| |
|
Catatan PenutupMengakhiri pembahasan ini, penulis mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, sesungguhnya kita mengutamakan studi pendahuluan mengenai hubungan muslim-nonmuslim dalam perspektif keadilan, bukan persamaan hak. Ini karena keadilan berarti memberikan hak kepada penerimanya secara total dan proporsional dalam konteks situasi dan kondisi objektif yang melingkupinya, sedangkan persamaan hak sering diartikan sebagai kesamaan antara dua pihak baik dalam bentuk maupun isi. Melenyapkan simbol-simbol persamaan hak antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam pemerintah, misalnya, bisa dianggap menodai makna keadilan. Masyarakat Islam telah digiring oleh propaganda persamaan hak kepada kondisi tanpa diskriminasi antara kaum muslimin dan Kristen dalam tugas-tugas yang berlabel keagamaan atau hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (ideologi). Sebagai contoh persamaan hak, kita mendengar suara-suara yang menuntut diperbolehkannya pria Ahli Kitab menikahi kaum muslimah. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa pria muslim diperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab, maka sebaliknya pun diperbolehkan. Menurut pendapat penulis, pemikiran tersebut tidak tepat bila ditinjau dari perspektif keadilan, sebab seorang muslim yang menikahi wanita Ahli Kitab, secara syar'i, dituntut untuk menghormati keyakinan sang isteri. Terjadi selisih pandangan para fuqaha mengenai masalah ini. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa sebaiknya seorang suami muslim tidak menekan isterinya yang Ahli Kitab dalam urusan keislaman sehingga tidak dituduh memaksa. Sebagian lagi mengatakan bahwa suami dituntut menjaga keamanan isterinya dalam perjalanan menuju ke gereja. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa suami muslim tidak berhak melarang isteri meminum khamar, karena hal itu diperbolehkan agamanya, meskipun sang suami diperbolehkan memberikan nasihat kepadanya. Keadaannya akan lain bila pria Ahli Kitab menikahi wanita muslim. Ini karena Ahli Kitab tidak mengakui eksistensi agama Islam termasuk masalah kerasulan Muhammad saw. Sangat besar kemungkinannya, mereka akan merusak komitmen wanita muslim terhadap ajaran agamanya atau bahkan mengeluarkannya dari Islam! Na'uzu billahi min dzaalik! Dalam kondisi tersebut dan kasus-kasus sejenisnya, tesis persamaan hak menjadi simbol dan parameter yang tidak reliabel, sedangkan keadilan merupakan parameter yang lebih objektif dan valid. Kita berbincang tentang sistem dan klasifikasi, bukan prioritas dan diskriminasi. Penjelasan tentang fenomena kelompok-kelompok sebaiknya berangkat dari kesadaran akan konsep ini. Tujuan kita tetap menghormati seluruh hak dalam bingkai komitmen yang total dengan perspektif keadilan dan kewajaran. Kedua, membedakan syariat dari fikih. Maksud penulis, membedakan antara ketentuan Al-Qur'an danAs-Sunnah yang bersifat mengikat dengan ijtihad manusia yang sama sekali tidak mengikat dan selalu disandarkan pada penggagasnya. Dalam menghadapi fikih, sebaiknya kita mempertimbangkannya kembali dengan parameter syariat. Bila sejalan dengan teks syariat dan maksud sebenarnya, maka kita boleh menerimanya, tetapi jika bertentangan dengan syariat, kita harus menolaknya. Misalnya, Al-Qur'an menyatakan bahwa menjaga kemuliaan manusia merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa kita harus berlaku baik terhadap seluruh manusia yang tidak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin atau memfitnah Islam. Maka setiap perbincangan atau ijtihad mengenai nonmuslim harus dikembalikan kepada parameter-parameter dan