TIPOLOGI MASYARAKAT ARAB KONTEMPORER (4/4)

Oleh: Prof. Munir Syofiq


Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Ketiga, masyarakat tradisional menghadapi persoalan dominasi asing atau dominasi masyarakat modern sebagai kendala yang berkesinambungan, khususnya penetrasi nilai-nilai dan modernisasi Barat. Dalam kenyataan, mayoritas masyarakat tidak mampu membendung pengaruh-pengaruhnya, bahkan cenderung menerima nilai-nilai tersebut sebanyak-banyaknya. Memang perlawanan secara perorangan mampu menolak unsur-unsur esensial dari modernisasi Barat, namun lambat laun pertahanan itu akan rapuh.

Fenomena paling berbahaya yang menyerang masyarakat Arab dewasa ini adalah gelombang pasang kekayaan minyak yang berdampak pada tumbuhnya gaya hidup hedonis dan konsumtif. Sangat disayangkan, fenomena tersebut tidak hanya ditemui pada masyarakat Arab modern, tetapi juga masyarakat tradisional. Acara TV yang bersifat destruktif, film video yang mengumbar kekerasan dan seks, dan mode pakaian yang tidak islami dapat ditemui di desa-desa. Perluasan pendidikan sekular melalui metode-metode modern merembesi rumah-rumah.

Fenomena paradoksal tersebut timbul karena tuntutan kehidupan modern ala Barat yang diperkenalkan oleh media massa serta pilihan kebijakan politik pemerintah. Di sisi lain, umat Islam tidak mampu mengedepankan alternatif islami untuk mengantisipasi dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi secara tepat, sehingga paradoks-paradoks tersebut menebarkan bahaya destruktif di negeri Arab.

Menangani konflik melawan penetrasi ini jauh lebih sulit daripada sekadar perang di atas altar kebudayaan, pemikiran, moral, dan tradisi. Masyarakat konsumtif yang sedang kita hadapi merupakan faktor penghambat proses liberalisasi, mengejar ketertinggalan, dan menanamkan prinsip-prinsip kebangkitan Islam yang jauh dari sikap pembebekan terhadap Barat.

Keempat, masyarakat tradisional hidup dalam pertahanan panjang, mereka memagari dan membentengi diri secara kokoh dari berbagai pengaruh negatif. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang mampu menembus pertahanan tersebut. Mereka berlebihan dalam mempertahankan dan membentengi diri sehingga berbagai upaya pembaruan dan perubahan masyarakat tradisional membutuhkan perjuangan yang besar dan mungkin dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat tradisional dalam masa transisi menuju masyarakat modern.

Hal ini mengakibatkan terciptanya dinding pembatas yang tinggi di pihak masyarakat tradisional. Dinding pembatas itu secara temporal dianggap penting ketika terjadi keterbukaan antarbudaya yang menyebabkan masyarakat tradisional terseret dalam gaya hidup konsumtif dan pembebekan terhadap Barat yang mengakibatkan jati diri bangsa terancam. Akan tetapi, pada masa ketika masyarakat dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, sikap tersebut menjadi negatif, karena dalam situasi pembangunan, yang dibutuhkan bukan hanya sikap defensif. Sejauh penjagaan dimaknai sebagai upaya melindungi jati diri bangsa dan menangkal dominasi asing, maka hal itu wajar.

Keberhasilan pembangunan akan dicapai bila dibarengi dengan upaya mempertahankan identitas keislaman. Karena itu, salah satu metode yang harus ditempuh untuk meraih kesuksesan Islam di Arab adalah dengan menarik unsur-unsur masyarakat modern semaksimal mungkin, membinanya dengan dakwah, dan tidak membiarkannya terpengaruh cara hidup sekular.

Masyarakat tradisional telah merespon tantangan yang dihadapi dalam bentuk perlawanan dan pertahanan, tetapi mereka belum beranjak pada langkah-langkah yang harus ditempuh setelah meraih kemenangan. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak mampu. Sebaliknya, kesuksesan pertama menunjukkan kemungkinan kesuksesan berikutnya. Usaha yang perlu dilakukan adalah menyodorkan solusi terhadap problematika manusia dewasa ini dan merekonstruksi masyarakat secara positif. Kegagalan pada masa lalu yang mengakibatkan umat Islam semakin membebek terhadap Barat menunjukkan kelemahan kita dalam memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.

Masyarakat Modern

Pertama, bentuk kebudayaan dan peradaban masyarakat modern mengikuti pola kehidupan, cara, ukuran, dan konsep Barat, termasuk teori, partai, perspektif pemikiran ideologis, dan politiknya. Masyarakat modern merupakan cetak biru masyarakat Barat, sehingga pertumbuhan dan perkembangan mereka meninggalkan model masyarakat tradisional, bahkan berlawanan.

Meskipun struktur dan elemen-elemen masyarakat modern lemah dan rapuh dibandingkan dengan masyarakat tradisional, namun mereka mendominasi sektor-sektor terpenting dan strategis. Mereka berkepentingan mewujudkan persatuan dua bentuk masyarakat yang ada dengan mengkondisikan masyarakat tradisional untuk menerima modernisasi. Maka terjadilah kontradiksi-kontradiksi antar keduanya secara mendalam dan esensial.

Masyarakat modern cenderung agresif dan otoriter dalam menghadapi masyarakat tradisional. Mereka menggunakan pendekatan apa saja yang memungkinkan untuk menyodorkan modernisasi kepada masyarakat tradisional. Masyarakat modern lebih mengutamakan alternatif-alternatif Barat daripada kembali ke pandangan hidup masyarakat tradisional. Akan tetapi, sikap tersebut tidak dapat mencegah hal sebaliknva dari masyarakat tradisional dalam keimanan, perasaan nasionalisme, kemerdekaan, dan kehormatan.

Kedua, masyarakat modern mencoba menghapuskan pemikiran masyarakat tradisional dengan jalan membodohi, menyepelekan, atau menganggapnya sebagai pemikiran yang terbelakang dan suram. Mereka mencoba melupakan keberadaan pemikiran pembanding (Islam).

Ketiga, masyarakat modern berusaha melepaskan diri dari negerinya karena model ideal mereka berasal dari luar (Barat), sedangkan masyarakat tradisional yang merupakan mayoritas masih tetap berpegang pada nilai-nilai dan kepribadian nasional. Sehingga perubahan revolusioner sulit diwujudkan, sebab perubahan dapat terjadi bila melibatkan mayoritas masyarakat.

Perubahan kepercayaan, pemikiran, kebudayaan, dan peradaban merupakan prasyarat bagi perubahan ekonomi, politik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, ketika masyarakat modern tak dapat mengakomodasikan apa yang tersedia di lingkungannya, mereka memilih alternatif atau model dari negara imperialis yang menjadi pusat-pusat kekuatan dunia. Secara politis, mereka berlindung pada negara-negara tersebut. Terbukalah kemungkinan konfrontasi antara kekuatan eksternal dengan kekuatan internal (kekuatan Islam) bila Islam hendak ditampilkan sebagai kekuatan nyata.

Keempat, para imperialis membangun sekolah-sekolah dan universitas-universitas untuk menghasilkan lapisan intelektual yang dapat berkolaborasi dan memberikan kontribusi langsung maupun tak langsung dalam bidang akidah dan pemikiran kebudayaan.

Antek-antek imperialis melakukan kezaliman terhadap bangsa dan merendahkannya. Umat merasakan perlakuan itu dan bangkit melawan golongan imperialis.

Sebagian intelektual sekular mencoba memerangi imperialisme secara politik dan ekonomi. Akan tetapi, kacamata politik dan ekonomi yang digunakan berakar pada peradaban Eropa yang membuat mereka semakin jauh dari masyarakat tradisional dan dekat dengan pihak yang sepaham di luar negeri. Kondisi ini menyebabkan mereka membawa benih-benih pertentangan asasi dengan bangsa sendiri dan pengekoran terhadap pihak asing. Kalangan intelektual ini tetap menghadapi kendala liberalisasi dan pentingnya menanggalkan sikap kebarat-baratan yang tidak akan berhasil kecuali melalui perubahan mendasar ke dalam dan memutuskan hubungan dengan pihak luar (Barat).

Kelima, masyarakat modern tidak mempunyai program revolusi, melainkan mempunyai program dominasi kekuasaan. Ini karena masyarakat modern tidak mengambil model perubahan dari bangsanya, tetapi dari Barat. Padahal suatu revolusi tidak akan berhasil kecuali bila berasal dari dalam (bangsa). Dengan kata lain, tidak ada revolusi dalam rangka perubahan positif dan mendasar yang dapat mempersatukan dan membebaskan umat, melenyapkan kezaliman, serta memotivasi orang-orang untuk bekerja, mengajar, dan berkreasi, melainkan yang bersumber pada ajaran Islam.

Revolusi tidak akan terjadi bila didasari pemikiran kebarat-baratan atau di bawah komando para tokoh modernis sekular. Karenanya, para cendekiawan arsitek revolusi yang ingin menyatukan masyarakat, membebaskan negeri, menegakkan demokrasi sebagai ganti kediktatoran, keadilan sebagai ganti kezaliman, dan intelektualitas sebagai ganti sikap peniruan, maka akan sia-sia selama mereka tidak mengubah diri dan kembali ke pangkuan akidah, pemikiran, dan peradaban Islam.

Kesinambungan hidup di atas pola modern yang meniru buta dari model Barat atau usaha mempertahankan kelestariannya setelah era kemerdekaan adalah sebuah tindakan subjektif, meskipun dilandasi niat baik dan perasaan nasionalisme.

Disintegrasi, Integrasi, dan Tipologi Masyarakat

Kita perlu mengingat kembali bahwa salah satu faktor definitif yang membuat masyarakat umum merasa lemah dan menyebabkan masyarakat tradisional berlama-lama menghadapi situasi negatif adalah disintegrasi. Faktor ini mengakibatkan negara-negara Islam, termasuk di Arab, menjadi negara-negara kecil dan lemah.

Disintegrasi merupakan faktor terpenting yang dilancarkan imperialisme untuk mendominasi pemerintahan suatu negara sehingga pembangunan masyarakatnya diorientasikan pada corak Barat. Masyarakat Barat dibangun di atas dasar disintegrasi dan diskriminasi yang menjadi tumpuan rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pola kehidupan Barat. Hal-hal tersebut tidak berarti di hadapan Islam dan masyarakat tradisional yang masih orisinil sebagai rival negara disintegrasi dan aspek-aspek yang bertumpu pada disintegrasi dan diskriminasi (rasionalitas Eropa, logika pembaratan, dan pemolaan kehidupan Barat).

Perang ideologi-kultural semakin membara setelah berdirinya masyarakat modern. Maka masyarakat tradisional menegaskan peperangan yang menyeluruh melawan kekuatan imperialisme asing, sebagaimana mereka menegaskan penentangan terhadap kelompok-kelompok lokal yang menjadi eksponen pembaruan versi Barat.

Secara historis, masyarakat modern lahir dalam lingkup disintegrasi, sehingga negerinya pun berwatak disintegratif. Padahal lembaga-lembaga ekonomi dan kebudayaannya merupakan institusi lokal. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat modern merupakan produk undang-undang disintegrasi yang berdampingan dengan agama dan melahirkan disintegrasi dalam berbagai hal.

Sebagai perbandingan, perlu diketahui bahwa masyarakat tradisional lahir, tumbuh, dan mengalami dinamika dalam ayoman integrasi Islam yang lebih luas selama kurang lebih tiga belas abad, kemudian mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh masyarakat modern dengan imperialisme dan batasan-batasan disintegrasinya. ltulah sebabnya, masyarakat tradisional merasa tertekan hidup di bawah sistem disintegrasi. Secara historis dan teologis, Islam memang paling tepat bagi mereka.

Bila kita memahami hal tersebut dari sisi hubungan masyarakat modern dengan disintegrasi dan masyarakat tradisional dengan integrasi, maka terlihat bahwa keduanya mempunyai peluang untuk menciptakan hasil-hasil yang luar biasa bagi kekuatan Arab menuju integrasi yang sebenarnya. Hasil terpenting tersebut adalah bahwa kekuatan itu muncul dari komitmen terhadap Islam, akidah, metode, dan sistemnya, serta pemahaman terhadap masyarakat tradisional dalam perspektif yang benar terhadap integrasi. Demikian pula ketulusan bekerja dalam rangka mencapai integrasi Arab mengharuskan kita melepaskan diri dari proses pembaruan yang disintegratif dan berbagai mazhab pemikiran Barat-sekular. Bila kesimpulan ini benar, maka dapat digunakan untuk melihat sebab-sebab yang menjadikan program-program integrasi Arab mengalami kegagalan setiap dicoba di negara dan masyarakat modern.

Integrasi Masyarakat

Sejak semula para imperalis ingin merongrong integrasi masyarakat Arab, memotong jalinan kesejarahan, dan mengubahnya menjadi masyarakat pengekor kebudayaan Barat. Dalam batas-batas tertentu, usaha tersebut telah menampakkan hasilnya. Realitas kontemporer menunjukkan adanya dua kelompok masyarakat yang saling bertentangan di wilayah Arab. Kini, kedua kelompok tersebut terlibat konflik berkepanjangan sehingga lenyaplah kekuatan mereka. Padahal di masa lalu, keduanya bersatu padu. Kondisi tersebut melemahkan posisi Arab di hadapan kekuatan musuh asing yang bersatu.

Integrasi keduanya tidak akan berhasil dengan cara berandai-andai atau membiarkan penyebab utamanya terus berkembang. Masalah ini dapat dicarikan penyelesaiannya melalui pemahaman mendalam dan tepat mengenai realitas masing-masing kelompok masyarakat. Kita tidak mungkin merealisasikan integrasi, mewujudkan revolusi kemajuan, dan pemecahan masalah-masalah besar selama tidak melepaskan diri dari ketergantungan pada Barat dan menolak kesenjangan secara tegas.

Syarat keluar dari kejumudan dan ketertinggalan itu adalah berpijak pada masyarakat tradisional yang bernaung di bawah panji Islam. Kembali kepada Islam merupakan syarat kemajuan yang sebenarnya dan orisinal, serta bagi kebangkitan berbagai lapisan dan kelas masyarakat. Wallahu a'lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Terminologi "modern" atau "modernisme" yang terdapat pada pembahasan ini bermakna kemajuan atau paham kemodernan yang berwatak sekularis-materialis sebagaimana lazimnya paradigma modernisme Barat. Penjelasan ini perlu diberikan untuk menghindari kesalahpahaman yang memandang Islam sebagai agama antikemajuan (antimodern). Pada masa keemasan Islam, peradaban Islam adalah peradaban yang sangat modern, ketika Eropa masih begitu primitif. Bahkan renaisans Eropa berhutang budi pada proses berpikir dan hasil-hasil modemisasi ala Islam. (Penyunting).

2 Abdul Qadir al-Jazairi, Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (tokoh tarekat Sanusiyah), Muhammad Ahmad al-Mahdi, dan Ahmad Syahid (tokoh tarekat Chistiyah dan Naqsyabandiyah) adalah tokoh-tokoh sufi. Di Indonesia, untuk menyebut sedikit contoh, kita mengenal Syekh Yusuf al-Makassari --beliau menguasai lebih dari satu tarekat-- dan Pangeran Diponegoro sebagai sufi-sufi pejuang yang gigih bertempur menentang kolonialisme. Fakta sejarah ini merupakan antitesis terhadap anggapan bahwa tasawuf telah memundurkan umat karena ajarannya yang fatalistik. Bahkan tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna, sejak usia 16 tahun telah berbai'at menjadi anggota tarekat Hasafiyah (Lihat: Ensiklopedia Islam Indonesia, Djambatan, 1992, hlm. 303). (Penyunting)

(sebelum, sesudah)


Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team