TIPOLOGI MASYARAKAT ARAB KONTEMPORER (3/4)

Oleh: Prof. Munir Syofiq


Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Faktor-faktor Penghambat Proses Kemerdekaan

Pertama, kaum imperialis sejak semula telah membawa program memecah belah negara-negara Islam umumnya dan negara-negara Arab khususnya. Ini disebabkan kesatuan negara-negara ini menghasilkan kekuatan ideologis-kultural yang mantap. Upaya memecahbelahnya akan membuat negara-negara tersebut lemah sehingga mudah ditundukkan agar berkiblat pada jejak imperialis. Kaum imperialis menyadari bahwa memukul masyarakat tradisional di negara-negara Arab adalah tidak mungkin kecuali umat Islam khususnya dan bangsa-bangsa Arab khususnya berada dalam kondisi berpecah belah.

Kedua, para imperialis berusaha keras menghancurkan tanaman-tanaman tradisional, usaha-usaha yang telah ada, sistem pemilikan, pertukaran, produksi, dan pekerjaan umum yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Upaya ini merupakan salah satu strategi menghalangi kemerdekaan yang mengakibatkan negeri-negeri jajahan mengekor pada Barat.

Mereka menuntut agar pribumi berpakaian, makan-minum, membangun rumah, berproduksi, membina anak, dan lain-lainnya dengan cara Barat. Sehingga disulutlah peperangan secara umum di tengah-tengah masyarakat tradisional untuk melawan teknik-teknik pertanian, produksi, bangunan, pola berpakaian, makan, minum, pendidikan, rumah tangga, serta nilai-nilai moral dan sosial.

Kemudian mereka melancarkan perang psikologis untuk menghadapi kelompok pribumi yang menentang Eropa dalam berbagai aspek. Usaha ini dilakukan dengan mengubah konsep-konsep kebudayaan tradisional ke konsep Eropa. Misalnya konsep sains dan kemajuan yang diperkenalkan oleh kelompok modernis di negara-negara Islam. Perubahan ini akhirnya mengakibatkan tumbuhnya pemahaman dan sikap masyarakat yang baru tentang negerinya dan Barat, yaitu Barat identik dengan peradaban maju, kebebasan, dan kebesaran, sedangkan negara Islam sebaliknya.

Demikianlah proses terbentuknya masyarakat modern. Kemudian masyarakat baru ini berusaha memperkokoh eksistensinya di sisi masyarakat tradisional yang berupaya sekuatnya tetap mempertahankan jati diri.

Ketiga, kaum imperialis memfokuskan perhatiannya untuk menghancurkan peranan ilmu-ilmu keislaman dan lembaga-lembaga pendidikan tradisional yang bercorak kebangsaan dan tradisi. Mereka mengubah pola kehidupan kultural yang dihayati masyarakat tradisional serta melecehkan dan menghinanya secara berlebihan. Kemudian mereka membangun sekolah-sekolah modern dan memberi semangat pada para siswa untuk memasuki universitas-universitas Eropa.

Setiap parameter mereka dijadikan sebagai ukuran yang berlaku pada masyarakat modern, serta para pegawai, pembuat hukum, kalangan profesi, intelektual, pendidik, sastrawan, dan budayawan dijadikan sebagai pelopornya. Padahal ukuran-ukuran baru yang ditawarkan tidak relevan dengan realitas masyarakat tradisional, dan hanya relevan dengan alumni sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka, serta orang-orang yang mengambil program dan metodologinya dalam bidang-bidang tersebut.

Demikianlah, tugas-tugas dan posisi-posisi di dalam negara, tentara, koperasi, bank, dan lembaga-lembaga kebudayaan merupakan bagian dari proyek alumni perguruan tinggi Barat atau hasil modernisasi ala Barat. Sedangkan lapisan terdidik dari kelompok masyarakat tradisional tidak memperoleh kesempatan dalam proyek ini.

Keempat, kaum imperialis sengaja menciptakan intrik terhadap kaum minoritas (non muslim) dan pertentangan mazhab di kalangan masyarakat tradisional, padahal kaum minoritas lebih dekat dengan masyarakat tradisional. Untuk memudahkan proses pembentukan masyarakat modern, usaha tersebut harus mereka lakukan. Sebagai contoh, orang-orang Kristen Arab sebenarnya memiliki akar-akar kesejarahan dan pembentukan jati diri kultural-ideologis (sejarah, tradisi, moral, dan jalan hidup) yang lebih dekat dengan masyarakat tradisional.

Eropa merasa kesulitan ketika ingin memisahkan dua unsur tersebut karena ia harus berhadapan dengan jaringan yang kokoh di dalam negara Arab, akan tetapi, hal itu tidak menghambat keberhasilan Eropa pada kurun waktu belakangan ini, khususnya ketika sebagian pribumi (non muslim) mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah misionaris yang menyebarkan pengaruh modernisasi. Akibatnya, kelompok minoritas ini semakin jauh dari masyarakat tradisional dan semakin dekat dengan masyarakat modern.

Pembahasan ini telah meliputi lingkup dua tipe masyarakat yang berada di Arab.

Lenyapnya Keseimbangan

Dampak peperangan ini memasuki berbagai macam nilai, ukuran, dan moral yang dibangun masyarakat tradisional. Mereka didesak untuk meninggalkan tradisi lama dan melepaskan diri dari nilai-nilai dan parameter-parameternya. Hal ini terjadi ketika nilai-nilai dan ukuran-ukuran baru menggeser nilai-nilai dan ukuran-ukuran lama yang mengakibatkan pertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang selama ini dipegang masyarakat tradisional. Masyarakat menjejakkan kakinya di atas bumi secara tidak mantap, karena kemajuan yang dicapai pada dasarnya bermakna semu dan masyarakat cenderung bersikap dualistik.

Meski demikian, tujuan para imperialis hanya dapat direalisasikan pada sebagian masyarakat saja, bukan keseluruhannya. Masyarakat tradisional masih tetap bertahan, meskipun telah mengalami banyak kerugian dan desakan di sana-sini. Sedangkan dari masyarakat modern, yang semula diharapkan Eropa untuk memantapkan misi pembaruannya, ternyata sebagian justru mengadakan perlawanan terhadap imperialisme dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan negerinya. Kelompok ini banyak bermunculan pada 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Kelompok ini merintis perlawanan lokal terhadap dominasi langsung kekuatan asing dan mendirikan pemerintahan regional yang mandiri.

Masyarakat Modern yang Konsumtif

Realita sosial menunjukkan bahwa racun yang disebarkan kaum imperialis untuk mengubah perjalanan masyarakat menuju modernitas, ternyata membentuk prinsip-prinsip dasar untuk menyempurnakan strategi pembebasan diri dari dominasi asing. Kekuatan nasional yang bergerak menuju terciptanya masyarakat modern tidak memahami dimensi kultural dalam konflik yang terjadi. Mereka dengan bersemangat menghancurkan semua aspek yang telah mapan dalam masyarakat tradisional, yaitu: pertanian, industri, pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan perilaku. Hal ini dilakukan tanpa memperlemah akidah Islam sedikit pun. Artinya, usaha mereka dilakukan tanpa memahami inti penyebab perang secara komprehensif yang menjadi obsesi kaum imperialis dalam memusnahkan masyarakat tradisional dan membangun masyarakat modern ala Barat.

Mereka juga tidak menyadari bahwa imperialisme tidak hanya melakukan dominasi politik langsung dan merampas ekonomi saja, melainkan berdimensi kultural untuk menghancurkan prinsip-prinsip kepribadian. Ketidaksadaran ini akan mengurangi perjuangan melawan imperialisme. Begitu pula perjuangan ekonomi akan melemah jika prinsip-prinsip dasar itu mengendur.

Pada 1960-an dan 1970-an, kondisi masyarakat semakin buruk akibat intervensi asing. Dunia terperosok dalam perangkap rasionalisme destruktif atau tepatnya dalam pola kehidupan gaya Amerika yang merusak. Sesungguhnya rasionalisme masyarakat modern membawa konsesi-konsesi (kerelaan-kerelaan) yang jauh, yaitu menjadikan masyarakat modern semakin berkembang sesudah kemerdekaan, peran wanita lebih dominan dari masa-masa sebelumnya dan memperkokoh dirinya secara tidak proporsional, dan pemasokan peralatan industri besar yang tidak disertai kualitas sumber daya manusia (SDM) sehingga mengakibatkan membengkaknya hutang negara serta menguatnya kelemahan dan ketergantungan dengan dunia maju. Strategi alih teknologi dari Amerika terus dimaksimalkan, yang berakibat menguatnya dominasi asing di kawasan ini, khususnya dalam aspek kebudayaan dan peradaban.