aturan-aturan ini. Bila tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut, berbagai pemikiran itu terbuka untuk dikritik dan disanggah. Ketiga, lapangan ijtihad fikih tentang kedudukan nonmuslim sangat luas. Seorang peneliti dapat mendalami studinya dengan mempelajari seluruh pandangan dan hipotesis, baik yang positif maupun yang negatif. Hal itu bukanlah suatu kelemahan, melainkan pertanda kesuburan fikih Islam dan tradisi yang tak terbatas. Keluasan pandangan itu tidak membuat kita menjadi picik, selama kita bersandar pada parameter hukum yang berupa teks-teks syariat dan kaidah-kaidah ushul fikih. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah mengapa dalam kondisi tertentu lahir tradisi berpikir yang melahirkan ijtihad yang toleran dan moderat, sedangkan dalam kondisi lain tidak banyak ijtihad yang dihasilkan, melainkan yang memberatkan dan "keras"? Penulis telah mengupas dua penafsiran mengenai ayat Al-Qur'an surat al-Maidah: 51 yang berkaitan dengan hubungan muslim-nonmuslim. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinpemimpin(mu)..." Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ajakan untuk tidak bekerja sama dengan orang-orang nonmuslim yang memusuhi umat Islam. Sedangkan Sayyid Quthub berpandangan bahwa ayat tersebut merupakan hukum yang berlaku umum yang mengajak kaum muslimin memisahkan diri dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Penafsiran Sayyid Quthub diikuti oleh gerakan Jamaah Jihad. Penafsiran tersebut juga mencuri perhatian para pemikir lain, menyebar luas, dan menjadi tesis yang paling banyak diikuti oleh umat Islam dewasa ini. Bukankah kita harus mempelajari situasi-kondisi yang mendorong perlunya pemisahan tegas antara muslim-nonmuslim dan memutar haluan berpikir ke arah panggilan sikap yang baik dan saling mencintai antar sesama manusia? Bukankah kita perlu memperluas wilayah kajian agar dapat memahami watak periode buruk yang pernah dilalui umat Islam dan unsur-unsur negatifnya? Keempat, agar kita dapat menempatkan masalah ini secara proporsional, sebaiknya kita mengingat kembali satu hal, yakni kelompok-kelompok kebangkitan Islam yang cenderung bersikap keras terhadap nonmuslim berangkat dari sikap keras pula yang bahkan tak jarang ditujukan kepada sebagian kaum muslimin sendiri. Kelompok-kelompok itu sendiri yang membangun pemikiran kejahiliahan masyarakat dan propaganda saling mengkafirkan. Kerancuan pola pikir sebagian muslimin terhadap umat Islam lainnya justru tidak lebih lunak dari sikap mereka terhadap kaum nonmuslim. Buku-buku Islam yang penulis teliti, isinya hanya menghakimi umat Islam yang tak sepaham. Bagian inilah yang masih membutuhkan kajian tersendiri. Penulis tidak ingin memberikan perhatian khusus terhadap studi ini, sebab persoalannya terlampau besar. Salah satu sudut yang penulis analisis ini merupakan bagian dari topik yang sangat luas. Penanganan topik besar tersebut dan solusinya sebaiknya diteliti oleh pakar politik dan ilmuan-ilmuan lain. Titik pemberangkatan studi yang penulis tawarkan adalah: mengapa para pemuda Islam tertarik pada tesis-tesis yang dominan dan "keras"? Apakah hal ini merupakan fenomena fundamentalisme atau fenomena kebenaran? Kelima, kepakaran peneliti yang membahas masalah hubungan muslim-nonmuslim tidaklah memadai kecuali bila ia mengakui urgensi penganalisisan topik secara lebih luas dan komprehensif, tidak hanya merumuskan hal-hal yang sudah jelas seperti masalah kewarganegaraan, etnis, dan transaksi ahli dzimmi. Melainkan penelitian itu juga bertujuan menjernihkan khazanah Islam dari berbagai distorsi dan meninjau kembali sebagian produk