KEBANGKITAN ISLAM DAN PERSAMAAN HAK ANTAR WARGA NEGARA (3/4)

Oleh: Prof. Fahmi Huwaidi

 
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Kritik terhadap Jahiliah Modern

Muqaddimah fi Fiqhil-Jaahiliyyatil-Mu'aashirah (Pengantar Fikih Jahiliah Modern), yang diterbitkan di Kairo pada 1968, merupakan salah satu buku yang memuat kritik transparan terhadap kehidupan Jahiliah Modern. Buku ini membongkar kebobrokan masyarakat Jahiliah Modern, baik struktur maupun elemennya.12

Pada salah satu bagian terpenting buku ini, penulis menegaskan, "Dalam negara Islam, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat Islam dan masyarakat nonmuslim. Masyarakat Islam adalah pemilik dan penguasa negara serta pelaksana perkara semua orang dengan adil. Sedangkan masyarakat nonmuslim digolongkan sebagai ahlu ahd dan ahlu dzimmi (jika mereka memilih bergabung dengan negara Islam)."

Mereka harus tetap memegang perjanjian yang telah disepakati, dan kaum muslimin pun harus berbuat baik kepada mereka karena mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Jika mereka tidak bersedia mematuhi ketentuan ini, maka mereka digolongkan sebagai ahlu harb (pihak musuh). Penulis buku ini mendasarkan argumennya pada surat at-Taubah: 29, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir" (hlm. 58).

Abdul Jawad Yasin mengkritik pemikiran nasionalisme yang berpandangan bahwa semua orang, baik pemeluk Islam, Kristen, Yahudi, dan bahkan ateis, harus diberlakukan sama. Padahal hukum Islam tidak memandang demikian. "Mereka (kaum nonmuslim, --peny.) tidak dapat disamakan seperti itu karena syariat Islam menetapkan aturan yang berbeda terhadap mereka dibandingkan dengan aturan terhadap kaum muslimin, meskipun mereka harus tetap mendapatkan hak-hak perjanjian, tanggungan perlindungan, dan perlakuan baik di lingkungan Islam. Jaminan itu diberikan selama mereka tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari teritorialnya," tegasnya.

Penulis buku ini menambahkan, "Bagi minoritas Kristen di Mesir dipersilakan membahas persatuan nasional mereka. Maka mereka tidak perlu membayar pajak kepala. Akan tetapi, di bawah naungan negara Islam, tidak ada yang boleh menghindar dari pajak, tidak ada persekongkolan dalam hukum, dan tidak ada ketergantungan terhadap nonmuslim dalam pengaduan dan jihad. Nonmuslim terus berada dalam kondisi terbaik di bawah kekuatan, kebesaran, kebaikan, kehormatan, dan toleransi Islam. Dalam pengertian, mereka berada dalam kondisi ideal yang mendorong mereka memasuki Islam tanpa paksaan (hlm. 59).

Ia mengupas teks materi ke-40 Undang-Undang Mesir yang menyebutkan, "Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang, mereka dipersamakan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban umum. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan kelamin, asal usul, bahasa, agama, dan kepercayaan."

Menanggapi teks tersebut, ia mengatakan, "Teks itu merupakan cetak biru kepercayaan negara sekular." Sementara dalam negara Islam, seperti disebutkannya, "Agama dan kepercayaan merupakan satu-satunya parameter yang membedakan manusia" (hlm. 97).

Pendapatnya ini didasarkan pada pandangan Sayyid Quthub dalam azd-Dzilal mengenai tafsir ayat al-muwaalaat, "Bahwa negara yang hendak dicirikan dengan sebenarnya-benarnya oleh Islam tidak memiliki ciri apa pun kecuali menjadikan Islam sebagai dasar perbedaan etnis dan parameter perubahan hukum antar manusia."

