| |
|
TULISAN ini berusaha meletakkan parameter ideologis-kultural sebagai dasar untuk memahami masyarakat Islam umumnya dan masyarakat Arab khususnya. Penulis akan menyoroti keberadaan dua tipe masyarakat yang berada dalam satu negara yang meliputi dua kriteria sebagai berikut. Pertama, masyarakat asli (tradisional) yang pada umumnya mempertahankan pola masyarakat Islam, yakni masyarakat yang berpegang teguh pada warisan dan tradisi serta memelihara sejarah. Masyarakat ini berfungsi sebagai penerus pola sosial masa lampau di bawah dominasi kolonialisme. Kedua, masyarakat modern yang terbentuk di bawah pengaruh dominasi kolonial asing. Mereka berusaha menegakkan modernisasi ala Barat, sehingga pola pemikiran, gaya hidup, dan konsep-konsep Barat mewarnai masyarakat tipe ini.1 Mengapa Menggunakan Pendekatan Ideologis-Kultural?Sebagian cendekiawan yang terpengaruh metodologi penelitian Barat menganggap bahwa pemakaian pendekatan ideologis-kultural dalam memahami masyarakat Arab-Islam merupakan suatu bias ilmiah. Ini karena konotasi ilmiah dalam tradisi berpikir mereka terbatas pada metode tertentu yang disepakati mereka. Artinya, mereka menganggap metode yang berbeda parameter, konsep, dan contoh historisnya dengan metode Barat sebagai metode yang tidak ilmiah. Akan tetapi, jika kita menyepakati keabsahan tesis yang menyatakan bahwa corak masyarakat Islam jauh berbeda dengan corak-corak masyarakat yang didefinisikan Eropa, maka tesis ini sejak semula telah menggugurkan klaim keilmiahan metode-metode Barat yang selama ini digunakan untuk menganalisis masyarakat Arab-Islam. Ini karena metode ilmiah tidak alergi terhadap data-data yang meliputi berbagai konsep, parameter, dan pola kemasyarakatan. Keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Bukan kesesuaiannya berdasarkan metode penelitian tertentu, misalnya metode Barat! Selain itu, memahami realitas sosial negara Arab berdasarkan prinsip dikotomi antara dua tipe masyarakatnya adalah bertentangan dengan studi-studi pada umumnya, yang telah menganalisis sifat-sifat dasar masyarakat Arab-Islam, sehingga studi ini --yang memandang masyarakat Arab sebagai satu tipe-- akan menjadi studi yang menerapkan analogi-analogi masyarakat modern. Bila demikian, penelitian akan cenderung menafikan eksistensi masyarakat tradisional. Meskipun benar bahwa masyarakat modern menguasai negara setelah jatuhnya kekuasaan kolonialisme dan berusaha menyatukan masyarakat di atas dasar dominasi dan pola modern, hal itu tidak berarti pihak yang tersisih (masyarakat tradisional --peny.) kehilangan eksistensi sama sekali dan harus tunduk pada garis masyarakat dan negara yang baru, sehingga mereka harus berbicara dengan bahasa modern dan menggunakan ukuran-ukurannya untuk memperoleh keberadaan yang diakui. Maka, lahirlah dualisme hukum dalam kancah ketegangan. Sebab utama keabsahan penerapan pendekatan ideologis-kultural ini --kendati dipandang terdapat dua tipe masyarakat di negara-negara Arab-- dikembalikan kepada peran besar yang dimainkan oleh Islam dalam membentuk corak masyarakat Arab-Islam; suatu peran yang tidak ada duanya dibandingkan dengan tipe masyarakat manapun. Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan sosial. Sebab, seandainya masyarakat Arab-Islam mencoba melepaskan dirinya dari pusat ideologinya (Islam), niscaya ia akan tercerabut dari akar-akarnya, dan pada gilirannya akan mengalami kegoncangan. Sebagai catatan, tesis mengenai program yang berangkat dari perspektif dualisme masyarakat dunia Islam, seyogianya disandarkan pada sejauh mana pandangan itu dapat diterapkan pada realitas. Tipologi Pelaku EkonomiBila kita berjalan-jalan di jantung kota-kota di Arab, kita akan menemui pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Kita dapat menyaksikan dua tipe areal yang perbedaannya sangat jauh, bahkan sangat mencolok. Kondisi semacam ini tak urung dapat ditemui juga di negara-negara Islam yang lain. Dalam satu paket kebijaksanaan pemerintah terdapat dua komunitas pedagang, yaitu komunitas pedagang masyarakat tradisional dan komunitas pedagang masyarakat modern. Pada masing-masing komunitas tersebut, terdapat kelompok pedagang kecil, menengah, dan besar. Ada yang menempati bazar-bazar, pasar-pasar tradisional, gang-gang, dan perkampungan. Ada pula yang menempati kawasan elit. Maka kita tidak sulit membayangkan dua tipe peradaban dari dua masyarakat yang berbeda di Arab. Termasuk di dalamnya: perbedaan nama, bahasa, cara berbicara, dan perilaku. Tipologi IntelektualMasalah ini akan tampak