthub mempertanyakan, "Akal siapa yang dapat menerima keharusan berijtihad dan mengistinbathkan hukum dari Al-Qur'an dan As-Sunnah bagi kaum nonmuslim yang tidak mengetahui Al-Our'an dan As-Sunnah, tidak menguasai Bahasa Arab, tidak memahami motif syariat, ushul, ijma', dan fikih, tidak bersikap wara' dan adil, serta tidak memahami syarat-syarat berijtihad dan beristinbath yang ditetapkan para ulama salaf?" Pada bagian lain tulisannya, ia mencatat, "Undang-undang Mesir berusaha keras memperlebar kesenjangan nasional dan mendorongnya terus di atas kesenjangan Islam, padahal tidak terdapat kesenjangan Islam di wilayah-wilayah. Justru negara membuat berhala yang disembah dan mengutamakan orang Mesir meski kafir dan fasik daripada orang non-Mesir meski bertakwa, saleh, berilmu, dan mampu (profesional)." Mengenai kritik terhadap partai-partai Mesir, Sayyid Quthub menyebut Partai Wafd sebagai partai yang mempunyai "sejarah hitam" dalam memusuhi Islam, sebagaimana orang-orang Kristen pun mempunyai andil dalam mengipas-ngipasi keadaan. Jabatan sekretaris umum Partai Wafd selalu diperuntukkan bagi kelompok Kristen. Dalam beberapa edisi majalah Kalimatul-Haq, redakturnya mengkritik Umar at-Tilmisani (mantan mursyid 'aam/pembimbing umum al-Ikhwan al-Muslimun) dengan keras, disebabkan Umar pernah menyatakan, "Organisasi ini (al-Ikhwan) merupakan jamaah internasional muslim dan nonmuslim. Hubungan kami dengan Baba Syanudat, tokoh Qibthi (yang menurut pandangan sang redaktur telah memusuhi Islam, --peny.), berada pada puncak kecintaan." Sang redaktur menanggapi pernyataan itu dengan tulisan bertajuk "Cukup Bagimu Saja Wahai Ustadz at-Tilmasani." Ia menulis, "Cukup bagimu saja, sungguh hewan buas telah menyeruduk. Cukup bagimu saja, sungguh persoalan telah keluar dari wilayah rasio ke wilayah irasional. Allah berfirman, 'Englau tidak mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya....' (al-Mujaadilah: 22). Orang itu berbuat sewenang-wenang sedangkan Anda mencintai Syanudat?" |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |