|
IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer (1/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
SEJARAH pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah
kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan
fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa
intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau kaum cendekia
dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum.
Istilah "pemikir" itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan
kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia
bisa diterapkan sebagai panggilan lain untuk "intelektual"
dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih keren
kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti
philosopher, thinker, scholar dan intellectual merujuk
kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak
mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya
agaknya disepakati bahwa philosopher --karena faktor
sejarahnya-- adalah istilah yang paling signifikan untuk
mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang. Karenanya,
filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum
terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina
misalnya, derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada
cara mempersepsikan kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal
Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf berbeda
dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang
biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh
kedua kelompok tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling
jelas antara kelompok elit dengan massa.
"Filsuf" adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok
pemikir yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan
massa dan hanya berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah
filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernnya, setelah
mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah scholar (sarjana)
yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan tidak
melibatkan massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah
mencapai jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D.
(Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia menekuni
kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, sains atau
lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh 'Ali
Syari'ati, pemikir asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang
mewakili dan memiliki massa adalah bukan pemikir, bukan
filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula saintis, tapi ia
adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari'ati
menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai
padanan yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa
diterjemahkan secara sederhana sebagai "intelektual", karena
istilah tersebut biasa merujuk kepada para pemikir atau
tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi kepada massa.
Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim
se-Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan
para cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu
karena cendekia dalam bahasa Inggris disebut intellectual.
Seorang intelektual biasanya tidak hanya berpikir untuk
bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat dan
berinteraksi dengan mereka. Dalam kerangka ini, bisa kita
katakan bahwa figur seperti 'Ali Syari'ati adalah
intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan
al-Afghani. Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi,
Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana ketimbang
intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu dianggap
sebagai "thinker", "philosopher" dan "reformer", padahal ia
adalah intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan
Heidegger lebih filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan
ini, para orientalis seperti Brocklemann, Goldziher, Gibb
dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars) yang hanya
menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai
filsuf, tidak juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu akurat,
karena, seperti telah saya katakan, istilah "pemikir" itu
sendiri ambigious, bisa diterapkan di mana-mana, tentu
dengan intensitas keintelektualan yang berbeda-beda.
Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa ada
dikotomi yang jelas antara "pemikir elit" (mufakkir nukhbah)
dengan "pemikir massa" (mufakkir jamahir). Menurutnya,
mufakkir nukhbah adalah para pemikir (filsuf, intelektual,
sarjana) yang terasing dari massa dan hidup dalam dunia
intelektual yang eksklusif, dan mereka adalah para pemikir
elit. Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir
(filsuf, intelektual, sarjana) yang berinteraksi dan
terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik
massa.26
Dalam tulisannya yang lain,27
walau ia mengakui sulitnya membuat perbedaan antara
"pemikir" (mufakkir) dengan "intelektual" (mutsaqqaf), tak
pelak, ia juga membuat perbedaan tersebut. Tak jauh berbeda
dengan batasan-batasan seperti yang saya untuk di atas,
Hanafi menganggap pemikir sebagai genus, sedangkan
intelektual sebagai species. Karena itu, "seluruh pemikir
adalah intelektual, tetapi tidak seluruh intelektual adalah
pemikir.28
Ilustrasi singkat tentang pemikir dan segala cognate-nya
yang saya berikan di atas, dimaksudkan untuk memberikan
acuan dan batasan tentang pemikir dan pemikiran serta
aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam galeri pemikiran Arab
kontemporer seperti yang akan diperlihatkan dalam tulisan
ini, ada sekelompok pemikir yang berpengaruh hanya karena
tulisan-tulisannya, ada yang namanya lebih terkenal dari
pemikirannya, dan ada pemikir yang hanya terkenal sebatas
dunia akademis.
Pemikiran Arab pasca kebangkitan ('ashr al-nahdlah)
biasanya selalu dibedakan antara "modern" dan "kontemporer".
Istilah modern-kontemporer merujuk kepada dua era yang tidak
mempunyai penggalan pasti. Kontemporer, seperti yang pernah
dikatakan oleh Qunstantine Zurayq --tokoh modernis Arab
ternama-- adalah lahir dari modernitas (al-'ashriyah
walladat al-hadatsah).29
"Kontemporer" adalah kekinian atau kini, sementara modern
adalah "kini" yang sudah lewat tapi masih mempunyai citra
modern. Karena tidak ada kepermanenan dalam kekontemporeran,
modern yang telah lewat dari kekinian tidak lagi disebut
kontemporer. Dalam hubungannya dengan pemikiran Arab,
istilah modern-kontemporer merujuk kepada pemikiran Arab
modern sejak masa kebangkitan, dimulai dengan invasi
Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798, kemudian dalam
berdirinya negeri-negeri independen dengan mengatasnamakan
nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah
di Istanbul, sampai sekarang. Perbedaan paling jelas antara
yang modern dengan yang kontemporer adalah bahwa yang
pertama merujuk kepada era modernisasi secara umum,
sedangkan kontemporer merujuk kepada era sekarang atau yang
berlaku kini. Oleh karenanya, kontemporer adalah kelanjutan
modernitas dan pada saat yang sama adalah modernitas itu
sendiri. Batasan sejarah pemikiran Arab modern adalah dari
tahun 1798 hingga sekarang. Sedangkan batasan pemikiran Arab
kontemporer, tidak diketahui secara pasti. Hanya kebanyakan
para pemikir Arab sendiri menganggap waktu kontemporer
(mu'ashirah) bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun
1967, karena kekalahan tersebut merupakan titik yang
menentukan (watershed) dalam sejarah politik dan pemikiran
Arab modern,30
di mana sejak saat itulah --seperti yang dikatakan Issa J.
Boullata-- orang Arab sadar akan dirinya dan kemudian
kritik-diri (naqd dzati) mulai bermunculan di
sana-sini.31
A. Tiga Tipologi Dominan
Tahun 1967 dianggap sebagai "penggalan" (qathi'ah) dari
keseluruhan wacana Arab modern, karena masa itulah yang
mengubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa problem
sosial-budaya yang dihadapinya. Pukulan telak Israel membuat
mereka bertanya-tanya what's wrong dengan sekumpulan negara
besar yang mempunyai jumlah tentara dan peralatan yang cukup
memadai dipaksa kalah oleh Israel --negara kecil dengan
tidak lebih dari tiga juta penduduknya? Inilah awal mula apa
yang dinamakan kritik-diri yang kemudian direfleksikan dalam
wacana-wacana keilmiahan, baik dalam fora akademis maupun
literatur-literatur ilmiah lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab
adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan (tafsir al-azmah)
tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan
adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri
dan kepada capaian modernitas. Karena itu, pertanyaan yang
mereka ajukan adalah; bagaimana seharusnya sikap bangsa Arab
dalam menghadapi tantangan modernitas dan tuntutan
tradisi?
Telah lebih dari dua dekade, masalah tersebut terus
dibicarakan dan didiskusikan dalam seminar-seminar, dalam
bentuk buku, artikel dan publikasi lainnya. Dan masalah
tersebut kemudian menjadi common denominator untuk setiap
intelektual Arab yang peduli terhadap masalah kearaban dan
keislaman. Persoalan itu sebenarnya bukan tidak pernah
dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya (era modern).
Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh
Muhammad 'Abduh dan 'Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai
satu wacana epistemik32
masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade
terakhir. Lebih dari itu semua, masalah tradisi dan
modernitas telah menjadi agenda penting untuk proyek
peradaban pemikiran Arab kontemporer.
Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam
diskursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma
idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al-turats wa
al-hadatsah,33
al-turats wa al-hadatsah,34
al-Ashlah wa al-hadatsah,35
al-turats wa al-mu'ashirah,36
dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga
al-qadim wa al jadid.37
Seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas
dengan seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah turats
paling sering digunakan dan paling sering disebut, bahkan
istilah itu kini menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus
pemikiran Arab kontemporer. Secara literal, turats berarti
warisan atau peninggalan (heritage, legacy), yaitu berupa
kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh
orang-orang terdahulu (al-qudama). Istilah tersebut
merupakan produk asli wacana Arab kontemporer, dan tidak ada
padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk
mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-'adah
(kebiasaan), 'urf (adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun
mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang
dimaksud dengan istilah turats. Begitu juga dalam literatur
bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel yang tepat. Menurut
Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris, atau
patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakill apa
yang dipikirkan oleh orang Arab tentang
turats.38
Al-hadatsah, sebagai istilah yang paling umum digunakan
untuk mewakili kata "modernitas" merujuk kepada era modern
yang dilewati bangsa Arab sejak masa kebangkitan dua abad
yang lalu. Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep
pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa
Barat. Muatan dan ciri-cirinya pun olahan Barat. Qustantine
Zurayq melihat modernitas sebagai satu konsep yang memiliki
dua aspek utama; pertama kontinuitas dan perubahan, dan
kedua revolusi dan aksi sosial.39
Modernitas oleh bangsa Arab lebih dilihat sebagai tantangan
identitas kultural daripada sebuah konsep budaya yang harus
diterima dengan senang. Ini, sebagaimana ditafsirkan oleh
Hassan Hanafi, karena bangsa Arab lebih merasa at home
dengan turats ketimbang hadatsah, karena turats telah
menyatu dalam kesadaran bangsa Arab (wa'y al-'Arabi) sejak
empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru datang tidak
lebih dari dua ratus tahun lalu.40
Sejauh yang menyangkut pandangan-pandangan para pemikir
Arab kontemporer (pasca'67) tentang tradisi dan modernitas,
secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana
pemikiran Arab kontemporer.
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili
para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses
transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya
tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan
ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan
mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta
menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan
lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus
ditinggalkan. Kelompok ini diwakili pertama kali oleh
pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti Shibli
Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu
diteruskan oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi
pada Marxisme seperti Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui dan
Mahdi Amil, disamping pemikir-pemikir liberal lainnya
seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil
Daher dan Qunstantine Zurayq.
Yang kedua adalah tipologi reformistik. Jika pada
kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi
sosial, pada kelompok ini, proyek yang hendak digarap adalah
reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup
dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini lebih
spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Pertama, para
pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu,
melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali.
Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup
dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali
secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka
modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan
kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode
"pernyataan ulang" (restatement,41
reiteration42)
atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh
persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para
ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah
menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh
pendahulu mereka.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua
puluh, kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh
para reformer seperti al-Afghani, 'Abduh dan Kawakibi. Pada
era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada
pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad
Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad
Nuwayhi.
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik
adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi
merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer.
Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir Arab
yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis
dan beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti
Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer.
Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan
Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan
Arkoun dan Jabiri adalah M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi,
Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh. Kedua
kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan
dan cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan
pendekatan masalah mereka yang berbeda. Tidak seperti
kelompok transformatik yang sangat radikal, para pemikir
dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan
penuh kepada turats. Tradisi atau turats menurut mereka
tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca,
diinterpretasi dan dipahami dengan standar modernitas.
Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran
ideal-totalistik. Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap
dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat
totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek
religius budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak mereka
garap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama,
budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang
datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup,
mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi. Menurut
kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi
kepada metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka
menyeru kepada keaslian Islam (al-ashlah), yaitu Islam yang
pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya. Para
pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak
percaya baik kepada metode transformasi maupun reformasi,
karena yang dituntut oleh Islam --menurut mereka--adalah
kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu
al-Qur'an dan Hadits. Dalam banyak hal, metode pendekatan
mereka kepada turats dapat disamakan dengan kaum
tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak
pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh
modernitas (sains dan teknologi) tidak lebih dari apa yang
pernah dicapai oleh kaum Muslim pada era kejayaan dulu. Para
pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir
ideal-totalistik adalah para pemikir-ulama seperti M.
Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said
Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang berorientasi pada
gerakan Islam politik.
Ketiga tipologi ini telah meramaikan wacana pemikiran
Arab kontemporer. Meskipun kategori tipologi semacam ini
tidak sepenuhnya mempunyai batasan yang clear-cut, tapi
secara umum substansi setiap ide para pemikir Arab dapat
dijelaskan melalui salah satu tipologi tersebut. Berikut
ini, dengan singkat, akan digambarkan beberapa pandangan
penting para pemikir dari ketiga kelompok tersebut.
1. Transformatik
Para pemikir Arab yang mempunyai kecenderungan
transformatik kebanyakan berorientasi kepada Marxisme.
Afiliasi mereka kepada Marxisme bukan pada dimensi ideologi
politik, tetapi lebih pada aspek intelektualnya. Dan berikut
ini akan kita simak pandangan-pandangan dua pemikir Marxis
Arab, Thayyib Tayzini dan Abdullah
Laroui43
tentang problem dunia Arab kontemporer. Agar kelihatan adil,
seorang pemikir yang non-Marxis juga akan kita soroti, yaitu
seorang filsuf dan budayawan serba bisa -Adonis.
Thayyib Tayzini adalah seorang profesor ternama di
universitas Damaskus, Syria. Gelar doktor filsafat diraihnya
dari universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman. Ia dikenal
dengan proyek peradabannya, Masyru Ru'yah Jadidah li al-Fikr
al-Arabi min al-'Ashr al-Jahili hatta al-Marhalah
al-Mu'ashirah (Proyek Visi Baru Pemikiran Arab dari Era
Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan ditulisnya dalam
dua belas jilid buku, dua di antaranya telah diterbitkan,
yaitu Min al-Turats ila al-Tsawrah: Hawla Nazhariyyat
al-Muqtarahah fi Qadiyah al-Turats
al-Arabi,44
dan Al-Fikr al-Arabi fi Bawakirih wa Afaqih
al-Ula.45
Proyek besar Tayzini ini mungkin hanya bisa disejajarkan
dengan proyek Hassan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid) dan
Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-'Aql al-'Arabi).
Tampaknya tidak perlu susah-susah menunggu sepuluh jilid
yang lain dalam membaca karya Tayzini ini. Teori, metode dan
aplikasi telah dengan sistematis dan sangat jelas
dielaborasi Tayzini dalam Jilid pertamanya. Buku tersebut
direncanakan sebagai pengantar untuk kajian metodis atas
warisan budaya Arab yang biasa disebut turats. Judul yang
diberikan oleh Tayzini untuk bukunya yang pertama tersebut
merefleksikan pandangan-pandangan Marxismenya, sekaligus
memberi pesan transformatif dari turats kepada revolusi.
Revolusi yang dimaksudkan di sini tentulah revolusi ala
Marx. Ia mengkritik para pemikir Arab lain yang membaca
turats secara tidak proporsional, menurut istilahnya, tidak
historis (ahistoris/la tarikhi) dan tidak turatsi
(aheritagial/la turdatsi).46
Turats, menurut Tayzini, harus didekati secara historis dan
harus dilihat dalam konteks hubungan dialektis antara
masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik dalam sebuah
masyarakat. Unsur seperti ini, terutama yang disebutkan
terakhir sangat berperan dalam membentuk turats manusia,
yang kemudian --disadari atau tidak-mendapat justifikasi
ontologis. Karenanya, untuk membebaskan turats dari
penafsiran-penafsiran subjektif, ia harus diletakkan dalam
kerangka historisisme, "karena sebenarnya, turats itu
sendiri adalah sejarah".47
Warna Marxisme Tayzini terasa sangat kental ketika ia
menghubungkan turats dengan revolusi buruh. Tanpa ragu-ragu
ia namakan teorinya al-jadaliyah al-tarikhiyah al-turatsiyah
(dialektiko histo-turatsi,-sic.), yang bertujuan menciptakan
revolusi turats dalam bentuk sosialisme ilmiah. Teori ini
menegaskan bahwa revolusi budaya tidak mungkin terjadi dalam
kekosongan relasi sosial (a vacuum of social relations),
seperti yang kini melanda bangsa Arab. Seperti diketahui,
bangsa Arab dikuasai oleh kelas borjuis-feodalis yang secara
ekonomi tidak mampu berdiri sendiri. Mereka sangat
bergantung kepada kekuatan kapitalis Barat. Secara
ideologis, hal tersebut menjadikan para borjuis itu malas
atau enggan untuk menciptakan revolusi sosial. Inilah
kekosongan relasi itu, bukan hanya antara kelas, tetapi juga
antara pemilik modal dengan peninggalan turats. Sementara
kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan emosional
yang erat dengan turats mereka.48
Masih dalam paradigma Marxisme tetapi berbeda sudut
pandang, Abdullah Laroui membuat sintesa yang hampir mirip
dengan Tayzini. Pemikir Maroko ini yang di dunia Arab
dikenal sebagai 'Abdullah al-Arwi (dalam bahasa Perancis
"al" menjadi "la"), percaya penuh dengan metode
historisisme. Dua buah bukunya la crise des intellectuels
arabes: traditionalisme ou
historicisme,49
dan L'ideologie arabe contemporaine50
adalah kritik historis atas tradisi dan diskursus
intelektual Arab tentang turats. Berbeda dengan Tayzini yang
tidak membedakan antara turats dengan sejarah, Laroui
melihat turats sebagai satu bentuk tradisionalisme yang
harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan berubah selama
golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara
pandang mereka terhadap turats. Mereka tidak akan maju
selama cara berpikir dan orientasi mereka ke masa
lalu.51
Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik oleh kaum
tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular).
Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat turats secara
ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap
turats sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan
segala kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan
masa lalu berbeda. Begitu juga kaum modernis, dalam
pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang
memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat
--budaya orang lain. Sikap seperti ini tidak akan
memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan
bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok
tersebut, menurut Laroui, tidak mengerti kondisi sosial
bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah dari lingkungan
dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu
sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin
menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain.
Kedua-duanya --mengambil masa lalu atau mengambil orang
lain-- adalah tindakan yang tidak kreatif.
Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat diatasi
dengan memperkaya diri berpikir kritis dan historis. Ia
melihat, metode berpikir historis (historisisme) hanya dapat
dijumpai pada Marxisme dengan teori dialektika historisnya.
Karena itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level
berpikir kritis dan historis harus diberi prioritas. Bukan
hanya itu, Marxisme telah dengan rapi menghubungkan
masalah-masalah tersebut dengan persoalan ekonomi, sosial
dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab
kontemporer.52
Kritik Tayzini dan Laroui dalam beberapa hal adalah juga
kritik para intelektual Arab lainnya. Masalahnya bagaimana
memberikan metode dan pendekatan yang baik dalam
menyampaikan kritik tersebut. Alternatif Marxisme yang
diajukan keduanya bukan tidak mendapat kritik dari kalangan
pemikir lain. Di samping polanya yang sudah usang, metode
Marxisme, dipandang oleh para kritikus Tayzini dan Laroui,
sebagai contoh sederhana kegagalan sebuah metode. Apalagi
dengan melihat kasus Uni Soviet dan negara-negara yang
mempraktekkan sistem itu. Teori Tayzini dan Laroui tampak
tidak mempunyai tempat di banyak hati intelektual Arab.
Pemikir lainnya dari kecenderungan berpikir transformatik
adalah Adonis Akra. Ia seorang pemikir serba bisa yang
"nyentrik"; menulis puisi, main teater, menulis buku
filsafat, seminar ilmiah dan sejumlah kegiatan yang
digelutinya. Nama sebenarnya adalah Ali Ahmad Sa'id, tetapi
nama Adonis --nama salah seorang tokoh legendaris Yunani--
yang dipujanya, lebih melekat pada dirinya. Di antara
kegiatannya yang segudang, ia memimpin dua jurnal terkenal
Syi'r dan Mawaqif. Karya pentingnya adalah Al-Tsabit wa
al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba wa al-Ibda' 'inda al-'Arab
(Yang Tetap dan Yang Berubah: Kajian Tentang Imitasi dan
Kreatifitas Bangsa Arab). Ditulis dalam tiga jilid, yang
menurut Boullata "the most daring indictments of Arab
culture in modern times."53
Buku tersebut direncanakan oleh Adonis sebagai bacaan ulang
atas sejarah Arab-Islam, khususnya dalam pencarian makna
keotentikan (al-ashlah). Dengan kritis ia menulis;
Apakah keotentikan itu? Bagaimana kita
mendefinisikan sesuatu yang otentik? Bagaimana
hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan akan datang,
bagaimana menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus
mengalami kemunduran dan stagnasi yang begitu pahit?
Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau pengaruh
asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan
antara bangsa, agama dan politik. Lalu, apakah
signifikansi modernitas ditengah semuanya
ini?"54
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang dicoba jawab
oleh Adonis. Dalam eksplorasinya itu, ia menyimpulkan ada
empat karakteristik mentalitas bangsa Arab. Pertama, pada
level ontologis, bangsa Arab berorientasi pada teologisme
(lahutaniyah), yaitu satu kecenderungan yang berlebihan
dalam melihat Tuhan sebagai pusat dari segalanya --sebagai
inspirasi ontologis untuk setiap wujud. Sikap dalam
memandang Tuhan ini kemudian direfleksikan dalam kehidupan
realitas bangsa Arab --hubungan masyarakat dengan negara dan
negara dengan setiap individu adalah hubungan teologis.
"Sebagaimana manusia tidak bisa hidup kecuali lewat Tuhan,
di dunia nyata ia pun tidak hidup kecuali oleh agama,
komunitas, negara, keluarga, dan seterusnya. Ia tidak bisa
hidup sendiri, karena ia tidak mempunyai kebebasan untuk
itu." Kedua, pada level psikologis, bangsa Arab berorientasi
pada masa lalu (madlawiyah). Maksudnya, bangsa Arab selalu
melihat masa lalu sebagai simbol kemajuan, dan berkeyakinan
bahwa jika ingin maju harus beremulasi dengan masa lalu itu.
Bagi mereka hal-hal baru yang tidak jelas adalah spekulatif,
maka tidak perlu dikejar. Ketiga, pada level ekspresi
bahasa, nalar bangsa Arab selalu membedakan antara yang
bersifat "ide" dengan "ucapan". Pemisahan semacam ini,
menurut Adonis, hanya akan memasung kreatifitas jiwa, karena
ide selalu dianggap sebagai sesuatu yang permanen sebelum
adanya ucapan. Dengan kata lain, ucapan hanyalah pembungkus
simbolis dari sesuatu yang sudah ada. Keempat, pada level
peradaban, bangsa Arab hidup dalam keadaan terasing
(ightirab) dan penuh dengan kontradiksi, terutama dalam
menghadapi modernitas. Itu, karena mereka selalu berpikir
dalam paradigma masa lalu dan hidup dalam bayang-bayang
turats.55
Kesimpulan yang diberikan oleh Adonis memang cukup
radikal. Dalam pandangannya, bangsa Arab tidak realistis,
karena apa yang dipikirkan dan apa yang dihadapi berlainan.
Begitu juga bangsa Arab tidak akan bisa maju karena mereka
berpikir dalam kungkungan logosentris yang dilapisi
sekat-sekat ideologi. Kondisi bangsa Arab, menurut Adonis,
tidak akan berubah selama sekat itu belum disingkirkan. Bagi
Adonis, yang dibutuhkan bukan hanya perombakan
(dekonstruksi) nalar Arab. Tapi, lebih dari itu, adalah
penghancuran (destruksi), sehingga transformasi yang
diharapkan akan tercapai.56
|