Pandangan ini dibangun di atas dasar pemikiran, "Jika masyarakat menurut teks perundang-undangan terdiri atas warga negara, maka unsur pembentuknya adalah kaum muslimin. Sedangkan golongan nonmuslim yang memasuki (menjadi warga) negara ini dikategorikan sebagai ahlu dzimmah. Kelompok pertama (masyarakat dalam pengertian umum,-peny.) disandarkan pada bumi tumpah darahnya, sedangkan kelompok kedua (masyarakat Islam) disandarkan pada kekuasaan Allah Yang Maha Besar ... Tipe masyarakat yang kedua ini mempunyai ikatan persaudaraan secara teologis, bukan secara geografis sebagaimana dipedomani oleh masyarakat jahiliah" hlm. 101).

Front Islam di Sudan dan Hizbut-Tahrir

Untuk menjelaskan posisi aliran-aliran gerakan Islam kontemporer dari perspektif problem persamaan hak, tampaknya penulis perlu membahas dua kelompok selanjutnya, yaitu Front Islam Nasionalis di Sudan dan Hizbut-Tahrir al-Islam yang giat mempengaruhi terlaksananya perjanjian antara Yordan dan Palestina.

Penulis hendak membahas butir ke-10 Undang-Undang Front Islam Nasionalis di Sudan tentang pasal khusus mengenai tujuan politik dan perundang-undangan. Teks tersebut menyatakan, "Salah satu prinsip Front adalah membentuk hak-hak eksistensi keagamaan kalangan nonmuslim. Mereka berhak memperoleh kebaikan, keadilan, toleransi dalam muamalah, persamaan hak-hak politik dan peradaban, kebebasan berkepercayaan dan beribadah, serta kemerdekaan dalam sistem al-ahwal asy-syakhsyiyyah dan pendidikan agama."13

Dalam penjelasan terakhir yang diterbitkan selepas pembentukan Front Islam Nasionalis pada Juli 1985, dikemukakan bahwa Front tidak mempersempit keterlibatan nonmuslim dalam sektor-sektor pemakmuran kehidupan dunia yang memungkinkan kerja sama antarmanusia secara menyeluruh" (hlm. 26).

Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Dr. Hasan ath-Thurabi, mengatakan di depan kongres pendirian organisasi ini, "Kita tentu berharap agar penduduk dan warga negara merasa tenteram, termasuk Ahli Kitab pada umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Ini karena dasar-dasar agama kita --yang lebih dekat dengan dasar-dasar agama mereka-- memberi keluasan kepada kita dan mereka, sedangkan undang-undang lain di muka bumi tidak memberi keluasan seperti itu. Baik kita maupun mereka merupakan pemilik risalah samawi yang didasarkan pada mata rantai para Rasul... Baik kita maupun mereka serupa dalam keimanan, akhlak, ibadah, dan tanggung jawab di hadapan-Nya... Diantara syarat-syarat keimanan bagi kaum muslimin adalah memelihara unsur-unsur hubungan keagamaan, menghormati risalah-risalah samawi, dan tidak membeda-bedakan para Rasul Allah."

Ia pun menerangkan tentang Front, "Hal ini merupakan prakarsa seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, yakni pemberlakuan dasar-dasar dan hukum-hukum Islam yang mengandung ajaran kebebasan akidah, kebudayaan, kehidupan kaum muslimin dan Ahli Kitab yang memegang akidah masing-masing ... Dasar-dasar syariat Islam menjamin hak-hak umum warga negara, baik kaum muslimin maupun nonmuslim, selama mereka berkomitmen terhadap kewajiban-kewajiban umum serta saling memberikan loyalitas antar sesama warga negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti kita. Bahkan Islam tidak berhenti pada rincian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang adil, melainkan melampaui keadilan undang-undang menuju keutamaan persaudaraan, kebaikan, dan keadilan."14

Setelah penulis meneliti Undang-Undang Front Islam Nasionalis pada penjelasan terakhir dan pidato ketua umumnya, penulis berpendapat bahwa undang-undang ini menekankan persamaan hak-hak politik antar warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Berbagai dokumen Front Islam Nasionalis tidak mengandung isyarat apapun mengenai perjanjian terhadap ahlu dzimmah atau masalah pajak kepala.

Mengenai Hizbut-Tahrir, penulis menemui pandangan yang inkonsisten. Kelompok ini mengungkapkan berbagai program undang-undang negara Islam yang dirancang para pemimpinnya. Di dalam rancangan itu disebutkan bahwa konsep-konsep yang mereka canangkan diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.15 Berikut penulis kutipkan beberapa program yang berkaitan dengan topik persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim, yaitu:

Pasal 20: Pengontrolan penguasa Islam adalah hak mereka. Merupakan fardhu kifayah bagi orang-orang Islam dan nonmuslim --yang telah berhak--untuk mengajukan pengaduan bila melihat ketidakadilan para penguasa atau menerima perlakuan tidak wajar dari penguasa Islam.

Pasal 103: Setiap warga negara yang telah dewasa dan berakal, baik pria maupun wanita dan muslim atau nonmuslim, berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, keanggotaan nonmuslim terbatas pada masalah pengaduan ketidakadilan penguasa atau pemberlakuan penguasa (atau masyarakat) Islam yang tidak wajar terhadap masyarakat yang diwakilinya.

Pasal 105: Syura merupakan hak orang-orang Islam saja. Sedangkan mengeluarkan pendapat merupakan hak semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.

Pasal 140: Ahli dzimmi dibebani pembayaran jizyah (pajak kepala). Jizyah diambil dari pria dewasa selama mereka mampu membayarnya, tidak diambil dari wanita dan anak-anak.

Pasal 142: Mencukupkan pembayaran pajak biasa yang diperbolehkan syariat untuk mengisi baitul-mal (kas negara) dari kaum muslimin. Sedangkan warga nonmuslim tidak dikenai pajak ini secara mutlak dan hanya dikenai pajak kepala.

Penulis berpendapat bahwa rancangan undang-undang ini berupaya keras memperluas peluang kerja sama politik. Hal itu dapat dilihat pada pasal 21 yang memperbolehkan berdirinya partai politik serta diperbolehkannya wanita memasuki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan melakukan seluruh hak musyawarah. Akan tetapi, dalam hal ini berbeda dengan peluang yang diberikan kepada nonmuslim

Penulis pernah membaca tulisan seorang peneliti muda mengenai universitas-universitas Islam kontemporer yang dikirimkan kepada Universitas Islam di Madinah al-Munawarah. Dalam hasil penelitian itu antara lain dibahas mengenai Hizbut-Tahrir yang memberikan kesempatan kepada nonmuslim di MPR untuk mengadukan ketidakadilan penguasa muslim. Sang peneliti tidak menyetujui pemikiran tersebut dengan alasan bahwa MPR merupakan salah satu bagian penting dari pemerintahan Islam, maka tidak sah mengangkat orang kafir sebagai anggotanya, karena dapat terjadi ia memerintah si muslim. Peneliti itu menjelaskan bahwa MPR bertugas membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan Islam. Lalu bagaimana mungkin rahasia-rahasia majelis diserahkan kepada orang kafir lantaran dia adalah anggota MPR?16

Undang-undang Iran dan Jami'at Islami Pakistan

Ada dua gerakan Islam di luar Arab yang tak dapat dilupakan, yakni revolusi Islam di Iran dan Jamaah Islam di Pakistan. Penulis berusaha menjelaskan keduanya sebatas tersedianya sumber-sumber yang ada pada penulis.

Beberapa pasal Undang-Undang Iran menjelaskan posisi warga nonmuslim, yakni sebagai berikut.17

Pasal 3: Tujuan pemerintah adalah menjamin kebebasan politik dan sosial dalam batas undang-undang, menghilangkan diskriminasi yang tidak adil, dan memberikan kesempatan kepada semua warga negara dalam semua sektor, material maupun immaterial.

Pasal 12: Aliran resmi di Iran adalah Syi'ah Ja'fariyah atau Syi'ah Dua Belas. Aliran-aliran Islam lain dan mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Zaidi juga dihargai. Mengikuti aliran-aliran tersebut --dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan pemahamannya-- diperbolehkan secara bebas. Aliran-aliran ini memperoleh panduan resmi dan di bawah pengawasan dalam masalah pendidikan, pengajaran Islam, dan ahwalusy-syakhshiyyah (bagian dari hukum privat, --pent.), serta hal-hal yang terkait dengannya, seperti masalah peradilan.

Pasal 13: Orang-orang Iran Zaradesyt, Yahudi, dan Nasrani sebagai kelompok minoritas agama memperoleh kebebasan melaksanakan ajaran agama masing-masing dalam lingkup undang-undang. Mereka berhak beramal sesuai dengan kaidah-kaidah ahwalusy-syakhshiyyah dan ajaran-ajaran agama.

Pasal 14: Merujuk pada ayat Al-Qur'an (yang terjemahannya adalah) sebagai berikut. "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" (al-Mumtahanah: 8). Oleh karena itu, pemerintah Republik Islam Iran dan kaum muslimin wajib bergaul dengan kalangan nonmuslim berdasarkan sunnah secara wajar, adil, dan islami. Kaum nonmuslim harus mendapatkan hak-hak kemanusiaannya. Pasal ini berlaku bagi mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun yang berlawanan dengan Islam atau Republik Islam Iran.

Pasal 64: Kelompok Zaradest dan Yahudi, Nasrani Asyuri dan Kaldani, dan Nasrani Arman di utara dan selatan Iran masing-masing berhak mengangkat seorang wakil dalam MPR Islam. Jika populasi kelompok minoritas bertambah, mereka berhak mendapatkan tambahan jatah seorang wakil untuk setiap 150.000 jiwa setiap sepuluh tahun.

Pasal 67: Pengambilan sumpah wakil rakyat menggunakan Al-Qur'an, sedangkan wakil minoritas dengan Kitab Sucinya masing-masing.18

Dari undang-undang di atas dan aturan-aturan Republik Islam Iran lainnya, penulis tidak menemukan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan hak antar warga negara. Penulis berpendapat bahwa redaksi undang-undang tersebut memberikan penegasan pada perlindungan terhadap semua pihak tanpa kecuali. Akan tetapi, penulis melihat kekhususan undang-undang itu, yakni bahwa kaum nonmuslim tidak dilibatkan dalam bidang politik, meskipun mereka berhak menjadi anggota MPR. Ini karena dari 270 anggota MPR hanya ada 4 orang wakil nonmuslim. Jumlah sekecil itu pun tidak dapat memasuki berbagai panggung politik seperti partai, parlemen, dan badan legislatif.

Revolusi Islam di Iran merupakan hal yang fenomenal, sebab, menurut keyakinan kaum Syi'ah, Republik Islam Iran merupakan negara bermazhab Ja'fari yang pertama kali didirikan sejak dua belas abad, yakni sejak bersembunyinya Imam mereka yang ke-12. Selama itu, mazhab Ja'fari tetap survive meskipun Bani Buwaihi, sebagian raja Persia, dan kaum Safawi berusaha melenyapkan mereka. Akan tetapi, pada periode itu, kekuasaan tidak dibangun di atas pundak para mullah (fuqaha/pakar yurisprudensi Islam) dan konsep Wilayatul-Faqih (Kepemimpinan Para Fuqaha) belum dielaborasi. Konsep ini baru dimunculkan pada Revolusi Islam Iran pada 1979.

Karena dilatarbelakangi oleh keinginan historis untuk mendirikan negara yang dikuasai para fuqaha, maka konsep-konsep politik Republik Islam Iran senantiasa terbuka. Mereka tidak keberatan menerima partisipasi nonmuslim dalam pemerintahan, bahkan dalam teks undang-undang tidak terdapat persyaratan bahwa perdana menteri atau menteri harus beragama Islam.

Dalam penelitian lapangan, penulis menemukan bahwa kekhususan sikap terhadap nonmuslim ini tidak terbatas pada pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pemerintahan saja, melainkan hingga pada membantu umat Islam dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik, meskipun jumlah wakil mereka di MPR hanya tujuh orang.

Maka peneliti yang menyadari kenyataan ini akan mengkonstatir bahwa kaum muslim dan nonmuslim saling bekerja sama dengan berlandaskan pada persamaan hak dalam kehidupan politik dan peradaban seperti yang direfleksikan oleh realitas Islam kontemporer. Pernah dikatakan bahwa pemerintah Republik Islam Iran memperlakukan kaum Yahudi dan Baha'i dengan buruk. Sebenarnya hal tersebut tidak dilakukan karena mereka Yahudi dan Baha'i, melainkan karena keduanya menentang revolusi Islam secara langsung maupun tidak langsung. Kalangan nonmuslim lain terbukti hidup berdampingan secara damai dan wajar dengan masyarakat Islam dan memberikan kontribusi signifikan dalam kegiatan perdagangan khususnya.

Karenanya, kita perlu menggarisbawahi bahwa dalam eksperirnen revolusi di Iran, undang-undang disusun dengan memuat prinsip-prinsip persamaan hak antara muslim-nonmuslim dalam politik dan peradaban. Undang-undang Republik Islam Iran memberikan hak suara dan pencalonan diri sebagai anggota MPR kepada kaum nonmuslim, sebagaimana dikonsepkan pula oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.

Marilah kita menengok sikap Jami'at Islami Pakistan mengenai topik ini. Pandangan-pandangan pendiri organisasi ini, Abul A'la al-Maududi, senantiasa menjadi frame of reference bagi generasi berikutnya, sebagaimana pengaruh pemikiran Hasan al-Banna terhadap para tokoh penerusnya di lingkungan al-Ikhwan al-Muslimun.

Sebagai rujukan, penulis menggunakan dua tulisan Abul A'la al-Maududi, yakni Tadwiinud-Dustuuril-Islaami (Penyusunan Undang-undang Islami) yang ditulis pada 1952 dan Huquuqu Ahludz Dzimmahfii ad-Daulah al-Islaamiyyah (Hak-hak Ahlu Dzimmah di Negara Islam) yang terbit pada 1948 dalam suasana pembentukan undang-undang negara Pakistan yang baru lahir. Kedua tulisan ini dipublikasikan dalam bunga rampai tulisan Abul A'la al-Maududi dengan topik Sistem Politik Negara Islam.19

Abul A'la al-Maududi mendasarkan pemikirannya pada prinsip, "Kita tidak menemui fakta pada masa kenabian dan khilafah rasyidah yang menyatakan bahwa ahlu dzimmah dapat memilih dan menjadi anggota MPR, memilih kepala pemerintahan negara, qadhi, menteri, gubernur, atau panglima angkatan bersenjata, dan diperbolehkan menyampaikan pendapat dalam pemilihan khalifah. Padahal ahlu dzimmah sudah terdapat pada zaman Rasulullah saw., bahkan jumlahnya mencapai puluhan juta jiwa di masa kekhilafahan rasyidah. Seandainya mereka berhak ikut serta dalam urusan-urusan tersebut, tentu Rasulullah saw. telah memberikan hak tersebut kepadanya dan para sahabat setelah periode Nabi saw. pun akan melakukan hal yang sama." (hlm. 303)

Abul A'la al-Maududi berpendapat bahwa undang-undang Islam membagi masyarakat nonmuslim atas tiga kategori, yaitu: 1. Kelompok yang masuk dalam naungan negara Islam melalui transaksi perdamaian atau perjanjian. 2. Kelompok yang ditaklukkan dalam pertempuran. 3. Kelompok yang berintegrasi ke dalam negara Islam tanpa melalui dua jalur di atas.

Ia menegaskan bahwa Islam menjamin seluruh hak dan kebebasan nonmuslim, kecuali dalam sebagian hak berpolitik sebagaimana diulas sebelumnya. Ia berulang-ulang menyatakan, "Orang-orang yang tidak beriman terhadap prinsip-prinsip Islam tidak berhak mengurus masalah pemerintahan atau menjadi anggota MPR. Mereka pun tidak dapat memilih tokoh-tokoh calon wakil rakyat." Akan tetapi ditambahkannya, "Mereka diberi hak-hak keanggotaan dan suara dalam majelis-majelis lokal, sebab majelis-majelis ini tidak berurusan langsung dengan sistem kehidupan. Mereka bertugas mengurus masalah-masalah untuk merealisasikan keperluan-keperluan lokal." (hlm. 359-360)

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team