Kesinambungan kehidupan berdasarkan pola modern atau usaha melestarikannya hingga pasca kemerdekaan dan keberhasilan revolusi nasional, mendorong suatu negara untuk mengarah ke sistem asing, meskipun warganya memiliki cita-cita luhur dan perasaan nasionalisme. Selama kita masih membebek pada Barat dalam segala hal, kita tidak dapat terlepas dari kungkungannya. Apakah kita hendak membiarkan mayoritas rakyat pada sikap pembebekan tersebut? Kita ambil contoh sederhana. Sesungguhnya mengenakan busana Eropa sebagai ganti busana tradisional tidak sekadar mengubah bentuk pakaian saja, melainkan diikuti pula oleh perubahan pada sektor lain seperti pertanian, industri, profesi, dan lain-lain yang terkait. Lebih dari itu, perubahan busana akan melahirkan perubahan sikap dan tingkah laku karena si pemakai harus menyesuaikan diri dengan busana yang dikenakannya. Padahal jika kita tetap mempertahankan busana yang sesuai dengan jati diri bangsa dan mengembangkannya berdasarkan prinsip-prinsipnya, tentu pertanian, pasar, dan profesi kita akan semakin berkembang pula. Terobosan ini akan mengurangi tumpukan hutang kita, sehingga kita dapat memecahkan persoalanpersoalan lain.

Jadi, masalah yang kita hadapi adalah intervensi asing di bidang kebudayaan, spiritual, moral, kemerdekaan dan keaslian tradisi, serta ekonomi dan pertumbuhan. Pendek kata, semua aspek peradaban.

Dominasi ekonomi-militer tidak akan berhasil sebelum prinsip-prinsip masyarakat tradisional dihancurkan dan diganti dengan prinsip-prinsip baru yang tergantung pada Barat. Bila proses modernisasi terus ditekankan, maka pembebekan terhadap Barat akan tetap terjadi, sebab ia merupakan mata rantai modernisasi.

Akibat Pemisahan Diri dari Masyarakat Tradisional

Masyarakat modern membentuk patokan-patokan yang menjadi dasar logika sikap kebarat-baratan atau pemisahan diri dari peradaban Arab-Islam, tradisi, dan sejarahnya. Masyarakat yang mengekor pada Barat ini telah diabaikan sebagian bangsanya sehingga mengalami kemunduran, namun menurut persepsinya, mereka sedang mengalami kemajuan. Mereka mengekor, namun merasa telah mandiri. Mereka mengeksploitasi mayoritas masyarakat, namun merasa telah berbakti demi kebaikan masyarakat! Anggapan ini disebabkan oleh pemikiran, metodologi, dan langkah strategi yang diterapkan terlepas dari akar-akar kebangsaan dan kaidah-kaidahnya yang kokoh dan absah secara historis. Pemisahan diri dari masyarakat tradisional berarti melepaskan kita dari patokan revolusi. Padahal masyarakat luas mampu menghadapi kekuatan asing, berjuang untuk meraih kemerdekaan, dan membangun patokan yang tak tergoyahkan oleh pola hidup destruktif.

Pertentangan yang Kompleks

Kita melihat sebab-sebab yang membuat pertarungan peradaban sejak semula telah memicu konflik antara kaum imperialis dan masyarakat tradisional. Kedua kubu ini amat memahami seluk-beluk perang sehingga masing-masing bertempur dalam berbagai aspek, selain politik dan militer. Maka pecahlah perang pemikiran dan moral. Bertemulah kedua paradigma pemikiran ini yang menimbulkan pertentangan yang kompleks. Kelompok modern meletakkan persoalan yang muncul dalam konteks perang melawan keterbelakangan dan kemunduran, bukan pertentangan antara kemerdekaan dan ketergantungan (terhadap bangsa asing dan cara hidupnya). Sedangkan kelompok masyarakat tradisional mengagendakan permasalahan dalam konteks perang melawan kerusakan moral. Mereka menyadari bahwa memerangi kerusakan moral dengan menghancurkan sebab-sebab utamanya juga bermakna perang demi kemerdekaan. Ini karena kerusakan moral dapat melenyapkan prinsip-prinsip masyarakat yang fundamental, yaitu: ideologi, pemikiran, kebudayaan, moralitas, pola hidup, produksi, dan eksistensinya.