ijtihad fikih yang penulis anggap tidak lebih utama daripada pengungkapan hukum-hukum syariat dan tujuan-tujuannya (maqaashid). Literatur yang secara spesifik membahas topik ini adalah buah pikir seorang pakar yurisprudensi Islam, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, yang bertajuk Ahkaamu Ahluz-Zimmah. Buku tersebut ditulis dalam situasi Perang Salib dan invasi pasukan tempur Tartar ke Dunia Islam. Kita tidak boleh melupakan kesungguhan dan penelitian para pakar dalam bidang ini, terutama karya Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Abdul Karim Zaidan tentang hukum mengenai ahli zimmi dan orang-orang yang dilindungi, Dr. Muhammad Fathi Utsman mengenai hak-hak manusia dalam Islam dan seruannya untuk mengadakan pengkajian ulang dalam bidang fikih khusus tentang nonmuslim, Dr. Shubhi Mahmashani tentang Islam dan hubungan antar negara, Prof. Ismail Raji al-Faruqi tentang hak-hak nonmuslim di negara Islam, dan Muhammad Jalal Kasyak yang menulis buku Khawathirul Muslim fi Mas'alatil-'Aqalliyyat. Penulis telah mendeskripsikan berbagai upaya serius di bidang pemikiran untuk mengungkap masalah persamaan hak antar warga negara. Akan tetapi kemampuan menggagas ide saja tidaklah cukup, sebab yang penting adalah bagaimana ide-ide itu dapat diterima. Umat Islampun membutuhkan berbagai kompetensi lain yang dibutuhkan untuk mencari relevansi antara ide-ide dan masa depan. Wallahu a'lam bish-shawab. Catatan Kaki1 Hasan al-Banna, Majmu'atur-Rasaail, (Beirut: Mu'assasatur-Risaalah), hlm. 207. 2 Ibid., hlm. 236 3 Ibid, hlm. 228 4 Hasan al-Banna, Muzakkiraatud-Da'wah wad-Daa'iyah, hlm. 224 5 Dialog-dialog ini dilakukan di antara Hasan al-Banna dengan Muhammad Hamid Abu Naser (pembimbing al-Ikhwan al-Muslimun saat itu), Farid Abdul Khaliq (staf Kantor Pembinaan yang lalu pada periode Hasan al-Banna), dan Shalah Syadi (salah seorang pemimpin al-Ikhwan al-Muslimun pada periode awal). 6 Cetakan Darul Kutub al-Haditsah, Kairo, cetakan ke-3, 1965. 7 Cetakan Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan ke-1, 1977 8 Cetakan Darus Syuruq, Beirut, cetakan ke-10, tanpa tahun. 9 Tanpa penerbit. Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 50 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun. 10 Fiidzilaalil-Qur'an, jilid 3, hlm. 1620 11 Ibid., jilid 2, hlm 907 12 Buku ini merupakan karya seorang qadhi muda, Abdul Jawad Yasin, dan diterbitkan oleh Daruz-Zahra, Kairo. 13 Undang-Undang Front Islam Nasionalis, hlm. 7 14 Lihat Dr Hasan ath-Thurabi, Pidato Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Publikasi Front, Sudan, hlm. 9-10. 15 Merupakan kutipan dari rancangan undang-undang susunan Hizbut-Tahrir yang dicetak bersama tanggapan mereka terhadap Rancangan Undang-undang Iran yang diajukan kepada para pemimpin Iran pada 1979. 16 Tulisan tersebut adalah karya Husain Muhammad Jabir yang dimuat dalam Ath-Tharfiiq ila Jama'atil-Muslimin, Kuwait, Darud-Dakwah, cetakan 2, hlm. 310 17 Penulis menggunakan sumber terjemahan berbahasa Arab dari undang-undang yang dikeluarkan oleh Kementerian Irsyaad al-Islami, Teheran, 1403 H. 18 Berbeda dengan Republik Islam Iran, dalam rangka menerapkan syariat Islam, di Sudan pada era kepemimpinan Numery, pengambilan sumpah terhadap anggota MPR baik muslim maupun nonmuslim, dilakukan dengan menggunakan Al-Qur'an. Ketentuan ini dimasukkan dalam UndangUndang Sudan tahun 1985. 19 Bunga rampai tulisan tersebut berjudul Nazariyyatul-Islaam wa Hadyuhu fii as-Siyaasah wa al-Qaanuan wa ad-Dustuur, diterbitkan di Beirut oleh Mu'assasah Risalah pada 1969. |
|
(sebelum)
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |