|
Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di
Dalamnya (3/3)
Penutup
Sebagaimana telah diisyaratkan, orang-orang Muslim
berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang
telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu
berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup
menarik bahwa sementara orang-orang Muslim begitu sadar
tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai
ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau sedikit
sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya.
Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur
Hellenisme yang paling berpengaruh kepada falsafah Islam
itu, karena memang terkait satu sama lainnya.
Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya
pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam,
seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham
Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang
Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan
ruhani menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam kitabnya,
Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu
banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi.
Yang paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran sekelompok
orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan
al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan
Suci).[17]
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang
pengaruh besar Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan
bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berpikir logis
menurut logika formal (silogisme) Aristoteles. Cukup sebagai
bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles ini ialah
populernya ilmu mantiq di kalangan orang-orang Islam. Sampai
sekarang masih ada dari kalangan 'ulama' kita yang menulis
tentang mantiq, seperti K.H. Bishri Musthafa dari Rembang,
dan ilmu mantiq masih diajarkan di beberapa pesantren.
Memang telah tampil beberapa 'ulama' di masa lalu yang
mencoba meruntuhkan ilmu mantiq (seperti Ibn Taymiyyah
dengan kitabnya, Naqdl al-Manthiq dan al-Suyuthi dengan
kitabnya, Shawn al-Mantiq wa al-Kalam 'an Fann al-Manthiq wa
al-Kalam). Tetapi bahkan al-Ghazali pun, meski telah
berusaha menghancurkan falsafah dari segi metafisikanya,
adalah seorang pembela ilmu mantiq yang gigih, dengan
kitab-kitabnya seperti Mi'yar al-Ilm dan Mihakk al-Nadhar.
Bahkan kitabnya, al-Qisthas al-Mustaqim, dinilai dan dituduh
Ibn Taymiyyah sebagai usaha pencampur-adukan tak sah ajaran
Nabi dengan falsafah Aristoteles, karena uraian-uraian
keagamaannya, dalam hal ini ilmu fiqh, yang menggunakan
sistem ilmu mantiq.
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah
mustahil melihat falsafah Islam sebagai carbon copy
Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi
semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber
ilmu pengetahuan, dan, karena itu, mereka juga membangun
berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn
Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat.
Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas
kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat
padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada
kaum Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas
masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggungjawab
pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan
(determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang
kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam,
dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam
Hellenisme.[18]
Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam.
Meski begitu, lagi-lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam
sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru dalam ilmu
kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti
dikatakan William Lane Craig,
... the kalam argument as a proof for God's
existence originated in the minds of medieval Arabic
theologians, who bequeathed to the West, where it became the
center of hotly disputed controversy. Great minds on both
sides were raged against each other: al-Ghazali versus Ibn
Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus Aquinas.
The central issue in this entire debate was whether the
temporal series of past events could be actually
infinite.[19]
(...argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari
dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang
menyusup ke Barat, di mana ia menjadi pusat kontroversi yang
diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir dari dua pihak
berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd,
Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas.
Persoalan pokok dalam seluruh debat itu ialah apakah
rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara
aktual tak terbatas).
Ilmu kalam adalah unik dalam pemikiran umat manusia. Ia
merupakan sumbangan Islam dalam dunia kefilsafatan yang
paling orisinil. Argumen-argumen yang dikembangkan dalam
ilmu kalam menerobos dunia pemikiran Barat, sebagaimana
banyak pikiran-pikiran Islam yang lain, meskipun hanya
sedikit dari orang-orang Barat yang mengakuinya. Berkenaan
dengan ini, Craig mengatakan lebih lanjut:
The Jewish thinkers fully participated in the
intellectual life of the Muslim society, many of them
writing in Arabic and translating Arabic works into Hebrew.
And the Christians in turn read and translated works of
these Jewish thinkers. The kalam argument for the beginning
of the universe became a subject heated debate, being
opposed by Aquinas, but adopted and supported by
Bonaventure. The falsafa argument from necessary and
possible being was widely used in various forms and
eventually became the key Thomist argument for God's
existence. Thus it was that the cosmological argument came
to the Latinspeaking theologians of the West, who receive in
our Western culture a credit for originality that they do
not fully deserve, since they inherited these arguments from
the Arabic theologians and philosophers, whom we tend
unfortunately to neglect.[20]
(Para pemikir Yahudi berpartisipasi sepenuhnya dalam
kehidupan intelektual masyarakat Muslim, banyak di antara
mereka yang menulis dalam Bahasa Arab dan menterjemahkan
karya-karya Arab ke dalam Bahasa Ibrani. Dan orang-orang
Kristen kemudian membaca dan menterjemahkan karya-karya para
pemikir Yahudi itu. Argumen kalam bagi permulaan adanya alam
raya menjadi perdebatan yang panas, karena ditentang oleh
Aquinas namun digunakan dan didukung oleh Bonaventure.
Argumen falsafah dari wujud pasti (wajib) dan wujud mungkin
(mumkin) banyak digunakan dalam berbagai bentuk dan akhirnya
menjadi kunci argumen Thomis untuk adanya Tuhan. Begitulah,
bahwa argumen kosmologis itu sampai ke para teolog berbahasa
Latin, yang dalam budaya Barat kita mereka itu menerima
pengakuan untuk orisinalitas, yang mereka sendiri tidak
sepenuhnya berhak, karena mereka mewarisi argumen-argumen
itu dari para teolog dan failasuf Arab, yang sayangnya
cenderung kita lupakan).
Sebagaimana telah menjadi pokok pembicaraan buku William
Craig yang dikutip itu, argumen-argumen kosmologis kalam
ternyata kini banyak mendapatkan dukungan temuan-temuan
ilmiah moderen. Teori big bang dari Chandrasekhar (pemenang
hadiah Nobel), dan dikatakan dengan temuan-temuan astronomi
moderen, begitu pula konsep waktu dari Newton dan Einstein,
semuanya itu, menurut Craig, mendukung argumen kosmologi
ilmu kalam tentang adanya Tuhan dan "personal", yang telah
menciptakan alam raya ini:
We have thus concluded to a personal Creator
of the universe who exists changelessly and independently
prior to creation and in time subsequent to creation. This
ia a central core of what theists mean by "God"...The kalam
cosmological argument leads us to a personal Creator of the
universe..."[21]
(Dengan begitu kita telah menyimpulkan adanya Khaliq yang
personal bagi alam raya, yang ada tanpa berubah dan berdiri
sendiri sebelum penciptaan alam dan dalam waktu sesudah
penciptaan itu. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum teist
dimaksudkan dengan "Tuhan"...Argumen kosmologi kalam
membimbing kita ke arah adanya Khaliq yang bersifat pribadi
alam raya...)
Adakah membuktikan adanya Tuhan yang personal itu yang
menjadi titik perhatian sentral falsafah dan kalam? Setelah
membuktikan dengan dalil-dalil dan argumen-argumen yang
mantap, para failasuf dan mutakallim beralih ke usaha
memahami makna wujudnya Tuhan itu bagi manusia, kemudian
dikembangkan menjadi dalil-dalil dan argumen-argumen untuk
mendukung kebenaran agama. Seperti ditegaskan oleh Ibn Rusyd
dalam Fashl al-Maqal, kegiatan berfalsafah adalah
benar-benar pelaksanaan perintah Allah dalam Kitab Suci.
Maka, kata Ibn Rusyd, falsafah dan agama atau syari'ah
adalah dua saudara kandung, sehingga merupakan suatu
kezaliman besar jika antara keduanya dipisahkan. Hanya
memang, kata Ibn Rusyd lagi, terdapat halangan agama yang
karena ketidak-tahuannya memusuhi falsafah, dan terhadap
kalangan falsafah yang juga karena ketidak-tahuannya
memusuhi syari'ah. Ibn Rusyd sendiri adalah seorang failasuf
yang amat mendalami syari'ah.
CATATAN
1 R.T.
Wallis, Neo Platonism (London: Gerlad Duckworth &
Company Limited, 1972), h. 164.
2 C A.
Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (London:
Croom Helm, 1988). h. 28.
3 Istilah
"Hellenisme" pertama kali diperkenalkan oleh ahli sejarah
dari Jerman, J. G. Droysen. Ia menggunakan perkataan
"Hellenismus" sebagai sebutan untuk masa yang dianggapnya
sebagai periode peralihan antara Yunani kuna dan dunia
Kristen. Droysen lupa akan peranan Roma dalam agama Kristen
(dan membatasi seolah-olah hanya Yunani saja yang berperan).
Namun ia diakui telah berhasil mengidentifikasi suatu
kenyataan sejarah yang amat penting. Biasanya yang disebut
zaman Hellenik yang merupakan peralihan itu ialah masa sejak
tahun 323 sampai 30 S.M. atau dari saat kematian Iskandar
Agung sampai penggabungan Mesir kedalam kekaisaran Romawi.
Sebab dalam periode itu muncul banyak kerajaan di sekitar
Laut Tengah, khususnya pesisir timur dan selatan seperti
Syria dan Mesir, yang diperintah oleh bangsa Makedonia dari
Yunani. Akibatnya, mereka ini membawa berbagai perubahan
besar dalam banyak bidang di kawasan itu, antara lain bahasa
(daerah-daerah itu didominasi Bahasa Yunani) dan pemikiran
(ilmu pengetahuan Yunani, terutama filsafatnya, diserap oleh
daerah-daerah itu melalui berbagai cara). (Lihat Britannica.
s.v. "Hellenic Age").
4
"Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad)
seperti yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan para nabi
sesudahnya, dan seperti yang telah Kami wahyukan kepada
Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan kelompok-kelompok (para
nabi), serta kepada 'Isa Ayyub, Yunus, Harun dan Sulayman.
Telah pula Kami berikan kepada Dawud (kitab) Zabur. Juga
kepada para rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu
kepadamu (Muhammad) sebelumnya, dan para rasul yang tidak
Kami kisahkan mereka itu kepadamu. Dan sungguh Allah telah
berbicara (langsung) kepada Musa." (Q., s. al-Nisa
/4:163-165).
5 Abraham
S, Halkin, "The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion" dalarn
Leo W. Schwarz, ed., Great Ages & Ideas of the Jewish
People (New York: The Modern Library, 1956), hh. 218-219.
6 Qadir,
op. cit., h. 34.
7 Drs.
Hasyim Asy'ari MA, Bahasa Arab dan Perkembangan Ilmu
Pengetahuan (makalah dalam seminar tentang Bahasa Arab,
Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, 15-16 Oktober 1988).
8 Qadir,
op. cit., h. 34.
9 Wallis,
op. cit., h. 3.
10 Paul
Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, s.v.
"Plotinus".
11 I.R.
Netton, Muslim Neoplatonists (London: George Allen &
Unwin, 1982), h. 34.
12
Edwards, loc. cit.
13
Qadir, op. cit., h. 32.
14
Netton, op. cit., h. 33.
15 F.E.
Peters. Aristotle and the Arabs (New York: New York
University Press, 1986), h. 7.
16
Ibid., h. xx-xxxi (Introduction).
17 Pembahasan tentang
kelompok ini yang cukup lengkap ialah yang dilakukan Netton.
op. cit.
18 Qadir, op. cit.,
h. 28.
19 William Craig,
Kalam Cosmological Argument (London: The Macmillan Press
Ltd, 1979), "preface".
20 Ibid., h. 18.
21 Ibid., h. 152.
|