Kalangan intelektual nasionalis (kelompok modernis) turut bergabung melawan keterbelakangan dan kemunduran dengan mengupayakan cara-cara membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan dan kemunduran dalam rangka mencapai kemerdekaan nasional. Akan tetapi, kelompok modernis mengadopsi metodologi Barat dalam mencapai kemajuan, sedangkan masyarakat tradisional cukup puas dengan penolakan terhadap hal-hal yang merusak moral dan menghindari keterlibatan dalam politik untuk sementara. Pada periode lain, kelompok tradisional benar-benar menjauhkan diri dari kancah kemerdekaan dan penolakan terhadap sikap meniru Barat. Hal ini mengakibatkan tertutupnya muatan yang lebih luas bagi perang, sebab perang diidentikkan dengan pertempuran fisik. Masyarakat tradisional sangat banyak jumlahnya dan jika mereka berperang, maka tak ada pilihan lain kecuali hidup atau mati. Sejarah yang menyaksikan membanjirnya darah masyarakat dalam perjuangan tanpa memperoleh kemenangan, berulang-ulang mengingatkan kita agar lebih sabar menghadapi masalah dan bekerja secara diam-diam. Akan tetapi, konflik terselubung memang secara potensial berkembang menjadi konflik terbuka dari situasi ke situasi. Masyarakat tradisional telah mengorbankan nyawa untuk memelihara kemurnian dan kemerdekaan melawan berbagai tekanan hebat dari berbagai penjuru.

Catatan Seputar Tipologi Masyarakat

Berdasarkan klasifikasi masyarakat menjadi dua tipe tersebut, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan di bawah ini.

Masyarakat Tradisional

Masyarakat tradisional, yang menjadi mayoritas penduduk, sangat teguh memelihara upaya perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan kultural Barat. Sebagai bukti pemeliharaan terhadap prinsip-prinsip dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada pola kehidupan Islami dan tidak meniru Barat.

Sikap ini merupakan landasan yang kokoh bagi perjuangan nasional dan merupakan faktor yang membuat kelompok ini lebih banyak berperan pada fase pembangunan kemerdekaan, persatuan, revolusi, dan pertumbuhan. Meski demikian, perlu diperhatikan beberapa kekurangan masyarakat tradisional yang akan ditengarai di bawah ini.

Pertama, konflik melawan kekuatan yang muncul dari dalam masyarakat tradisional jauh lebih sulit daripada konflik melawan agen-agen masyarakat modern. Acapkali terjadi, suatu pribadi atau kelompok (misalnya sebagian tokoh Asy'ari) cukup berakar di masyarakat dan mampu memicu konflik di dalam tubuh masyarakat tradisional. Suatu waktu mereka dapat menonjolkan semangat etnis dan kelompoknya.

Menurut sebagian peneliti kontemporer, para tokoh sekularis Barat mengutamakan penyelesaian masalah kelemahan masyarakat, ekonomi, dan bangsa atas dasar kelompok, etnis, dan keturunan. Akan tetapi, kelompok dalam masyarakat tradisional ini juga berpandangan bahwa penonjolan Islam akan menyelamatkan rasa fanatisme yang telah pudar ketika berdampingan dengan sekularisme.

Kedua, para pejuang menceritakan peristiwa-peristiwa sedih secara berlebihan, hal-hal yang mengganggu pikiran, dan intimidasi yang sangat keras kepada generasi muda. Faktor ini mewariskan kepada mereka kecenderungan untuk selalu khawatir, menimbulkan sikap negatif, dan menenggelamkannya dalam kejumudan. Selama belum diubah, sikap semacam ini akan menghambat potensi aktif mereka untuk memainkan peran kreatif dan positif dalam menyelesaikan problema sosial.

Kini bukan saatnya lagi kita merasa cukup kembali kepada jati diri, karena kunci kemenangan terletak pada kemampuan menyuguhkan solusi islami yang antisipatif terhadap problematika kontemporer. Apalagi solusi tersebut diberikan pada saat situasi dunia berada dalam krisis panjang dan suasana kehidupan yang mencekam.

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team