lebih jelas bila kita meneliti masalah pendidikan dan produknya. Terdapat dua tipe intelektual atau akademisi yang sangat kontras. Universitas-universitas yang mendasarkan diri pada sistem sekular mengedepankan corak kultur dan menelurkan alumninya yang tentu saja tidak lepas kaitannya dengan bentuk-bentuk kebudayaan Barat. Perbedaan mencolok dapat kita lihat pada alumni al-Azhar (Mesir), Zaitunah (Tunisia), Qurawiyyin (Maroko), Qum (Iran), Najf (Irak), dan Fakultas Syariah di Suria dibandingkan dengan lulusan berbagai universitas di Paris, London, Washington, Moskow, atau institusi lokal yang modern. Tampak jelas adanya dua tipe pendidikan dan alumni yang dihasilkannya. Dua tipe ini semakin terlihat tajam ketika diadakan pengamatan terhadap berbagai organisasi dan pranata kultural sebagai produk kebudayaan dan kalangan intelektual dalam masyarakat. Pada satu sisi, terdapat lembaga-lembaga studi keislaman dan pendidikan kebangsaan, masjid-masjid beserta halaqahnya, serta syekh tarekat dan para muridnya. Dari lembaga-lembaga ini muncullah berbagai pola kebudayaan bangsa yang akhirnya membentuk suatu tipe tersendiri sebagai penyambung corak masyarakat sebelum terjadinya perang dengan bangsa asing dan peradabannya di Arab. Pada sisi lain, kita dapat melihat adanya lembaga-lembaga pendidikan khusus dan asing di dalam negeri yang melahirkan lapisan intelektual dan politisi yang mempelajari buku-buku terjemahan dari Barat. Perbandingan ini juga dapat dilihat pada karya seni dan sastra yang beraneka ragam. Nilai-nilai seni dan sastra yang satu mengandung ajaran keislaman dan kebangsaan tradisional. Sedangkan nilai-nilai seni dan sastra yang lainnya bermuara pada paradigma Barat. Perbedaan dua tipe tersebut makin meningkat hingga menyentuh aspek bahasa percakapan, tidak hanya pada tataran isi, melainkan juga pada tataran bahasanya. Kita akan menemui bahasa Arab dengan berbagai dialeknya, bahasa asing, dan bahasa campuran (antara bahasa asing dan Arab). Mengingat latar belakang objek yang demikian kompleks, studi ini tidak akan mencapai kedalaman sebelum peneliti meyakini pentingnya pendekatan ideologi-pemikiran-kultural sebagai dasar memahami eksistensi dua tipe masyarakat, kebudayaan, dan peradaban. Pembagian kebudayaan menjadi dua tipe atas dasar masyarakat tradisional dan masyarakat modern tidak akan tepat tanpa mengetahui perbedaan di antara kaum intelektual. Pembagian ini justeru memungkinkan diketahuinya perbedaan-perbedaan di antara berbagai hal yang terdapat di dalam setiap masyarakat. Sesungguhnya perbedaan dan konflik yang terjadi di antara dua tipe kaum intelektual sangat besar. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa sesuatu dengan sendirinya tidaklah dapat diklaim begitu saja sebagai fenomena masyarakat modern, melainkan harus disadari bahwa semua itu merupakan produk dari berbagai aliran, perbedaan, dan konflik yang telah lama ada di suatu wilayah atau negeri. Tipologi Kalangan ProfesionalPenjelasan dualistik di atas juga dapat ditemui pada dunia profesi yang terbagi atas kalangan profesional modern dan pekerja tradisional. Perbedaan ini akan tampak bila kita melihat piramida kelas dari kelompok-kelompok ini. Pada puncak piramida terdapat kelas profesi elit yang didominasi kalangan modern seperti dokter dan teknisi dan ahli hukum yang posisinya lebih rendah daripada teknisi. Pada bagian bawah piramida terdapat masyarakat tradisional yang umumnya berstatus ekonomi lemah. Kelompok kedua ini terdiri atas pekerja tradisional, seperti tukang tembaga dan ahli besi atau kelompok yang telah menggunakan peralatan modern dalam batas-batas tertentu. Mereka pada umumnya masih menghargai dan menjaga kebudayaan, peradaban, dan pola hidup kerakyatan. Tampak jelas bahwa realitas dua kelompok di atas cukup menyulitkan. Keduanya harus dipahami secara proporsional, sebab merupakan dua fenomena masyarakat yang berada dalam satu kota yang sedang berkembang. Dengan kata lain, mereka telah menginjakkan satu kakinya pada kebudayaan dan peradaban Barat tetapi kaki yang satu lagi masih tertanam pada bumi masyarakat tradisional. Fenomena kota berkembang semacam ini harus diamati seiring dengan usaha-usaha menjelaskan berbagai kelompok masyarakat, seperti para pedagang, kalangan intelektual, dan lain-lain. Kota-kota tersebut membutuhkan perhatian khusus dalam upaya membatasi perspektif terhadapnya. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa membatasi dua tipe masyarakatnya terlebih dahulu. |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |