| |
|
IV. SIKAP PENGARANG PENGARANG KRISTEN TERHADAP KESALAHAN ILMIAH DARI TEKS BIBEL (1/2) PENELITIAN MEREKA YANG KRITIS Kita merasa heran karena reaksi yang berbeda-beda yang ditunjukkan oleh ahli tafsir Kristen terhtadap kumpulan kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan kontradiksi ini. Di antara mereka ada yang mengakui sebagian kesalahan-kesalahan tersebut dan tidak segan-segan membicarakan soal-soal yang rumit itu dalam karangan-karangan mereka. Ada golongan lain yang secara lihai menghindari hal-hal yang tak dapat dipertahankan, tetap mempertahankan kemurnian Bibel kata demi kata serta berusaha meyakinkan orang lain dengan keterangan-keterangan yang bersifat apologetik dengan memakai argumentasi yang tak terduga, dan dengan begitu mengharap orang lain akan melupakan soal-soal yang ditolak oleh logika. R. P. de Vaux, dalam pengantar terjemahan Kitab Kejadian mengakui adanya kritik-kritik dan mengakui pula kebenaran kritik-kritik tersebut, akan tetapi, baginya, tidaklah penting untuk mengadakan penyusunan baru terhadap kejadian-kejadian pada masa yang lampau. Ia menulis dalam catatan-catatannya: bahwa Bibel menyebutkan kenangan sesuatu atau beberapa banjir yang dahsyat di lembah Tigris atau Euphrate, yaitu banjir-banjir yang dibesar-besarkan dalam tradisi sehingga menjadi suatu bencana dunia, adalah tidak penting; yang penting adalah bahwa pengarang Kitab Kejadian telah mengisi kenangan itu dengan ajaran abadi mengenai keadilan dalam rahmat Tuhan, serta kejahatan manusia, dan keselamatan bagi orang yang benar. Dengan begitu maka untuk merubah suatu legenda rakyat menjadi suatu kejadian suci yang perlu diyakini oleh umat beragama, adalah suatu tindakan yang dapat dibenarkan selama pengarang memakainya untuk contoh dalam pelajaran agama. Sikap apologetik semacam itu akan membenarkan segala macam penyalahgunaan tulisan-tulisan yang dianggap suci dan mengandung sabda Tuhan. Membenarkan campur tangan manusia dalam hal-hal yang suci berarti menutupi segala perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia terhadap teks Bibel. Jika terdapat suatu maksud teologik maka segala perubahan dibolehkan, dan dengan begitu maka orang membenarkan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pengarang-pengarang Sakerdotal (pendeta-pendeta) pada abad VI serta kesibukan-kesibukan legalistis yang akhirnya menghasilkan riwayat-riwayat khayalan yang sudah kita lihat. Ada kelompok yang tidak kecil daripada ahli-ahli tafsir Kristen yang merasa bangga untuk menerangkan kekeliruan, kesalahan dan kontradiksi yang terdapat dalam Bibel dengan mengemukakan alasan bahwa para pengarang Bibel terpengaruh oleh faktor-faktor sosial daripada peradaban atau mental yang berbeda dengan peradaban dan mental sekarang; ini berarti bahwa persoalan kekeliruan dan kontradiksi tersebut berakhir dan menjelma menjadi suatu jenis yang khusus daripada kesusasteraan. Penggunaan istilah "suatu jenis yang khusus daripada kesusasteraan" ini dalam perdebatan yang rumit di antara para ahli tafsir Bibel telah dapat menutupi segala kesulitan. Tiap kontradiksi antara dua teks dapat dijelaskan dengan: perbedaan cara ekspresi daripada tiap pengarang, khususnya perbedaan gaya sastranya. Sudah tentu argumentasi seperti ini tidak dapat diterima oleh semua orang, karena argumentasi tersebut tidak serius. Tetapi argumentasi tersebut masih ada orang yang memakainya sekarang, dan dalam membicarakan Perjanjian Baru, kita akan melihat orang-orang menafsirkan kontradiksi yang ada didalamnya dengan cara yang berlebihan. Suatu cara lain untuk memaksakan hal-hal yang tak dapat diterima oleh logika dalam teks Bibel adalah dengan mengelilingi teks tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan apologetik. Dengan begitu maka perhatian pembaca dialihkan dari problema crucial mengenai kebenaran kepada problema-problema lain. Pemikiran-pemikiran Kardinal Danielou mengenai Banjir yang dimuat dalam majalah Dieu Vivant (Tuhan yang hidup), nomor 38 tahun 1947 halaman 95-112 dengan judul "Banjir Pembaptisan dan Hukuman," menunjukkan cara tersebut. Ia menulis: "Tradisi yang paling kuno daripada Gereja telah terlihat dalam Teologi Banjir, gambar Yesus Kristus dan gambar Gereja. Ini adalah hikayat yang besar sekali artinya. Hukuman yang mengenai seluruh umat manusia." Setelah mengutip Origene yang dalam karangan: "Ceramah tentang Yehezkiel," membicarakan tentang tenggelamnya seluruh Dunia dan diselamatkannya dalam Perahu, Kardinal Danielou tersebut membicarakan tentang pentingnya angka delapan (yang menunjukkan jumlah orang yang diselamatkan oleh Perahu; Nuh dan isterinya serta tiga orang anaknya dan isteri-isteri mereka). Ia mengulangi yang ditulis oleh Yusten dalam Dialognya "mereka itu memberikan simbol hari ke delapan, hari Yesus Kristus dibangkitkan dari mati" dan ia menulis: "Nuh, yang dilahirkan pertama daripada penciptaan baru, suatu citra Yesus Kristus yang merealisir apa yang digambarkan oleh Nuh." Ia meneruskan perbandingan antara Nuh yang diselamatkan oleh kayunya perahu dan oleh air yang mengapungkannya, dan air pembaptisan (air Banjir yang melahirkan kemanusiaan baru) dan kayu salib. Kardinal menekankan nilai simbolisme dan menutup uraiannya dengan menekankan kekayaan spiritual dan doktrinal daripada sakramen Banjir! Banyak sekali yang dapat dikatakan mengenai pendekatan-pendekatan apologetik. Pendekatan semacam itu menerangkan suatu kejadian yang tak dapat dipertahankan kebenarannya, dan pada waktu yang diterangkan oleh Bibel, dengan penjelasan yang bersifat universal. Dengan tafsiran seperti yang ditulis oleh Kardinal Danielou kita kembali ke abad pertengahan di mana kita harus menerima teks apa adanya dan segala pembicaraan mengenainya terlarang kecuali pembicaraan yang menguatkan. Meskipun begitu, saya merasa segar bahwa sebelum periode obscurantisme yang dipaksakan ini, kita baca sikap-sikap yang logik seperti sikap Agustinus yang menunjukkan pemikiran yang maju, lebih dahulu daripada pemikiran yang ada pada masa hidupnya. Pada periode pendeta-pendeta Gereja, problema kritik teks sudah terasa oleh karena Agustinus menyebutkannya dalam suratnya no. 82, yaitu yang mengandung kalimat-kalimat penting sebagai berikut: "Khusus kepada fasal-fasal dari Bibel, yang dinamakan kanonik (yang telah dilegalisir oleh Paus) saya memberi perhatian dan kehormatan, dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tak seorangpun daripada para pengarang-pengarangnya yang melakukan kekeliruan dalam menulisnya. Jika dalam fasal-fasal itu saya jumpai suatu pernyataan yang kelihatan bertentangan dengan kebenaran, maka saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa: teks (yang saya baca) itu salah, atau si penterjemah tidak menterjemahkan teks asli sebaik-baiknya, atau pikiran saya kurang cerdas. Bagi Agustinus, tak terbayang bahwa suatu teks kitab suci dapat mengandung kesalahan. Agustinus memberi penjelasan tentang "dogma bahwa Bibel tidak bisa salah" secara terang dan jelas. Jika ada kalimat-kalimat yang nampaknya kontradiksi dengan kebenaran, ia mencari sebabnya, dan tidak mengenyampingkan kemungkinan sebab itu datang dari manusia. Sikap semacam itu adalah sikap orang yang percaya dan mempunyai daya kritik. Pada zaman Agustinus ( 354 - 430 M ) belum ada kemungkinan konfrontasi antara teks Bibel dan Sains. Suatu pandangan yang luas yang serupa dengan pandangan Agustinus akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang disebabkan konfrontasi antara beberapa teks dalam Bibel dengan pengetahuan ilmiah. (bersambung 2/2) |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |