|
Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di
Dalamnya (2/3)
Neoplatonisme
Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru
(Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh
dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan
falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan
suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai
ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M),
sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan
tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan
sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota
Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the
One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab,
cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai
seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis",
"occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam
artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai
dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau
"Kenyataan
Mutlak."[9]
Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita
perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran
Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.
Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali"
(ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi"
(sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang
sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak
berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep
tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan
disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being,
epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi
sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin
diketahui.
Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato
menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi"
(divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos
yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia
fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh
individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu
yang immaterial dan substansial itu merupakan letak
hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence)
dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality),
yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.
Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus
ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada
semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah
yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya
hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai
eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa
"dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu
merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif
Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya,
yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan
tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.
Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya
oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi
monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa
dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum
Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik,
yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan
dalam alam
raya.[10]
Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh
Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga
hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau
Yang Baik, Akal atau Intelek, dan
Jiwa.[11]
Aristotelianisme
Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak
mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme
yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan
yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan
unsur-unsur kuat Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para
failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru
pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa
hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga
pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf
Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.
Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti
semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan orang-orang Arab
Muslim pada tahun
642.[12]
Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah falsafah
Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas
daerah Hellenisme.
Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus
terlebih dahulu bergulat dan berhadapan dengan agama
Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak
mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah
seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta
Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut
Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke
Syria dan akhirnya ke Jundisapur di
Persia.[13]
Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang
mendapat perlakuan yang berbeda-beda dari kalangan agama.
Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya,
tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase
Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas
Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah
mendapatkan jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim,
melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani yang disalin ke
Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda,
yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat
Aristotelianisme.[14]
Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist
oleh Ibn al-Nadim,
The Arab version of the arrival of the
Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the
discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true,
the story omits two very important details which may be
supplied from the sequel: first, the manuseripts were
certainly not written in Arabic; second, the Arabs
discovered not only Aristotle but a whole series of
commentators as
well.[15]
(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di
dunia Islam ada kaitannya dengan diketemukannya
naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun,
kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa
melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah
tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab
itu tidak hanya menemukan Aristoteles tetapi seluruh
rangkaian para penafsir juga).
Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai
ke tangan orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi,
melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya.
Karena itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi
menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru pertama",
namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran
dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah
pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran
Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri
yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam Islam, tetapi
Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang
Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah
fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah
dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para
pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham
Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial"
filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada
orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih
berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan
berkecenderungan logik dan metafisik. Khususnya logika
Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh
kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak
menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles
itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan
menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu
versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam
al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di
kalangan orang-orang
Muslim.[16]
|