|
Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di
Dalamnya (1/3)
Di antara empat disiplin keilmuan Islam tradisional:
fiqh, kalam, tasawuf dan falsafah, yang disebutkan terakhir
ini barangkali adalah yang paling sedikit dipahami, bisa
juga berarti paling banyak disalahpahami, sekaligus juga
yang paling kontroversial. Sejarah pemikiran Islam ditandai
secara tajam antara lain oleh adanya polemik-polemik sekitar
isi, subyek bahasan dan sikap keagamaan falsafah dan para
failasuf. Karena itu pembahasan tentang falsafah dapat
diharapkan menjadi pengungkapan secara padat dan mampat
tentang peta dan perjalanan pemikiran Islam di antara
sekalian mereka yang terlibat.
Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa
sumber dan pangkal tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran
Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan
Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang
lain, sebagaimana ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah
orang-orang yang berjiwa keagamaan (religious), sekalipun
berbagai titik pandangan keagamaan mereka cukup banyak
berbeda, jika tidak justru berlawanan, dengan yang dipunyai
oleh kalangan
ortodoks.[1]
Dan tidak mungkin menilai bahwa falsafah Islam adalah carbon
copy pemikiran Yunani atau
Hellenisme.[2]
Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab
"falsafah" sendiri dipinjam dari kata Yunani yang sangat
terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada
kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata
"falsafah" itu di-Indonesia-kan menjadi "filsafat" atau,
akhir-akhir ini, juga "filosofi" (karena adanya pengaruh
ucapan Inggris, "philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang
lebih "asli", cabang ilmu tradisional Islam ini disebut
'ulum al-hikmah atau secara singkat "alhikmah" (padanan kata
Yunani "sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau,
lebih tepat lagi, "kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom"
(Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata Yunani
"philosophos", pelaku filsafat), disebut juga "al-hakim"
(ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak
"al-hukama".
Dari sepintas riwayat kata "filsafah" itu kiranya menjadi
jelas bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki
dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri,
banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama
Hellenisme atau dunia pemikiran
Yunani.[3]
Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah:
sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari
luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja
bukan "ahl al-kitab" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi
malahan dari orang-orang Yunani kuna yang "pagan" atau
musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya beberapa ulama
ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi
(salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk
kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai salah satu alasan
keberatan mereka terhadap falsafah. Tetapi sebelum membahas
lebih jauh segi-segi polemis ini, lebih dahulu dibahas
pertumbuhan falsafah dalam sejarah pemikiran Islam.
Pertumbuhan
Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual
antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya.
Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di
sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria,
Mesir, dan Persia.
Interaksi itu berlangsung setelah adanya
pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah
tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., dibawah para
khalifah. Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh
orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama
mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu, kecuali Persia,
daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban
Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu
mengalami Kristenisasi. Bahkan sebenarnya daerah-daerah
Islam sampai sekarang ini, sejak dari Irak di timur sampai
ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas daerah agama
Kristen, termasuk heartlandnya, yaitu Palestina.
Daerah-daerah itu, dibawah kekuasaan pemerintahan
orang-orang Muslim, selanjutnya memang mengalami proses
Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu
yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai. Bahkan
daerah-daerah Kristen itu tidak hanya mengalami proses
Islamisasi, tetapi juga Arabisasi, disamping adanya
daerah-daerah yang memang sejak jauh sebelum Islam secara
asli merupakan daerah suku Arab tertentu seperti Libanon
(keturunan suku Bani Ghassan Yang Kristen, satelit Romawi).
Namun berkat politik keagamaan para penguasa Muslim
berdasarkan konsep toleransi Islam, sampai sekarang masih
banyak kantong-kantong minoritas Kristen dan Yahudi yang
tetap bertahan dengan aman. Karena adanya konsep Islam
tentang kontinuitas agama-agama (yaitu, bahwa agama Nabi
Muhammad adalah kelanjutan agama para nabi sebelumnya,
khususnya Nabi-nabi Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub atau
Isra'il, Musa dan Isa-Yahudi dan
Kristen),[4]
orang-orang Muslim menyimpan rasa dekat atau afinitas
tertentu kepada mereka itu. Dan rasa dekat itu ikut
melahirkan adanya sikap-sikap toleran, simpatik dan
akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka.
(Toleransi dan sikap akomodatif Islam ini ternyata kelak
menimbulkan situasi ironis di zaman moderen, akibat adanya
kolonialisme Barat, seperti adanya hubungan tidak mudah
antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi di Palestina, dengan
kaum Maronite di Libanon, dan dengan kaum Koptik di .Mesir).
Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam dalam melihat
kaum agama lain, khususnya Ahli Kitab tersebut mendasari
adanya interaksi intelektual yang positif di kalangan
mereka, dengan sedikit sekali kemasukan unsur prasangka yang
berlebihan. Disamping itu, dan sebagaimana telah dikemukakan
dalam pembahasan kita tentang Islam dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang lalu, kelebihan orang-orang Muslim Arab itu
ialah kepercayaan kepada diri sendiri yang sedemikian
mantap. Kemantapan itu kemudian memancar pada sikap-sikap
mereka yang positif kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya
lain, dengan kesediaan yang besar untuk menyerap dan
mengadopsinya sebagai milik sendiri. Posisi psikologis yang
menguntungkan itu berada tidak hanya dalam hubungannya
dengan kaum Ahli Kitab yang memang dekat dengan orang-orang
Muslim, tetapi juga dengan kelompok-kelompok keagamaan lain
seperti kaum Majusi (orang-orang Persi pengikut ajaran
Zoroaster) dan kaum Sabean dari Harran, di utara
Mesopotamia. Sebab sekalipun ilmu pengetahuan Yunani
merupakan bagian paling penting ilmu pengetahuan yang
diserap orang-orang Muslim Arab, namun mereka ini juga
dengan penuh kebebasan dan kepercayaan diri menyerap dari
orang-orang Majusi dan Sabean tersebut tadi, bahkan juga
dari orang-orang Hindu dan Cina. Karena futuhat,
bangsa-bangsa non-Muslim itu berada dibawah kekuasaan
politik orang-orang Arab Muslim. Tetapi biarpun orang-orang
Arab itu memiliki keunggulan militer dan politik, mereka
tetap menunjukkan sikap-sikap penuh penghargaan dan
pengertian kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk
agama-agama) yang mereka kuasai. Hasilnya ialah, seperti
dikatakan Halkin sebagai berikut (kutipan yang penting untuk
memahami pembahasan):
...It is to the credit of the Arabs that
although they were the victors militarily and politically,
they did not regard the civilization of the vanquished lands
with contempt. The riches of Syrian, Persian, and Hindu
cultures were no sooner discovered than they were adapted
into Arabic. Caliphs, governors, and others patronized
scholars who did the work of translation, so that a vast
body of non-Islamic learning became accessible in Arabic.
During the ninth and tenth centuries, a steady flow of works
on Greek medicine, physics, astronomy, mathematics, and
philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu mathematics
and astronomy poured into
Arabic.[5]
(...Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka
itu para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak
memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan
dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia,
dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera setelah
diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang
lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas
penterjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam yang luas
dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Selama abad-abad
kesembilan dan kesepuluh, karya-karya yang terus mengalir
dalam ilmu-ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika,
dan filsafat dari Yunani, sastra dari Persia, serta
matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa
Arab).
Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia
pemikiran Hellenik terutama terjadi antara lain di
Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syria),
Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Di
tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan
penelitian dan penterjemahan karya-karya kefilsafatan dan
ilmu pengetahuan Yunani kuna, yang kelak kemudian didukung
dan disponsori oleh para penguasa Muslim.
Suatu hal yang patut sekali mendapat perhatian lebih
besar di sini ialah suasana kebebasan intelektual di zaman
klasik Islam itu. Interaksi positif antara orang-orang Arab
Muslim dengan kalangan bukan-Muslim itu dapat terjadi hanya
dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan.
Sebab meskipun orang-orang Arab itu mempunyai ajaran
agamanya yang sangat tegas dan gamblang, dengan penuh lapang
dada membiarkan semua kegiatan intelektual di pusat-pusat
yang ada sejak sebelum kedatangan dan pembebasan oleh
mereka. Seperti dikatakan oleh C.A. Qadir:
"...the centers of learning led by the
Christians continued to function unmolested even after they
were subjugated by the Muslims. This indicates not only the
intellectual freedom that prevailed under Muslim rule in
those days, but also testifies to the Muslims' love of
knowledge and the respect they paid to the scholars
irrespective of their
religion."[6]
(...pusat-pusat pengajaran yang dipimpin oleh orang-orang
Kristen terus berfungsi tanpa terusik bahkan setelah mereka
itu ditaklukkan oleh orang-orang Muslim. Ini menunjukkan
tidak saja kebebasan intelektual yang terdapat di mana-mana
di bawah pemerintahan Islam zaman itu, tetapi juga
membuktikan kecintaan orang-orang Muslim kepada ilmu dan
sikap hormat yang mereka berikan kepada para sarjana tanpa
mempedulikan agama mereka).
Interaksi intelektual itu memperoleh wujudnya yang nyata
semenjak masa dini sekali sejarah Islam. Disebut-sebut bahwa
al-Harits ibn Qaladah, seorang Sahabat Nabi, sempat
mempelajari ilmu kedokteran di Jundisapur, Persia, tempat
berkumpulnya beberapa failasuf yang dikutuk gereja Kristen
karena dituduh telah melakukan bid'ah. Disebut-sebut juga
bahwa Khalid ibn Yazid (ibn Mu'awiyah) dan Ja'far al-Shadiq
sempat mendalami alkemi (al-kimya) yang menjadi cikal-bakal
ilmu kimia moderen.[7] Bahkan
seorang khalifah Bani Umayyah, Marwan ibn al-Hakam (683-685
M), memerintahkan agar buku kedokteran oleh Harun, seorang
dokter dari Iskandaria Mesir, diterjemahkan dari bahasa
Suryani (Syriac) ke bahasa
Arab.[8]
Harus diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan
zaman itu, baik ilmu kedokteran maupun alkemi, sebagaimana
juga metafisika, matematika, astronomi, bahkan musik dan
puisi, dan seterusnya, termasuk falsafah. Sebab istilah
falsafah itu, dalam pengertiannya yang luas, mencakup
bidang-bidang yang sekarang bisa disebut sebagai
"ilmu-pengetahuan umum", yakni, bukan "ilmu pengetahuan
agama", yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan
wahyu tetapi akal, baik yang dari penalaran deduktif maupun
yang dari penyimpangan empiris. Ini penting disadari, antara
lain untuk dapat dengan tepat melihat segi-segi mana dari
sistem falsafah itu yang kontroversial karena dipersoalkan
oleh kalangan ortodoks. Umumnya mereka ini, seperi Ibn
Taymiyyah dan lain-lain, menolak yang bersifat penalaran
murni dan deduktif, dalam hal ini khususnya metafisika
(al-falsafah al-ula), karena dalam banyak hal menyangkut
bidang yang bagi mereka merupakan wewenang agama. Tetapi
mereka membenarkan yang induktif dan empiris.
|