TIPOLOGI MASYARAKAT ARAB KONTEMPORER (2/4)

Oleh: Prof. Munir Syofiq

 

 Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Kaidah Mayoritas

Melalui perspektif kaidah mayoritas --yang terdiri atas para petani, pegawai, pengusaha, fakir miskin, dan kelompok lemah-- akan kita temui bahwa mayoritas di antara mereka berasal dari masyarakat tradisional dan sebagian kecil dari mereka terbagi ke dalam kota-kota berkembang dan masyarakat baru. Sebagian pola kehidupan dan perekonomian kelompok kecil ini mendekati pola baru ala Barat, tetapi pola pikir dan pandangan umumnya masih tetap tradisional.

Tanpa memahami prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam dalam mayoritas masyarakat dari perspektif kebangsaan yang umum, akan terjadi penafsiran yang jauh. Misalnya, kesenjangan antara perspektif kebangsaan dengan para pelopornya yang berasal dari masyarakat modern yang bercorak pikir kebarat-baratan.

Tipologi Wanita

Wanita secara garis besar dapat dipolarisasikan atas dua. Pertama, wanita tradisional yang masih memegang nilai-nilai dan norma-norma serta terikat dengan pandangan umum masyarakatnya, baik dari aspek penampilan maupun tingkah laku. Kedua, wanita modern yang hidup dengan nilai-nilai dan norma-norma Barat. Perbedaan keduanya sangat mencolok.

Persoalan wanita merupakan topik menarik yang diperkenalkan oleh para pakar modern dalam rangka merusak masyarakat tradisional. Bahkan tema-tema kewanitaan telah diperkenalkan sebelum kedatangan para pakar tersebut, melalui diskusi-diskusi "peradaban" yang dilakukan dengan sangat frontal sehingga menimbulkan perdebatan. Masalah yang memicu konflik, misalnya jilbab dan cadar serta wanita karir.

Karena itu, tema-tema kewanitaan dipecahkan terlepas dari perspektif-komprehensif atas konflik ideologi pemikiran-kultural yang merupakan motif penolakan masyarakat tradisional terhadap modernisasi. Eksperimen sejarah telah menolak semua tema yang ditimbulkan dari usaha modernisasi wanita Arab untuk mempertahankan wanita tradisional. Muncul propaganda mengenakan cadar sebagai prolog mengakhiri pakaian minim. Selain itu, lahir pula sikap "keluar" dari masyarakat tradisional sebagai sikap ikut-ikutan dan teralienasi.

Bukti terakhir dapat dilihat pada wanita modern yang mulai menyesuaikan pakaian dan penampilannya dengan mode dari London dan Paris. Lihat apa yang mereka pakai pada setiap musim, bagaimana mereka menata rambut dan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal mode pakaian dan rambut yang sekarang mereka gandrungi sebentar lagi akan mereka campakkan dan segera mencari mode terbaru tanpa mempertimbangkan aspek-aspek nilai, etika, kondisi, dan kesanggupan ekonorninya. Adakah praktek perbudakan yang lebih parah dari ini? Apakah masalah ini tidak disimpulkan secara jujur sebagai inti dari modernisasi Barat, bahkan dapat dipertanyakan kembali mana di antara kedua kelompok di atas yang lebih mencerminkan prototipe masyarakat maju, rasional, dan bebas?

Jika ukuran kemajuan dan keterbelakangan ditentukan oleh kebebasan dan sikap imitatif, maka masyarakat tradisional Arab dapat dikatakan lebih mendekati kemajuan dan rasionalitas, sedangkan masyarakat modern justeru menjadi contoh keterbelakangan, kemunduran, dan irasionalitas. Wanita tradisional dapat dipahami sebagai wanita yang maju dan bebas, sementara wanita modern justeru menunjukkan keterbelakangan dan irasionalitas. Demikianlah logika pembalikan dari apa yang dipahami oleh masyarakat modern tentang ukuran kemodernan, keterbelakangan, dan rasionalitas.

Tinjauan dua tipe masyarakat ini sesuai dengan realitas di negeri Arab. Tinjauan yang berdasarkan pemahaman bahwa hanya ada satu tipe masyarakat, tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, studi-studi ilmiah yang tidak melihat adanya dua tipe masyarakat dalam kelompok sosial, kelas sosial, kaum intelektual, wanita, sistem ekonomi, etika, peradaban, dan kota ini, telah gagal dipandang dari perspektif ilmiah. Dengan kata lain, studi yang tidak mengakui masyarakat tradisional sebagai faktor peradaban yang steril dan tegak di atas jati dirinya adalah studi yang tidak ilmiah.

Penekanan parameter ideologi-kultural dalam memahami dua tipe masyarakat akan membentuk metode yang valid untuk menjelaskan realitas negara Arab dalam era transisi. Akan tetapi, fungsi parameter ini hanya sebagai landasan berpijak untuk menganalisis pranata masyarakat tradisional dan modern, kemudian berusaha membuat batasan-batasan terhadap berbagai aspek masyarakat yang terkait dengan kelompok, keluarga, etnis, iklim, dan nasionalisme yang terdapat di dalam masing-masing masyarakat.

Langkah ini diteruskan dengan membedakan perspektif pemikiran, teori, dan politik pada dua tipe masyarakat tersebut. Termasuk di dalamnya memberikan batasan pada hubungan antara dua tipe masyarakat tersebut serta hubungan keterlibatan masing-masing dalam suatu persoalan mendasar untuk menghadapi dominasi eksternal.

Dengan demikian, suatu pekerjaan yang bersifat metodologis mengenai perbedaan kedua tipe masyarakat telah dimulai dari luar (Barat). Itulah sebabnya, usaha ini perlu diletakkan pada jalan yang benar, yang mengantarkannya pada pemahaman terdalam. Hal ini membutuhkan pemahaman sejak dini bahwa realitas materi dan kehidupan dalam dua tipe masyarakat tersebut menyembunyikan konflik laten antara Islam dan westernisasi. Ini karena Islam berada pada lapisan paling dalam, sedangkan westernisasi menyusup dari luar untuk membelah masyarakat menjadi dua, yakni modern dan tradisional.

Eropa dan Studi-studi Sejarah

Perang Salib terjadi berkali-kali antara bangsa Eropa dengan Arab dan umat Islam. Meskipun perang ini telah membawa keberhasilan Eropa menguasai Dunia Islam selama dua abad (abad ke 12 dan 13 M), dan misi Barbar ini juga telah membantai ratusan ribu kaum muslimin, memporakporandakan negeri dan membuat kehancuran di muka bumi. Tetapi suatu yang tidak dapat dilakukannya adalah menghapuskan pola berpikir ideologi sosiokultural berlabel Islam.

Suatu hal yang menyebabkan dominasi Eropa tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghunjam di dalam hati dan kehidupan masyarakat.

Perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol. Begitu pula sewaktu Eropa pada abad ke-16 M dan seterusnya membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Eropa untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah, apalagi kemanusiaan berada pada masa perbudakan di tangan Eropa.

Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.

Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.

Dari Perlawanan Senjata ke Perlawanan yang Negatif (Pasif)

Ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam. Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka kedalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.

Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama --yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini-- di Arab, Turki, Iran, Afganistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.2

Posisi Eropa belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.

Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Eropa. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Eropa kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan (yang dipahami hanya secara materialistik dan sekularistik --peny.) serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.

Penyusupan dari Masyarakat Tradisional

Langkah perdana yang ditempuh Eropa untuk mendominasi masyarakat tradisional adalah dengan melakukan penyusupan yang dilakukan dalam berbagai bentuk. Strategi pertama diterapkan dengan menawarkan berbagai budaya tandingan dari Barat beserta langkah-langkah praktis untuk menerapkannya, sembari mengecilkan makna penting kebudayaan masyarakat tradisional.

Pada umumnya agen-agen modernisasi --sebagai salah satu respon terhadap imperialisme-- memainkan peranan yang sangat penting dalam menghadapi masyarakat tradisional. Peran ini khususnya tampak pada era kemerdekaan, yakni melalui serangan terhadap masyarakat tradisional dengan pemikiran dan kebudayaan. Agen-agen itu mengibarkan panji-panji nasionalisme dan revolusionisme dengan menghidupkan kembali semangat dan pengorbanan nenek moyang (nativisme) ketika berjuang melawan imperialisme.

Perlu diketahui bahwa beban penderitaan dalam perjuangan tersebut merupakan bagian masyarakat tradisional di kota-kota dan desa-desa.

Usaha menggali kembali sebagian kekuatan internal pembaruan ini mempunyai dimensi nasionalisme dan revolusionisme ala Barat. Terkadang upaya tersebut dipaksakan dengan kekuatan, bahkan tampak tak terlepas dari hubungannya dengan imperialisme Barat terhadap Islam dan umatnya. Dengan demikian, fenomena yang muncul adalah saling berhadapannya kelompok modernis dengan masyarakat tradisional. Realitas inilah yang membentuk dua corak respon terhadap kolonialisme, yaitu corak yang berpegang pada inti kemerdekaan yang diformulasikan oleh masyarakat tradisional dan corak yang mengikuti Barat yang dipelopori para modernis.

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team